How to cite:
Setiadi, Iwan. (2021). Sinergi Kepemimpinan dalam Masa Pandemik: Menghadapi Krisis Manajemen dalam
Kebijakan Mengatasi Pandemik Covid-19. Jurnal Sosial dan Teknologi
. 1(6): 451-464
E-ISSN:
2774-5155
Published by:
https://greenvest.co.id/
Jurnal Sosial dan Teknologi (SOSTECH)
Volume 1, Number 6, June 2021
p-ISSN 2774-5147 ; e-ISSN 2774-5155
SINERGI KEPEMIMPINAN DALAM MASA
PANDEMIK: MENGHADAPI KRISIS
MANAJEMEN DALAM KEBIJAKAN MENGATASI
PANDEMIK COVID-19
Iwan Setiadi
Universitas Airlangga
iwan.setiadi-2018@fisip.unair.ac.id
Diterima:
30 Mei 2021
Direvisi:
9 Juni 2021
Disetujui:
14 Juni 2021
Abstrak
Pandemik Covid-19 mengakibatkan terjadinya krisis pengelolaan dalam
kebijakan penanganan pandemik. Pengalaman Indonesia pada awal
mewabahnya Covid-19 menunjukkan beban terberat adalah politisasi
pandemik diantara aktor-aktor kunci dalam pemerintahan, di tengah
terbatasnya sistem pelayanan kesehatan dan pengabaian penanganan
pandemik di awal kemunculan kasus pertama di Indonesia. Tujuan
penelitian ini sebagai bahan analisis dan pengetahuan tentang aspek
kepemimpinan dalam penanganan awal pandemik. Analisa ini untuk
menambah dan memperkaya wacana publik pada penanganan pandemik
Covid-19 yang dilaksanakan oleh berbagai faktor, baik pemerintah pusat
dan daerah serta masyarakat. Analisa artikel ini bersifat sebagai kajian
awal yang pandangan dalam menjajikannya bersifat reflektif. Oleh
karena itu, analisis yang disajikan akan memberikan pemahaman dasar
tentang dinamika penanganan pandemik di Indonesia. Menggunakan
penelitian deskriptif-kualitatif dengan perspektif teori kepemimpinan
politik dalam penerapan konsep fungsi eksekutif politik mengurangi
penyebaran virus Covid-19, tulisan ini menyoroti bagaimana pandemik
ini muncul ketika era kemajuan teknologi informasi dan berkembangnya
kepemimpinan populisme. Perkembangan informasi saat ini
mengharuskan keahlian komunikasi pemerintah lebih eksplisif terhadap
masyarakat. Kurangnya suatu sistem yang lemah bentuk komunikasi
pemerintah kepada publik yang nantinya berujung sampai meluasnya
infodemik yang bahaya sama dari pandemik ini, keadaan yang seperti
akan dapat mengurangi rasa percaya rakyat terhadap pemimpinnya.
Kondisi krisis pandemik ini diperlukan keterlibatan masyarakat yang
bersinergi dengan semua unsur pemerintah baik secara horizontal atau
vertikal akan membuat syarat utama efektivitas dalam penanganannya,
akan tetapi kebijakan ini tidak mudah di dalam sistem pemerintahan dan
politik yang sifatnya desentralisasi dan plural. Serta secara politik
keadaannya terfragmentasi, sinergi ini akan mengalami tantangan yang
harus diatasi. Situasi ini menyebabkan perlunya kebijakan yang rasional
dan jangka panjang dalam merespon pandemik agar tidak tergantikan
dengan tindakan politik melalui kebijakan ini yang berkaitan
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN 2774-5147
Iwan Setiadi 452
kepopuleran dalam jangka sedang untuk kepentingan memperkuat
kekuasaan. Sehingga pandemik ini sebagai sarana memenuhi komuditas
pemimpin secara pribadi ataupun komunitas yang mengorbankan
pencegahan kondisi krisis kemanusiaan.
Kata kunci: Kepemimpinan; Politisasi; Komunikasi; Sinergi;
Kepercayaan Publik
Abstract
The Covid-19 pandemic resulted in a management crisis in the policy of
handling pandemics. Indonesia's experience at the beginning of the
Outbreak of Covid-19 shows the heaviest burden is the politicization of
pandemics among key actors in government, amidst the limited health
care system and the neglect of pandemic handling at the beginning of
the emergence of the first case in Indonesia. The purpose of this
research as an analysis material and knowledge about aspects of
leadership in the initial handling of the pandemic. This analysis is to
add and enrich public discourse on the handling of the Covid-19
pandemic carried out by various actors, both central and local
governments and communities. The analysis of this article is an initial
study whose views in rationing it are reflective. Therefore, the analysis
presented will provide a watershed understanding of the dynamics of
pandemic management in Indonesia. Using descriptive-qualitative
research with the perspective of political leadership theory in the
application of the concept of political executive function to reduce the
spread of the Covid-19 virus, this paper highlights how this pandemic
emerged during the era of information technology advancement and the
development of populism leadership. The current development of
information requires that the government's communication skills be
more exclusive to the public. The lack of a weak system of government
communication to the public that will lead to the widespread
information that is the same danger from this pandemic, such
circumstances will be able to reduce people's trust in its leader. The
condition of this pandemic crisis requires community involvement that
synergizes with all elements of government either horizontally or
vertically will make the main requirements of effectiveness in handling
it, but this policy is not easy in a decentralized and plural system of
government and politics. As well as being politically fragmented, this
synergy will face challenges that must be overcome. This situation leads
to the need for rational and long-term policies in responding to
pandemics so that they are irreplaceable with political action through
this policy relating to popularity in the medium term for the sake of
strengthening power. So this pandemic as a means of fulfilling the
communiqué of leaders personally or communities who sacrifice the
prevention of humanitarian crisis conditions.
Keywords: Leadership; Politicization; Communication; Synergy;
Public Trust
PENDAHULUAN
Vol. 1, No. 6, pp. 451-464, June 2021
453 http://sostech.greenvest.co.id
Pandemik Covid-19 menjadi isu kesehatan yang paling menghebohkan seluruh
dunia, termasuk Indonesia (Wua et al., 2021). Covid-19 yang merupakan pandemik
global jelas menyebabkan kewaspadaan beragam kalangan, khususnya masyarakat (Jun et
al., 2021). Pendemik Covid-19 merupakan kejadian yang mengejutkan dunia, yang
menyebabkan disorientasi dan anomali masyarakat global. Ketakutan dari masyarakat
akan semakin sangat terasa jika kita melihat terus bertambah (Sumandiyar & Nur, 2020)
dan menyebarnya kasus ini yang secara cepat dan kurangnya kesiapan kebijakan beberapa
elemen yang penting untuk mencagah penyebaran virus ini (Limbong et al., 2020).
Melihat tingginya tingkat persebarannya yang begitu cukup mengharuskan pemerintah
agar segera mengambil aturan yang tepat (Ristyawati, 2020). Dengan menetapkan
kebijakan-kebijakan antisipatif untuk mengatasi dampak dari Covid-19 (Ristyawati,
2020). Berbagai macam penanggulangan dan penanganan dilakukan, salah satunya
lockdown untuk menekan penyebaran penyakit Covid-19 ini (Khoerunisa & Noorikhsan,
2021).
