Jurnal Sosial dan Teknologi (SOSTECH)
Volume 1, Number 9, September 2021
p-ISSN 2774-5147 ; e-ISSN 2774-5155
How to cite:
Ihda Shofiyatun Nisa’. (2021). Penyadapan Telepon dalam Pandangan Ahlussunah Wal Jemaah. Jurnal
Sosial dan Teknologi (SOSTECH), 1(9): 987-994
E-ISSN:
2774-5155
Published by:
https://greenvest.co.id/
PENYADAPAN TELEPON DALAM PANDANGAN AHLUSSUNAH WAL
JEMAAH
Ihda Shofiyatun Nisa’
Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban, Indonesia
Diterima:
18 Agustus
2021
Direvisi:
27 Agustus
2021
Disetujui:
14 September
2021
Abstrak
Maraknya kasus yang perkembang di Indonesia akibat dari perkembangan
teknologi salah satunya adalah penyadapan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana hukum sadap telepon menurut pandangan Ahlussunah
Wal Jemaah dan untuk memberikan jawaban atas fenomena sadap telepon yang
saat ini sedang marak diperbincangkan sebagai salah satu alat bukti petunjuk
yang bisa dipergunakan dalam proses persidangan. Berdasarkan hukum Islam
penyadapan ini belum masuk dalam kategori tindak pidana. Penelitian ini
menggunakan jenis penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan meneliti
bahan pustaka. Jika menggunakan dua pendekatan penelitian, yaitu pendekatan
kasus (case approach) dan pendeketan konseptual (conceptual approach).
Berdasarkan permasahan dan tujuan dari penelitian, maka analisis data
dilakukan secara kualitatif dengan menguraikan permasalahan yang telah di
angkat kemudian dideskripsikan sesuai dengan konsep hukum yang digunakan.
Berdasarkan hasil Bahtsul Masail pada Muktamar NU ke XXXII 2010
memutuskan bahwa pertama, hukum mengintai, mendengar, serta merekam
pembicaraan orang lain melalui sadap telepon hukumnya haram karena
termasuk tajassus. Kedua, diperbolehkan, jika berkaitan dengan kemaslahan
umat, karena adanya dugaan kuat terjadinya suatu tindak pidana atau
kemaksiatan, bahkan wajib jika tidak ada cara lain. Hasil dari penyadapan bisa
untuk dijadikan sebagai bukti pendukung, bukan sebagai bukti utama.
Kata kunci : Penyadapan, Telepon, Ahlussunah Wal Jemaah
Abstract
The rise of cases that developed in Indonesia due to the development of
technology one of which is wiretapping. This research aims to find out how the
telephone sadap law in the view of Ahlussunah Wal Jemaah and to provide
answers to the phenomenon of telephone sadap that is currently being
discussed as one of the evidence that can be used in the trial process. Under
Islamic law this wiretapping does not fall into the category of criminal acts.
This research uses a type of normative legal research conducted by examining
library materials. If using two research approaches, namely the case approach
(case approach) and conceptual approach (conceptual approach). Based on
the details and objectives of the research, the data analysis is carried out
qualitatively by describing the problems that have been raised and then
described in accordance with the legal concepts used. Based on the results of
Bahtsul Masail at the NU Conference to XXXII 2010 decided that first, the law
lurks, hears, and records the conversations of others through the sadap
telephone of haram law because it includes tajassus. Second, it is permissible,
if it is related to the welfare of the people, because of the strong suspicion of
the occurrence of a criminal act or efficacy, even mandatory if there is no other
way. The results of wiretapping can be used as supporting evidence, not as
primary evidence.
