Jurnal Sosial dan Teknologi (SOSTECH)
Volume 1, Number 8, August 2021
p-ISSN 2774-5147 ; e-ISSN 2774-5155
How to cite:
Edo Dwi Kurniawan. (2021). Perbedaan Kecerdasan Spiritual pada Siswa SMA Umum dengan Siswa SMA
Berbasis Agama. Jurnal Sosial dan Teknologi (SOSTECH), 1(8): 778-784
E-ISSN:
2774-5155
Published by:
https://greenvest.co.id/
PERBEDAAN KECERDASAN SPIRITUAL PADA SISWA SMA UMUM
DENGAN SISWA SMA BERBASIS AGAMA
Edo Dwi Kurniawan
Universitas Gunadarma Jakarta, Indonesia
Diterima:
29 Juni 2021
Direvisi:
14 Juli 2021
Disetujui:
14 Agustus
2021
Abstrak
Pendidikan di Indonesia setiap masa kurikulumnya selalu berubah dengan dasar
aturan perundang-undangan serta mengikuti perkembangan zaman. Penelitian
ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat perbedaan kecerdasan spiritual
pada siswa SMA umum dengan SMA berbasis agama. Kecerdasan spiritual
sebagai kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan
nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam
konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa
tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding dengan yang
lain. Penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif. Independent sample t ujian
ini digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh. Pengukuran kecerdasan
spiritual dilakukan dengan alat ukur berupa kuesioner kecerdasan spiritual =
0,897). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
kecerdasan spiritual yang signifikan pada siswa SMA umum dengan SMA
berbasis agama, responden siswa SMA umum pada penelitian ini memiliki
kecerdasan spiritual dalam kategori sedang dan respoden siswa SMA berbasis
agama memiliki kecerdasan spiritual dalam kategori tinggi.
Kata kunci : Kecerdasan spiritual, Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA),
Sekolah berbasis agama
Abstract
Education in Indonesia every time the curriculum is always changing with the
basis of the laws and regulations and keeping up with the times. This study
aims to see if there is a difference in spiritual intelligence in public high school
students with religious-based high schools. Spiritual intelligence as intelligence
to face and solve the problem of meaning and value, namely intelligence to put
human behavior and life in the context of a broader and richer meaning,
intelligence to judge that one's actions or way of life is more meaningful than
others. This research includes quantitative research. Independent sample t
this exam is used to analyze the data obtained. Measurement of spiritual
intelligence is done by measuring instrument in the form of spiritual
intelligence questionnaire = 0.897). The results of this study showed that
there was no significant difference in spiritual intelligence in public high
school students with religion-based high schools, respondents of public high
school students in this study had spiritual intelligence in the moderate
category, and religious-based high school students had spiritual intelligence in
the high category.
Keywords : Spiritual intelligence, High School Students, Religious-based
Schools
Perbedaan Kecerdasan Spiritual pada Siswa SMA Umum
dengan Siswa SMA Berbasis Agama
Edo Dwi Kurniawan 779
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan sebuah kata yang sangat familier yang biasa kita dengar di
dalam kehidupan sehari hari (Matang, 2017), karena pendidikan merupakan kegiatan
penting yang dilakukan oleh hampir semua orang dari lapisan masyarakat (Sudarsana,
2014). Pendidikan merupakan upaya seseorang yang sudah dewasa membimbing manusia
yang belum dewasa menuju ke kedewasaan (Ramli, 2015), serta usaha menolong anak
untuk melaksanakan tugas-tugas hidupnya (Hakim, 2016), agar lebih mandiri, akil-balik
dan bertanggung jawab secara susila (Nozomi, 2020).
