Jurnal Sosial dan Teknologi (SOSTECH)
Volume 1, Number 11, November 2021
p-ISSN 2774-5147 ; e-ISSN 2774-5155
How to cite:
Mustolich. (2021). Studi Kritis Terhadap Putusan Kasasi MA Nomor 1/K/Ag/2020 Tentang Alasan Perceraian.
Jurnal Sosial dan Teknologi (SOSTECH), 1(11): 1.371-1.386
E-ISSN:
2774-5155
Published by:
https://greenpublisher.id/
STUDI KRITIS TERHADAP PUTUSAN KASASI MA NOMOR 1/K/AG/2020
TENTANG ALASAN PERCERAIAN
Mustolich
Hukum Keluarga, Fakultas Hukum, Institut Agama Islam Negeri Palangka Raya, Indonesia
Abstrak
Latar belakang: Putusan Pengadilan Agama Buntok dengan Nomor 0017/Pdt.G/2019/PA.Btk
yang kemudian dimohonkan banding ke Pengadilan Tinggi Palangka Raya dan dikuatkan oleh
putusan Pengadilan Tinggi Agama Palangka Raya.
Tujuan penelitian: Untuk menganalisis putusan Pengadilan Agama Buntok terhadap perkara
Nomor 0017/Pdt.G/2019/PA. Btk., menganalisis Putusan Pengadilan Tinggi Agama Palangka
Raya terhadap banding perkara Nomor 10/Pdt.G/PTA.Plk dan menganalisis putusan Mahkamah
Agung terhadap kasasi perkara Nomor 1/K/Ag/2020.
Metode penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang termasuk studi
kepustakaan (library research).
Hasil penelitian: Pengadilan Agama Buntok dalam Putusan Nomor 0017/Pdt.G/2019/PA. Btk
mengabulkan gugatan penggugat karena penggugat berhasil membuktikan gugatannya bahwa
rumah tangga penggugat dan tergugat sudah tidak rukun karena terjadi perselisihan dan
pertengkaran secara terus menerus. Pengadilan Tinggi Agama Palangka Raya dalam putusan
Nomor 10/Pdt.G/2019/PTA. Plk menguatkan kembali Putusan Pengadilan Agama Buntok dengan
alasan Pengadilan Tingkat pertama telah tepat dan benar dalam mempertimbangkan seluruh
aspek.
Kesimpulan: Pengadilan Agama Buntok dalam Putusan Nomor 0017/Pdt.G/2019/PA. Btk
mengabulkan gugatan Penggugat, Pengadilan Tinggi Agama Palangka Raya dalam putusan
Nomor 10/Pdt.G/2019/PTA. Plk menguatkan kembali Putusan Pengadilan Agama Buntok,
Mahkamah Agung dalam putusan kasasi nomor 1/K/Ag/2020 membatalkan putusan pengadilan
tingkat pertama, Putusan Pengadilan Agama Buntok dan Pengadilan Tinggi Agama Palangka
Raya Peneliti melihat bahwa paradigma yang dianut oleh hakim dalam memutus perkara adalah
paradigma positivistik dan majelis hakim Mahkamah Agung tidak hanya melihat penerapan
norma hukum dan aturan terhadap permasalahan ini.
Kata kunci: Studi, Kritis, Putusan, Alasan Perceraian
Abstract
Background: Buntok Religious Court Decision with Number 0017/Pdt.G/2019/PA. Btk who then
appealed to the High Court of Palangka Raya and strengthened by the decision of the Palangka
Raya Religious High Court.
Research purposes: To analyze the decision of the Buntok Religious Court on case Number
0017/Pdt.G/2019/PA. Btk., analyzing the Decision of the Palangka Raya Religious High Court
against the appeal of case Number 10 / Pdt.G / PTA. Plk and analyze the Supreme Court's
decision on case case No. 1/K/Ag/2020.
Research methods: This research is a normative legal study that includes library research.
Research results: Buntok Religious Court in Decision No. 0017/Pdt.G/2019/PA. Btk granted the
plaintiff's lawsuit because the plaintiff managed to prove his lawsuit that the plaintiff's and
defendant's households were no longer getting along well because of continuous disputes and
quarrels. Palangka Raya Religious High Court in ruling No. 10/Pdt.G/2019/PTA. Plk reaffirmed
the Buntok Religious Court's Decision on the grounds that the First Level Court had been proper
and correct in considering all aspects.