Belakangan wabah pandemik sudah terjadi lebih dari tujuh bulan sejak virus ini
muncul pertama kali di kota Wuhan, Republik Rakyat Tiongkok (Azmi, 2020). Dalam
pencegahan pernyebaran virus ini agar tidak semakin meluas (Abboah-Offei et al., 2021),
para pimpinan di berbagai negara menerapkan kebijakan dengan cara melakukan
lockdown (Valerisha & Putra, 2020), menetapkan pembatasan sosial dengan mengurangi
kontak fisik atau social distancing seperti anjuran dari lembaga dunia disarankan oleh
World Heallth Organization (WHO). Negara Indonesia menerapkan lockdown dengan
memodifikasinya menjadi peraturan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau disingkat
dengan PSBB (Soewardini et al., 2021). Di negara lain menerapkan kebijakan lockdown
ini terbilang cukup efektif bila di laksanakan dengan konsisten (Firdaus & Pakpahan,
2020), secara perlahan namun pastti dapat mengontrol percepatan bertambahnya Covid-
19 ini menyebar dengan ditunjukkan dengan penurunan kurva penyebaran virus.
Negara lain sudah menerapkan strategi kebijakan teknis yaitu lockdown. Penerapan
lockdown ini diterapakan seperti di negara India dan Malaysia. Sedangkan di Indonesia
tidak diterapkan dikarenakan ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan. Kebijakan
teknis yang di pilih oleh pemerintah Republik Indonesia adalah Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB).
Sejak pertama kali Badan Kesehatan Dunia telah menjelaskan bahwa wabah
Covid-19 adalah sebagai pandemik. merespon lanjutan dari hal tersebut, pihak
pemerintahan Indonesia telah membenarkan pandemik virus ini telah menjadi suatu
bencana nasional. Presiden dengan pemerintah daerah dengan para staff jajarannya telah
bekerja saling bahu membahu dalam membuat kebijakan aturan untuk mencegah
menyebarnya Covid-19 ini di Indonesia. Pada pemerintah pusat melalui menteri hingga
kepala daerah dari Provinsi, Kabupaten bahkan pemerintah desa.
Dalam rangka mengantisipasi dan mengurangi jumlah penderita Covid-19 di
Indonesia sudah dilakukan di seluruh daerah. Kajian pertimbangan-pertimbangan sesuai
keadaan negara Indonesia menerapkan kebijakan seperti pembatasan keluar rumah, tidak
melakukan pembelajaran luring tetapi diubah ke metode pembelajaran secara daring dan
bekerja dari rumah. Kebijakan yang muncul akibat pandemic Covid-19 dapat terlihat
dengan adanya beberapa penutupan akses jalan dalam jangka waktu tertentu, pembatasan
jumlah transportasi. Pembatasan jam operasional transportasi, yang tentunya kebijakan itu
dimaksudkan untuk dapat menahan laju aktivitas masyarakat keluar rumah.
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN 2774-5147
Iwan Setiadi 454
Pada dasarnya pemerintah tidak akan dapat menghindari kematian akibat Covid-19
dan dampak ekonomi dari penyebaran virus ini tetapi, pemerintah harus mempunyai
kewajiban agar memaksimalkan aktivitas menjaga rakyatnya dari pandemik ini kebijakan
dan aturan yang telah dibuatnya. Berdasarkan kelembagaan, pemerintah mempunyai
tugas untuk membuat aturan dan kebijakan. Maka dapat diketahui dari semua yang telah
dikerjakan dan dilakukan oleh pemerintah merupakan suatu kebijakan publik.
Sederhananya seperti ini, kebijakan publik adalah suatu kewenangan yang dimiliki serta
dikerjakan oleh pemerintah.
Pemerintah sebagai pembuat kebijakan publik harus memaksimalkan secara efektif
dan seefisien mungkin usaha dalam menjaga masyarakat mengingat kebijakan ini
kewenangan yang dibuatnya. Dititik inilah tulisan ini hadir untuk menganalisis nalar
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dan nalar yang digunakan masyarakat dalam
merespon kebijakan publik. Momentum melakukan analisa dan pembenahan tata kelola
klinis pada Covid-19 menjadi tantangan buat pemerintah menunjukkan eksistensinya
terhadap kesehatan dan kesejahteran masyarakat.
Pandemik Covid-19 dengan ketidakpastiannya juga telah membuat para pemimpin
lembaga pendidikan gelagapan dalam memberikan respon. Awalnya pemimpin dalam
beberapa level menganggap keadaan krisis suatu hal yang biasa, cenderung menganggap
remeh, tercatat kemungkinan dari krisis serta dampak yang ditimbulkan. Setelah
pemimpin menyadari ada dampak dalam kondisi krisis mereka baru mulai merespon.
Namun mereka tidak merespon dalam keadaan yang sudah siap, yaitu telah memilki
rencana yang telah dibuat sebelumnya. Yang paling penting untuk menghadapi kondisi
krisis kesehatan ini menurut Arnold M. dan Herman B. yaitu para pimpinan tertinggi agar
memahami telah terjadi krisis besar yang terjadi. Kemungkinan adalah suatu langkah
yang sulit, apalagi pada awal kondisi krisis.
Peran strategis seorang pemimpin dibutuhkan dalam situasi krisis dengan
menjalankan kebijakan di saat situasi krisis kesahatan saat ini yang berbeda dari suatu
manajemen risiko dari melibatkan potensi penilaian terhadap ancaman dengan
mendapatkan suatu cara yang terbaik dalam mencegah ancaman risiko yang terjadi,
manajemen krisis ini berkaitan dengan akibat dari, selama, sebelum serta setelah
kejadian. Hal ini adalah suatu disiplin dalam aturan suatu kebijakan yang kontekstual
secara luas yang mana terdiri dari teknik keterampilan yang dibutuhkan untuk
memahami, menilai, mengindentifikasi, mengatasi secara serius dan sejak kejadian
pertama kali hingga pada proses pemulihan. Yang dibutuhkan oleh para pemimpin dalam
kondisi krisis bukan hanya rencana atau respon yang diilakukan sebelumnya namun
perilaku serta pola pemikiran dalam mengatasi mereka yang beraksi secara berlebihan
terhadap masa lalu dan membantu mereka dalam melihat masa yang akan datang.
Artikel ilmiah ini memiliki tujuan dalam menyelidiki reaksi apa sajakah yang
dilakukan para pimpinan dalam negeri dalam usaha mencegah menyebarnya Covid-19
serta sebagai mempertimbangkan peran baru dalam menghadapi konsekuensi pandemik
Covid-19.
Pada artikel ilmiah ini, kami membahas tentang beberapa materi mengenai dampak
pemerintahan menghadapi wabah Covid-19 ini. berdasarkan literatur dan studi kasus dari
konteks internasional dan domestik. Pemahaman literatur ini kami lihat dapat digunakan
untuk bahan mengevaluasi bagi pemerintahan mengenai kompetensi yang wajib dimilik
oleh para pimpinan dalam menghadapi suatu kondisi krisis. Pada keadaan setelah ini kami
mengeksplorasi kebutuhan kepemimpinan transformasional.
Vol. 1, No. 6, pp. 451-464, June 2021
455 http://sostech.greenvest.co.id
METODE PENELITIAN
Artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif analisis.