Negara Indonesia, terdapat dua tipe sekolah yaitu sekolah umum dan sekolah
berbasis agama (Putri, 2013). Perbedaan dari dua sekolah ini adalah pada sekolah
berbasis agama lebih menitikberatkan pada agama (Kirom, 2017) yaitu dengan
memberikan muatan pelajaran agama yang lebih banyak (Sujino, 2019), sedangkan
sekolah umum hanya menjadikan agama sebagai salah satu mata pelajaran saja (Rouf,
2015) dan hanya diberikan selama dua jam dalam satu minggu (Putri, 2013). SMA umum
siswa diharuskan memakai seragam sesuai ketetapan dari pemerintah seperti baju putih
dan celana abuabu untuk pria dan baju putih dan rok abuabu untuk wanita, sedangkan
pada siswa SMA berbasis agama memakai seragam yang sama hanya saja pada siswa
wanita diharuskan memakai seragam yang menutup aurat seperti baju dan rok panjang
serta kerudung, hal itu dapat menimbulkan atau membuat suasana sekolah menjadi lebih
agamis. Lulusan SMA diharapkan mampu melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi
dengan bekal IPTEK, sedangkan lulusan SMA berbasis agama tidak hanya diharapkan
mampu untuk lanjut dengan bekal IPTEK, tapi juga dengan bekal ilmu agama untuk
menghadapi kehidupan dimasyarakat.
Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar yang terdiri atas
pendidikan menengah umum (Ningsih, 2021) dan pendidikan menengah kejuruan.
Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah
(MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau
bentuk lain yang sederajat (Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 TH. 2003).
Struktur kurikulum SMA meliputi pembelajaran yang dalam satu jenjang pendidikan
selama tiga tahun mulai dari kelas X sampai dengan kelas XII. Struktur kurikulum
disusun berdasarkan standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran
(Republik Indonesia & Republik Indonesia, 2021). Selama satu minggu jam
pembelajaran efektif dari 3839 jam pembelajaran (Megawati, 2019), dengan alokasi
waktu satu jam pembelajaran 45 menit. Masingmasing mata pelajaran memiliki alokasi
jam pembelajaran tersendiri sesuai dengan ketetapan pemerintah. Berdasarkan ketetapan
tersebut diketahui bahwa alokasi jam pembelajaran yang diberikan untuk pendidikan
agama di SMA adalah sebanyak dua jam pelajaran dari 38 atau 39 pembelajran setiap
pekannya atau sekitar 5,26% dari keseluruhan mata pelajaran yang diberikan di SMA.
Madrasah Aliyah (MA) merupakan jenjang pendidikan menengah pada pendidikan
formal di Indonesia berbasis agama, setara dengan Sekolah Menengah Atas (SMA), yang
pengelolaannya dilakukan oleh Kementerian Agama. Pendidikan Madrasah Aliyah
ditempuh dalam waktu 3 tahun, mulai dari kelas X sampai kelas XII. Kurikulum
Madrasah Aliyah sama dengan kurikulum Sekolah Menengah Atas, hanya saja pada MA
terdapat porsi lebih banyak muatan pendidikan agama Islam. Secara umum, struktur
kurikulum yang ditetapkan di SMA berbasis agama sama halnya dengan struktur yang
diterapkan SMA umum. Selama satu minggu jam pembelajaran efektif dari 3839 jam
pembelajaran, dengan alokasi waktu satu jam pembelajaran 45 menit. Hanya saja dari
kurikulum yang telah ditetapkan diketahui bahwa alokasi jam pembelajaran yang
diberikan untuk pendidikan agama di sekolah berbasis agama lebih banyak dibandingkan
Vol. 1, No. 8, pp. 778-784, August 2021
780 http://sostech.greenvest.co.id
dengan SMA umum, yaitu sebanyak 14 jam pelajaran dari 38 atau 39 jam pembelajaran
setiap pekannya, atau sekitar 36,84% dari keseluruhan mata pelajaran yang diberikan.
Sekolah tidak hanya mengajarkan berbagai macam pelajaran kepada siswa
(Widodo, 2019) tetapi juga mendidik siswa dengan pendidikan budi pekerti yang telah
dirumuskan ke dalam seluruh mata pelajaran yang relevan (Lestari & Irawan, 2017),
terutama mata pelajaran agama dan kewarganegaraan (Srimulyani, 2012). Faktanya kasus
kekerasan antar pelajar di Jabodetabek semakin mengkhawatirkan. Hal itu terlihat jelas
dari meningkatnya angka tawuran pelajar sepanjang tahun 2012. Komisi Nasional
Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat hingga 25 Desember 2012 telah terjadi
sebanyak 147 kasus tawuran di Jabodetabek yang menewaskan 82 pelajar. Sekitar 95%
kasus terjadi di Jakarta. Angka ini meningkat dibanding tahun 2011 yang hanya terjadi
128 kasus tawuran dan menewaskan 30 pelajar.
