Jurnal Sosial dan Teknologi (SOSTECH)
Volume 1, Number 11, November 2021
p-ISSN 2774-5147 ; e-ISSN 2774-5155
How to cite:
Muhammad Idris Patarai. (2021). Desentralisasi Kebijakan dalam Otonomi Daerah. Jurnal Sosial dan
Teknologi (SOSTECH), 1(11): 1.406-1.417
E-ISSN:
2774-5155
Published by:
https://greenpublisher.id/
DESENTRALISASI KEBIJAKAN DALAM OTONOMI DAERAH
Muhammad Idris Patarai
Program Studi Kebijakan Publik, Fakultas Politik Pemerintahan, Institut Pemerintahan dalam
Negeri Jatinangor, Indonesia
Abstrak
Latar belakang: Sengketa antara privat dengan publik memerlukan intervensi pemerintah.
Penetapan kebijakan untuk publik dalam rangka meredakan ketegangan publik-privat,
melindungi eksistensi masing-masing, serta menghindari kekacauan antara keduanya semakin
menguatkan kedudukan maupun fungsi kebijakan publik.
Tujuan penelitian: Untuk kemandirian daerah sebagai Daerah Otonom dalam penetapan
kebijakan publik daerah, mendorong peningkatan kreativitas daerah membangun daerah
melalui kebijakan publik daerah dan menemukan metafora baru tentang kebijakan publik
daerah.
Metode penelitian: Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif yang bersifat studi
pustaka (library research) yang menggunakan buku-buku dan literatur-literatur lainnya sebagai
objek yang utama.
Hasil penelitian: Hak dan kewenangan daerah dalam konsep desentralisasi ditentukan
berdasarkan tingkat kewenangan untuk perencanaan, memutuskan dan mengelola kewenangan
yang ditransfer oleh pemerintah pusat, serta besaran otonomi yang diterima untuk
melaksanakan tugas-tugas tersebut. Dengan demikian, terdapat kewenangan yang tetap berada
di pusat, disebut kewenangan absolut dan terdapat kewenangan yang dilimpahkan ke daerah
disebut kewenangan konkuren yang diatur dengan undang-undang.
Kesimpulan: Kebijakan Publik Daerah (KPD) berdimensi dua yaitu pertama kebijakan publik
atas inisiasi dan analisis daerah dan kedua sebagai kebijakan turunan atau pengendalian
kebijakan publik di daerah. Posisi Kebijakan Publik Daerah (KPD) merangsang proses
demokratisasi dan partisipasi masyarakat di daerah. Deskripsi Kebijakan Publik Daerah
terwujud melalui Desentralisasi Kebijakan, yaitu adanya ruang bagi masyarakat daerah
merumuskan dan mengagendakan masalahnya. Presentasi kebijakan turunan dengan kebijakan
inisiatif menjadi tolok ukur kreativitas daerah dalam skala antara kebijakan inisiatif dan
kebijakan turunan atau dalam teori dikenal dengan kebijakan regulatif dan kebijakan substantif.
Berdasarkan perspektif kinerja, kebijakan regulatif hanya sebatas input-output; sedang
kebijakan substantif pada batas outcome-impact.
Kata kunci: Kebijakan Publik, Desentralisasi, Negara Kesatuan
Abstract
Background: Disputes between private and public require government intervention. The
establishment of policies for the public in order to ease public-private tensions, protect each
other's existence, and avoid chaos between the two further strengthens the position and
function of public policy.
Research purposes: For regional independence as an Autonomous Region in the determination
of regional public policy, encourage increased regional creativity of building regions through
regional public policy and discover new metaphors about regional public policy.
Research methods: This research uses qualitative research that is library research that uses
books and other literature as the main object.
Research results: Regional rights and authorities in the concept of decentralization are
determined based on the level of authority for planning, deciding and managing the authority
transferred by the central government, as well as the amount of autonomy received to carry out
these tasks. Thus, there is authority that remains at the center, called absolute authority, and
there is authority that is devolved to the region called concurrent authority regulated by law.
Conclusion: Regional Public Policy (KPD) has two dimensions, namely first public policy on
the initiation and analysis of regions; and second as a derivative policy or control of public
policy in the area. The Position of Regional Public Policy (KPD) stimulates the process of
Desentralisasi Kebijakan dalam Otonomi Daerah
Muhammad Idris Patarai 1.407
democratization and community participation in the region. Description of Regional Public
Policy is realized through Decentralization Policy, namely the existence of space for regional
communities to formulate and generalize the problem. The presentation of derivative policies
with initiative policies becomes a benchmark of regional creativity in the scale between
initiative policy and derivative policy or in theory known as regulative policy and substantive
policy. Based on the performance perspective, regulative policies are limited to input-output;
substantive policy on outcome-impact limits.
Keywords: Public Policy, Decentralization, Unitary State
Diterima: 24-10-2021; Direvisi: 8-11-2021; Disetujui: 14-11-2021
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara kesatuan yang terdiri dari daerah besar dan kecil menurut
tingkatan pemerintahannya memetakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah secara
struktural dan hierarki dengan kekhasan dalam kebijakan publik (Tatang Sudrajat &
Hersusetiyati, 2015).
Eksistensi daerah di Indonesia sama tuanya dengan negara kesatuan itu sendiri
(Jayus, 2019). UndangUndang pertama yang lahir pasca kemerdekaan adalah undang-
undang yang mengatur mengenai Komite Nasional Daerah (KND) (Dwinanda et al.,
2017) dan diklasifikasikan sebagai undang-undang pemerintahan daerah pertama
(Astomo & Farhanuddin, 2018). KND merupakan penjelmaan Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) di daerah yang mengatur pemerintahan sebelum badan-badan
yang ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar terbentuk. Berdasarkan era reformasi, salah
satu butir tuntutan reformasi yang menjadi perhatian dan perubahan mendasar adalah
penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah (Safitri, 2016).