Conclusion: Buntok Religious Court in Decision No. 0017/Pdt.G/2019/PA. Btk granted the
plaintiff's lawsuit, the Palangka Raya Religious High Court in decision No. 10/Pdt.G/2019/PTA.
Plk reaffirmed the Decision of the Buntok Religious Court, the Supreme Court in the cassation
decision number 1/K/Ag/2020 overturned the first-tier court ruling, the Buntok Religious Court
And the Palangka Raya Religious High Court saw that the paradigm embraced by the judge in
Studi Kritis Terhadap Putusan Kasasi MA Nomor
1/K/Ag/2020 Tentang Alasan Perceraian
Mustolich 1.372
deciding the case was a positivistic paradigm and the Supreme Court judges not only looked at
the application of legal norms and rules to this issue.
Keywords: Study, Critical, Verdict, Reasons for Divorce
Diterima: 29-10-2021; Direvisi: 2-11-2021; Disetujui: 14-11-2021
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara hukum telah mengatur Undang-Undang tentang
Perkawinan yang tertuang dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974, dilengkapi dengan
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 yaitu tentang pelaksanaan Undang- Undang No.1
tahun 1974 tentang Perkawinan dan Intruksi Presiden No.1 tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam (KHI) dan peraturan lainya mengenai perkawinan.
Adakalanya dalam sesuatu perkawinan timbul masalah, yaitu apabila pasangan
suami istri sampai harus pisah tempat tinggal (Auriga, 2017). Berpisah tempat tinggal
tersebut dapat dilatarbelakangi karena adanya perselisihan atau karena ada kesepakatan
misalnya terpaksa berpisah tempat tinggal karena alasan pekerjaan (Chairunnisa, 2020).
Perpisahan tempat tinggal ini berpotensi besar menimbulkan permasalahan dalam rumah
tangga bahkan dapat menimbulkan perceraian (Riami, 2020).
Penggugat mengajukan cerai dengan alasan adanya pertengkaran dan perselisihan
terus menerus dalam rumah tangganya (Adelia et al., 2019). Tergugat sangat kurang
perhatian dengan penggugat (Syaefullah, 2021), Hal ini disebabkan pula karena
penggugat bekerja dan bertempat tinggal di Palangka Raya, sedangkan tergugat bekerja
dan berdomisili di Buntok, komunikasi Penggugat dan Tergugat sangat kurang hanya
sebatas chat dan telepon, sehingga membuat Penggugat merasa jenuh. Ketika Penggugat
hamil, Penggugat sendiri yang memeriksakan diri ke dokter tanpa ditemani oleh
Tergugat, sehingga Penggugat merasa sedih dan merasa ditelantarkan dan tidak
diperhatikan oleh Tergugat.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Putusan Pengadilan Agama Buntok
terhadap perkara Nomor 0017/Pdt.G/2019/PA. Btk terkait dengan dikabulkannya
perceraian yang diajukan Penggugat, menganalisis Putusan Pengadilan Tinggi Agama
Palangka Raya terhadap banding perkara Nomor 10/Pdt.G/PTA.Plk terkait dengan
dikabulkannya perceraian yang diajukan Penggugat/Terbanding dan menganalisis
Putusan Mahkamah Agung terhadap kasasi perkara Nomor 1/K/Ag/2020 terkait dengan
pembatalan perceraian dari putusan Pengadilan Agama Buntok dan Pengadilan Tinggi
Agama Palangka Raya. Manfaat penelitian ini yaitu kegunaan yang bersifat praktis, yaitu
sejauh mana kegunaan penelitian mampu untuk memecahkan masalah-masalah yang
dihadapi masyarakat. Kegunaan yang bersifat praktis ini juga diarahkan sebagai bahan
masukan dalam suatu proses pengambilan keputusan.
METODE PENELITIAN
Analisis dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif normatif yakni analisis
yang dipakai tanpa menggunakan angka maupun rumusan statistika dan matematika
artinya disajikan dalam bentuk uraian. Dimana hasil analisis akan dipaparkan secara
deskriptif kemudian dianalisa dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dikaitkan dengan teori-teori hukum dan pelaksanaan hukum positif yang menyangkut
permasalahan.
Vol. 1, No. 11, pp. 1.371-1.386, November 2021
1.373 http://sostech.greenvest.co.id
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Putusan Pengadilan Agama Buntok terhadap perkara Nomor
0017/Pdt.G/2019/PA. Btk terkait dengan dikabulkannya perceraian yang
diajukan Penggugat
1. Kasus Posisi
a. Para Pihak Yang Berperkara
S A D Y Binti J, tanggal lahir 12 Januari 1992, agama Islam, pekerjaan
Karyawan BUMN (Kantor Pos Buntok), Pendidikan S1, tempat tinggal di
Kabupaten Barito Selatan, dalam hal ini memberikan kuasa khusus kepada H.