Tercatat nama beberapa sekolah di Jakarta yang sering melakukan tawuran, yaitu
SMAN 46, SMAN 70 Bulungan, SMAN 6, SMA PSKD, SMAN 47, SMAN 74, STM
Purnama mandiri, STM Soeboed, STM Camp Java, STM Triguna, STM Laoet, STM
Boedoet 145 Pusat, STM Bonjer, STM Kapal dan STM 57. Menurut nama-nama sekolah
di atas tidak ada satupun sekolah berbasis agama yang tercatat sebagai sekolah langganan
tawuran. Terlepas dari berbasis agama atau umum, sekolah selalu melihat kemampuan
siswa melalui kecerdasan intelektual (intelligence quotient) yang merupakan kemampuan
untuk mengarahkan pikiran atau tindakan, bertindak dengan tujuan tertentu, berpikir
rasional, menghadapi lingkungan dengan efektif, selain itu, dalam mengorganisasikan
pola-pola tingkah laku seseorang sehingga dapat bertindak lebih efektif dan lebih tepat.
Pengaruh IQ hanyalah sebesar 20% saja, sedangkan 80% dipengaruhi oleh faktor
lain termasuk di dalamnya adalah kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual
(SQ). Sehingga, dengan kata lain IQ dapat dikatakan gagal dalam menerangkan atau
berpengaruh terhadap kesuksesan seseorang. IQ merupakan hasil pengorganisasian saraf
yang memungkinkan seseorang untuk berpikir rasional logis dan taat asas, sedangkan EQ
(Emotional Quotient) merupakan kemampuan merasakan, memahami dan secara aktif
menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan
pengaruh yang manusiawi, dengan EQ memungkinkan seseorang berpikir asosiatif yang
terbentuk oleh kebiasaan dan kemampuan. EQ seseorang dapat merasakan perasaan orang
lain, berempati, haru, serta kemampuan lain untuk dapat merespon secara tepat terhadap
kesedihan dan kebahagiaan.
Selain itu, SQ (Spiritual Quotient) memungkinkan seseorang untuk berpikir kreatif,
berwawasan jauh membuat dan bahkan mengubah aturan. Oleh karena itu, SQ merupakan
landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif dan merupakan
jenis pemikiran yang memungkinkan seseorang untuk menata ulang dan
mentransformasikan dua jenis pemikiran yang dihasilkan oleh IQ ataupun oleh EQ.
Secara singkat SQ mampu mengintegrasikan dua kemampuan lain (EQ dan IQ), hal
tersebut sesuai bahwa SQ mampu menjadikan manusia sebagai makhluk yang lengkap
secara intelektual, emosional dan spiritual.
Kecerdasan spiritual sebagai kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap
setiap perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah,
menuju manusia yang seutuhnya dan memiliki pola pemikiran integralistik, serta
berprinsip hanya karena Tuhan. Kecerdasan spiritual (SQ) yang tinggi pada siswa atau
remaja akan berdampak pada perilaku mereka yang dapat menahan dorongan-dorongan
untuk berbuat negatif sehingga terhindar dari kenakalan remaja dan sebaliknya, bila
remaja memiliki SQ rendah maka akan mudah melakukan kenalan remaja seperti
tawuran, bolos sekolah, seks bebas dan lain sebagainya. Maka dari itu, SQ diperlukan
Perbedaan Kecerdasan Spiritual pada Siswa SMA Umum
dengan Siswa SMA Berbasis Agama
Edo Dwi Kurniawan 781
dalam kehidupan sehari-hari terutama pada remaja yang sedang dalam tahapan krisis
identitas.
SQ dapat dikembangkan atau pun ditingkatkan melalui faktor internal dengan
pribadi sendiri dan faktor eksternal dengan keluarga, lingkungan dan sekolah, karena di
sekolah banyak memperoleh pengetahuan. Tidak hanya pengetahuan tapi juga nilai. Jika
guru memberi nilai kehidupan yang baik, maka itu akan membuat kecerdasan spiritual
akan baik. Sehingga anak mampu memaknai hidupnya dengan baik.