Keywords : Tapping, Telephone, Ahlussunah Wal Jemaah
Penyadapan Telepon dalam Pandangan Ahlussunah Wal
Jemaah

988
PENDAHULUAN
Kemajuan teknologi sering berpengaruh pada bidang kehidupan sosial (Ngafifi,
2014). Penggunaan teknologi jika tidak diatur dengan baik, maka ada kecenderungan
penggunaan teknologi itu menjadi tidak terkendali (Astria, 2019), dapat berupa melawan
hukum atau kriminal (Farahwati, 2015). Demikian pula halnya dengan kemajuan di
sektor teknologi informasi yang membawa perubahan pada proses komunikasi (Yaumi,
2011), peranan telekomunikasi semakin penting sebagai akibat dari tuntutan aktivitas
dunia modern yang serba cepat dan mendunia (Erwin, 2021). Dunia modern saat ini
menjadi sangat tergantung dengan teknologi komunikasi yang dapat menciptakan
efisiensi dengan jangkauan wilayah yang luas tanpa dihalangi oleh batas-batas Negara
(Sirajuddin, 2014). Salah satu wujud teknologi yang berhasil menjawab kebutuhan
tersebut adalah teknologi internet (Astria, 2019). Berbekal keunggulan-keunggulan yang
dimilikinya berupa jaringan yang dapat menjangkau ke seluruh pelosok dunia (Prandika,
2015). Internet berhasil merambah semua sektor kehidupan manusia mulai dari
pendidikan perdagangan (Mike, 2019), kesehatan dan periklanan sampai pada sektor
hiburan.
Perkembangan teknologi komputer, teknologi informasi, dan teknologi komunikasi
menghasilkan sebuah fenomena baru (Sholikha, 2015), yaitu hacking computer dan sadap
telepon. Kemudian muncul kasus-kasus karena dampak daripada kemajuan teknologi
tersebut. Salah satunya yaitu kasus pada tahun 2016 tepatnya tanggal 1 Februari dalam
siaran pers di Wisma Proklamasi Presiden RI keenam Susilo Bambang Yudhoyono,
mengeluhkan terkait adanya dugaan penyadapan secara ilegal yang dilakukan
terhadapnya. Dugaan penyadapan tersebut, bermula saat salah satu anggota tim kuasa
hukum Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menyebutkan dalam persidangan dugaan
penistaan agama yang dilakukan Ahok, adanya bukti telepon antara KH. 
dengan Presiden RI keenam Susilo Bambang Yudhoyono. Terkait dengan hal itu Presiden
RI keenam Susilo Bambang Yudhoyono dalam siaran pers menganggap telah terjadi
penyadapan tanpa alasan yang sah. Berdasarkan fenomena inilah penelitian dilakukan
untuk melakukan kajian terhadap penyadapan telepon dalam pandangan Ahlusunnah Wal
Jemaah. Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat menyumbangkan sedikit pencerahan
atau bahkan penguatan tentang hukum penyadapan telepon dalam pandangan Islam.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hukum sadap telepon menurut
pandangan Ahlussunah Wal Jemaah dan untuk memberikan jawaban atas fenomena sadap
telepon yang saat ini sedang marak diperbincangkan sebagai salah satu alat bukti
petunjuk yang bisa dipergunakan dalam proses persidangan. Manfaat penelitian ini yaitu
secara teori berbentuk sebagai pengembangan ilmu hukum Islam dan secara praktis
diorientasikan untuk pengembangan praktik hukum terutama dalam perbaikan kebijakan
dan penegakan hukum.
METODE PENELITIAN
Berdasarkan penelitian tersebut, digunakan jenis penelitian hukum normatif yang
dilakukan dengan meneliti bahan pustaka. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
dua pendekatan penelitian yaitu pendekatan kasus (Case Approach) dan pendekatan
konseptual (Conceptual Approach). Berdasarkan permasalahan dan tujuan dari penelitian,
maka analisis data dilakukan secara kualitatif dengan menguraikan permasalahan yang
telah di angkat kemudian di deskripsikan sesuai dengan konsep hukum yang digunakan.
Vol. 1, No. 9, pp. 987-994, September 2021
989 http://sostech.greenvest.co.id
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tindak pidana penyadapan tidak ditemukan dalam hukum Islam (Juwita, 2020),
akan tetapi tindak pidana penyadapan termasuk dalam katogori memata-matai (spionase)
(Dewi et al., 2020) atau dalam Al-tajassus, dengan adanya teori
ilmu ushul fiqh dimana bila suatu hukum belum ditentukan status hukumnya maka bisa
disesuaikan dengan metode qiyas (Siregar, 2020). Qiyas adalah menyamakan sesuatu
hukum dengan peristiwa yang tidak memiliki nash hukum dengan peristiwa yang sudah
memiliki nash hukum (Kholiq, 2014), sebab sama dalam illat hukum. Ada 4 macam
rukun qiyas, yaitu (M Sabarudin, 2021)
1. Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash
2. Fara’, yang berarti cabang, yanitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya
karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar
3. Hukum ashal, yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasarkan nash dan
hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara’ illatnya
4. ‘illat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal 
Oleh karena itu, dapat di katakan bahwa ada kesamaan ‘illat (sebab hukum) antara
kegiatan tajassus dalam Al-   penyadapan yaitu mengawasi
(memonitor) pembicaraan rahasia seseorang untuk menemukan/mencari kesalahan,
kejahatan atau aib dirinya. Sehingga jika tindakan penyadapan ini disamakan dengan
kegiatan tajassus, perbuatan tersebut haram hukumnya dan dilarang dalam Islam.