Penulisan artikel ini menggunakan metode dengan kualitatif dikarenakan pendekatan ini
mempunyai kelebihan akan kemampuannya dalam pemahaman yang lebih mendalam,
asli atau autentik, serta mendalami fenomena mendasar yang sedang diamati. Pendekatan
metode yang dipakai adalah deskriptif analitis digunakan karena alasan informasi dan
data yang dikumpulkan menfokuskan pada masalah aktual atau fenomena dengan proses
penyusunan, pengumpulan data, mengolah data serta menarik kesimpulan. Hasil semua
dari itu berupaya dalam mendeskripsikan kondisi yang bersifat empiris dan objektif atas
fenomena keadaan masalah yang sedang diamati .untuk teknik pengumpulan data yang di
gunakan adalah memakai studi kepustakaan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemerintahan di berbagai negara dalam situasi krisis memang tidak bisa ditangani
secara mudah. Terlebih dalam pandemik Covid 19, dinamika krisis berlangsung sangat
cepat dan membutuhkan assesment yang bersifat konsisten dari hari ke hari (Florentina et
al., 2020), mengingat karakter bencana yang disebabkan pandemik ini (Lestari et al.,
2020). Situasi krisis juga dengan mudah memicu adanya ketegangan dan konflik
(Muhtadi, 2019), baik antar aktor pemerintahan maupun di setujui masyarakat. Di antara
aktor pemerintahan, potensi konflik muncul sebagai akibat dari kontestasi kepentingan
dan kewenangan, mengingat setiap aktor memiliki kepentingan yang diperjuangkan dan
kewenangan yang bisa dijalankan secara formal. Keadaan situasi seperti ini, yang sangat
dibutuhkan adalah kepemimpinan dan kelembagaan pengelolaan. Krisis yang kuat dengan
demikian berbagai lembaga dan kepentingan sektoral bisa berada di bawah satu
kepemimpinan dan kebijakan yang tunggal.
Langkah pemerintah Indonesia sebagai respon awal adalah kebijakan social
distancing (selanjutnya definisi ini diubah oleh WHO sebagai pysical distancing). Arahan
Presiden Joko Widodo, tanggal 17 Maret 2020 adalah mengurangi mobilitas orang dari
satu tempat ke tempat lain, menjaga jarak dan mengurangi kerumunan orang yang
membawa risiko besar kepada penyebaran Covid-19. Hal ini dipertegas dengan imbauan
bodily distancing dalam skala yang lebih luas. Upaya untuk pencegahan penyebaran ini
selanjutnya diperjelas dengan kebijakan belajar dari rumah, bekerja dari rumah dan
beribadah di rumah untuk mengurangi tingkat penyebaran Covid-19. Kebijakan inilah
dirangkum yang kemudian diterjemahkan dengan tagar hastage viral: #StayHome,
#WorkFromHome, #TetapDiRumah dan #DiRumahAja. Pelayanan yang diberikan
kepada masyarakat agar tetap dipertahankan, baik itu urusan mengenai pelayanan
kesehatan, kebutuhan pokok dan layanan-layanan publik lainnya. Lain halnya dengan
transportasi publik.harus tetap disediakan oleh pemerintah pusat maupun daerah, dengan
cara yang perlu diperhatikan adalah meningkatkan tingkat kebersihan moda-moda
transportasi yang digunakan serta disesuaikan dengan protokol .
Pelaksanan beberapa kebijakan pemerintah yaitu dengan membentuk satuan gugus
tugas Covid-19, pemerintah Indonesia tampak telah berusaha keras melalui Satgas Covid
19 ini dikarenakan kesigapan untuk menghadapi bencana dari aspek infrastrukur maupun
sumber daya ini ikut menjadi hambatan dalam kesiagaan menghadapi masa pandemik.
Koordinasi antara lembaga baik di tingkat level pusat ataupun daerah menjadi persoalan
yang cukup serius, pada aspek non bencana sekalipun. Presiden RI telah
menginstruksikan agar kebijakan yang mencakup nasional terkait dengan Covid-19 perlu
adanya koordinasi terlebih dahulu dengan pemerintahan pusat. Agar komunikasi
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN 2774-5147
Iwan Setiadi 456
dipermudah maka daerah harus berkonsultasi dengan pihak kementerian yang terkait
dengan Satgas Covid-19.
Poin penting dalam meminimalisir penyebaran virus ini tentunya dengan
koordinasi yang baik antara institusi atau lembaga yang memiliki tanggung jawab
penyelesaian masalah pandemik ini. Kunci utama dalam penyelesaian konflik terkait
dengan Covid-19 ini adalah koordinasi. Sistem koordinasi ini dalam perkembangannya
harus direfleksikan kedalam jumlah beberapa langkah yang strategis, walaupun dalam
melaksanakannya masih memiliki kekurangan. Refleksi dari langkah-langkah dengan
dimulainya suatu koordinasi antara institusi, lembaga, aktor dalam lembaga pemerintahan
ditunjukan dalam bentuk kebijakan merealokasi anggaran lembaga kementerian, impor
alat kesehatan, perubahan pendapatan asli daerah, dana kas daerah, serta menetapkan
Wisma Atlet Jakarta untuk rumah sakit darurat Covid-19 dan menyiapkan langkap dari
antisipasi dari dampak yang terjadi selanjutnya.
Meskipun kebijakan dan peraturan telah dibuat dan diimplementasikan, adanya
pelanggaran terhadap penerapan prinsip physical distancing telah dilaksanakan di
berbagai daerah. Ini tentunya menandakan bahwa suatu kebijakan apapun yang telah
dibuat oleh pemerintah belum bisa dapat dipercaya dengan yakin oleh beberapa
komponen masyarakat. Beredarnya informasi bersifat masif dan yang kurang terkendali
tentang penyebaran Covid-19, kemudian adanya kegagalan pemerintah memangkas
persebaran virus, hal ini menyebabkan kurang terjadinya perubahan perilaku dan sikap
yang mendasari dari elemen masyarakat, selain sifat senang berkumpul dan pola
pekerjaan mereka yang sering menghambat suatu langkah persuasif dalam menerapkan
kebijakan jaga jarak. Dalam penyelesaian penyebaran virus yang telah dikategorikan
menjadi ancaman bagi seluruh negeri, sejatinya memiliki keputusan tegas dan tepat
sasaran. Diperlukannya kebijakan dimana seluruh unsur lembaga dari berbagai unsur
sosial masyarakat yang bersifat mengikat, memaksa dan wajib dilaksanakan. Himbauan
kebijakan jaga jarak menjadi suatu upaya yang persuasi, yang proses pelaksanan berbasis
pada kesadaran individu masing-masing. Lain hal daripada ini himbaun menjaga jarak
menjadi pilihan pemerintan bukan suatu tanpa adanaya risiko. Akibat dari adanya
pembatasan dalam suatu kehidupan interaksi masyarakat ini dapat mengkhawatirkan
mengurangi produksi dan jumlah distribusi kebutuhan barang-barang mendasar dan
kegiatan-kegiatan ekonomi sehari-hari yang bernilai.
Tindakan pertama yang merupakan respon awal dari pemerintah pada bulan
Februari sampai Maret tahun 2020 telah menjadi krisis yang menunjukan kebijakan yang
dibuat pemerintah untuk mempersiapkan terjadinya krisis akibat pandemik ini tidak
berjalan dengan baik. Tata kelola penanganan krisis pandemik ini termanifestasi dalam
kebijakan itu sendiri dilaksanakan sesuai dengan tanggung jawab pemerintah yang
memiliki kewenangan. Adanya suatu konflik kewenangan yang terjadi antar lembaga, hal
ini ditandai teruma dengan tidak adanya sinkroniasi kebijakan penangangan pandemik
antara pemerintah pusat dengan daerah. Kemudian yang terjadi adanya ketidakjelasan
penanganan krisis Covid-19 dalam hal koordinasi. Penanganan pandemik ini pemerintah
sebagai pembuat kebijakan telah sering melakukan blunder dalam mengelola informasi,
yaitu terutama terkait dengan ketidakselarasan informasi yang disampaikan oleh para
pembuat kebijakan. Dengan informasi yang tidak akurat ini mengakibatkan masyarakat
kurang mendapatkan informasi yang tepat dalam penanganan krisis pandemik ini.