Konteks tulisan ini, Daerah Otonom dicirikan dengan dua model kebijakan publik
(Dasril, 2017), yaitu kebijakan publik pemerintah pusat dan kebijakan publik pemerintah
daerah (Faturahman, 2018). Keduanya berlaku di daerah melalui Peraturan Daerah
(Perda). Kebijakan publik dari pemerintah pusat dalam teori dideskripsikan sebagai
kebijakan turunan atau instruksional.
Inisiatif daerah dalam menetapkan kebijakan publik disebut sebagai Kebijakan
Publik Daerah (Patarai, 2020). Kebijakan tersebut disusun dengan memperhatikan teori
kebijakan publik dan pengambilan keputusan (Prasetyo, 2012). Hal umum yang perlu
diperhatikan pada posisi dan dimensi desentralisasi kebijakan simultan dengan kebijakan
pusat terhadap agenda nasional (Patarai, 2020). Selain itu, perwujudannya memenuhi
standar kebijakan publik dengan pendekatan Hukum Tata Pemerintahan atau Hukum
Administrasi dan Sistem Pemerintahan (Jeddawi, 2020). Dalam hal ini desentralisasi
kebijakan sebagai praktik asas penyelenggaraan otonomi daerah (Purwadi, 2013).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemandirian daerah sebagai daerah
otonom dalam penetapan kebijakan publik daerah, mendorong peningkatan kreativitas
daerah membangun daerah melalui kebijakan publik daerah, menemukan metafora baru
tentang kebijakan publik daerah. Penelitian ini diharap memberikan manfaat yaitu dapat
menambah wawasan mengenai kebijakan publik, adminitrasi publik dan pengambilan
keputusan. Menemukan hubungan dan kedudukan kebijakan publik daerah dengan
kebijakan publik nasional/pusat. Adanya metafora baru mengenai kebijakan publik
daerah dan menjadi bahan kajian dan literatur dalam pengembangan ilmu pengetahuan,
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pemerintahan, pembangunan
dan kemasyarakatan.
Vol. 1, No. 11, pp. 1.406-1.417, November 2021
1.408 http://sostech.greenvest.co.id
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat studi pustaka (library
research) yang menggunakan buku-buku dan literatur-literatur lainnya sebagai objek
yang utama. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif, yaitu penelitian yang
menghasilkan informasi berupa catatan dan data deskriptif yang terdapat di dalam teks
yang diteliti.
Metode analisis deskriptif memberikan gambaran dan keterangan yang secara jelas,
objektif, sistematis, analitis dan kritis mengenai kebijakan publik pendekatan kualitatif
yang didasarkan pada langkah awal yang ditempuh dengan mengumpulkan data-data
yang dibutuhkan, kemudian dilakukan klasifikasi dan deskripsi.
Sebagai penelitian kepustakaan, maka sumber data ada dua macam yang akan
dipaparkan yaitu sumber primer adalah suatu referensi yang dijadikan sumber utama
acuan penelitian. Berdasarkan penelitian ini, sumber primer yang digunakan adalah
Kumpulan Peraturan Daerah dari berbagai daerah di Indonesia. Sumber sekunder adalah
referensi-referensi pendukung dan pelengkap berupa buku buku kebijakan publik,
undang-undang dan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan penelitian kepustakaan, metode yang digunakan untuk mengumpulkan
data penelitian berupa data-data kepustakaan yang telah dipilih, dicari, disajikan dan
dianalisis. Sumber data penelitian ini mencari data-data kepustakaan yang substansinya
membutuhkan tindakan pengolahan secara filosofis dan teoritis. Studi pustaka di sini
adalah studi pustaka tanpa disertai uji empirik. Data yang disajikan adalah data yang
berbentuk kata yang memerlukan pengolahan supaya ringkas dan sistematis.
Analisis adalah serangkaian upaya sederhana tentang bagaimana data penelitian
pada gilirannya dikembangkan dan diolah ke dalam kerangka kerja sederhana. Data yang
sudah terkumpul kemudian dianalisis untuk mendapatkan informasi, namun terlebih
dahulu data tersebut diseleksi atas dasar reliabilitasnya.
Berdasarkan penelitian ini menggunakan teknik analisi data berupa analisis isi
(content analysis). Analisis isi merupakn analis ilmiah tentang isi pesan suatu data. Alur
atau kerangka pemikiran mengenai hal tersebut adalah sebagai berikut :
Gambar 1. Alur atau kerangka pemikiran.