Irawansyah, Advokat, Konsultan Hukum, alamat di Jalan Pelita IV, No. 55A,
Buntok, Kecamatan Dusun Selatan, Kabupaten Santo Selatan, berdasarkan Surat
Kuasa Khusus tanggal 17 Januari 2019, selanjutnya disebut sebagai penggugat.
Melawan:
HN Bin D, tanggal lahir 6 November 1990, agama Islam, pekerjaan Karyawan Bank
Syariah Mandiri Palangka Raya, pendidikan S1, tempat tinggal di Kota Palangka Raya,
selanjutnya disebut sebagai Tergugat.
b. Gugatan Penggugat
Bahwa penggugat berdasarkan surat gugatannya tanggal 17 Januari 2019
yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Buntok dengan Nomor
0017/Pdt.G/2019/PA.Btk, mengajukan halhal yaitu bahwa pada tanggal 11
Maret 2018 penggugat dan tergugat telah melangsungkan akad nikah di Buntok,
Kecamatan Dusun Selatan, Kabupaten Barito Selatan sesuai dengan Kutipan
Akta Nikah Nomor 085/16/03/2018 tanggal 15 Maret 2018, bahwa rumah tangga
penggugat dan tergugat tidak berlangsung lama dan belum mempunyai anak,
penggugat dan tergugat awalnya bertempat tinggal di Buntok sedangkan tergugat
tinggal di Palangka Raya, bahwa kehidupan rumah tangga penggugat dan
tergugat berlangsung rukun dan harmonis hanya beberapa bulan saja setelah
perkawinan.
Berdasarkan alasan atau dalil-dalil tersebut di atas, penggugat mohon agar
Ketua Pengadilan Agama Buntok memeriksa dan mengadili perkara ini,
selanjutnya menjatuhkan putusan yaitu menerima dan mengabulkan gugatan
penggugat untuk seluruhnya, menjatuhkan talak satu bath shugra tergugat HN
Bin D terhadap penggugat S A D Y Binti J, menetapkan tergugat untuk
membayar nafkah iddah selama 3 (tiga) bulan (@ Rp.5.000.000,00) sebesar
Rp.15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) kepada penggugat dan dibayarkan
secara sekaligus setelah diputusnya gugatan ini, menghukum tergugat untuk
membayar semua biaya yang timbul dalam perkara ini atau memberikan putusan
yang lain dengan seadil-adilnya (ex aequo et bona).
Jawaban secara lisan dari pihak tergugat yang pada pokoknya yaitu bahwa
tergugat membenarkan ikatan pernikahan antara penggugat dan tergugat serta
tempat tinggal keduanya setelah menikah, bahwa tergugat membenarkan bahwa
keharmonisan rumah tangga penggugat dan tergugat hanya berlangsung beberapa
bulan saja, namun tergugat membantah tentang sering terjadinya percekcokan
dan pertengkaran antara penggugat dan tergugat, bahwa terhadap dalil gugatan
penggugat yang menyatakan bahwa Penggugat dan tergugat sudah berpisah
kamar dan tempat tidur serta tidak pernah melakukan hubungan sebagaimana
suami istri sejak bulan Oktober 2018 sampai saat ini, bahwa berdasarkan jawaban
tergugat sebelumnya, maka perbuatan yang tidak wajar dan tidak layak seperti
apakah yang dimaksud penggugat yang telah dilakukan tergugat sebagai seorang
Studi Kritis Terhadap Putusan Kasasi MA Nomor
1/K/Ag/2020 Tentang Alasan Perceraian
Mustolich 1.374
suami terhadap penggugat sehingga penggugat mengajukan gugat cerai terhadap
tergugat ke Pengadilan Agama, bahwa tergugat tidak ingin bercerai dengan
penggugat dan tetap akan berusaha mempertahankan perkawinannya dengan
penggugat.
Berdasarkan jawaban tergugat tersebut, penggugat telah mengajukan replik
secara tertulis, menurut penggugat bahwa antara penggugat dan tergugat sering
terjadi percekcokan dan perselisihan dalam rumah tangga, bahwa benar antara
penggugat dan tergugat telah berpisah kamar sejak tanggal 24 September 2018
hingga saat ini, bahwa penggugat menyatakan bahwa rumah tangga penggugat
dan tergugat tidak dapat dipertahankan lagi.