Refleksi dari temuan yang ada diatas dapat dilihat bahwa adanya ketidakmampuan
pejabat dalam mengelola komunikasi dan informasi publik secara benar, transparan dan
akurat di masa krisis pandemik.
Krisisnya aturan darurat Covid-19 serta dampaknya atas penanganan kebijakan
yang terjadi di Indonesia, mencerminkan secara mendalam tentang lemahnya kapasita
Vol. 1, No. 6, pp. 451-464, June 2021
457 http://sostech.greenvest.co.id
menghadapi krisis dari pemerintah, dengan bagaimana wabah ini menyebar dengan
berbagai masalah yang kompleksitas. Pengalaman yang dialami dunia untuk menghadapi
pandemik yang telah ada dan bersifat masifnya wabah ini, akan tetapi wabah Covid-19 ini
banyak hal di dalamnya yang bersifat luar biasa. Skala penyerangannya yang masif,
ancaman medis yang terjadi, serta akibat sosial ekonomi yang terjadi dalam skala
nasional maupun internasional. Karena bersifat luar biasa, mengingat dari situasi ini
belum terdapat literatur yang dapat menerangkan bagaimana negara termasuk juga
Indonesia, krisis kebijakan ini menghantui dalam penanganan Covid-19 ini.
Untuk menghasilkan analisa situasi krisis ini yang akurat tentunya diperlukan
pengetahuan serta keterampilan analitis kondisi krisis yang cukup memadai, kemudian
politik kepemimpinan harus berani menanggung risiko yang diambil dengan waspada
terhadap segala kemungkinan kejadian yang terjadi. Berhasilnya kebijakan krisis
manajemen ini memerlukan urgensi, pemikiran strategis dan kreatif, kepastian untuk
bersikap jujur dalam kegiatan, berani mengambil risiko untuk mencapai hal yang optimal
dan waspada terhadap situasi krisis yang dinamikanya berubah dengan cepat.
Bentuk kebijakan dalam kondisi krisis yang terjadi ini, menjelaskan kebijakan
krisis manajemen dalam penanganan Covid-19 yang terjadi di Indonesia yang mungkin
belum bisa menjelaskan sepenuhnya. Akan tetapi, meminjam kerangka di atas, krisis
manajemen kebijakan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
Yang pertama, tidak adanya urgensi yang darurat ketika wabah Covid-19 ini
menyebar, mulai dari Wuhan hingga menuju ke sejumlah negara pada berbagai belahan
dunia manapun. Kondisi yang krisis ini menunjukan lemahnya penanganan pada kondisi
darurat. Pejabat publik Indonesia mengabaikan kemungkian akan menyebar ke Indonesia
dengan cepat sampai ke Indonesia. Pengabaian dari sikap pemerintah dengan tidak
adanya diagnosa atas permasalah krisis ini terjadi secara mungkin. Akhirnya,
pengumuman kejadian kasus pertama pada tanggal 2 Maret 2020, antisipasi yang tidak
ada apapun dianggap untuk keperluan dalam mencegah penyebaran virus di Indonesia
tidak ada dilakukan. Kemudian negara Indonesia menghadapi cepat menyebarnya virus
Covid-19 ini dengan tidak ada kesiapan dan kebijakan untuk mengatasi situasi yang krisis
ini. Kurangnya fasilitas dasar dan kondisi tidak adanya panduan masyarakat dan
penerapan protokol kesehatan yang terlambat memperlihatkan ketidak siap siagaan
pemerintah Indonesia.
Kedua, kurangnya ketidapercayaan akan ilmu pengetahuan yang menjadi fondasi
peraturan di antara para pejabat publik. Kompilasi pengetahuan atas pandemik sejak
kasus Covid-19 terjadi ini sudah terakumulasi, dari mulai tentang karakter virus ataupun
praktik dari berbagai cara menangani virus ini dari beberapa negara. WHO, sebagai
Badan Organisasi Internasional yang menangani kesehatan, telah mempublikasikan
beberapa pedoman dan laporan untuk menangani virus ini. Prediksi secara spesifik pada
penyeberan yang kemungkinannya terjadi pada bulan Februari 2020 lalu. Akan tetapi, hal
yang mengejutkan adalah pejabat pemerintah memberi tanggapan yang malah
mengabaikan analisis secara ilmiah dan pengetahuan yang telah terakumulasi di atas dan
responnya bahkan dengan sikap cenderung menunjukkan kemarahan. Ketika infeksi virus
belum ditemukan, para pemangku kepentingan yaitu pemerintah kepercayaan diri yang
ditunjukan dalam pernyataan yang digunakan tidak ada yang berbasis pada analisis
keilmuan dan data pengetahuan yang relevan dengan wabah Covid-19 ini. Abainya
terhadap data pengetahuan ilmiah ini memberi sumbangan yang sangat besar akibat
munculnya penanganan kebijakan pendemi yang telah terlaksana.
Ketiga, pemerintah mengalami keraguan dalam memutuskan kebijakan dasar untuk
mencegah tersebar Covid-19 ini. Keempat, tidak adanya koordinasi serta sinergi dari
suatu peraturan pada waktu periode kondisi krisis. Terlepas bagaimana sistem atau
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN 2774-5147
Iwan Setiadi 458
struktur pemerintahan serta kontestasi politik yang terjadi antar aktor, penanganan
kebijakan situasi krisis Covid-19 memerlukan sinergi serta koordinasi yang kuat antar
lembaga dan aktor dalam pemerintahan. Setidaknya antara pada akhir bulan Maret tahun
2020 lalu, koordinasi dengan sinergi yang menjadi kunci terhadap suksesnya penanganan
kondisi krisis yang masih sangat lemah ini.
Krisis kebijakan yang terjadi ini memberikan dampak serius dalam penangangan
pandemik yang efektif. Fakta penyebaran dapat terlihat pada penyebaran virus ini yang
semakin meluas hingga keseluruh wilayah yang ada di negara Indonesia, terus
bertambahnya jumlah pasien positif secara signifikan setiap harinya. Keberhasilan yang
menjadi ukuran dasar penanganan kebijakan pandemik adalah tidak ada tersebar secara
lebih jelas dan berkurangnya secara fatalitas. Unsur pokok yang tidak terpenuhi
menunjukkan kegagalan kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Krisisnya manajemen kebijakan ini berdampak pada rasa kepercayaan dari
masyarakat kepada pemerintahan. Inisiatif ynag kuat dari masyarakat dalam merespon
situasi krisis dalam kondisi tertentu memang adanya solidaritas yang kuat dari berbagai
kelompok, tetapi pada lain sisi menjadi bom waktu akan ketidakpercayaan atas
ketidakyakinan rakyat takan kepemimpinan dalam menangani pandemik ini dari pihak
pemerintahan sehingga memberikan dampak ekonomi dan sosial. Apabila tidak terkelola
dengan baik, maka kondisi krisis akibat Covid-19 ini dapat memicu terjadinya krisis
kepemimpinan bahkan dapat juga terjadi krisis secara politik. Yang terakhir, apabila
krisis kebijakan ini akan terus berlangsung, dangan dampak ekonomi sosial dan bahkan
politik. Keadaannya akan membawa pada konsekuensi dalam pemulihan pada masa pasca
krisis yang tentunya akan membutuhkan waktu yang cukup lama, serta pembiayaan yang
juga tidak sedikit.