Pentingnya pembelajaran SQ, karena SQ berperan untuk memberikan ‘batasan’
yang artinya seseorang yang paham akan pertanggung jawabannya atas segala apa yang
dilakukannya terhadap Tuhan secara otomatis akan memberikan batasan pada dirinya
sesuai dengan batasan yang diberikan Tuhan terhadap segala sesuatu. Hal ini dapat
berdampak positif pada diri individu apabila peran SQ dalam poin ini dapat
dimaksimalkan, dikarenakan individu tidak akan sembarangan dalam bertindak karena
individu sadar betul akan batasan yang ditetapkan Tuhan atas segala tingkah lakunya.
Kecerdasan spiritual memiliki pengaruh yang negatif terhadap kenakalan remaja,
artinya semakin tinggi kecerdasan spiritual pada remaja maka semakin menurun
keberadaan kenakalan remajanya. Hal ini membuktikan bahwa dengan dimilikinya
kecerdasan spiritual oleh remaja akan membantu mereka untuk mengontrol sikap dan
tingkah lakunya dalam merespon setiap situasi dan kondisi yang dihadapinya secara
positif, dengan demikian tindakan kenakalan remajanya akan berkurang.
Tinggi rendahnya kadar kecerdasan spiritual dapat dipandang penting, hal ini
setidaknya dengan alasan bahwa kecerdasan spiritual akan menjadikan seseorang dapat
mempergunakan secara harmonis dua kecerdasan lainnya yang dimiliki, yaitu kecerdasan
emosional dan kecerdasan intelektual. Selain itu, kecerdasan spiritual yang dimiliki
seseorang akan membawanya berpikir lintas agama, tidak inklusif pada domain
agamanya sendiri. Orang yang telah memiliki kecerdasan spiritual akan mampu mengerti
makna dibalik setiap kejadian dalam hidupnya dan menyikapi segala sesuatu yang terjadi
pada dirinya dengan positif sehingga mampu menjadi orang yang bijaksana dalam
menjalani kehidupan. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat dan mengetahui apakah
terdapat perbedaan kecerdasan spiritual pada siswa SMA umum dengan siswa SMA
berbasis agama.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif untuk mengetahui lebih dalam
tentang perbedaan kecerdasan spiritual pada siswa SMA umum dengan siswa SMA
berbasis agama. Populasi dalam penelitian ini adalah sejumlah siswa SMA berumur 16
sampai dengan 18 tahun. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 120 subjek yang berasal
dari SMA umum 60 subjek dan dari SMA berbasis agama 60 subjek.
Berdasarkan penelitian ini, teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah
teknik sampling kuota. Sedangkan pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan
metode kuesioner, dimana dalam kuesioner tersebut terdapat skala kecerdasan spiritual
dengan menggunakan teknik penyusunan skala yaitu skala Likert. Penelitian ini juga
menggunakan analisis Independent Sample T-Test dengan bantuan program komputer
SPSS versi 17.0 for Windows untuk melakukan pengujian hipotesis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dengan menggunakan teknik
independent Sample T test menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,098. Hal ini
Vol. 1, No. 8, pp. 778-784, August 2021
782 http://sostech.greenvest.co.id
menunjukan bahwa hipotesis yang telah dirumuskan oleh peneliti sebelumnya ditolak
yang artinya tidak ada perbedaan kecerdasan spiritual pada siswa SMA umum dengan
SMA berbasis agama.
Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan kecerdasan spiritual
pada siswa SMA umum dengan SMA berbasis agama mungkin disebabkan oleh faktor
lain seperti faktor keluarga dan faktor lingkungan menyatakan bahwa ada 2 faktor yang
mempengaruhi kecerdasan spiritual, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal
meliputi lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat. Selain itu faktor internal
merupakan pribadi dari diri individu tersebut.
