Keputusan Pengadilan. Pasal 39 : (1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan
setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak dapat mendamaikan kedua pihak, (2) Untuk
melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri tidak akan dapat rukun sebagai
suami isteri, (3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan
tersebut. Pasal 40 : (1) Gugatan perceraian diajukan ke Pengadilan, (2) Tata cara mengajukan gugatan
tersebut pada ayat 1 pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri (Mustofa, 2015).
Adapun alasan-alasan perceraian dijelasan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, menyebutkan bahwa alasan –alasan perceraian yaitu (Soemiyati, 1986):
a. Salah satu pihak berbuat zina, pemadat, penjudi dan lainnya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain dua tahun berturut-turut tanpa seizin pihak lain dan tanpa
alasan yang sah.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah
perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang mengancam jiwa pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang sukar disembuhkam sehingga tidak bisa
menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.
f. Serta antara suami dan isteri terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus sehingga tidak ada
harapan untuk dirukunkan.
Hal tersebut terlaksana jika diputuskan oleh Pengadilan. Jika pasangan tersebut beragama Islam
maka diputuskan oleh Pengadilan Agama sedangkan bagi pasangan beragama bukan Islam dan
Kepercayaan diputuskan oleh Pengadilan Negeri. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 39, UU No 1 Tahun
1974 sebagai berikut (Soemiyati, 1986):
a. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
b. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat
hidup rukun sebagai suami istri.
c. Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Setelah mereka mendapatkan putusan secara pengadilan negeri tersebut, mereka beranggapan
bahwa mereka sudah bebas untuk melaksanakan perkawinan kembali. Padahal seharusnya mereka
menyelesaikan permasalahan keluarga melalui proses sebagai warga Katolik yang tidak mengenal
perceraian.
Sebagai orang beragama Katolik, pasangan Katolik diminta mentaati Kitab Hukum Kanonik.
Kitab Hukum Kanonik dikenal dalam bahasa Latin sebagai Codex Iuris Canonici, Codex (buku), Iuris
(hukum) dan Canonici (norma / aturan). Dengan demikian Kitab Hukum Kanonik (KHK) merupakan
suatu buku atau kitab yang berisi aturan-aturan atau norma-norma yang sifatnya mengikat dan harus
ditaati oleh seluruh umat Katolik (Jehaut, 2019). Secara khusus mengenai hal perkawinan, seorang yang
beragama Katolik terikat Kitab Hukum perkawinan Kanonik, Kanon 1055-1165. Kanon 1056
menegaskan bahwa: “Ciri – ciri hakiki perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan indissolubilitas (sifat tak
dapat diputuskan) yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen
(Indonesia, 2006).
Kanon memberi ketegasan bahwa dalam hidup perkawinan Katolik, perkawinan
yang terjadi adalah perkawinan yang monogam (satu orang) dan berlangsung seumur hidup dan tidak
dapat diceraikan. Ketika terjadi permasalahan di dalam hidup Perkawinan yang tidak terselesaikan,
tidak serta merta bisa diselesaikan dengan sidang perceraian namun mesti diteliti apakah ada
pembuktian bahwa perkawinan itu sejatinya tidak ada.
Kanon 1671-1707 memuat kanon tentang Nullitas Perkawinan yaitu pernyataan tidak adanya
perkawinan yang terjadi atau pengakuan resmi bahwa sejak semula perkawinan tidak sah. Menurut
Kitab Hukum Kanonik, ada 3 hal utama yang menjadi penyebab perkawinan dinyatakan tidak sah yaitu:
1) Halangan Perkawinan, 2) Cacat Kesepakatan Perkawinan dan 3) Cacat Forma Canonica.
Semuanya itu diproses melalui Tribunal Gereja. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI
), Tribunal berarti tempat mengadili suatu perkara. Tribunal Gerejawi adalah sebuah Pengadilan di
dalam Gereja yang bertugas perkara-perkara pidana maupun perkara-perkara perdata dalam ruang
lingkup Gereja Tribunal Gereja dibentuk oleh Ordinaris Wilayah / Uskup Diosesan dengan mengangkat
beberapa Pastor yang diandaikan memiliki kemampuan mengenai Hukum Gereja sebagai Hakim Gereja
(Sitorus, 2018). Tribunal Gereja di suatu Keuskupan mempunyai suatu alamat tertentu yang menjadi
tempat pelaksanaan persidangan sekaligus alamat surat menyurat dan tempat menyimpan berkas dan