Jurnal Sosial dan Teknologi (SOSTECH)
Volume 1, Number 9, September 2021
p-ISSN 2774-5147 ; e-ISSN 2774-5155
How to cite:
Hasvirah Hasyim Nur. (2021). Perempuan, Patriarki dan Islam di India: Transnational ExperienceMelalui
Film. Jurnal Sosial dan Teknologi (SOSTECH), 1(9): 1.070-1.079
E-ISSN:
2774-5155
Published by:
https://greenvest.co.id/
PEREMPUAN, PATRIARKI DAN ISLAM DI INDIA: “TRANSNATIONAL
EXPERIENCE” MELALUI FILM
Hasvirah Hasyim Nur
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Indonesia
hasvirahhasyimnur14@gmail.com
Diterima:
28 Agustus
2021
Direvisi:
11 September
2021
Disetujui:
14 September
2021
Perempuan, Patriarki dan Islam di India: “Transnational
Experience” Melalui Film
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN 2774-5147
Hasvirah Hasyim Nur 1.071
PENDAHULUAN
Peningkatan hubungan di bidang ekonomi, sosial, budaya dan politik yang
melintasi batas negara dapat dikatakan era globalisasi (Hamonangan, 2020). Peningkatan
tersebut menekankan pada integrasi bermacam negara yang membentuk suatu sistem
(Sulistiani & Masrukan, 2017) serta jaringan yang saling terkait bukan hanya untuk
peningkatan proses penyebaran produk (Fahrimal, 2018), manusia, kegiatan dari satu
maupun beberapa negara. Kemudian kemunculan era globalisasi ini tidak dapat
mengubah lokasi geografis suatu negara (Riwayadi, 2013), tetapi batasan antara wilayah
negara satu dengan yang lainnya hampir tidak berpengaruh (Thamrin et al., 2015) dan
tidak memiliki arti. Penyebab globalisasi, dunia seakan-akan telah bercampur dalam suatu
keterbukaan tanpa bata sosial dan kultural.
Selain kedua aspek tersebut, globalisasi juga memengaruhi aspek budaya
diantaranya adalah industri film (Puspasari et al., 2017). Berdasarkan konteks globalisasi
abad 21, industri film memiliki peran penting dalam merefleksikan (Kholis, 2016) dan
memberi kontribusi pada peningkatan interaksi ekonomi dan sosial sebagai bagian dari
proses integrasi antarnegara (Agustiawan, 2016). Film menjadi salah satu cara terciptanya
hubungan budaya yang bersifat transnasional (Rahmawati, 2019), yang menjadi ciri dari
masyarakat global (Damanik, 2012). Industri film yang terkait dengan isu-isu
transnasional baik dalam hal produksi (Besar, 2018), lokasi, maupun tema membuat
proses globalisasi terjadi lebih cepat serta menyatukan berbagai bangsa dengan berbagai
latar belakang budaya yang berbeda (Adha, 2015). Pertemuan antara satu budaya dengan
budaya lain yang dianggap asing menimbulkan ‘ketakutan global’. Perasaan terancam
atas hadir serta pengaruh budaya baru yang asing tersebut menciptakan prasangka-
prasangka dan batasan-batasan sebagai bentuk pertahanan diri
Saat duduk di bangku kelas empat Sekolah Dasar, pada tahun 2004 (Dwipayanti &
Indrawati, 2014), wali kelas memerintahkan untuk menghafal tujuh keajaiban dunia yang
terdapat dalam buku Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Salah satu keajaiban dunia yang
tertulis di sana adalah Taj Mahal yang ada di India (Islamiyati, 2020). Hari itu adalah
awal perkenalan dengan negara India secara akademik. Adapun awal perkenalan sekilas
terjadi dengan cara lebih santai dan mengasyikkan. Pada suatu hari saat masih kelas dua
sekolah dasar saya berkunjung ke rumah keluarga di kampung sebelah dan siang itu di
televisi sedang tayang film Kuch-Kuch Hota Hai yang diperankan oleh aktor Shah Rukh
Khan dan Kajol.
Mahfud dalam bukunya menuliskan bahwa menyukai film India berarti siap
menjadi musuh dunia. Lebih dari itu Mahfud menuliskan sebuah kalimat panjang:
Seperti film porno, film India disukai sekaligus tidak disukai, dikonsumsi tapi dianggap
terlalu kotor untuk dibincangkan, dinonton sendirian kemudian dihinakan di depan
banyak orang. Sungguh sebuah ironi. Menjadi penonton India seperti aib yang harus
ditanggung di tengah masyarakat modern yang berkiblat pada Barat, termasuk pilihan
film-filmnya.