Covid-19 menjadi permasalahan yang dihadapi seluruh negara di dunia, tidak
terkecuali di Indonesia. Masyarakat Indonesia dihebohkan dengan pengumuman resmi
pemerintah tentang pasien pertama yang terinfeksi Covid-19. Beberapa hari kemudian,
pemerintah daerah baik di level provinsi maupun kabupaten/kota secara gamblang
mengeluarkan beberapa inisiatif dalam merespons pandemik Covid-19. Sejumlah daerah
menutup sebagian akses masuk dan keluar ke wilayahnya baik akses melalui darat, laut,
bahkan udara. Tentu dalam skema distribusi kekuasaan pusat daerah sejak lebih dari satu
dekade ini bisa saja dijelaskan dengan norma konstitusi yang paling sederhana yaitu
pemikiran dekonsentrasi di level provinsi dan desentralisasi bagi kabupaten atau kota.
Bentuk komunikasi dari kebijakan publik yang dibentuk oleh para kepada daerah
ini tentunya berbeda respon dalam menghadapi pandemik Covid-19 di daerah masing-
masing. Hal pertama dalam meletakkan upaya kebijakan dari sistem pemerintahan yang
ada di Indonesia, pemerintahan daerah sebagai suatu lembaga institusi negara yang
memiliki relasi dengan berbagai institusi lain entah itu dari pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah tetangganya. Konsep kepemimpinan seperti ini menjadi suatu pintu
masuk dalam bekerjanya fondasi yang normatif dalam kewenangan kepala daerah yang
sudah diatur dalam kelembagaan negara. Kepemimpinan menjadi pembahasan yang
penting dalam memahami kepada daerah atas respon yang berberda-beda antara lembaga
satu dengan lembaga lainnya dalam menangain Covid-19 ini.
Tipe kepemimpinan dan model kelembagaan sudah bekerja pada akhirnya
memiliki suatu implikasi pada sumber daya yang ada pada pemerintah yang
terdistribusikan di daerah dalam kondisi yang krisis. Karakteristik dan sifat pandemik dari
Covid-19 pada sisi lain menjadi sebuah krisis yang baru terjadi di Indonesia. Penyakit
menular menjadi kondisi krisis masif ini seperti bukan kegagalan yang di alami akibat
dari ulah manusia, misalnya kebakaran atau kecelakan maupun bencana lainnya yang
diakibatkan secara alamiah contohnya banjir dimana wilayah administrasi yang jelas dan
Vol. 1, No. 6, pp. 451-464, June 2021
459 http://sostech.greenvest.co.id
lokasinya jelas terlihat. Sebagai negara kesatuan, sistem dan struktur dari kelembagaan di
Indonesia terdapat beberapa tingkatan hirarkis sebagai lembaga negara dari pemerintah
pusat hingga pemerintahan desa atau kelurahan. Beberapa daerah menerapan unit
kelurahan atau desa memiliki variasi berbeda dalam menetapkan sumber daya hingga
sampai pada institusi tingkat desa dan kelurahan.
Implikasi model kelembagaan pada versi kepemimpinan sedikit memberi pengaruh
di setiap daerah kerja administrasi. Konteks politik kepemimpinan klasik yang masih
relevan sekarang ini yaitu identifikasi aspek penjelasan kepemimpinan, yaitu kekuatan
asal-usul pemimpin, usaha yang dilaksanakan para pemimpin, kelembagaan pembantu
para pemimpin beserta instrumennya, lingkungan karakteristik di dalam otoritas
dijalankannya. Jika menderivasi ini disetujui secara privat, maka ada beberapa komponen
privat yang dapat menilai kondisi politik kepemimpinan (Brouer et al., 2016). Secara
singkatnya adalah suatu kemampuan dalam melihat atau membaca kondisi dari
lingkungan, kemampuan tata kelola jaringan, mampu memengaruhi pihak lain, serta
memiliki kapasitas untuk berbuat jujur dan tulus. Keadaan kondisi krisis yang kompleks
dan karakteristik krisis yang bermacam-macam pada pandemik ini hingga melewati batas
lintas sosial, lintas wilayah dan melihat perilaku yang dibutuhkan manusia.
Meskipun demikian ekspektasi mengingatkan bahwa dengan lebih dikenali para
pemimpin apabila meletakkan keselamatan warganya sebagai yang utama, dari riset
penelitian yang menunjukkan bahwa para pemimpin publik malah mempertimbangkan
biaya politik daripada kepentingan ekonomi kesejahteraan masyarakat dalam membuat
penetapan kebijakan. Kepala daerah yang ada di Indonesia ketika menghadapi situasi
kondisi krisis dalam pembuatan kebijakan dari konteks tingkatan kelembagaan
menggunakan perspektif kepemimpinan. Yang pertama petimbangan keputusan politik
dari para kepala daerah serta ketertiban suatu administrasi kebijakan dalam menentukan
aturan yang akan di keluarkan perlu sebuah eksplorasi.
Beberapa pemerintah provinsi sebagian sudah mendeklarasikan secara tegas
dimana batas wilayah administrasi mereka dengan menutup akses keluar dan masuk,
mereka membuat kebijakan ini tanpa ada perintah dari pemerintahan pusat. Perilaku
normatif ini memiliki pemikiran yang terdekonsentrasi. Ketika pemerintah provinsi
maupun pusat dan dilain pihak yaitu pemerintah kabupaten atau kota mereka tidak
banyak yang menunggu perintah dari pusat. Dengan prinsip desentralisasi dimana
pemerintah memiliki kekuasaan otonomi daerah yang memiliki kewenangan sendiri
dalam mengatur daerahnya. Sehingga pemerintah provinsi maupun kabupaten atau kota
dapat memiliki intervensi dan inisiatif sendiri untuk merespon kebijakan mencegah virus
Covid-19.
Terdapat dua versi peraturan kebijakan yang sangat universal dan menjadi sangat
krusial dalam mendiskusikan perihal kepemimpinan dan sistem kelembagaan pimpinan
kepala daerah. Kejadian sepanjang bulan Maret 2020 terdapat respon yang dikeluarkan
oleh pemerintahan daerah dari wilayah provinsi ataupun kabupaten dan kota. Respon
pertama sesuatu yang paling sering muncul dari pemerintah daerah provinsi dan
kabupaten atau kota dengan melakukan penutupan akses ke daerah lain. Pada tingkatan
daerah provinsi menutup akses berbagai jalur transportasi darat dari batas provinsi, laut
dengan pelabuhannya, ataupun udara yaitu di bandar udara sebagian telah menutup
aksesnya atau mengurangi penerbangan mereka. Sedangkan penutupan akses di daerah
kabupaten atau kota mereka membangun pembatas pada areal wilayah administrasinya
untuk mendirikan pos pengecakan masyarakat yang akan keluar masuk wilayah. Yang
kedua, penutupan pelayanan kantor adminsitrasi dalam jangkauan pemerintah daerah
provinsi, kabupaten maupun kota. Mereka membatasi sistem kerja mereka dengan
memberlakukan kegiatan belajar serta bekerja dari rumah.