Alur atau kerangka pemikiran dapat dijabarkan menjadi:
1. Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari daerah daerah otonom, daerah
khusus, daerah istimewa, daerah otonomi khusus, serta wilayah administratif
2. Realitas ini melahirkan fungsi dan hirarki pemerintahan pusat dan daerah asas
desentralisasi otonomi daerah
3. Kebijakan publik yang diambil pemerintah dijabarkan di daerah dengan terlebih
dahulu diadof ke dalam Peraturan Daerah
Desentralisasi Kebijakan dalam Otonomi Daerah
Muhammad Idris Patarai 1.409
4. Daerah otonom berkonsekuensi membuat kebijakan tidak hanya dalam bentuk
kebijakan turunan, pengendalian atau instruksi; tetapi juga membuat kebijakan
inisiatif berkait dengan daerahnya atas kreasi dan inovasi daerah
5. Terdapat dua versi kebijakan daerah, yaitu kebijakan tindak lanjut bersifat top-down,
dan kebijakan inisiatif bersifat bottom-up. Berdasarkan analisis kebijakan publik
dikenal tipe top-down hirarkis (Pusat-Daerah); yang bersifat bottom-up konsultasi
negosiasi (Daerah-Pusat).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Wewenang pemerintahan sebagai kemampuan untuk melakukan tindakan (Hsb,
2019) atau perbuatan hukum tertentu, yakni tindakan atau perbuatan yang dimaksudkan
untuk menimbulkan akibat hukum (Riza, 2019) dan mencakup mengenai timbul dan
lenyapnya akibat hukum (Laisina, 2015) (het vermogen tot het verrichten van bepaalde
rechshandelingen is handelingen die op rechtsgevolge gericht zijn en dus ertoe strekken
dat bepaalde rechtsgevolgen onstaan of teniet gaan). Nicolai juga mengatakan, dalam
wewenang pemerintahan itu tersimpul adanya hak dan kewajiban dari pemerintah dalam
melakukan tindakan atau perbuatan pemerintahan tersebut. Pengertian hak, menurut
Nicolai, berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan (Rizki, 2019).
Sejalan dengan ini adalah penetapan kebijakan publik oleh pemerintah “melakukan atau
tidak melakukan”.
Hak dan kewenangan daerah dalam konsep desentralisasi ditentukan berdasarkan
tingkat kewenangan untuk perencanaan, memutuskan dan mengelola kewenangan yang di
kirim oleh pemerintah pusat, serta besaran otonomi yang diterima untuk melaksanakan
tugas-tugas tersebut. Dengan demikian, terdapat kewenangan yang tetap berada di pusat,
disebut kewenangan absolut dan terdapat kewenangan yang dilimpahkan ke daerah
disebut kewenangan konkuren yang diatur dengan undang-undang.
Terdapat 4 macam dimensi desentralisasi yaitu:
1. Desentralisasi politik, masyarakat di daerah memilih pemimpinnya secara langsung
2. Desentralisasi administrasi; beberapa kewenangan administrasi dilimpahkan ke aparat
di daerah di bawah kendali kepala daerah
3. Desentralisasi fiskal; daerah diberi kewenangan untuk mencari dan menetapkan
sumber-sumber pembiayaan bagi daerah dalam bentuk pajak dan retribusi
4. Desentralisasi ekonomi dan pasar, daerah berwenang menetapkan regulasi bagi
kegiatan ekonomi mikro untuk menstimulasi perekonomian dan pasar di daerah.
Berkenaan dengan Rondinelli, tulisan ini mengemukakan perlunya Desentralisasi
Kebijakan Publik: Daerah diberi kewenangan merumuskan kebijakan publik mengenai
suatu isu dalam wilayah daerah dan ditetapkan melalui peraturan daerah.
Jika ingin memahami kewenangan pembuatan peraturan daerah berkenaan dengan
desentralisasi mencirikan penyerahan kewenangan perundangan-undangan atau justice.
Pembuatan Peraturan Daerah oleh daerah menjadi ciri adanya kedaulatan rakyat dan
penekanan bahwa di daerah pun pemerintahan dilaksanakan secara demokratis, yaitu
dengan adanya DPRD yang dipilih melalui pemilu legislatif sekaligus sebagai ciri daerah
otonom dalam rangka otonomi daerah.
Berkenaan dengan kewenangan justice dalam bentuk penetapan kebijakan publik,
maka penerapannya adalah peraturan perundang-undangan, di dalam teori kebijakan
publik disebut sebagai implementasi kebijakan.
Jika ingin membahas Kebijakan Publik Daerah, pertama-tama merujuk pendapat
Smith (1973) mengenai implementasi kebijakan, kemudian pendapat Wayna Parsons
(2005) tentang proliferasi model analisis agenda dan penyusunan kebijakan. Seterusnya
Vol. 1, No. 11, pp. 1.406-1.417, November 2021
1.410 http://sostech.greenvest.co.id
mengenai Punctuated Equilibrium yang diambil dari studi penetapan agenda oleh
Baumgarther dan Jones (1993) dalam Wayne Parson (2013).
Menurut Smith (1973) dalam Islamy (2001) implementasi kebijakan dipandang
sebagai suatu proses atau alur. Model Smith ini memandang proses implementasi
kebijakan dalam perspektif perubahan sosial dan politik. Kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat
sebagai kelompok sasaran. Artinya penetapan Perda Kebijakan Publik didahului dengan
proses analisis, penetapan agenda, dan sesuai dengan kondisi masyarakat setempat atau
aspirasi masyarakat.
Penyegaran agenda kebijakan yang dinamis perlu dilakukan guna meningkatkan
partisipasi masyarakat, meningkatkan nilai demokrasi melalui perluasan agenda
kebijakan, analisis kebijakan, dan implementasi kebijakan. Sekalipun mungkin hal ini
tidak mudah karena secara politik berpengaruh dengan signifikan. Selain itu, ada reaksi
penolakan dari berbagai kepentingan oleh kelompok kepentingan atau kelompok
penekan maupun pihak yang “beroposisi” dengan pemerintah. Terutama pada kebijakan
bersifat radikal yang akan menuai pro-kontra. Akan tetapi, perbaikan sistem dan cara
kerja birokrasi, proliferasi sistem perencanaan pembangunan, dan peningkatan kualitas
pelayanan bisa dilakukan secara mengalir dengan model “arung jeram” yang berproses
dalam tantangan. Dengan demikian, jika kebijakan publik daerah dipromosikan dan
disosialisasikan maka kehidupan demokrasi di daerah pun menjadi dinamis dan
masyarakat terbiasa dengan simulasi mengeluarkan pendapat serta menerima masukan
dari anggota masyarakat lainnya.