Mahfud menjadi aib di tengah masyarakat modern dengan keteguhannya untuk
terus menonton film India, membicarakannya dan juga mengulasnya kemudian diunggah
di akun blog pribadinya. Mengenal film India serupa mengenal bahasa Indonesia. Hal itu
refleks terjadi tanpa perlu diberitahu terlebih dahulu. Kepopuleran film India
mengalahkan Taj Mahal yang merupakan ikon negara tersebut.
Berbeda dengan film India yang populer pada tahun 2000-an dengan kebanyakan
menghadirkan drama dan kisah percintaan remaja, film India yang populer pada tahun-
tahun terakhir lebih menjurus mengangkat isu-isu tertentu seperti pendidikan yang
dihadirkan dalam film 3 Idiots dan Taare Zameen Par, ketuhanan pada film Peekay,
Vol. 1, No. 9, pp. 1.070-1.079, September 2021
1.072 http://sostech.greenvest.co.id
toleransi dan perdamaian pada film Bajrangi Bhaijaan serta film yang mengangkat isu
gender pada film yang populer melalui garapan Aamir Khan yang berjudul Dangal dan
The Secret Superstar. Film hasil produksi Salman Khan menjadi angin segar bagi industri
hiburan di India. Film tersebut dengan berani menyuarakan isu gender, patriarki dan
kekerasan dalam rumah tangga.
Film selanjutnya yang juga berani menyuarakan kehidupan patriarki di India
berjudul Lipstick Under My Burkha garapan seorang sutradara perempuan India bernama
Alankrita Shrivastava. Film ini menghadirkan empat tokoh perempuan yang menjalani
persoalan hidup berbeda namun sama-sama disebabkan oleh sistem patriarki yang berlaku
di lingkungan masyarakat tempat mereka tinggal. Berdasarkan penelitian ini selanjutnya
akan membahas mengenai kehidupan perempuan, sistem patriarki dan masyarakat Islam
yang ada di India melalui film karya Alankrita. Selain hal tersebut, dalam penelitian ini
juga akan membahas mengenai industri film di India berkaitan dengan pelarangan
penayangan film Lipstick Under My Burkha di negara asalnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengangkat kembali isu tentang bagaimana
keterlibatan perempuan dalam industri perfileman yang masih sangat minim. Sejauh ini
penulis skrip perempuan dan juga sutradara perempuan menjadi pemandangan yang
sangat jarang sehingga mempengaruhi hasil dari sebuah produksi tersebut. Film yang
dihasilkan pun terkesan tidak sensitif gender karena diproduksi menggunakan kacamata
laki-laki. Berdasarkan penelitian ini mencoba menunjukkan beberapa produksi film yang
melibatkan perempuan baik sebagai penulis naskah maupun sutradara sehingga
menghasilkan film yang mengangkat isu-isu feminis. Melalui penelitian ini diharapkan
munculnya karya-karya yang lebih sensitive gender dengan melibatkan perempuan dalam
proses produksinya, juga diharapkan agar orang-orang yang menyukai film dapat
memberi dukungan bagi karya-karya menarik yang mengangkat isu gender di dalamnya.
METODE PENELITIAN
Sumber data dari penelitian ini adalah dua film karya perempuan, film tersebut
adalah Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak dan juga Lipstick Under My Burkha.
Dalam penelitian dilakukan metode analisis terhadap dua film tersebut, kemudian melalui
hasil analisis tersebut dipaparkan beberapa data yang menunjukkan saling keterkaitan
antara keduanya. Beberapa hasil tangkap layar pada film menjadi data dokumen
pendukung, artikel tentang gender dan film juga menjadi sumber data sekunder.
HASIL DAN PEMBAHASAN
India dan Indonesia: Film dalam Perspektif Perempuan
Keterlibatan perempuan dalam film tidak berhenti pada seorang artis yang ahli
dalam seni peran dan mampu memerankan bermacam karakter. Selain pada kontribusi
tersebut, perempuan dapat turut andil menjadi seorang penulis skenario film dan juga
mejadi seorang sutradara yang mengatur dan mengamati jalannya produksi sebuah film.
Dalam keterlibatan perempuan di belakang layar akan menjadi sebuah hal yang
menguntungkan sebab film yang diproduksi tidak sekadar datang dari sudut pandang laki-
laki namun juga dari sudut pandang perempuan.