Bahwa atas replik penggugat tersebut, tergugat telah mengajukan duplik
secara lisan yang pada pokoknya tetap sebagaimana jawaban tergugat semula.
Bahwa untuk menguatkan dalil gugatannya, penggugat di muka sidang telah
mengajukan alat bukti surat berupa fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama S
A D Y NIK 6204065201920003 tanggal 11 November 2015, telah di nazegelen
serta telah dicocokkan dengan aslinya dan ternyata sesuai dengan aslinya,
selanjutnya diberi tanda bukti P.1, fotokopi Kutipan Akta Nikah Nomor
085/16/03/2018 tanggal 15 Maret 2018 yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat
Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Dusun Selatan Kabupaten Barito
Selatan, telah di nazegelen serta telah dicocokkan dengan aslinya dan ternyata
sesuai dengan aslinya selanjutnya diberi tanda bukti P. 2.
Bahwa atas bukti suratsurat yang diajukan oleh penggugat, tergugat
membenarkan dan tidak menyatakan bantahannya. Bahwa selain bukti surat
tersebut, Penggugat juga mengajukan dua orang saksi di muka sidang yang
memberikan keterangan di bawah sumpah, masingmasing bernama J bin R A,
umur 51 tahun, agama Islam, pendidikan S1, pekerjaan Aparatur Sipil Negara,
tempat tinggal di Kabupaten Barito Selatan, merupakan ayah kandung dari
Penggugat atau mertua dari Tergugat. W S bin J, umur 31 tahun, agama Islam,
pendidikan S1, pekerjaan karyawan BUMN, tempat tinggal di Kota Banjarbaru,
merupakan kakak kandung Penggugat atau kakak ipar dari Tergugat.
Bahwa untuk menguatkan dalil bantahannya, di muka sidang Tergugat
mengajukan alat bukti yang berupa hasil cetak bukti transfer antar bank dari
rekening tergugat ke rekening penggugat pada tanggal 27 September 2018 telah
di Nazegelen, selanjutnya diberi tanda bukti T.1. Hasil cetak bukti transfer antar
bank dari rekening Tergugat ke rekening Penggugat pada tanggal 25 Oktober
2018 telah di Nazegelen, selanjutnya diberi tanda bukti T.2. Hasil cetak bukti
transfer antar bank dari rekening Tergugat ke rekening Penggugat pada tanggal
23 November 2018 telah di Nazegelen, selanjutnya diberi tanda bukti T.3. Hasil
cetak bukti transfer antar bank dari rekening Tergugat ke rekening Penggugat
pada tanggal 23 Desember 2018 telah di Nazegelen, selanjutnya diberi tanda
bukti T.4. Hasil cetak bukti transfer antar bank dari rekening Tergugat ke
rekening Penggugat pada tanggal 25 Januari 2019 telah di Nazegelen, selanjutnya
diberi tanda bukti T.5. Hasil cetak bukti transfer antar bank dari rekening
Tergugat ke rekening Penggugat pada tanggal 25 Februari 2019 telah di
Nazegelen, selanjutnya diberi tanda bukti T.6. Fotokopi Sertifikat Hak Guna
Bangunan Nomor 1140 atas nama Hary Novindra, telah di Nazegelen namun
Tergugat tidak dapat menunjukkan surat aslinya, selanjutnya diberi tanda bukti
T.7.
Bahwa atas bukti suratsurat yang diajukan oleh tergugat, penggugat
membenarkan dan tidak menyatakan bantahannya. Bahwa selain bukti surat
Vol. 1, No. 11, pp. 1.371-1.386, November 2021
1.375 http://sostech.greenvest.co.id
tersebut, tergugat mengajukan dua saksi di muka sidang yang memberikan
keterangan di bawah sumpah.
B. Analisis Putusan Pengadilan Tinggi Agama Palangka Raya terhadap banding
perkara Nomor 10/Pdt.G/PTA.Plk terkait dengan dikabulkannya perceraian
yang diajukan Penggugat/Terbanding
Putusan Hakim pengadilan tingkat banding Putusan Pengadilan Tinggi Agama
Palangka Raya Nomor 10/Pdt.G/PTA.Plk, yaitu menyatakan permohonan banding
yang diajukan oleh Pembanding secara formal dapat diterima, menguatkan Putusan
Pengadilan Agama Buntok Nomor 0017/Pdt.G/ 2019/PA Btk tanggal 21 Mei 2019
Masehi bertepatan dengan tanggal 16 Ramadhan 1440 Hijriah yang dimohonkan
banding, membebankan kepada Pembanding untuk rnembayar biaya perkara pada
tingkat banding sejumlah Rp.150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah).