Berdasarkan hal ini, dibutuhkan pendekatan komprehensif untuk menjawab
kebutuhan atas propaganda keterlibatan masyarakat dalam penyusunan agenda kebijakan.
Ada empat pendekatan proliferasi model-model analisis agenda dan penyusunan
kebijakan, salah satunya adalah Policy Streams (aliran kebanyakan) Wayna Parsons
(2005).
Kingdon (dalam Wayna Parson) menganggap model ini merupakan kerangka yang
menarik untuk mengkaji proses penetapan agenda dimana solusi mencari problem dan
hasilnya adalah fungsi dari campuran problem, “partisipasi dan sumber daya”.
Sehubungan dengan pendapat Kingdon, di daerah terdapat sumberdaya, selebihnya
bagaimana mendorong partisipasi masyarakat di dalam menyuarakan kebutuhan mereka,
salah satunya memberi ruang partisipasi dalam bentuk penyusunan agenda kebijakan di
tingkat daerah. Hanya saja dalam hal ini, status quo akan senantiasa berhadapan dengan
berbagai macam benturan atau kekuatan perubahan. Maka dari itu, upaya yang relatif
signifikan untuk “solusi” mencari problem dalam rangka membangkitkan partisipan
dan mengefektifkan sumber daya, salah satunya mendaur isu untuk membuat agenda
kebijakan sebagai saluran atau mekanisme problem mencari solusi dan berfungsi merawat
komitmen.
Ringkasnya, Kebijakan Publik Daerah akan memekarkan partisipasi,
mengikutsertakan berbagai aliran dan menggerakkan sumberdaya dari masing masing
aliran, termasuk hadirnya entrepreneur kebijakan.
Kingdon membagi tiga aliran (streem) yang terpisah dan berbeda, yakni “Problem,
Kebijakan dan Politik”. Berdasarkan hal ini dapat dijadikan kriteria bagi desentralisasi
kebijakan.
1. Problem
Kingdon berpendapat, ada tiga mekanisme yang dapat membawa problem ke
perhatian pembuat kebijakan:
a. Indikator, yaitu menilai skala dan perubahan dalam problem. Contoh problem
untuk menemukan solusi baru adalah aktualisasi hubungan pemerintah pusat
Desentralisasi Kebijakan dalam Otonomi Daerah
Muhammad Idris Patarai 1.411
b. Dengan daerah secara efisien dan efektif. Dalam hal ini menyederhanakan
regulasi birokrasi yang berbelit-belit, yaitu dengan solusi Desentralisasi
Kebijakan. Solusi ini merangsang partisipasi dan demokrasi, mendatangkan
investor untuk melakukan investasi di daerah, menyongsong dan memanfaatkan
era omnibus law yang bertujuan untuk menghentikan birokrasi yang kebanyakan,
memotong sejumlah regulasi agar penerapan program pemerintah lebih efektif.
c. Data dan Laporan Pemerintah mempunyai peran signifikan dalam membentuk
sikap dan pandangan pemerintah. Contoh Desentralisasi Kebijakan relevan
dengan program pemerintah, antara lain penguatan daya saing daerah untuk
mempercepat desentralisasi dan penguatan otonomi daerah; tercapainya
sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan pusat dan daerah;
meningkatnya kerjasama antar pemerintah daerah; terbentuknya kelembagaan
pemerintah daerah yang efektif, efisien dan akuntabel; meningkatnya kapasitas
pengelola sumber daya aparatur pemerintah daerah yang profesional dan
kompeten; Terkelolanya sumber dana dan pembiayaan pembangunan secara
transparan, akuntabel, dan professional; dan tertatanya daerah ekonomi baru.
d. Kejadian atau Peristiwa, yaitu berfungsi untuk memfokuskan perhatian pada
problem berupa bencana, pengalaman personal atau simbol. Berdasarkan hal ini
kesenjangan hubungan Pusat-Daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah yang
berefek politis misalnya munculnya gerakan separatis.
2. Kebijakan
Kingdon mengkonseptualisasikan aliran kebijakan dalam bentuk pelbagai
aliran atau organisasi, ada organisasi yang bersifat tertutup dan ada organisasi yang
bersifat terbuka dan terfragmentasi. Berdasarkan unsur aliran atau organisasi ini, hal
yang menonjol adalah entrepreneur kebijakan, yaitu orang yang mau
menginvestasikan berbagai jenis sumber daya dengan harapan kelak mendapat
imbalan berupa kebijakan yang mereka sukai.
Entrepreneur kebijakan berbakat melihat peluang, menemukan cara merebut
peluang, mempunyai kelincahan di dalam mengatur strategi, bargaining dengan
berbagai kelebihan lainnya yang langka pada orang lain. Entrepreneur ini memiliki
keterampilan lobi-lobi memasuki semua aliran, dan mempunyai kesanggupan
menginvestasikan modal karena dia menyadari peluang dibalik kebijakan yang
didorong masuk ke pengambil kebijakan. Sebelumnya, tentu berjuang masuk di
posisi agenda kebijakan. Dalam hal ini, entrepreneur kebijakan relatif sama dengan
pengusaha kebijakan. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa pada satu kebijakan
ada banyak kepentingan dan aliran. Ada aliran politik, aliran non-politik dan ada
aliran bisnis. Melalui kebijakan publik atas inisiatif dan prakarsa daerah maka akan
menghadirkan entrepreneur baru yang artinya menghadirkan investor dan
menggeliatkan perekonomian di daerah.