Kasus produksi video porno yang setiap tahun terus melakukan produksi dan
mampu memperoleh keuntungan jutaan dolar. Hal tersebut menurut McKinnon tidak lain
karena video porno diproduksi oleh laki-laki dan untuk laki-laki. Berdasarkan pemaparan
tersebut dipahami sebuah fenomena yang benar terjadi bahwasanya terdapat sebuah
politik dan perdagangan masif dalam industri film yang menjadikan perempuan sebagai
Perempuan, Patriarki dan Islam di India: “Transnational
Experience” Melalui Film
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN 2774-5147
Hasvirah Hasyim Nur 1.073
objek. Mengacu pada McKinnon, maka dibutuhkan keterlibatan perempuan dalam sebuah
karya sehingga menghasilkan sebuah produk yang berperspektif perempuan.
Mouly Surya pada tahun 2016 mengambil langkah untuk memproduksi sebuah
film berjudul Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak yang kemudian memenangkan
beberapa penghargaan di luar negeri seperti award dari Five Flavours Film Festival
Polandia dan memperoleh julukan sebagai film cowboy satay. Setelah memenangkan
penghargaan tersebut film Marlina garapan Mouly yang merupakan seorang sutradara
perempuan tersebut tayang di beberapa bioskop yang ada di Indonesia. Tidak seperti saat
tayang di luar negeri, film Marlina tidak mendapat sambutan yang antusias oleh penonton
Indonesia, daerah di mana film tersebut mengambil latar.
Film Marlina diperankan oleh Marsha Timothy yang suatu malam hendak
diperkosa oleh lima orang sehingga ia dengan berani meracuni empat orang laki-laki
tersebut melalui makanan yang dimasaknya, sedangkan satu orang lagi dibunuh dengan
memenggal kepalanya. Marlina adalah sosok perempuan tangguh, seorang janda yang
mengawetkan tubuh suaminya dan memajangnya di dalam rumah. Hari setelah dia
berhasil membunuh lima orang yang akan memperkosanya, Marlina menenteng
penggalan kepala Markus (Egi Fedly) untuk dibawa ke kantor polisi. Marlina bermaksud
melaporkan perlakuan yang diterimanya di malam hari. Namun sebuah respon
mengecewakan diterima Marlina. Dengan alasan harus sesuai prosedur, kasus Marlina
akhirnya ditangguhkan. Maka dengan perasaan kecewa dan sakit, Marlina hanya bisa
menangis.
Memiliki keberuntungan yang sama dengan film Marlina, film Lipstick Under My
Burkha juga mendapat respon menggembirakan di luar negeri dan memenangkan
beberapa penghargaan. Namun dalam hal apresiasi dari negara asal, Marlina berada di
posisi yang jauh lebih beruntung karena sempat tayang selama beberapa pekan di
bioskop-bioskop tanah air. Hal berbeda dialami oleh film Lipstick Under My Burkha
(Ruhi Khan, 2016) yang tidak diberi izin untuk tayang di bioskop-bioskop India. Dikutip
dalam sebuah wawancara bersama Ratna Pathak mengenai film yang dibintanginya
tersebut, Ratna merasa kecewa sebab filmnya dilarang tayang tanpa diberikan sebuah
penjelasan berupa alasan yang layak mengapa film tersebut tidak diizinkan.
Pada suatu malam di alun-alun Kidul kota Yogyakarta bersama teman-teman yang
berkuliah pada jurusan Studi Al-Qur’an dan Hadis di UIN Sunan Kalijaga, kami
berdiskusi tentang banyak hal hingga tiba pada sebuah percakapan yang mana seorang
teman bernama Darwin (bukan nama asli) melontarkan kalimat berikut:
“Bagaimanapun kesetaraan gender disuarakan selama yang berbicara adalah
perempuan maka teorinya akan jatuh.”
Pernyataan tersebut dapat dianggap salah sekaligus benar. Pernyataan tersebut
salah karena secara tidak langsung mengindikasikan bahwa orang-orang tertindas, orang
yang dianggap berbeda, dianggap lemah, dianggap rendah, tidak berhak menuntut
kesetaraan. Orang miskin di pedesaan tidak boleh meneriakkan tentang kesengsaraan,
orang berkebutuhan khusus tidak boleh berbicara tentang disabilitas. Demikian
pemahaman saya dari apa yang disampaikan seorang teman malam itu. Namun peryataan
tersebut memiliki nilai kebenaran ketika dikaitkan dengan kasus film Lipstick Under My
Burkha.