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN 2774-5147
Iwan Setiadi 460
Sesuatu yang perlu disadari respon kepala daerah yang dikeluarkan sebelum
pemerintah pusat membuat kebijakan bahwa pembatasan sosial dalam skala besar yang di
tetapkan melalui Peraturan Presiden pada bulan April 2020. Pemerintah Pusat yang sudah
diketahui yang praktis baru saja hadir pada akhir bulan Maret saat presiden mengeluarkan
aturan kebijakan Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial
Berskala Besar dan disaat yang sama membuat Keputusan Presiden Nomor 11/2020
tentang Penetapan darurat Kesehatan Masyarakat Covid-19. Pemerintah pusat secara
singkatnya telah melakukan karantina secara wilayah provinsi saat periode bulan Maret
tetapi ada banyak pimpinan daerah bahkan menetapkan untuk memilih karantina ataupun
lockdown untuk aturan menutup akses keluar masuk daerah lain serta menutup lembaga
publik terutama institusi pendidikan. Yang artinya, pemerintah pada level provinsi
ataupun kabupaten dan kota mereka memilih keputusan sendiri dalam memberlakukan
kebijakan ini.
Dalam keadaan krisis, bahwa pelatihan pada tingkat otonomi di level provinsi
dapat dipelajari oleh kepala daerah, kewenagan yang bersifat pasif dalam aturan
kebijakan dengan tingkat fleksibilitas yang mengalami kelonggaran sangat beragam.
Gubernur sebagai kepala daerah provinsi lebih taat kepada keputusan dari pusat kita
bayangkan dalam sistem dekonsentrasi memiliki cara kerjanya sendiri yang mana
kewenangannya ada batas wilayah yang kasat mata, seperti contohnya Daerah Khusus
Ibukota Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan Barat. Pimpinan Daerah dapat dibayangkan
memiliki otonomi yang lebih luas, kondisi krisis yang seperti ini memiliki intervensi dari
pemerintahan provinsi, yang dapat kita lihat pada kondisi yang terjadi pada walikota
Tegal atas karantina wilayah mendapat respon Gubernur Jawa Tengah. Adanya respon
kebijakan diberbagai daerah itu dari provinsi ataupun kabupaten terhadap kebijakan yang
dibuat ini menjelaskan bahwa tingkat krisis pada pandemik ini dapat dilihat dengan
jumlah pasien positif yang ada di daerah tersebut yang mana ini tidak menjelaskan krisis
manajemen kepala daerah.
Surakarta merupakan kota pertama yang mempublikasikan peraturan tegas dalam
mengatasi krisis pandemik Covid-19. Walikota Solo F.X Hadi Rudyatmo menetapkan
Solo dalam keadaan status Kejadian Luar Biasa. Setelah kejadian seorang warga
meninggal dunia kemudian menyatakan terkontaminasi positif Covid-19 ditetapkan kan
Solo menjadi status Kejadian luar biasa ini. Setelah penetapan Kejadian Luar Biasa ini
dilanjutkan dengan menutup tempat destinasi wisata, menutup kegiatan sekolah,
pembatasan kunjungan kerja serta dan lainnya. Dalam kesempatan wawancara dengan
media, Walikota Hadi mennyatakan Mau dibilang lockdown boleh, kalau dilaksanakan
salah, tidak dilakukan juga salah, saya disalahkan orang waras (sehat) daripada
disalahkan.
Secara formal dengan memakai istilah kejadian luar biasa, meski bukan dengan
cara lockdown (Nur & Marzuki, 2020), walikota Hadi dengan aturan kebijakannya ini
menjelaskan secara tegas sikapnya dengan cepat dalam kondisi krisis ini. Komunikasi
aturan kebijakan ini di informasikan melalui akun media sosial dari pemerintah kota Solo
(contonya aku IG @pemkotsurakarta), peratuan kebijakan walikota Solo ini dengan cepat
menjadi kebijakan yang popular pada saat pemerintahan pusat belum menentukan sikap
terhadap kasus yang melanda di Solo maupun Indonesia.
Ketika Solo menetapkan kejadian luar biasa, berbeda dengan kota Tegal yang
melakukan untuk menerapkan peraturan lockdown melalui walikota Tegal Dedy
Supriyono pada tanggal 25 Maret 2020, dikarenakan kota Tegal menjadi daerah yang
siaga darurat menjadi daerah dengan zona merah kasus pasien terinfeksi Covid 19. Dalam
sebuah konferensi pers media, walikota Tegal menerangkan kebijakan dalam menutup
akses keluar masuk kota dengan beton ini sebagai bentuk tanggung jawab dalam
Vol. 1, No. 6, pp. 451-464, June 2021
461 http://sostech.greenvest.co.id
mengurangi penyebaran virus.kebijakan ini di mulai pada 30 Maret hingga 30 Juli 2020.
Sikap dari walikota ini menjelasakan sebuah ketegasan tanpa menunggu perintah dari
pemerintah pusat ataupun provinsi. Untuk bantuan sosial dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat kota Tegal, dengan mempersiapkan metode bantuan tersendiri bagi warga
yang mempunyai penghasilan rendah. Aturan ini ditetapakan, setelah satu orang positif
Covid-19 dan satu orang PDP meninggal dunia di kota Tegal.
Keputusan melakukan lockdown dari walikota Tegal ini membuat perhatian
langsung dari Gubernur dan Pemerintah Pusat. Sejak tiga hari penetapan lockdown,
Walikota Dedy mengganti istilah resmi mereka dari lockdown ke dalam sebutan isolasi
wilayah. Arahan berubahnya ini berasal dari Gubernur Jawa Tengah yaitu Ganjar
Pranowo. Yang mana kebijaka terkait dengan lockdown pimpinan daerah dari tingkat
kabupaten maupun kota untuk menyelaraskan kebijakan dari pemerintah pusat dalam
meningkat sosialiasi tentang physical distancing. Dengan lebih jelas lagi, bahwa isolasi
daerah ini untuk membatasi akses pada jalan masuk ke kota Tegal. Adanya suatu
intervensi dari gubernur dalam kondisi ini menjelasakn bahwa Ganjar sebagai pimpinan
daerah provinsi memberitahukan bahwa kota tegal masih wilayah yang menjadi kawasan
Jawa Tengah yang berada dibawah kendali Gubernur Jawa Tengah.
.Kejadian berbeda terjadi pada Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 16 Maret 2020,
daerah wisata dalam kawasan Yogyakarta masih tetap buka walaupun satu orang telah
terkonfirmasi positif Covid-19. Keputusan ini di ambil adalah yang dipilih oleh
pemerintah Yogyakarta lebih mengutamakan lingkungan yang bersih serta menerapkan
kebijakan slow down dan calm down. Sejak kasus pertama positif Covid-19, pemerintah
melalui Gubernur DIY , Sri Sultan Hamengku Buwono X pada tanggal 23 Maret 2020
yaitu kebijakan yang telah dipilih hanya untuk meredam penyebaran virus saja, namun
beberapa pihak menginginkan agar Yogyakarta untuk di lockdown saja. Sementara untuk
daerah lain, aturan lockdown ini belum dapat diterapkan karena adanya ketidak cocokan
dengan aturan pemerintah pusat.
