Vol. 1, No. 8, pp. 778-784, August 2021
780 http://sostech.greenvest.co.id
dengan SMA umum, yaitu sebanyak 14 jam pelajaran dari 38 atau 39 jam pembelajaran
setiap pekannya, atau sekitar 36,84% dari keseluruhan mata pelajaran yang diberikan.
Sekolah tidak hanya mengajarkan berbagai macam pelajaran kepada siswa
(Widodo, 2019) tetapi juga mendidik siswa dengan pendidikan budi pekerti yang telah
dirumuskan ke dalam seluruh mata pelajaran yang relevan (Lestari & Irawan, 2017),
terutama mata pelajaran agama dan kewarganegaraan (Srimulyani, 2012). Faktanya kasus
kekerasan antar pelajar di Jabodetabek semakin mengkhawatirkan. Hal itu terlihat jelas
dari meningkatnya angka tawuran pelajar sepanjang tahun 2012. Komisi Nasional
Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat hingga 25 Desember 2012 telah terjadi
sebanyak 147 kasus tawuran di Jabodetabek yang menewaskan 82 pelajar. Sekitar 95%
kasus terjadi di Jakarta. Angka ini meningkat dibanding tahun 2011 yang hanya terjadi
128 kasus tawuran dan menewaskan 30 pelajar.
Tercatat nama beberapa sekolah di Jakarta yang sering melakukan tawuran, yaitu
SMAN 46, SMAN 70 Bulungan, SMAN 6, SMA PSKD, SMAN 47, SMAN 74, STM
Purnama mandiri, STM Soeboed, STM Camp Java, STM Triguna, STM Laoet, STM
Boedoet 145 Pusat, STM Bonjer, STM Kapal dan STM 57. Menurut nama-nama sekolah
di atas tidak ada satupun sekolah berbasis agama yang tercatat sebagai sekolah langganan
tawuran. Terlepas dari berbasis agama atau umum, sekolah selalu melihat kemampuan
siswa melalui kecerdasan intelektual (intelligence quotient) yang merupakan kemampuan
untuk mengarahkan pikiran atau tindakan, bertindak dengan tujuan tertentu, berpikir
rasional, menghadapi lingkungan dengan efektif, selain itu, dalam mengorganisasikan
pola-pola tingkah laku seseorang sehingga dapat bertindak lebih efektif dan lebih tepat.
Pengaruh IQ hanyalah sebesar 20% saja, sedangkan 80% dipengaruhi oleh faktor
lain termasuk di dalamnya adalah kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual
(SQ). Sehingga, dengan kata lain IQ dapat dikatakan gagal dalam menerangkan atau
berpengaruh terhadap kesuksesan seseorang. IQ merupakan hasil pengorganisasian saraf
yang memungkinkan seseorang untuk berpikir rasional logis dan taat asas, sedangkan EQ
(Emotional Quotient) merupakan kemampuan merasakan, memahami dan secara aktif
menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan
pengaruh yang manusiawi, dengan EQ memungkinkan seseorang berpikir asosiatif yang
terbentuk oleh kebiasaan dan kemampuan. EQ seseorang dapat merasakan perasaan orang
lain, berempati, haru, serta kemampuan lain untuk dapat merespon secara tepat terhadap
kesedihan dan kebahagiaan.
Selain itu, SQ (Spiritual Quotient) memungkinkan seseorang untuk berpikir kreatif,
berwawasan jauh membuat dan bahkan mengubah aturan. Oleh karena itu, SQ merupakan
landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif dan merupakan
jenis pemikiran yang memungkinkan seseorang untuk menata ulang dan
mentransformasikan dua jenis pemikiran yang dihasilkan oleh IQ ataupun oleh EQ.
Secara singkat SQ mampu mengintegrasikan dua kemampuan lain (EQ dan IQ), hal
tersebut sesuai bahwa SQ mampu menjadikan manusia sebagai makhluk yang lengkap
secara intelektual, emosional dan spiritual.
Kecerdasan spiritual sebagai kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap
setiap perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah,
menuju manusia yang seutuhnya dan memiliki pola pemikiran integralistik, serta
berprinsip hanya karena Tuhan. Kecerdasan spiritual (SQ) yang tinggi pada siswa atau
remaja akan berdampak pada perilaku mereka yang dapat menahan dorongan-dorongan
untuk berbuat negatif sehingga terhindar dari kenakalan remaja dan sebaliknya, bila
remaja memiliki SQ rendah maka akan mudah melakukan kenalan remaja seperti
tawuran, bolos sekolah, seks bebas dan lain sebagainya. Maka dari itu, SQ diperlukan