Film Lipstick Under My Burkha yang disutradarai oleh Alankrita yang merupakan
seorang perempuan dapat menjadi alasan masuk akal mengapa film tersebut tidak
diloloskan untuk tayang di India. Selain karena konten dari produksi tersebut dengan
lantang menyuarakan isu-isu minoritas yang terjadi. Oleh karena itu, tidak ada penjelasan
dari lembaga sensor film di India mengenai tidak diizinkannya penayangan film tersebut
Vol. 1, No. 9, pp. 1.070-1.079, September 2021
1.074 http://sostech.greenvest.co.id
menjadi sebuah kebebasan tersendiri bagi setiap orang menafsirkan sikap yang dilakukan
terhadap Alankrita dan juga film garapannya.
Agensi Perempuan
Film diawali dengan adegan seorang perempuan bernama Rehana (Plabita
Borthakur) yang sedang berada di sebuah toko kosmetik. Rehana mengenakan burkha
berwarna hitam dengan ransel yang disampirkan di lengan kanannya. Sembari melihat ke
sisi kiri dan kanan, mengawasi apakah ada orang yang melihat, Rehana meraih sebuah
lipstick kemudian menyembunyikannya di balik kerudung yang lebar. Rehana bergegas
keluar dari toko, melewati antrean pembeli yang hendak membayar ke kasir. Adegan
selanjutnya menampilkan Rehana yang berdiri di sebuah bus menuju kampusnya. Di
kampus Rehana masuk ke salah satu kamar mandi, melepaskan pakaian serba lebarnya
dan hanya tersisa pakaian anak remaja dengan celana jeans longgar yang dipadukan
dengan baju kaos berlengan pendek. Rehana menata rambutnya yang sedikit acak
kemudian memoleskan lipstick pada bibirnya kemudian dilanjutkan dengan adegan ia
sedang bernyanyi untuk mengikuti audisi organisasi seni kampus.
Rehana adalah tokoh perempuan yang ditampilkan memiliki agensi terhadap
dirinya sendiri. Burkha yang setiap hari digunakannya saat berangkat ke kampus dan
dikenakan lagi saat hendak kembali ke rumah tidak menjadi sebuah beban baginya namun
menjadi sebuah alat yang bisa dimanfaatkannya dengan leluasa. Dalam hal ini,
sebagaimana pada awal film telah ditampilkan adegan di mana Rehana mengambil
lipstick secara diam-diam dan dengan mudahnya meloloskan barang curian tersebut yang
disembunyikan di balik kerudung. Terdapat tiga adegan ketika Rehana berhasil mencuri
barang-barang dari toko dengan cara menyembunyikan barang tersebut di balik kerudung
lebar berwarna hitam yang digunakannya. Rehana tidak menjadikan burkha yang
digunakannya sebagai bentuk pernyataan akan kesalehan diri namun hanya sebagai
pemenuhan atas tuntutan budaya dan agama yang dianutnya. Rehana dalam keadaan
patuh menerima aturan tersebut namun juga menjadi sebuah bentuk ketidakpatuhannya
yang dibuktikan dengan kebiasaannya melepas burkha saat tiba di kampus dan hanya
menggunakannya di saat-saat tertentu; saat keluar rumah, saat hendak mencuri di toko,
dan saat pulang ke rumah.
Saat berada di rumah Rehana menjadi perempuan patuh di bawah pengawasan
kedua orangtua. Dia akan menjahit pesanan hingga larut malam, dan juga
dimanfaatkannya untuk menjahit keperluan fashion-nnya di kampus ketika tengah malam
ia ditinggal tidur oleh ayah dan ibunya. Rehana mulai beraksi dengan menyetel musik
Barat sambil sesekali menggerakkan badannya karena menikmati musik. Di dalam kamar,
terdapat sebuah poster dengan sisi pertama bertuliskan education is the key to victory
yang sengaja dipajang untuk antisipasi ketika ibu Rehana mengunjungi kamarnya. Di sisi
sebaliknya dari poster tersebut tertempel foto Miley Cirus yang merupakan artis idola
Rehana. Poster tersebut akan dipajang ketika Rehana sedang berada di dalam kamar dan
telah menguncinya sehingga dipastikan tidak ada lagi yang dapat masuk sebelum
meminta izin. Menurut letak di samping poster tersebut terdapat beberapa tempelan foto
dari penyanyi luar negeri yang selalu ditutupi Rehana menggunakan kain ketika hendak
keluar. Rehana memiliki agensi terhadap dirinya sendiri dengan cara bersikap selayaknya
anak remaja yang taat kepada orangtua dan aturan agama namun sebenarnya
memberontak dari dalam. Menurut kondisi dalam kamar yang tidak luas, Rehana
memiliki dunianya sendiri. Dunia di mana dia bisa merasa bebas dan mengekspresikan
dirinya yang sesungguhnya.