Tajassus dalam hukum Islam adalah kegiatan memata-matai atau mencari berita.
Sedangkan secara bahasa yaitu jassa al-akhbar wa tajassasaha artinya adalah mencari
suatu berita. Seseorang yang mencari-cari berita dari orang lain berarti telah melakukan
aktivitas tajassus, baik itu berita rahasia maupun terang. Sedangkan orang yang
melakukan aktivitas memata-matai disebut dengan jasus (mata-mata). Tetapi aktivitas
mengumpulkan, menyebarkan dan menganalisa suatu berita entah itu berita rahasia
ataupun terang jika dilakukan biasa saja tanpa mencari-cari suatu berita tersebut maka itu
bukan termasuk aktivitas tajassus, selama tidak ada unsur mencari-cari berita lebih lanjut.
Sehingga jika ada aktivitas dalam kondisi semacam itu, maka aktivitas yang dilakukan itu
tidak disebut tajassus. Sebab, yang disebut tajassus itu adalah yang mencari-cari berita,
mengusut serta menelitinya lebih dalam. Apabila ada orang yang hanya mengumpulkan
berita saja tanpa menelitinya lebih lanjut, akan tetapi mengumpulkan lalu disebarkan ke
orang lain maka apa yang dilakukan juga tidak disebut dengan tajassus. Oleh karena itu,
untuk orang yang mencari-cari atau mengumpulkan berita, seperti halnya redaktur koran,
jurnalis tidak disebut dengan jasus (mata-mata). Kecuali jika dia memang mempunyai
niatan untuk melakukan aktivitas tajassus sedangkan pekerjaan sebagai wartawan hanya
untuk menutupi aktivitas sebagai jasus (mata-mata). Pada kondisi seperti ini memang
bukan karena sebagai redaktur korannya yang menjadikan dia melakukan tajassus, akan
tetapi aktivitasnya yang memata-matai, dengan cara menjadi wartawan sebagai alat untuk
melakukan aktivitas tajassus. Oleh karena itu, kebanyakan wartawan ada seorang kafir
harbiy. Seperti pegawai Dinas Intelijen dan biro mata-mata, yang mana mereka bertugas
mencari berita maka disebut jasus, sebab aktivitasnya termasuk dalam kategori tajassus.

saya meronda pada suatu malam bersama Umar bin Khatab di Madinah. Tiba-tiba kami
melihat sorot lampu di sebuah rumah yang pintunya berpaling dari orang banyak, mereka
mengeluarkan suara-        
        ang minum, maka
bagaima        
Penyadapan Telepon dalam Pandangan Ahlussunah Wal
Jemaah

990
Wala Tajassasu (janganlah kamu memata-
matai) dan itu benar-benar telah memata matai. Maka Umar pergi meninggalkan mereka.
Hukum tajassus menurut Imam syaikh Taqiyuddin An-Nabhani bisa menjadi
haram, jaiz (boleh) dan wajib, ditinjau terlebih dahulu siapa yang akan di mata-matai.
Berdasarkan Al-Quran juga dijelaskan bahwa Allah melarang secara tegas apabila
kegiatan tajassus dilakukan terhadap seorang muslim. Berdasarkan surat Al-Hujurat ayat
12, Allah SWT berfirman yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan),
karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan
orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu
yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa
jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang.