Siswa yang bersekolah di sekolah berbasis agama memiliki lingkungan eksternal
yang mendukung kecerdasan spiritual. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa faktor
keluarga dan lingkungan juga memiliki andil dalam perkembangan kecerdasan spiritual
pada siswa. Selain itu diri pribadi individu juga memiliki peran secara ruhiyah, setiap
individu memiliki kemampuan untuk memaknai hidup dengan demikian setiap individu
juga memiliki kesempatan untuk cerdas secara spiritual yang berasal dari dirinya sendiri.
Berdasarkan hal tersebut secara stereotipe dapat terlihat bahwa kecerdasan spiritual
pada siswa SMA berbasis agama lebih tinggi dibandingkan dengan siswa SMA umum,
ternyata kecerdasan spiritual pada siswa SMA umum juga bisa dikatakan baik, karena
sekolah merupakan sarana tempat siswa mendapatkan pendidikan secara formal tanpa
kurikulum yang dikhususkan untuk meningkatkan kecerdasan spiritual, yang utama
tetaplah pedidikan di lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat yang mengajarkan
serta menanamkan makna dan nilainilai hidup yang dapat memengaruhi dan
meningkatkan kecerdasan spiritual.
Orang tua merupakan role model bagi anak di dalam lingkungan keluarga yang
pertama mereka kenal, jika orang tua jauh dari nilainilai spiritualitas seperti tanggung
jawab, adil, saling peduli, saling menghormati dan cinta kasih terhadap tuhan dan sesama,
maka anakpun juga akan mengikuti jejak ayah bundanya. Begitu pula dengan lingkungan
di masyarakat. Lingkungan masyarakat yang selalu melaksanakan kewajiban agama,
masyarakat yang selalu menjaga hubungan baik dengan orang-orang yang berada
disekitar mereka dan masyarakat yang tolong menolong serta gotong royong dalam
kesulitan adalah lingkungan yang baik untuk mengembangkan kecerdasan spiritual.
Keluarga adalah madrasah pertama bagi anak. Oleh karena itu segala kecerdasan
bermula dan dipengaruhi oleh keluarga. Begitu juga dengan kecerdasan spiritual anak.
Keluarga berpengaruh besar dalam membentuk kecerdasan spiritual anak. Di samping
tinggal di lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat juga akan memengaruhi
kecerdasan spiritual anak karena anak juga hidup dalam masyarakat. Jika masyarakat
mempunyai budaya atau kebiasaan yang baik maka anak akan terbiasa juga untuk
melakukan halhal yang baik. Sehingga secara tidak langsung kecerdasan spiritual anak
akan muncul dan berkembang.
Berdasarkan data kategorisasi diketahui bahwa nilai rerata sekolah SMA berbasis
agama berada pada kategori tinggi (M = 80,85). Sesuai dengan salah satu upaya
pemilihan sekolah dari orang tua untuk memberikan lingkungan sekolah yang kondusif
bagi anak. Namun, ternyata siswa SMA juga bisa memiliki kecerdasan spiritual yang
baik, yaitu dari lingkungan masyarakat, keluarga dan diri sendiri. Sekolah berbasis agama
diciptakan dengan suasana sekolah yang agamis, dengan membangun sarana ibadah dan
menyajikan mata pelajaran pendidikan agama. Berdasarkan jenis kelamin, jumlah
responden terbanyak adalah perempuan sebanyak 65 orang, persentase 54,17 % dengan
nilai empirik 82,08 dan masuk dalam kategori tinggi. Hal ini mungkin disebabkan karena
perempuan lebih cepat mencapai kematangan dalam berpikir, kecerdasan spiritual bisa
terhambat oleh ketidakseimbangan ide, ego dan superego.
Perbedaan Kecerdasan Spiritual pada Siswa SMA Umum
dengan Siswa SMA Berbasis Agama
Edo Dwi Kurniawan 783
Berdasarkan usia, jumlah responden usia 15-16 dan 1718 tahun samasama
sejumlah 60 orang, dengan persentase masingmasing 50%. Selain itu, dapat diketahui
bahwa kecerdasan spiritual pada siswa SMA usia 1718 tahun lebih tinggi dibandingkan
usia lainnya. Hal ini mungkin karena pada usia tersebut siswa sudah masuk ke jenjang
lebih tinggi atau kelas lebih tinggi sehingga lebih banyak mendapatkan pelajaran serta
nilainilai. Kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan
persoalan makna dan nilai.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat
perbedaan kecerdasan spiritual antara siswa SMA umum dengan SMA berbasis agama.