Perempuan, Patriarki dan Islam di India: “Transnational
Experience” Melalui Film
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN 2774-5147
Hasvirah Hasyim Nur 1.075
Gambar 1. Sisi poster dengan sebuah tulisan dan juga kain yang sedang menutupi dinding
pada sebelah kanan.
Gambar 2. Diri Rehana dan Poster Artis Luar Negeri Tertempel di Tembok
Domestik dan Alat Kontrasepsi
Seorang perempuan bernama Shirin Aslam (Konkona Sen Sharma) berperan
sebagai seorang yang telah bersuami dan memiliki tiga orang anak laki-laki dengan
rentang usia yang tidak terlampau jauh. Pada suatu hari ia mengunjungi dokter dan diberi
saran agar membeli kondom untuk suaminya dan dipakai saat hendak melakukan
hubungan seksual. Meski tidak yakin akan berhasil membujuk suaminya menggunakan
kondom sebelum melakukan hubungan, Shirin tetap membeli kondom dan berusaha
merayu suaminya memakainya untuk mencegah kehamilan yang akan menambah beban
bagi keluarga mereka. Tawaran Shirin ternyata disambut buruk oleh suaminya, kondom
tersebut diabaikan dan sang suami langsung melampiaskan hasrat seksualnya tanpa
melakukan foreplay terlebih dahulu.
Alat kontrasepsi bagi laki-laki dianggap sebagai sesuatu yang mengganggu
sehingga tidak nyaman untuk digunakan saat melakukan hubungan seksual. Maka dalam
kasus ini perempuan harus menanggung beban yang lebih berat karena perlu menyiasati
bagaimana hubungan seksual yang dilakukan tidak berlanjut menjadi sebuah kehamilan.
Apabila pihak suami tidak ingin menggunakan alat kontrasepsi berupa kondom, maka
perempuan yang diperlukan berinisiatif menggunakan alat kontrasepsi tersebut. Alat
Vol. 1, No. 9, pp. 1.070-1.079, September 2021
1.076 http://sostech.greenvest.co.id
kontrasepsi yang bermacam-macam namun memiliki efek sampingnya masing-masing.
Berdasarkan hubungan seksual yang lebih banyak menyenangkan suami namun tetap
menuntut perempuan yang harus bertanggungjawab atas semuanya merupakan sebuah
bentuk ketidakadilan.
Menurut beberapa adegan di mana Shirin dan suami melakukan hubungan seksual
tidak menunjukkan adanya timbal balik antara keduanya. Suaminya dengan tanpa peduli
terus melampiaskan nafsunya sedangkan Shirin hanya mampu diam terpaku dengan
ekspresi wajah yang tidak senang. Pada scene tersebut Shirin tetap mengenakan pakaian
utuh dan hanya kain bagian vagina yang dibuka sedikit. Shirin dalam adegan tersebut
berperan sebatas objek seks bagi suami dan tidak dianggap sebagai pasangan yang juga
butuh dipuaskan.
Perempuan tidak diberikan hak untuk menuntut kepuasan seksual namun terus
dipaksa untuk memberi kepuasan kepada lelaki bahkan ketika suaminya memperlakukan
sebagai tempat untuk membuang benih. Perempuan akan dianggap binal ketika berani
menguasai dalam hubungan seksual dan akan dianggap baik ketika hanya patuh terhadap
perlakukan lelaki. Maka banyak perempuan yang telah berulangkali melakukan hubungan
seksual namun masih belum mengerti arti orgasme.
Shirin tidak hanya menderita dalam aspek seks namun juga ditekan dalam
keterlibatannya di ruang publik. Shirin diam-diam melakukan pekerjaan di luar rumah
untuk menambah penghasilan sementara suaminya tidak mengizinkan hal tersebut. Bagi
suami Shirin dan berbagai kejadian yang ada di Indonesia, perempuan bersuami akan
menjadi sebuah aib ketika bagi pasangannya ketika turut andil dalam mencari nafkah.
