
Perempuan, Patriarki dan Islam di India: “Transnational 
Experience” Melalui Film 
e-ISSN 2774-5155 
p-ISSN 2774-5147 
 
Hasvirah Hasyim Nur                                                                                        1.071 
PENDAHULUAN 
 
Peningkatan  hubungan  di  bidang  ekonomi,  sosial,  budaya  dan  politik  yang 
melintasi batas negara dapat dikatakan era globalisasi (Hamonangan, 2020). Peningkatan 
tersebut  menekankan  pada  integrasi  bermacam  negara  yang  membentuk  suatu  sistem 
(Sulistiani  &  Masrukan,  2017)  serta  jaringan  yang  saling  terkait  bukan  hanya  untuk 
peningkatan  proses  penyebaran  produk  (Fahrimal,  2018),  manusia,  kegiatan  dari  satu 
maupun  beberapa  negara.  Kemudian  kemunculan  era  globalisasi  ini  tidak  dapat    
mengubah lokasi geografis suatu negara (Riwayadi, 2013), tetapi batasan antara wilayah 
negara satu dengan yang lainnya hampir tidak berpengaruh (Thamrin et al., 2015) dan 
tidak memiliki arti. Penyebab globalisasi, dunia seakan-akan telah bercampur dalam suatu 
keterbukaan tanpa bata sosial dan kultural. 
Selain  kedua  aspek  tersebut,  globalisasi  juga  memengaruhi  aspek  budaya 
diantaranya adalah industri film (Puspasari et al., 2017). Berdasarkan konteks globalisasi 
abad 21, industri film memiliki peran penting dalam merefleksikan (Kholis, 2016) dan 
memberi kontribusi pada peningkatan interaksi ekonomi dan sosial sebagai bagian dari 
proses integrasi antarnegara (Agustiawan, 2016). Film menjadi salah satu cara terciptanya 
hubungan budaya yang bersifat transnasional (Rahmawati, 2019), yang menjadi ciri dari 
masyarakat  global  (Damanik,  2012).  Industri  film  yang  terkait  dengan  isu-isu 
transnasional  baik  dalam  hal  produksi  (Besar,  2018),  lokasi,  maupun  tema  membuat 
proses globalisasi terjadi lebih cepat serta menyatukan berbagai bangsa dengan berbagai 
latar belakang budaya yang berbeda (Adha, 2015). Pertemuan antara satu budaya dengan 
budaya  lain  yang  dianggap  asing menimbulkan  ‘ketakutan  global’. Perasaan terancam  
atas  hadir  serta  pengaruh  budaya  baru  yang  asing  tersebut  menciptakan  prasangka-
prasangka dan batasan-batasan sebagai bentuk pertahanan diri 
Saat duduk di bangku kelas empat Sekolah Dasar, pada tahun 2004 (Dwipayanti & 
Indrawati, 2014), wali kelas memerintahkan untuk menghafal tujuh keajaiban dunia yang 
terdapat  dalam  buku  Ilmu  Pengetahuan  Sosial  (IPS).  Salah  satu  keajaiban  dunia  yang 
tertulis di sana adalah Taj Mahal yang ada di India (Islamiyati, 2020). Hari itu adalah 
awal perkenalan dengan negara India secara akademik. Adapun awal perkenalan sekilas 
terjadi dengan cara lebih santai dan mengasyikkan. Pada suatu hari saat masih kelas dua 
sekolah dasar saya berkunjung ke rumah keluarga di kampung sebelah dan siang itu di 
televisi sedang tayang film Kuch-Kuch Hota Hai yang diperankan oleh aktor Shah Rukh 
Khan dan Kajol. 
Mahfud  dalam  bukunya  menuliskan  bahwa  menyukai  film  India  berarti  siap 
menjadi musuh dunia. Lebih dari itu Mahfud menuliskan sebuah kalimat panjang: 
Seperti film porno, film India disukai sekaligus tidak disukai, dikonsumsi tapi dianggap 
terlalu  kotor  untuk  dibincangkan,  dinonton  sendirian  kemudian  dihinakan  di  depan 
banyak  orang.  Sungguh  sebuah  ironi.  Menjadi  penonton  India  seperti  aib  yang  harus 
ditanggung  di  tengah masyarakat  modern  yang berkiblat  pada  Barat,  termasuk  pilihan 
film-filmnya. 
Mahfud  menjadi  aib  di  tengah  masyarakat  modern  dengan  keteguhannya  untuk 
terus menonton film India, membicarakannya dan juga mengulasnya kemudian diunggah 
di akun blog pribadinya. Mengenal film India serupa mengenal bahasa Indonesia. Hal itu 
refleks  terjadi  tanpa  perlu  diberitahu  terlebih  dahulu.  Kepopuleran  film  India 
mengalahkan Taj Mahal yang merupakan ikon negara tersebut.  
Berbeda dengan film India yang populer pada tahun 2000-an dengan kebanyakan 
menghadirkan drama dan kisah percintaan remaja, film India yang populer pada tahun-
tahun  terakhir  lebih  menjurus  mengangkat  isu-isu  tertentu  seperti  pendidikan  yang 
dihadirkan  dalam  film  3  Idiots  dan  Taare  Zameen  Par,  ketuhanan  pada  film  Peekay,