3. Aliran Politik
Ketiga dari Kingdon, adalah aliran politik. Aliran ini terdiri sejumlah elemen:
mood nasional, opini publik dan iklim opini, kekuatan organisasi politik partai,
politik legislatif, kelompok penekan, pemerintah, perubahan dalam personil dan
yuridiksi, pembentukan konsensus, tawar menawar, bandwagon (pendukung),
nasehat, dan lain lain.
Menurut Kingdon, peluncuran perubahan kebijakan yang berhasil adalah hasil
keterbukaan aliran-aliran yang bertemu dan saling mempengaruhi. Solusi-solusi
yang mengambang menjadi saling melekat dan berpasangan dengan problem dan
entrepreneur kebijakan mengambil kesempatan untuk mengubah agenda keputusan.
Terbukanya masing masing aliran karena ada problem yang mendesak akibat suatu
Vol. 1, No. 11, pp. 1.406-1.417, November 2021
1.412 http://sostech.greenvest.co.id
hal dalam aliran politik. Pada situasi seperti itu, aliran politik mempunyai
kesempatan mendorong alternatif solusi dan memasangkannya dengan aliran
problem. Bila ketiga aliran ini: problem, proposal dan reseptivitas politik
dipasangkan dalam satu paket tunggal, maka menurut Kingdown itemnya punya
kesempatan besar untuk mencapai puncak agenda. Artinya melalui desentralisasi
kebijakan, maka dinamika legislatif dan kehidupan demokrasi di daerah menjadi
bergairah dan kehidupan politik tidak monoton atau menumpuk pada urusan
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Dalam konteks ini ada tiga pemain: „aliran problem’, murni memahami
problem yang akan diselesaikan melalui solusi; entrepreneur kebijakan, pebisnis
yang mencari keuntungan dari kebijakan publik; dan aliran politik yang telah
mengalami reseptivitas atau koalisi.
Subatier dalam Wayne Parson (20013) berpendapat perlu ada teori
penyusunan kebijakan lebih komprehensif, dapat diuji (testable), dan memadukan
sejumlah pendekatan serta kerangka pemikiran menjadi teori lebih baik yang bisa
memproduksi perubahan kebijakan. Menurutnya, sintesis ini terdiri dari beberapa ide
kunci:
1. Proses kebijakan secara keseluruhan dapat dipahami dalam konteks jaringan dan
komunitas kebijakan. Contoh bagi Desentralisasi Kebijakan, hal ini bisa
dilakukan melalui struktur dan hirarki birokrasi pemerintahan. Memfungsikan
daerah mensosialisasikan isu atau mengadaptasikan problem kebijakan
2. Analisis kebijakan punya fungsi pencerahan jangka panjang, analis kebijakan
pelan pelan mengubah argumen yang menyelimuti problem kebijakan. Para
analis Kebijakan Daerah mudah menyelesaikan tugasnya karena membentangkan
agenda kebijakan secara simultan dari tingkat pusat dengan tingkat daerah. Cara
ini selain mencerahkan sekaligus merelokasi atau menyalurkan aspirasi
partisipasipan. Pengalaman selama ini, apabila partisipan tidak diberi ruang,
partisipan akan membuat saluran sendiri yang terkadang alurnya berseberangan,
berlawanan arah. Biasanya menggunakan pressure method yang bisa ditumpangi
oleh aliran politik yang lagi menunggu mood moment
3. Keyakinan, nilai, dan gagasan adalah penting tetapi diabaikan dalam proses
pembuatan kebijakan. Kekuatan kekuatan radikal yang ada yang memiliki cara
pandang sentris, primordial atau sektarian, larut bersama interest terhadap
kesenjangan, ras, sentimen politik dan lain lain. Hal itu merupakan sesuatu yang
harus diabaikan dalam penyusunan agenda. Berdasarkan hal ini agenda kebijakan
bersifat objektif dan bebas dari intrik atau tekanan. Paham dan sikap berlainan
arah harus diadaptasi atau dilokalisir per segmen agar mudah dihadapi dan
diselesaikan, yaitu melalui desentralisasi kebijakan, mengingat desentralisasi
kebijakan, dilakukan melalui pendekatan mempolarisasi daerah dalam skala
lokalisasi problem, sehingga satu problem bisa diselesaikan berdasarkan segmen.
4. Faktor sosial ekonomi berpengaruh besar terhadap pembuatan kebijakan dan
hasilnya. Pemerintah daerah dapat merangsang sumberdaya yang dimiliki melalui
beberapa agenda kebijakan karena partisipan akan muncul bersama dengan
problem. Hal itu akan membangkitkan sumber daya di daerah, dalam hal ini di
bidang ekonomi lokal per sektor, dari aspek komoditas, industri, jasa jasa,
transportasi, dan lain lain
5. Sistem keyakinan elit mempunyai struktur atau hirarki, diferensiasi, dan
spesialisasi akan melahirkan profesionalitas. Kelembagaan akan mengkotakkan
masyarakat sesuai kemampuan. Bakat dan minat akan terpilih secara fungsional
dan profesi. Dalam konteks seperti ini struktur akan terpola dan hirarki
Desentralisasi Kebijakan dalam Otonomi Daerah
Muhammad Idris Patarai 1.413
memposisikan orang melalui seleksi dan mekanisme pasar, yakni kemampuan
dan keahlian.