Perempuan hanya dibolehkan bekerja di ranah domestik dan bertugas melayani segala
keinginan suami dari urusan dapur hingga kasur.
Burkha dan Ruang Publik
Burkha merupakan sebuah kain panjang penutup kepala hingga bagian kaki serta
pada bagian wajah hanya menampilkan mata. Di Bangladesh dikenal sebuah pakaian
penutup tubuh yang muncul lebih dahulu dari burkha yaitu purdah. Purdah digunakan
oleh perempuan muslim Bangladesh yang juga merupakan sebagai sebuah simbol
perbedaan kelas dan status dalam sebuah keluarga. Adapun burkha memiliki fungsi lain
yaitu sebagai kostum yang menunjukkan kebebasan perempuan untuk bisa berjalan keluar
rumah sendirian, bisa menaiki transportasi umum seperti bus, kereta, dan juga perahu.
Perempuan juga diizinkan untuk mengunjungi pusat perbelanjaan, rumah sakit, kantor
pemerintahan dan bahkan bioskop tanpa ditemani oleh mahram.
Shirin dan Rehana menjadi dua tokoh yang berperan dengan mengenakan burkha
saat akan keluar rumah. Shirin yang berprofesi sebagai sales selalu menggunakan burkha
setiap kali akan berjualan. Rehana yang berstatus sebagai mahasiswa pada sebuah
kampus juga melakukan hal yang sama, menggunakan burkha saat keluar rumah sehingga
ia dapat mengakses transportasi umum dan berbaur dengan orang-orang tanpa ditemani
oleh seorang laki-laki yang merupakan mahram.
Burkha menjadi akses bagi perempuan pada ruang publik. Burkha dapat diartikan
sebagai sebuah simbol kemandirian bagi penggunanya yang diberikan kebebasan penuh
untuk dapat berada dan berbaur dalam keramaian tanpa harus memunculkan
kekhawatiran. Hal ini bisa terjadi karena burkha diartikan sebagai bentuk kesalehan
seseorang sehingga tidak lagi dikhawatirkan untuk melakukan sesuatu yang bertentangan
dengan agama ketika berada di luar. Burkha yang menutupi seluruh tubuh dan wajah
perempuan yang menggunakannya juga dianggap dapat menghindari pelecehan yang bisa
dilakukan oleh laki-laki di ruang publik.
Perempuan, Patriarki dan Islam di India: “Transnational
Experience” Melalui Film
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN 2774-5147
Hasvirah Hasyim Nur 1.077
Lipstick Under My Burkha: Transnational Experience
(Mitterbauer & Smith-Prei, 2017) menuliskan bahwa musik dapat menjadi
sebuah alat dalam membentuk konstruksi sosial bagi suatu ruang berbeda. Keberagaman
musik berbeda dengan konstruksi visual karena kesegaran dan spontanitas dari sebuah
musik dapat menyatukan kelompok besar orang-orang dan tindakan emosional yang
tinggi. Dengan fakta tersebut musik dapat memberikan pengaruh kepada orang-orang
yang berada jauh. Musik mampu meniadakan fakta jarak dan membuat pendengarnya
merasa berada dalam situasi sebagaimana yang dihadirkan musik.
Selain melalui musik, buku juga mampu mengantarkan penikmatnya untuk dapat
berimajinasi dan merasakan diri ikut dalam suatu cerita. Baik musik maupun buku dapat
menjadi sebuah media untuk berimajinasi bagi setiap penikmat. Dalam tulisan ini penulis
mencoba sesuatu yang baru yaitu menggunakan film sebagai transnational experience.
Film Lipstick Under My Burkha adalah media yang digunakan untuk melihat sejauh mana
adegan yang ditampilkan menghadirkan pengalaman sebagaimana yang terjadi di negara
lain dalam hal ini berfokus pada Indonesia.