Berdasarkan ayat di atas Imam Qurthubiy telah mengartikan sebagai berikut:
Ambillah hal-hal yang nampak dan janganlah kalian membuka aurat kaum muslim,
yakni, janganlah seorang diantara kalian meneliti aurat saudaranya, sehingga ia
mengetahui auratnya setelah Allah SWT menutupnya
Dasar hukum tajassus selain dari Al-Qur'an dan pendapat beberapa imam, dasar
hukum tajassus juga terdapat dalam beberapa hadis, diantaranya. Menurut Hammam bin
Munabbih, dari Abu Hurairah RA, dari Nabi Muhammad SAW, beliau bersabda, jauhilah
prasangka, sesungguhnya prasangka adalah perkataan yang paling dusta, jangan mencari-
cari kesalahan dan jangan memata-matai, jangan saling mendengki dan jangan saling
membenci dan jangan saling membelakangi (bermusuhan). Jadilah kalian hamba-hamba
Allah yang bersaudara (HR. Bukhari).
Menurut Ilyas bin Salamah bin Al akw     Nabi
Muhammad SAW didatangi oleh seorang mata-mata kaum musyrikin sementara beliau
Nabi Muhammad SAW berada dalam perjalanan. Orang itu duduk bersama para sahabat
Nabi Muhammad SAW dan berbicara. Kemudian dia pun pergi. Nabi Muhammad SAW
bersabda,    . Akhirnya aku membunuhnya dan beliau
memberikan rampasannya kepadanya (HR. Bukhari).
Beberapa hadis di atas menjelaskan secara tegas larangan terhadap kegiatan
memata-matai, menyadap pembicaraan orang lain atau mencari berita dari orang lain
yang tersembunyi. Karena kegiatan-kegiatan seperti itu, merupakan unsur-unsur dari
kegiatan tajassus, yang sudah diketahui jelas keharamannya. Oleh karena itu, tidak di
ragukan lagi bahwa kegiatan memata-matai seorang muslim hukumnya adalah haram
secara mutlak.
Apabila ada tindak kriminal yang sulit dalam mencari bukti dan salah satu cara
hanya dengan memata-matainya, secara Islam bukti tersebut juga ditolak karena
diperoleh dengan jalan memata-matai. Seperti tradisi barat, orang kafir barat telah biasa
menggunakan detektif atau mata-mata untuk mencari bukti kriminal, dengan cara
menyadap telepon dan dengan berbagai metode penyadapan lainnya yang menyimpang.
Sedangkan dalam kaidah fiqhiyyah yang berbunyi kemadharatan harus di
hilangkan.       Abd al-Salam bahwa tujuan
syariah itu adalah untuk meraih kemaslahatan dan menolak kerusakan. Apabila
diturunkan kepada tataran yang lebih konkret maka maslahat membawa manfaat
sedangkan mafsadah membawa mengakibatkan kemadharatan. kemudian para ulama
lebih merinci dengan memberikan persyaratan-persyaratan dan ukuran-ukuran tertentu
apa yang dimaksud maslahat. Tajassus adalah perbuatan yang mengakibatkan kerusakan.
Oleh karena itu, suatu kerusakan itu harus di hilangkan. Artinya kerusakan tidak
Vol. 1, No. 9, pp. 987-994, September 2021
991 http://sostech.greenvest.co.id
diperbolehkan dalam Islam. Begitu pula dengan adanya berbagai macam sanksi dalam
fiqh jinayah (hukum pidana Islam) adalah juga untuk menghilangkan kemadharatan.
Unsur-unsur penyadapan dalam Islam yaitu, seperti yang telah dijelaskan pada
definisi tajassus di atas, bahwa seseorang yang dapat dikategoriakan melakukan tindakan
tajassus karena adanya niat dari seseorang untuk melakukan tindakan tajassus yang telah
dilarang dalam surah Al-Hujurat ayat 12, mencari-cari atau mendengarkan berita lebih
lanjut dari orang lain, baik itu berita tertutup maupun berita terbuka, pelaku mengetahui
bahwa mencari atau mendengarkan berita dari orang lain adalah tindakan yang dilarang di
dalam negara atau agamanya.
Apabila dilakukan oleh kafir harbiy maka hukumannya adalah dibunuh, bila
diketahui bahwa ia adalah mata-mata atau telah terbukti bahwa dia adalah mata-mata. Hal
ini sebagai mana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Salamah bin al-
 -mata dari orang-orang musrik mendatangi Rasulullah SAW, sedangkan
orang itu sedang safar. Lalu, orang itu duduk bersama sahabat Nabi Muhammad SAW
dan ia berbincang-bincang dengan para sahabat. Kemudian orang itu pergi. Nabi
Muhammad    -
berhasil mendapatkannya lebih dahulu dari para sahabat lain dan aku membunuhnya.