Berbeda dengan yang terjadi di Provinsi Kalbar, pimpinan provinsi melalui
gubernur Sutarmidji mempunyai penalaran beda dalam memberikan penjelasan terhadap
kuasanya pada wilayah di tengah kondisi pandemik. Pada 15 Maret melalui konferensi
persnya menyatakan bahwa, “Masyarakat Kalimantan Barat silahkan terbang ke mana
saja, akan tetapi jangan pulang kondisi ini mengungkapan bahwa himbauan untuk
masyarakat agar mereka jangan bepergian ke luar negeri diabaikan warganya. Sejak saat
itu di sampaikanlah bahwa satu orang pasien yang telah di rawat di Rumah Sakit Umum
Daerah Soedarso, Kota Pontianak dinyakatan positif Covid-19, dan duga tertular virus
saat pergi keluar negeri. Dengan pernyataan persnya, Gubernur menjelaskan suatu
kepemimpinan yang berani dan tegas sekaligus sedikit mengancam. Kebijakan gubernur
ini pada prakteknya tidak hanya melarang masyarakatnya untuk pulang dari luar negeri,
akan tetapi hanya diberlakun karantina bagi mereka yang dating dari luar negeri.
Peraturan lain ke masyarakat yang diterapkan di Daerah Khusuus Ibukota Jakarta,
yakni dengan menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Apabila
sebelumnya kebijakan .di.Jakarta menerapkanaturankarantina wilayah yang sifatnya
masih himbauan, PSBB ini mempunyai aturan lebih ketat karena ada aturan melalui
Peraturan Gubernur. Peraturan Gubernur ini mengarahkan segala aturan hal terkait
aktivitas yang ada di Jakarta, seperti aktivitas keagamaan, perekonomian budaya, sosial,
hingga pendidikan. Kebijakan dari gubernur ini juga berlaku bagi semua warga Jakarta
(terkecuali mereka yang bekerja pada sektor yang dikecualikan), agar tetap tinggal di
rumah dan mengurangi kegiatan yang ada di luar rumah paling lama selama dua minggu.
Aturan kebijakan ini diterapkan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies untuk menjelaskan
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN 2774-5147
Iwan Setiadi 462
bahwa kendali penuh yang mengatur masyarakat Jakarta tidak bertentangan dengan
peraturan pemerintah pusat.
Kebijakan dari para kepala daerah baik Gubernur atau Bupati/Walikota yang
sampai ke masyarakat melalui media di tengah penghapusan pembatasan sosial
menjelaskan suatu kecenderungan bahwa kepala daerah tetap menjadi sorotan utama. Hal
ini dipahami dengan baik oleh beberapa kepala daerah untuk meningkatkan citra diri
dengan gaya kepemimpinannya yang khas. Ada beberapa media yang misalnya berusaha
utnuk mengangkat wacana tentang kepala-kepala daerah yang dianggap berhasil dalam
merespons pandemik virus Covid-19 ini. Administrasi Jawa Barat di bawah pimpinan
Ridwan Kamil misalnya, dinyatakan .kurang berhasil. dalam. membangun komitmen
masyarakat dan transparansi. Dalam sistem kelembagaan dan potret. Dari komunikasi
publik kepala daerah ini menunjukkan bagaimana peran actor komunikasi publik dalam
kelembagaan pemerintah daerah seperti hubungan masyarakat (humas) sangat bergantung
pada sosok individu yaitu pimpinan. Sedangkan dalam saluran media, komunikasi publik
kepala daerah masih bergantung tinggi pada media masa siaran pers daripada peningkatan
pada saluran media sendiri seperti media sosial.
Kondisi lingkungan bumi krisis akibat pandemik memerlukan pengambilan
kebijakan dan mengimplementasinya dengan segera. Sisman, M.Turan, S menyatakan
bahwa manajemen krisis ini memberikan sesuatu yang dibutuhkan pemimpin yang
mempunyai visi. Pemimpin visioner memliki pandangan yang mengarah pada visi ke
masa yang akan datang, memotivasi bawahan untuk mewujudkan kebijakan untuk
menekan kasus pandemik ini dan identifikasi visi dan tujuan yang realistis untuk masa
depan organisasi pemimpin yang mana memiliki pandangan jauh ke depan serta yang
memiliki visi dapat memotivasi potensi staf mereka dengan baik dan meyakinkan bahwa
mereka dapat melakukan kebijakan yang lebih baik dari apa yang telah mereka lakukan.
Beban signifikan terkait dengan manajemen yang krisis adalah kenyataan bahwa
beberapa pemimpin lebih suka berpegang pada aturan kebijakan. Karena mereka ingin
melihat semua tindakan dan operasi mereka dinyatakan sesuai dalam Undang-Undang
mereka tidak dapat mengambil keputusan segera dalam peristiwa yang tidak terduga. Ini
memengaruhi manajemen organisasi secara negatif. Dengan demikian, pimpinan yang
mempunyai visi segera bertindak setelah memahami indikator krisis dan memandu
anggota dan tim.
Masa pandemik yang terus berlangsung sejak saat ini mengakibatkan kenaikan
jumlah korban positif Covid-19, sehingga muncul berbagai respon dari banyak kota di
dunia dengan mengeluarkan sejumlah kebijakan yang berhubungan dengan penanganan
pandemik Covid-19 di daerah masing-masing. Di saat kondisi pandemik sekarang ini,
orang pertama yang dijadikan harapan bagi publik adalah seorang pemimpin. Sosok
pemimpin yang diharapkan bisa mengetahui bagaimana mengambil keputusan tepat
dalam penyelesaian masalah pandemik sedang dialami.
Masa krisis pandemik seperti ini, para pemimpin sebenarnya berkesempatan untuk
meningkatkan kelayakannya sebagai pemimpin dalam menghadapi kondisi krisis yang
sedang berlangsung. Hal tersebut dikarenakan dalam menghadapi pandemik ini,
pemimpin. Akan dihadapkan oleh banyak tekanan dari berbagai pihak, sehingga
pimpinan melaksanakan kebijakan yang memberikan pengaruh mau tidak mau di asah
kemampuannya dalam menghadapi hal-hal situasi krisis saat ini. Mereka di harapkan
mengeluarkan kebijakan yang tepat agar dapat mengurangi jumlah angka jumlah pasien
positif Covid-19 ini.
Penanganan pandemic dari sisi pemerintah lemahnya komunikasi dan koordinasi
yang semakin mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam
menghadapi infeksi virus yang tidak terlihat ini. Bukan hanya soal konsistensi dalam
Vol. 1, No. 6, pp. 451-464, June 2021
463 http://sostech.greenvest.co.id
pernyataan, tetapi juga telah terjadi tumpang tindih informasi dalam pemberlakukan
kebijakan lockdown di tingkat daerah walaupun Presiden menyatakan bahwa kebijakan
tersebut adalah kewenangan pemerintah pusat.
Para pemimpin pada kondisi krisis seperti harus mampu mengambil keputusan,
serta mengoperasikan tindakan dalam bentuk kebijakan yang mereka buat. Dalam
keadaan krisis seperti ini orang tentunya membutuhkan pemimpin yang kuat, percaya diri
dan mudah diajak komunikasi. Para pemimpin harus mampu mereka harus dapat
merestrukturisasi organisasi dan mengadopsinya dengan keadaan lingkungan yang
berubah, serta mengatasi keadaan krisis di mana terdapat lingkungan mereka terjadi
kekacauan dalam organisasi. Jadi dapat disimpulkan bahwa, pemimpin memiliki peran
yang penting dalam kondisi saat in. Dengan demikian, perlu mempelajari karakteristik
seorang pemimpin dalam manajemen menghadapi pandemik saat ini. Dari kasus Covid-
19, akan terlihat siapa pemimpin yang berkompeten dan siapa yang tidak berkompeten.