Penelitian ini akan mengurai aspek yang termasuk dalam transnational
experience pada film Lipstick Under My Burkha:
Kemiskinan
Leela (Aahana Kumra) merasa frustasi menghadapi kehidupannya yang hanya
memberi dua pilihan tidak menarik dan akan merugikannya. Apabila ia mementingkan
diri sendiri dengan menolak perjodohan yang dilakukan ibunya maka berarti ia
membiarkan ibunya terus berada dalam kemiskinan serta bekerja sebagai seorang model
lukisan telanjang seumur hidup. Apabila ia memilih mengikuti keinginan ibunya untuk
menikahi lelaki yang telah dipilihkan, maka berarti ia harus meninggalkan lelaki yang
dicintainya, seorang lelaki yang berprofesi sebagai fotografer. Perjodohan tidak akan
dilakukan apabila Leela dan ibunya tidak terdesak oleh kemiskinan yang telah lama
menjerat. Pilihan untuk menikahkan anak dengan orang kaya adalah cara bagus untuk
menjadi kaya dengan mudah. Dalam perjodohan tersebut ibu Leela dihadiahi sebuah
apartemen dari calon mempelai lelaki.
Desakan kemiskinan mampu membuat manusia membohongi hati nurani dan
membenarkan berbagai cara. Pada hari pertunangan Leela dengan calon suaminya,
bertepatan saat lampu di rumah kontrakan tersebut tiba-tiba padam, Leela dan sang
fotografer dengan sembunyi-sembunyi menikmati hubungan seksual mereka yang
direkam dalam bentuk video oleh Leela agar nantinya bisa dijadikan sebagai jaminan dan
alat untuk mengancam kekasihnya apabila berniat mengkhianati Leela. Di saat keduanya
sedang asyik menikmati hubungan seksual, ibu Leela datang dan memergoki mereka.
Leela hanya mendapat tamparan sedikit lalu didudukkan di atas kursi untuk kemudian
dipoleskan lipstick di kedua bibirnya yang sempat mulai kehilangan warna merah karena
berciuman.
Leela dan ibunya mengerti bahwa perbuatan yang baru saja dilakukannya adalah
sesuatu yang telah melanggar susila dan seharusnya tidak pernah terjadi mengingat
malam itu adalah waktu pertunangan Leela dengan lelaki lain, bukan dengan lelaki yang
baru saja melakukan hubungan seksual dengannya. Cinta Leela tidak mampu berdusta
namun kemiskinan yang menderanya mampu membuatnya berdusta pada banyak orang.
Moralitas untuk Perempuan
“A message for our video blog?// I’m just a freshman// New rule. No jeans for
girls. Any comment?// There’s no end to rules in a girl’s life. Don’t sing, don’t dance,
you’ll shame us. Don’t walk like that, people will stare. Keep your eyes down, what will
people say? Don’t breathe, your heaving chest will attract attention! Don’t wear lipstick,
you will have an affair! Don’t wear jeans you will create a scandal! I want to ask the
Vol. 1, No. 9, pp. 1.070-1.079, September 2021
1.078 http://sostech.greenvest.co.id
authorities, what exactly will happen? Why does our freedom scare you so? Don’t we
have our right to live freely? We want our right! Our right to jeans! Our right to live!
Right to jeans! Right to live!
Percakapan antara seorang video blogger (vlogger) dengan Rehana yang mengikuti
unjuk rasa menolak peraturan kampus atas larangan perempuan menggunakan jeans.
Pelarangan menggunakan jeans hanyalah satu dari sekian banyak bentuk diskriminasi
terhadap perempuan. Moralitas yang hanya dilekatkan kepada perempuan adalah bentuk
diskriminasi yang sangat jelas bagaimana perempuan dibatasi ruang geraknya dengan
alasan memuliakan namun dikekang kebebasannya.
Don’t breathe, your heaving chest will attract attention! Perempuan seperti tidak
memiliki hak atas diri sendiri hingga sampai pada urusan bernapas pun tetap diatur dan
menjadi sebuah masalah bagi suatu kelompok. Padahal perempuan adalah mahluk Tuhan
seperti halnya lelaki namun dalam urusan memperoleh hak hidup masih harus mengikuti
aturan-aturan yang ditetapkan berdasrkan alasan mengikuti adat, budaya, agama.
Kebebasan perempuan dalam mengekspresikan diri menjadi suatu hal yang
menakutkan bagi kaum lelaki sehingga semampu mungkin mengeluarkan aturan-aturan
yang dimaksud memuliakan namun sesungguhnya sebuah bentuk pengekangan atas
kebebasan perempuan.