Imam Muslim juga meriwayatkan dengan perintah senada namun dengan lafaz
berbeda. Sedangkan -Mustakhraj, dari jalan Yahya
Al-Hamaniy, dari Abu Al--Hadis ini
menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulullah SAW telah menetapkan, bahwa ia adalah
mata-mata, kemudian beliau Rasululla       
menunjukkan, bahwa tuntutan dari Rasul adalah thalab yang pasti, sehingga sanksi bagi
kafir harbiy yang memata-matai kaum muslimin, adalah dibunuh tanpa perlu komentar.
       
at
Bila tajassus dilakukan oleh kafir dzimmiy, maka sanksi yang dijatuhkan
kepadanya perlu dilihat. Jika pada saat ia menjadi kafir dzimmiy diisyaratkan untuk tidak
menjadi mata-mata dan bila ia melakukan spionase dibunuh, maka sanksi bila kafir
dzimmiy tadi melakukan tindak tajassus, maka hukumnya dibunuh sesuai dengan syarat
tadi. Namun bila saat ia menjadi kafir dzimmiy tidak disyaratkan apa-apa, maka khalifah
boleh menetapkan sanksi bunuh terhadapnya atau tidak, bila ia melakukan tajassus.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa Nabi Muhammad SAW
telah memerintahkan untuk membunuh seorang kafir dzimmiy, yakni mata-matanya Abu
Sofyan (Furat bin Hayyan), kemudian sekelompok orang Anshor mendatangi Furat bin
Hayyan, lalu dia (Furat bin Hayyan) berkata,     ahabat
         SAW
an yang menolak keimanan mereka dan
Hadis ini menunjukkan dengan jelas,
bahwa Rasulullah SAW memerintahkan para shahabat untuk membunuh kafir dzimmiy
yang melakukan tindak spionase (tajassus). Namun demikian, hal ini hanya berhukum
jaiz (boleh) bagi imam, tidak wajib seperti sanksi terhadap kafir harbiy bila menjadi
mata-mata. Dalil yang menyatakan bahwa sanksi bunuh terhadap kafir dzimmiy jaiz
(boleh) dan tidak wajib, adalah, hadis di atas tidak memiliki qarinah yang bersifat jaazim
(qarinah yang pasti). Maka hadis di atas tuntutannya menjadi tidak pasti (ghairu jaazim).
Ada qarinah yang menunjukkan bahwa tuntutan pada hadis itu tidak pasti (ghairu jaazim)
yakni, nash hadis di atas menunjukkan bahwa Rasulullah SAW tidak langsung
membunuh Furat bin Hayyan, sekedar mengetahui bahwa ia adalah mata-mata, padahal
kafir harbiy yang disebutkan dalam hadis Salamah bin al- ullah SAW
Penyadapan Telepon dalam Pandangan Ahlussunah Wal
Jemaah

992
langsung memerintah untuk membunuhnya sekedar setelah ditetapkan bahwa ia adalah
mata-
Dalil ini menunjukkan, bahwa beliau tidak langsung membunuhnya, padahal
Rasulullah SAW mengetahuinya bahwa ia adalah kafir dzimmiy dan ini tampak jelas dari
lafaz hadisdan dia adalah (kafir) dzimmiy dan seorang mata-  
(Furat bin Hayyan) telah diketahui oleh beliau SAW. Ini juga tampak jelas dari ucapan
Rasulullah eka itu adalah Furat bin Hayyan. Atas dasar itu,
Rasulullah SAW telah berkata kepada kafir harbiy yang melakukan tindak tajassus

memerintahkan untuk membunuhnya, namun tidak memerintahkan kaum muslimin untuk
mencarinya. Ini menunjukkan dengan jelas, ada perbedaan antara kedua riwayat tersebut;
           
tuntutan untuk membunuh bila mereka melakukan tindak spionase, adalah tuntutan yang
pasti (thalab jaazim), sedangkan tuntutan untuk membunuh kafir dzimmiy, bukanlah
tuntutan yang pasti (ghairu jaazim). Ini menunjukkan bahwa membunuh mata-mata dari
kalangan kafir dzimmiy atau tidak, hukumnya adalah jaiz (mubah).