Pendapat terakhir mengenai Punctuated Equilibrium diambil dari studi penetapan
agenda oleh Baumgarther dan Jones (1993) dalam Wayne Parson (2013) yang
menyatakan perubahan dalam agenda kebijakan paling baik dipahami dalam istilah
Punctuated Equilibrium, yaitu proses kebijakan dikarakteristikkan sebagai proses dengan
stabilitas panjang yang diselingi dengan periode instabilitas.
Model ini mensyaratkan sub-sistem kebijakan memampukan sistem politik untuk
memproses issu secara paralel, dan hanya pada periode instabilitas isu-isu itu masuk ke
agenda dan akan ditangani dengan berbagai cara. Selain itu, memberi gambaran mengapa
sistem politik dapat semakin konservatif dan masuk pada fase pembentukan kebijakan
yang radikal.Selama periode stabil, ada banyak kesepakatan tentang bagaimana problem
didefinisikan dan dimana letaknya di dalam agenda pembuatan kebijakan.
Baumgarther dan Jones berpendapat bahwa model keseimbangan seperti ini,
dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, bagaimana isu digambarkan citra kebijakan, yaitu
isu diolah sebaik baiknya yang dapat memberi daya tarik sebagai citra kebijakan. Kedua,
konteks institusional dari isu tempat kebijakan institusional, yakni hubungan antara isu
dengan institusi secara kontekstual dan aktual yang dapat menimbulkan alternatif choice.
Menurut Baumgarther dan Jones, kadang kadang stabilitas terganggu, suatu
monopoli kebijakan ditentang, direkonstruksi atau dihancurkan digantikan oleh citra dan
institusi lain yang lebih dominan. Hal ini dimungkinkan karena jika muncul instabilitas,
akan terdapat akses ke agenda dan monopoli kebijakan yang terdiri dari sub-sistem
kebijakan dominan terbuka untuk dikritik atau didukung.
Akses agenda melalui kritik akan melibatkan serangan terhadap citra dan institusi
yang telah ada dan ini memungkinkan adanya institusi baru untuk menggantikan sub-
sistem lama. Adapun akses agenda melalui dukungan akan menyebabkan serangkaian
institusi baru. Akses agenda akan menyela equilibrium dan akibatnya warisan institusi
yang tetap utuh selama bertahun tahun sejak pertama kali muncul kritik atau dukungan
akan mulai mengalami perubahan.
Negara Indonesia, instabilitas terjadi secara periodik, lima tahunan. Tingkat
nasional Pemilihan Presiden (Pilpres) dan di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Jika
ingin mengolah instabilitas dilakukan Pilkada serentak di seluruh negeri berlangsung
secara bersamaan. Namun di antara periodisasi harus dibuat problem dalam skala
demokrasi, skenario instabilitas sebagai penyaluran atau memberikan ruang konsultasi
bagi hak warga, dan melibatkannya dalam perumusan agenda sebagaimana perjuangan
demokrasi membawa tema persamaan untuk mengarah kepada citra kebijakan. Untuk hal
ini, desentralisasi kebijakan dapat menjadi terapi demokratisasi partisipasi dalam scenario
instabilitas terukur.
Instabilitas ada gunanya bagi stabilitas jangka panjang yakni memelihara
keseimbangan atau equilibrium. Segala sesuatu diprogram sesuai kapasitas dan dengan
demikian keseimbangan atau equilibrium terjaga.
Jika semua saluran ditutup, keran dimatikan, dan akses dimanipulasi, artinya
sedang terjadi proses penumpukkan masalah, memproduksi masalah yang akhirnya akan
melabrak institusi karena komulasinya yang tidak disangka-sangka. Hal tersebut terjadi
karena agenda kebijakan tidak berjalan, tidak dinamis, dan tertutup. Kasus ini terjadi di
era Soeharto yang membawa tema stabilitas cenderung tertutup dan sentralistik, polarisasi
oknum dan pihak-pihak berseberangan, informasi vertikal bersifat satu arah dari atas ke
bawah. Selain itu, kekuatan sentrifugal hanya memberdayakan oknum aparat birokrasi,
Vol. 1, No. 11, pp. 1.406-1.417, November 2021
1.414 http://sostech.greenvest.co.id
sementara masyarakat sipil melempem dan melumpuhkan kekuatannya sendiri dengan
tidak diberikan ruang kritik.
Aliran yang mengambang dan bersifat cowlingdown saat momen pemicu problem
secara simultan terbuka membuat aliran politik menyergap dan memaketkan diri dengan
problem. Ketika krisis berakhir dengan eksekusi politik, Soeharto menyatakan “berhenti”
dengan caranya sendiri di bawah tekanan skenario. Untuk mengatasi kejadian ini,
solusinya adalah kebijakan publik harus berjalan paralel dengan sistem politik.
Menurut para ahli kebijakan politik tradisional lebih menekankan pada studi
kelembagaan dan pembenaran filosofis terhadap tindakan pemerintah, tetapi kurang
memberi perhatian pada hubungan antara lembaga dengan kebijakan-kebijakan publik.
Seiring dengan perkembangan negara-negara modern dan tuntutan masyarakat, maka
ilmu politik dipandang harus memberi perhatian pada masalah-masalah pembuatan
keputusan secara kolektif atau perumusan kebijakan. Kuatnya hubungan kebijakan publik
dengan politik, merupakan tren perkembangan keduanya, sebagaimana kita saksikan
dewasa ini.