Kecerdasan spiritual siswa SMA umum pada penelitian ini masuk dalam kategori sedang
sedangkan pada siswa SMA berbasis agama masuk dalam kategori tinggi. Berdasarkan
jenis kelamin, jumlah responden terbanyak adalah perempuan dan masuk dalam kategori
tinggi, Selain itu, dapat diketahui bahwa kecerdasan spiritual pada siswa SMA usia 1718
tahun lebih tinggi dibandingkan usia lainnya. Bagi penelitian selanjutnya yang berminat
untuk melakukan penelitian tentang kecerdasan spiritual perlu memperdalam faktor-
faktor lain yang turut berpengaruh terhadap kecerdasan spiritual seperti faktor internal
yaitu diri sendiri dan faktor ekternal yaitu keluarga dan lingkungan, serta dapat meneliti
dengan menambahkan variabelvariabel lain, seperti kecerdasan emosional dan
kecerdasan intelektual.
BIBLIOGRAFI
Hakim, L. (2016). Pemerataan akses pendidikan bagi rakyat sesuai dengan amanat
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
EduTech: Jurnal Ilmu Pendidikan Dan Ilmu Sosial, 2(1).
Kirom, A. (2017). Peran guru dan peserta didik dalam proses pembelajaran berbasis
multikultural. Jurnal Al-Murabbi, 3(1), 6980.
Lestari, M., & Irawan, A. W. (2017). Strategi Implementasi Pendidikan Budi Pekerti
Melalui Peran Guru Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Hlm.
Matang, M. (2017). Inovasi Mengejar Target Baca Siswa/i di Pedalaman Papua dengan
Kata Familiar Menggunakan Tulisan Tiga Warna. Proceedings Education and
Language International Conference, 1(1).
Megawati, S. (2019). Tugas Makalah Standar Isi (kurikulum). INA-Rxiv.
Ningsih, R. (2021). Meningkatan Kemampuan Sumber Daya Manusia Dengan
Melaksanakan Pendidikan Menengah Universal Dan Pendidikan Vokasi. Jurnal
Revolusi Indonesia, 1(2), 140148.
Nozomi, A. (2020). Landasan Konseptual Perencanaan dan Perancangan Arsitektur
Education Park di Mampang Prapatan dengan Pendekatan Arsitektur Hijau.
UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA.
Putri, F. A. (2013). Perbedaan Tingkat Religiusitas dan Sikap Terhadap Seks Pranikah
Ramli, M. (2015). Hakikat pendidik dan peserta didik. Tarbiyah Islamiyah: Jurnal
Ilmiah Pendidikan Agama Islam, 5(1).
Republik Indonesia, P., & Republik Indonesia, K. (2021). Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Rouf, A. (2015). Potret pendidikan agama Islam di sekolah umum. Jurnal Pendidikan
Agama Islam (Journal of Islamic Education Studies), 3(1), 187206.
Srimulyani, Y. (2012). Pendidikan Budi Pekerti dalam Membentuk Moral Anak. Diakses
Vol. 1, No. 8, pp. 778-784, August 2021
784 http://sostech.greenvest.co.id
Di Http://Jurnal-Online. Um. Ac. Id/Data/Artikel/. Malang: Universitas Negeri
Malang, 1, 121.
Sudarsana, U. (2014). Pembinaan minat baca. In Tangerang Selatan: Universitas
Terbuka. Universitas Terbuka.
Sujino, S. (2019). Manajemen Strategi Pelaksanaan Kurikulum dalam Mewujudkan
Madrasah Unggul (Studi atas MA Muhammadiyah Kota Metro). At-Tajdid: Jurnal
Pendidikan Dan Pemikiran Islam, 1(02).
Widodo, S. (2019). Membangun Pendidikan Antikorupsi di Sekolah Dasar. Jurnal
Pendidikan Dasar, 10(1), 3544.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License