Implementasi Pendidikan dalam Al-Qur’an Bagi Generasi
Muda di Indonesia
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN 2774-5147
Sukatin
1
, Yogi Candra
2
, Pandu Sigit Prianto
3
, Lili Trisnaliati
4
, Safitri
5
dan Shafa
Nabila
6
894
PENDAHULUAN
Terdapat dua kata yang digunakan Al-Qur’an untuk mengungkapkan makna
pendidikan yaitu kata rabb dengan bentuk masdarnya tarbiyah (Nihaya, 2016) dan kata
‘allama dengan bentuk masdarnya taklim (Djunaid, 2014). Kata tarbiyah sebagaimana
dijelaskan oleh al-Raghib al-Ashfahany adalah sya’a al-syai halan fa halun ila haddi al-
tamam artinya mengembangkan atau menumbuhkan sesuatu setahap demi setahap sampai
batas yang sempurna. Sedangkan kata taklim digunakan secara khusus untuk
menunjukkan sesuatu yang dapat diulang (Djunaid, 2014) dan diperbanyak sehingga
menghasilkan bekas atau pengaruh pada diri seseorang (Basyar, 2019).
Kata rabb digunakan oleh Al-Qur’an untuk berbagai makna antara lain digunakan
untuk menerangkan salah satu sifat Allah SWT (Hasan, 2017) yaitu rabbul ‘alamin yang
diartikan pemelihara, pendidik, penjaga dan penguasa alam semesta (Alifansyah, 2016)
(lihat QS. Al- Fatihah/1: 2, Al-Baqarah (2) : 131, Al-Maidah (5) : 28, Al-An’am (6) : 45,
71, 162, dan 164, Al-A’raf (7) : 54, digunakan juga untuk menjelaskan objek sifat Tuhan
sebagai pemelihara, pendidik, penjaga dan penguasa alam semesta seperti: al-‘arsy al-
‘azhim yakni ‘arsy yang agung (QS. Al-Taubah (9) : 129). Oleh karena itu, pendidikan
oleh Allah SWT, meliputi pemeliharaan seluruh makhluk-Nya.
Adapun kata ‘allama digunakan dalam berbagai konteks (Rizal, 2014). Terkadang
digunakan untuk menjelaskan bahwa Allah SWT sebagai subjek yang mengajarkan
kepada manusia beberapa hal antara lain: mengajarkan nama-nama (benda) semuanya
(surat Al-Baqarah (2) : 31-32), mengajarkan Al-Qur’an (QS. Ar-Rahman (55) : 1-4),
mengajarkan al-hikmah, taurat dan injil (QS Ali-Imran (3) : 48) mengajarkan kepada
manusia apa yang tidak diketahui (QS. Al-Alaq (96) : 5 dan QS. Al-Baqarah (2) : 239)
dan terkadang digunakan bahwa manusia sebagai subyek, seperti Nabi Musa
mengajarkan sihir kepada pengikut Fir’aun (Al-Syu’ara (26) : 49 dan QS. Thaha (20) :
71) dan terkadang pula digunakan bahwa Jibril sebagai subyek yang mengajarkan wahyu
kepada Nabi Muhammad SAW. (QS. An-Najm (53) : 5). Menurut beberapa ungkapan
tersebut, terkesan bahwa kata ta’lim dalam Al-Qur’an menunjukkan adanya sesuatu
berupa pengetahuan yang diberikan kepada seseorang. Jadi, sifatnya intelektual.
Berdasarkan pembahasan selanjutnya ditemukan perbedaan pendapat di kalangan
para ahli mengenai pemakaian kata tersebut dalam hubungannya dengan pendidikan
(Nata, 2016). Menurut Abdurrahman Al-Nahlawi dalam Ahmad Tafsir, bahwa kata
tarbiyah lebih tepat digunakan untuk makna pendidikan (Dana, 2020). Menurutnya, kata
Tarbiyah’ berasal dari tiga kata, yaitu pertama, dari kata raba-yarbu yang berarti
bertambah atau tumbuh (Putra, 2019), karena pendidikan mengandung misi untuk
menambah bekal pengetahuan kepada anak dan menumbuhkan potensi yang dimilikinya
(Akbal, 2017). Kedua, dari kata rabiya-yarba’ yang berarti menjadi besar, karena
pendidikan juga mengandung misi untuk membesarkan jiwa (Said, 2011) dan
memperluas wawasan seseorang. Ketiga, dari kata rabba-yarubbu’ yang berarti
memperbaiki, menguasai urusan (Ridwan, 2018), menuntun, menjaga dan memelihara
sebagaimana telah dijelaskan di atas (Al-Ayubi, 2010).
Menurut Sayed Muhammad Al-Naquid Al-Atas, kata taklim disinonimkan dengan
pengajaran tanpa adanya pengenalan secara mendasar, namun bila taklim disinonimkan
dengan tarbiyah (Imroatun & Ilzamudin, 2020), taklim mempunyai arti pengenalan
tempat segala sesuatu dalam sebuah sistem. Menurutnya, ada hal yang membedakan
antara tarbiyah dan taklim, yaitu ruang lingkup taklim lebih umum daripada tarbiyah
(Atul Mahmudah, 2020), karena tarbiyah tidak mencakup segi pengetahuan dan hanya
mengacu pada kondisi eksistensial dan juga tarbiyah merupakan terjemahan dari bahasa