Adapun bila seorang muslim memata-matai kaum muslimin dan kafir dzimmiy
untuk kepentingan musuh, maka ia tidak dibunuh. Sebab, Rasulullah SAW telah
memerintah untuk membunuh kafir dzimmiy (bila mereka melakukan tindak spionase),
namun ketika ia menjadi muslim, maka hukuman bunuh itu dibatalkan. Rasulullah SAW
telah memerintahkan untuk membunuh Furat bin Hayyan, seorang kafir dzimmiy
sekaligus sebagai mata-mata, namun ketika para sahabat berkata 
telah bersumpah menjadi seorang muslim. Kemudian Rasulullah SAW bersabda,
n yang menolak keimanan mereka dan sebagian
dari mereka itu adalah Furat bin Hayyan.
Maka ‘illat dibatalkannya hukum bunuh, karena ia telah menjadi seorang muslim.
Imam Ahmad meriwayatkan hadis ini dari Sofyan Bisyr bin al-Sariy al Bashariy dan dia
termasuk orang yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim. Maka demikian, hadis ini sah
sebagai dalil. Maka riwayat Imam Ahmad tersebut di atas bisa digunakan sebagai dalil,
bahwa sanksi atas seorang muslim yang melakukan tindak tajassus, tidaklah dibunuh.
Namun, ia diberi sanksi sebagaimana ketetapan yang dijatuhkan oleh khalifah maupun
qadliy. Aktivitas tajassus yang dilakukan oleh seorang muslim kepada kaum muslimin
lainnya, bukan untuk kepentingan musuh, namun sekedar memata-matai saja, maka

ya ditetapkan oleh seorang qadliy (penguasa).
Hasil Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama’ (Maret 2010)
Akhir-akhir ini telah marak di masyarakat komunikasi menggunakan telepon,
sehingga memudahkan untuk melakukan pembicaraan antar pihak. Pada saat yang sama
melalui telepon dapat mengintip pembicaraan orang lain lain, baik melalui rekaman
maupun secara langsung disadap. Penyadapan dapat dilakukan oleh siapapun dengan
mudah, mulai dari alat yang sederhana sampai dengan alat yang super canggih. Yang
marak di negeri ini adalah sadap yang dilakukan oleh para penegak hukum, seperti
Komisi Pemberantan Korupsi (KPK) untuk sarana penegakan hukum. Penyadapan adalah
mengintip dan mengintai pembicaraan orang lain melalui telepon untuk mengetahui isi
pembicaraan orang lain yang dimaksud, baik dalam rangka tujuan baik maupun untuk
tujuan jahat.
tul Ulama
XXXII 2010 tanggal 23 hingga 27 Maret 2010 menyatakan hukum mengintai, mendengar
dan merekam pembicaraan orang lain melalui sadap telepon pada dasarnya haram, karena
termasuk tajassus (mencari-cari kesalahan orang), kecuali untuk kepentingan pelaksanaan
Vol. 1, No. 9, pp. 987-994, September 2021
993 http://sostech.greenvest.co.id
amar ma’ruf nahi munkar dan ada gholabatuzh zhan (dugaan kuat) atas terjadinya
kemaksiatan, bahkan wajib jika tidak ada cara yang lain. Tidak sah sebagai bayyinah (alat
bukti hukum), tetapi sah sebatas untuk bukti pendukung.