Thomas R. Dye dan James Anderson mengemukakan tiga alasan kebijakan publik
menjadi suatu hal yang menarik untuk diperhatikan. Ketiga alasan tersebut adalah:
Pertama, pertimbangan atau alasan ilmiah (scientific reason) yaitu kebijakan publik
dipelajari dalam rangka menambah pengetahuan yang lebih mendalam. Mulai dari
alasannya, prosesnya, perkembangannya, serta akibat-akibat yang ditimbulkannya bagi
masyarakat. Kedua, pertimbangan atau alasan profesional (professional reasons), alasan
ini menjadikan studi kebijakan sebagai alasan untuk menerapkan pengetahuan ilmiah
dalam rangka memecahkan atau menyelesaikan masalah sehari-hari. Ketiga, alasan politis
(political reasons), kebijakan publik dipelajari pada dasarnya agar setiap perundangan-
undangan dan regulasi yang dihasilkan dapat tepat guna mencapai tujuan yang sesuai
target (Thomas R. Dye dan James Anderson dalam Leo Agustino, 2012).
Berdasarkan sudut ini, kebijakan publik dipelajari dengan maksud untuk
memperoleh pengetahuan yang luas tentang asal-muasalnya, proses-proses
perkembangannya, dan konsekuensi-konsekuensinya bagi masyarakat. Jika dilihat dari
gilirannya, hal ini akan menambah pengetahuan tentang sistem politik. Selain itu,
kebijakan publik dikatakan menjadi pintu masuk menemukan cara kerja sistem politik
dan prosesnya, yaitu cara satu kebijakan publik ditetapkan. Dengan demikian, sebaliknya
memperhatikan cara kerja mekanisme politik akan bertemu dengan hasilnya, yaitu
kebijakan publik.
Sholichin Abdul Wahab juga mengutip Thomas R. Dye dan James Anderson dalam
hubungan variabel: kebijakan dapat dipandang sebagai variabel terikat (dependent
variable) maupun sebagai variabel independen (independent variable) dengan sistem
politik, sebagaimana telah diuraikan terdahulu.
Berdasarkan hal ini desentralisasi kebijakan mewujudkan hubungan variabel
kebijakan bersama sistem politik dengan memberi ruang bagi masyarakat daerah
merumuskan dan mengagendakan masalahnya untuk dibahas . Hal itu melalui proses
legislasi daerah dalam bentuk kebijakan sebagai hasil bargaining atau tawar menawar
yang menciptakan entrepreneur baru. Kekeliruan di masa lalu, atau mungkin juga selama
ini, adalah tidak memerinci daerah sebagai satu community yang hidup dan menggeliat.
Daerah dihadapi dengan pendekatan pemerintahan yang hirarkis dan patuh, padahal
dalam daerah terjadi gejolak untuk maju dan berkembang, tetapi terhalang regulasi dan
inovasi.
Penerapan desentralisasi kebijakan bukan hal yang sulit dan rumit, mengingat
selama ini sudah ada pengalaman perimbangan dalam hal transfer fiskal, perimbangan
kebijakan publik memberi diskresi kepada daerah untuk berpikir. Solusi dari pikiran
Desentralisasi Kebijakan dalam Otonomi Daerah
Muhammad Idris Patarai 1.415
pikiran daerah itu merupakan representasi problem. Oleh karena itu, pusat memberi jalan
dengan model pemberdayaan, memberi kesempatan, dan melindungi, termasuk perihal
perimbangan Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK). Untuk
Desentralisasi Kebijakan dapat menggunakan metafora baru Dana Kebijakan Publik
(DKP).
Desentralisasi kebijakan adalah metafora bagi desentralisasi yang sudah berjalan,
memberi stigma baru bagi equity kepada otonomi, membuka ruang bagi otonomi seluas
luasnya, sebagai model solusi mencari problem. Namun ini akan menjadi sarana
menggerakkan untuk mencapai equilibrium karena menurut Baumgarther dan Jones
stabilitas itu adalah equilibrium atau keseimbangan. Untuk menemukan keseimbangan itu
dengan gerakan yang mungkin di dalamnya adalah instabilitas. Namun dalam hal ini
instabilitas itu dapat dikelola karena dia berjalan paralel antara kebijakan publik dengan
sistem politik.
Desentralisasi kebijakan artinya daerah membuat kebijakan atas apa yang telah
didesentralisir. Selain itu, agar hal yang bersifat konkuren dapat diselesaikan di daerah
secara administratif dan tidak membebani pusat dengan hal yang harus dikerjakan di
tingkat lokal agar sumber daya di daerah bergerak, dan bisa dieksplorasi. Aset, modal
(capital) tidak tidur (Menurut istilah Sri Mulyani, Menteri Keuangan, 2021).
Presentasi kebijakan turunan dengan kebijakan inisiatif menjadi tolok ukur
kreativitas daerah dalam skala antara kebijakan inisiatif dan kebijakan turunan atau dalam
teori dikenal dengan kebijakan regulatif dan kebijakan substantif. Dalam perspektif
kinerja, kebijakan regulatif hanya sebatas input-output; sementara dalam kebijakan
substantif pada batas outcome-impact.
Studi kebijakan publik melihat proses pembentukan kebijakan sebagai suatu proses
siklus yang memiliki berbagai tahapan pasti dan berulang kembali. Tahapan
pembentukan kebijakan publik menunjukkan suatu tahap proses kebijakan publik terkait
dengan tahapan yang sebelumnya, dan mempengaruhi tahapan yang selanjutnya. Dengan
demikian, melalui desentralisasi kebijakan kehidupan demokrasi di daerah menjadi
dinamis, tidak sekedar simetris dengan siklus lima tahunan pada proses alih
kepemimpinan daerah. Sebagaimana pembangunan menganut asas kesinambungan,
pembangunan juga dilakukan secara bertahap berorientasi jangka panjang sebagai patron.