KESIMPULAN
Pemerintah.Indonesia.dalam.menghadapi krisis aturan dan kebijakan dalam
penanganan pandemik Covid-19, pada saat awal muncuny kasus. Awal tidak adanya
respon cepat untuk mempersiapkan diri sebagai masa awal tanggap darurat menghadapi
pandemi. Dengan melihat kerangka pemikiran analisis (Farazmand, 2001) krisisnya
kepemimpinan yang lemah, tidak adanya kebijakan yang dominan, kurangnya koordinasi
dan sinergi antar aktor administrasi, krisis aturan dan kebijakan ini dapat terindikasi dari
kuatnya sikap pengabaian seorang pejabat publik atas ancaman dari pandemic ini, serta
munculnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Sejumlah perbaikan
memang telah dilakukan oleh pemerintah dalam kebijakan untuk mengelola krisis secara
lebih baik, namun kegagalan dalam respons awal telah menjadikan penanganan pandemik
Covid-19 akan menjadi lebih sulit. Serta seiring dengan mulai munculnya dampak-
dampak sosial-ekonomi yang memperburuk kehidupan warga negara, beberapa. langkah
perbaikan kebijakan yang bersifat mendasar sangat perlu dilakukan. Sebagaimana yang
telah terjadi dibanyak kondisi krisis, kegagalan kebijakan dalam pengelolaan krisis dan
dampak yang ditimbulkannya bukan hanya berujung pada hilangnya legitimasi
kepemimpinan politik.
Berdasarkan penjelasan pembahasan di atas terdapat beberapa hal bersifat taktis
untuk jangka pendek atau secara strategis jangka panjang dapat digunakan sebagai
rekomendasi suatu kebijakan untuk pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat
secara umum. Pertama, untuk pemerintah daerah mulai di tingkat kabupaten dan kota
untuk segera melembagakan kolaborasi antar daerah seperti Forkompimda yang dipimpin
oleh pemerintah provinsi sebagai penengah. Pelembagaan pada level provinsi yang
dipimpin langsung pemerintah pusat juga penting sehingga menciptakan interkonektivitas
penduduk dan mobilitas warga dapat terkelola dengan baik.
Kedua, selain dengan desain kelembagaan pada titik krusial sebagai koordinasi
lintas yurisdiksi di atas, peratuan dalam paket kebijakan dan keputusan politik yang
berbasis informasi menjadi penting dalam bentuk kepemimpinan di daerah. Kemajuan
suatu teknologi yang mampu menangkap preferensi spesifik perihal masalah valensi
seperti keamanan dan kesehatan, misalnya melalui large information investigation
(investigasi secara besar-besaran), penting sebagai upaya mengakselerasi mekanisme
base up (mendasar) dalam hitungan menit. Pelatihan atas information menjadi pintu
masuk dalam memastikan apakah retorika kebijakan yang disampaikan oleh kepala
daerah benar-benar merepresentasikan substansi kebijakan yang sesungguhnya.
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN 2774-5147
Iwan Setiadi 464
BIBLIOGRAPHY
Abboah-Offei, M., Salifu, Y., Adewale, B., Bayuo, J., Ofosu-Poku, R., & Opare-Lokko, E. B.
A. (2021). A rapid review of the use of face mask in preventing the spread of COVID-
19. International Journal of Nursing Studies Advances, 3, 100013.
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.ijnsa.2020.100013
Azmi, M. (2020). Covid-19, Media Sosial dan Moderasi Beragama di Indonesia. In Kampus
Merdeka Seri 1: Menilik Kesiapan Teknologi Dalam Sistem Kampus. Syiah Kuala
University Press.
Brouer, R. L., Chiu, C.-Y. C., & Wang, L. (2016). Political skill dimensions and
transformational leadership in China. Journal of Managerial Psychology, 31(6), 1040
1056.
Farazmand, A. (2001). Handbook of crisis and emergency management. CRC Press.
Firdaus, A., & Pakpahan, R. H. (2020). Kebijakan Hukum Pidana Sebagai Upaya
Penanggulangan Kedaruratan Covid-19. Majalah Hukum Nasional, 50(2), 201219.
Florentina, I. E., Wibowo, A. J., Hoesodo, T. S. B., Murti, S., & Tangkas, A. (2020). Media,
Komunikasi dan Krisis Covid-19. Penerbit Lembaga Pendidikan Sukarno Pressindo
(LPSP).
Jun, S.-P., Yoo, H. S., & Lee, J.-S. (2021). The impact of the pandemic declaration on public
awareness and behavior: Focusing on COVID-19 google searches. Technological
Forecasting and Social Change, 166, 120592.
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.techfore.2021.120592
Khoerunisa, N., & Noorikhsan, F. F. (2021). Perbandingan Tata Kelola Penanganan Pandemi
Covid 19 di Indonesia dan India. Journal of Political Issues, 2(2), 89101.
Lestari, Y., Pairin, U., & Hasan, L. N. (2020). Pengembangan Handmade Masker Untuk
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Gresik Menghadapi Pandemi Covid-19.
SOEROPATI, 3(1), 2738.
Limbong, M., Ali, S., Rabbani, R., & Syafitri, E. (2020). Pola Interaksi Guru dan Orang Tua
dalam Mengendalikan Emosional Siswa Selama Pembelajaran Daring di MTs Islamiyah
Medan. THORIQOTUNA: Jurnal Pendidikan Islam, 3(1), 4455.
Muhtadi, A. S. (2019). Komunikasi Lintas Agama: Mencari Solusi Konflik Agama.
Conference Proceeding ICONIMAD, 275.
Nur, M. I., & Marzuki, I. (2020). Evaluasi Pendidikan Nasional Era Pandemi Bersandar Pada
Chaos Theory. Jurnal Kajian Islam Dan Pendidikan Tadarus Tarbawy, 2(2).
Ristyawati, A. (2020). Efektifitas Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Masa
Pandemi Corona Virus 2019 Oleh Pemerintah Sesuai Amanat UUD NRI Tahun 1945.
Administrative Law & Governance Journal, 3(2), 240249.
Soewardini, H. M. D., Lestari, R., Chamidah, D., Tya, F. W. R., Giri, K. R. P., Ramadhana,
N., Andriyani, W., Suprayitno, A., Mardani, D. A., & Mochdar, D. F. (2021). Kajian
Lintas Perspektif Ilmu Tentang Pandemi Covid-19. Penerbit Qiara Media.
Sumandiyar, A., & Nur, H. (2020). Membangun Hubungan Sosial Masyarakat di Tengah
Pandemi Covid-19 di Kota Makassar. Prosiding Nasional Covid-19, 7481.
Valerisha, A., & Putra, M. A. (2020). Pandemi Global COVID-19 dan Problematika Negara-
Bangsa: Transparansi Data Sebagai Vaksin Socio-digital? Jurnal Ilmiah Hubungan
Internasional, 131137.
Wua, C. J., Sambiran, S., & Lapian, M. T. (2021). Kepemimpinan Hukum Tua dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Dimasa Pandemi Covid-19 (Suatu Studi di Desa Tokin
Kecamatan Motoling Timur). Jurnal Eksekutif, 1(1).
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International Licensed
Vol. 1, No. 6, pp. 451-464, June 2021
463 http://sostech.greenvest.co.id