Dasar-dasar pe    -   l-
dan Tuhfaj al-Muhtaj. Berdasarkan firman Allah S anganlah kalian mencari-cari
       anganlah sebagian dari kalian
mencari-cari aib sebagian orang lain. Akan tetapi cukuplah dengan urusan yang tampak,
yang di dengar yang kalian puji atau kalian cela. Bukan atas rahasia-rahasianya yang
 
saya sapakan. Menyebut ulama yang berpendapat demikian. Ali bercerita kepadaku, dari
Ali, dari Ibn Abbas beanganlah kalian mecari-cari aib
       -cari kesalahan
 Harist menceritakan kepadaku, Al Hasan bercerita kepadaku, waraqo
bercerita kepadaku, semuaya dari Ibnu Abi Najih dan mujtahid tentang firman Allah
   -cari aib    ah aibnya yang
tampak dari kalian dan tinggalkan aib yang telah Allah SWT   
       
daai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan
purbasangka (kecurigaan), karena sebagian dari purbasangka itu dosa dan janganlah
mencari-        tajassus atau tajsis? yaitu kau
meneliti atau mencari-cari aib saudaramu supaya melihat rahasianya. Dan tidaklah
seseorang berhak melakukan penelitian, mencari dan menerobos rumah-rumah orang lain
berdasarkan prasangka. Meski demikian, jika menurutnya diduga kuat terjadi maksiat
walaupun dengan indikasi jelas, seperti informasi dari orang yang terpercaya, ia boleh
bahkan wajib menelitinya bila kesempatannya segera hilang, seperti pembunuhan dan
zina. Bila kesempatan itu masih panjag maka tidak diperbolehkan.
KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan dari materi di atas, maka penulis dapat menarik
kesimpulan tentang hukum sadap telepon. Menurut Pandangan Islam Ahlussunah Wal
Jemaah adalah haram, karena termasuk tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain). Arti
daripada tajassus yaitu, mengintai, mendengar dan merekam pembicaraan orang lain
melalui telepon. Kemudian sadap telepon di perbolehkan, dengan pengecualian untuk
kepentingan pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar dan ada gholabatuzh zhan (dugaan
kuat) atas terjadinya kemaksiatan, bahkan wajib jika tidak ada cara yang lain. Hasil dari
sadap telepon tidak sah jika digunakan sebagai bayyinah (alat bukti hukum), tetapi sah
sebatas untuk bukti pendukung.
BIBLIOGRAFI
Astria, N. (2019). Essay Kajian Kronologis Dan Dampak Penggunaan Dan
Perkembangan Teknologi Informasi. Jurnal Inovasi, 13(1), 110.
Dewi, D. P., Harjoyo, H., & Salam, A. (2020). Prosedur Administrasi Jasa Pengiriman
Barang di PT. Citra Van Titipan Kilat Tangerang. Jurnal Sekretari Universitas
Pamulang, 7(1), 111.
Erwin, R. (2021). Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap hukuman tindak pidana
penipuan dalam pasal 28 ayat 1 undang-undang no 11 tahun 2008 tentang
informasi dan transaksi elektronik. UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Farahwati, F. (2015). Hakekat Hukum Pidana terhadap Perbuatan Melawan Hukum di
Penyadapan Telepon dalam Pandangan Ahlussunah Wal
Jemaah

994
Masyarakat. DEDIKASI, 30(1), 5471.
Juwita, F. (2020). Tinjauan hukum Islam terhadap UU No. 11 Tahun 2008 pasal 31
tentang perilaku penyadapan. IAIN Padangsidimpuan.
Kholiq, A. N. (2014). Relevansi Qiyas Dalam Istinbath Hukum Kontemporer. Istidal:
Jurnal Studi Hukum Islam, 1(2), 170180.
M Sabarudin, N. (2021). Qiyas dan Permasalahannya.
Mike, E. (2019). Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual Terhadap Tindakan
Pelanggaran Pembajakan Buku Elektronik Melalui Media Online. AL IMARAH:
JURNAL PEMERINTAHAN DAN POLITIK ISLAM, 2(2).
Ngafifi, M. (2014). Kemajuan teknologi dan pola hidup manusia dalam perspektif sosial
budaya. Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi Dan Aplikasi, 2(1).
Prandika, H. A. (2015). Analisa Perlindungan Hak Cipta Di Jaringan Internet Menurut
Undang-Undang No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Lex Privatum, 3(1).
Sholikha, S. M. (2015). Penerapan teknologi informasi dalam pendekatan saintifik pada
mata pelajaran ekonomi. Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2011.
Sirajuddin, M. (2014). Pengembangan Strategi Dakwah Melalui Media Internet (Peluang
dan Tantangan). Al-Irsyad Al-Nafs: Jurnal Bimbingan Dan Penyuluhan Islam, 1(1).
Siregar, T. A. S. (2020). Hukuman Mati Bagi Pengedar Narkoba. Jurnal El Thawalib,
1(2), 115.
Yaumi, M. (2011). Integrasi Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pembelajaran.
Lentera Pendidikan: Jurnal Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan, 14(1), 88102.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License