Dilema ini menghadapkan dua pilihan menganut sistem kebijakan yang never ending atau
kebijakan menuruti siklus politik lima tahunan.
Ada beberapa kebijakan hebat hanya pada masa pencetus dan aktor kebijakannya
masih berkuasa. Setelah itu tidak lagi, dia redup dan kemudian mati. Hal ini secara teori
diterima bahwa yang mengambil kebijakan dan yang memutuskannya adalah yang
berwenang. Kewenangan menjadi nafas bagi siklus kebijakan. Kewenangan di satu sisi
ada batasnya kebijakan pada sisi yang lain tak terbatas.
Satu kebijakan perlu evaluasi, dan ini dapat menjadi celah modifikasi sebagaimana
skema kebijakan David Easton yang mengikuti pola sistem politik. Namun sifat khas
kebijakan selalu ada alasan untuk bertindak atau tidak, dalam hal ini sentimen politik
sensitif menjadi pengungkit. Namun jika daerah lemah memproduksi kebijakan berarti
lemah menganalisis kebutuhan warganya. Jika tidak mengurusi masyarakat, maka
pemerintah hanya bergerak normatif, melayani diri sendiri.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa Kebijakan Publik Daerah
(KPD) berdimensi dua: Pertama kebijakan publik atas inisiasi dan analisis daerah; dan
kedua sebagai kebijakan turunan atau pengendalian kebijakan publik di daerah. Posisi
Vol. 1, No. 11, pp. 1.406-1.417, November 2021
1.416 http://sostech.greenvest.co.id
Kebijakan Publik Daerah (KPD) merangsang proses demokratisasi dan partisipasi
masyarakat di daerah. Deskripsi Kebijakan Publik Daerah terwujud melalui
Desentralisasi Kebijakan,yaitu adanya ruang bagi masyarakat daerah merumuskan dan
mengagendakan masalahnya. Presentasi kebijakan turunan dengan kebijakan inisiatif
menjadi tolok ukur kreativitas daerah dalam skala antara kebijakan inisiatif dan kebijakan
turunan atau dalam teori dikenal dengan kebijakan regulatif dan kebijakan substantif.
Berdasarkan perspektif kinerja, kebijakan regulatif hanya sebatas input-output; sedang
kebijakan substantif pada batas outcome-impact.
BIBLIOGRAFI
Astomo, P., & Farhanuddin, F. (2018). Politik Hukum Pajak Daerah di Kabupaten
Polewali Mandar Sulawesi Barat. Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 20(3), 511524.
Dasril, M. (2017). Evaluasi Dampak Implementasi Kebijakan Publik (Studi Tentang
Evaluasi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 6 Tahun 2012 Tentang
Penertiban Ternak). Dialektika, 2(1), 6789.
Dwinanda, R. A., Saraswati, R., & ALW, L. T. (2017). Analisis Keragaman Model
Pengisian Jabatan Kepala Daerah di Indonesia. Diponegoro Law Journal, 6(2), 1
23.
Faturahman, B. M. (2018). Konseptualisasi mitigasi bencana melalui perspektif kebijakan
publik. Publisia (Jurnal Ilmu Administrasi Publik), 3(2), 121134.
Hsb, A. M. (2019). Pelaksanaan Kewenangan Atribusi Pemerintahan Daerah
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah.
Jayus, J. A. (2019). Eksistensi Pewarisan Hukum Adat Batak. Jurnal Yudisial, 12(02),
235253.
Jeddawi, M. (2020). Urgensi Penegakan Hukum Tata Pemerintahan. Jurnal Pallangga
Praja (JPP), 1(1), 115.
Laisina, V. M. (2015). Pembuatan Kontrak Bisnis dan Akibat Hukumnya menurut
KUHperdata. Lex Et Societatis, 3(10).
Patarai, M. I. (2020). Kebijakan publik daerah: Posisi dan dimensinya dalam perspektif
desentralisasi kebijakan (Vol. 1). De La Macca.
Prasetyo, B. (2012). Kajian Teoretik Karakter Kebijakan Publik. In Politik Indonesia
(Vol. 1, p. 1).
Purwadi, A. (2013). Harmonisasi pengaturan perencanaan pembangunan antara pusat dan
daerah era otonomi daerah. Perspektif, 18(2), 8696.
Riza, D. (2019). Hakikat KTUN Menurut Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara
Vs Undang-undang Admnistrasi Pemerintahan. Soumatera Law Review, 2(2), 207
220.
Rizki, M. (2019). Pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah Karawang terhadap
petani yang mengalami kerugian gagal panen dihubungkan dengan pasal 24
Peraturan Daerah Kabupaten Karawang nomor 13 tahun 2017 tentang
perlindungan dan pemberdayaan petani. UIN SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG.
Safitri, S. (2016). Sejarah perkembangan otonomi daerah di Indonesia. Criksetra: Jurnal
Pendidikan Sejarah, 5(1).
Sudrajat, Tatang, & Hersusetiyati, N. S. (2015). Perspektif Administrasi Publik Tentang
Peran Pemerintah Daerah Jawa Barat dalam Pengembangan Kepariwisataan.
Seminar Nasional Administrasi Publik & Call For Paper, 80.
Desentralisasi Kebijakan dalam Otonomi Daerah
Muhammad Idris Patarai 1.417
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License