KESIMPULAN
Setelah menyaksikan dan melakukan analasis terhadap film Marlina Si Pembunuh
dalam Empat Babak dan melakukan penelitian yang lebih mendalam terhadap film
Lipstick Under My Burkha penulis menemukan bahwa pengalaman-pengalaman yang
dialami tokoh dan isu-isu yang diangkat dalam film tersebut mengalami banyak
kesamaan dengan kejadian-kejadian di Indonesia. Isu-isu sensitif banyak ditemukan
dalam film ini seperti kemiskinan dan juga moralitas untuk perempuan. Penulis
mengambil kesimpulan tentang mengapa film Lipstick Under My Burkha ini terasa
mewakili banyak orang-orang di luar sana terutama perempuan tentang isu dan protes
yang diangkat dalam film tersebut, hal ini karena film tersebut melibatkan perempuan
pada produksinya. Dalam hal ini Alankrita sendiri menjadi produsernya.
BIBLIOGRAFI
Adha, M. M. (2015). Pendidikan Kewarganegaraan Mengoptimalisasikan Pemahaman
Perbedaan Budaya Warga Masyarakat Indonesia Dalam Kajian Manifestasi
Pluralisme Di Era Globalisasi. Jurnal Ilmiah Mimbar Demokrasi, 14(2), 110.
Agustiawan, Y. (2016). Peran Sistem Informasi Dalam Meningkatkan Investasi Asing
Pada Sektor Properti Di Indonesia di Era Pasar Bebas. Register: Jurnal Ilmiah
Teknologi Sistem Informasi, 2(1), 15.
Besar, P. (2018). Ekonomi ketika beberapa kelompok tidak diikutsertakan atau dihalangi
dalam upayanya mendapatkan sumber material dan simbolik. Wodak (dalam
Coulthard, 2003: 112) juga memberi penjelasan yang lebih rinci saat menyebut tiga
bentuk praktik rasisme, yaitu “ide. In Mengakari Teks Menjelajahi Ko (n) teks:
Sekumpulan Esai Sastra dan Budaya (p. 104). Airlangga University Press.
Damanik, F. N. S. (2012). Menjadi masyarakat informasi. Jurnal SIFO Mikroskil, 13(1),
7382.
Dwipayanti, I. A. S., & Indrawati, K. R. (2014). Hubungan antara tindakan bullying
dengan prestasi belajar anak korban bullying pada tingkat sekolah dasar. Jurnal
Psikologi Udayana, 1(2), 251260.
Perempuan, Patriarki dan Islam di India: “Transnational
Experience” Melalui Film
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN 2774-5147
Hasvirah Hasyim Nur 1.079
Fahrimal, Y. (2018). Netiquette: Etika Jejaring Sosial Generasi Milenial Dalam Media
Sosial. Jurnal Penelitian Pers Dan Komunikasi Pembangunan, 22(1), 6978.
Hamonangan, I. (2020). Pasar, Tata Kelola Dan Hubungan Transnasional Di Era
Globalisasi Dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Politik Dunia. Jurnal Ketahanan
Nasional, 26(1), 5570.
Islamiyati, D. N. (2020). Sejarah dan Filosofi Arsitektur Bangunan Taj Mahal. Prosiding
Konferensi Ilmiah Mahasiswa Unissula (KIMU) Klaster Humanoira.
Kholis, N. (2016). Pendidikan dasar dan era pasar bebas ASEAN: apa yang perlu
dipersiapkan.
Mitterbauer, H., & Smith-Prei, C. (2017). Crossing Central Europe: Continuities and
Transformations, 1900 and 2000. University of Toronto Press.
Puspasari, C., Suryani, A., & Laura, R. (2017). Globalisasi Dalam Film Indonesia:
Interpretasi Budaya dalam Film Naga Bonar dan Naga Bonar Jadi 2. CoverAge:
Journal of Strategic Communication, 8(1), 1225.
Rahmawati, Y. (2019). Pengaruh Diplomasi Budaya Indonesia Terhadap Perkembangan
Minat Masyarakat Belanda dalam Bidang Pencak Silat Indonesia. FISIP UNPAS.
Riwayadi, P. (2013). Pemanfaatan Perkembangan Teknologi Informasi Dan Komunikasi
Untuk Kemajuan Pendidikan Di Indonesia. Available at PLS-UM Database.
Sulistiani, E., & Masrukan, M. (2017). Pentingnya berpikir kritis dalam pembelajaran
matematika untuk menghadapi tantangan MEA. PRISMA, Prosiding Seminar
Nasional Matematika, 605612.
Thamrin, M., Herman, S., & Hanafi, F. (2015). Pengaruh faktor sosial ekonomi terhadap
pendapatan petani pinang. AGRIUM: Jurnal Ilmu Pertanian, 17(2).
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License