C. Analisis Putusan Mahkamah Agung terhadap kasasi perkara Nomor
1/K/Ag/2020 terkait dengan pembatalan perceraian dari putusan Pengadilan
Agama Buntok dan Pengadilan Tinggi Agama Palangka Raya
Pemohon Kasasi mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 2 September
2019 sebagaimana ternyata Akta Permohonan Kasasi Nomor 17/Pdt.G/2019/PA.Btk
yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Agama Buntok, permohonan tersebut diikuti
dengan memori kasasi yang memuat alasanalasan yang diterima di kepaniteraan
Pengadilan tersebut pada tanggal 9 September 2019. Terhadap memori kasasi
tersebut, Termohon Kasasi telah mengajukan kontra memori kasasi yang diterima
tanggal 18 September 2019 yang pada pokoknya menolak permohonan kasasi dari
Pemohon Kasasi.
D. Putusan Hakim Tingkat Kasasi
Putusan Hakim tingkat kasasi, Putusan Mahkamah Agung Nomor
1/K/Ag/2020, yaitu mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi, HN Bin
D, tersebut membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Palangka Raya Nomor
10/Pdt.G/2019/PTA.Plk., tanggal 31 Juli 2019 Masehi bertepatan dengan tanggal 28
Zulkaidah1440 Hijriah.
E. Analisis Hukum Putusan Hakim Pengadilan Tingkat Pertama (Putusan
Pengadilan Agama Buntok Nomor 0017/Pdt.G/2019/PA. Btk.)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Peneliti, diketahui bahwa perkara
ini merupakan tugas dan wewenang Pengadilan Agama Buntok. Peradilan Agama,
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006,
adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang
beragama Islam mengenai perkara tertentu. Tugas pokoknya adalah memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak,
shadaqah dan ekonomi syariat.
F. Analisis Hukum Putusan Hakim Pengadilan Tingkat Banding (Putusan
Pengadilan Tinggi Agama Palangka Raya Nomor 10/Pdt.G/PTA.Plk.)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti, diketahui bahwa
Tergugat sebagai pihak yang merasa tidak puas terhadap putusan Pengadilan Agama
sehingga mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Agama melalui
Panitera Pengadilan Agama yang memutuskan perkara tersebut.
Peradilan tingkat banding merupakan peradilan judex facti tingkat kedua.
Fungsi ini melekat, karena badan peradilan tingkat banding mempunyai wewenang
melakukan koreksi terhadap putusan pengadilan agama, bertindak melakukan
pemeriksaan ulang terhadap perkara secara keseluruhan, sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan Ulangan, yang
Studi Kritis Terhadap Putusan Kasasi MA Nomor
1/K/Ag/2020 Tentang Alasan Perceraian
Mustolich 1.376
menyatakan bahwa: “Dari putusan-putusan Pengadilan Negeri di Jawa dan Madura
tentang perkara perdata, yang tidak ternyata, bahwa besarnya harga gugat ialah
seratus rupiah atau kurang, oleh salah satu dari pihak-pihak (partijen) yang
berkepentingan dapat diminta, supaya pemeriksaan perkara diulangi oleh Pengadilan
Tinggi yang berkuasa dalam daerah masing-masing”.
G. Tinjauan Teori Putusan Hakim
Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat
negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan
untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau masalah antar pihak. Bukan
hanya yang diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang
dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh Hakim di
persidangan. Sebuah konsep putusan (tertulis) tidak mempunyai kekuatan sebagai
putusan sebelum diucapkan di persidangan oleh hakim. Setidaknya ada 6 asas dalam
Putusan Hakim, yaitu asas musyawarah majelis, putusan harus memuat dasar/alasan
yang cukup, putusan harus mengadili seluruh bagian gugatan, asas ultra petitum
partium (asas yang melarang hakim untuk memutus melebihi apa yang dituntut),
asas keterbukaan dan putusan harus tertulis putusan.
Catatan akhir di putusan Pengadilan Tinggi Agama Palangka Raya disebutkan
demikian diputuskan dalam musyawarah Majelis Hakim tingkat banding Pengadilan
Tinggi Agama Palangka Raya pada hari Rabu tanggal 31 Juli 2019 Masehi,
bertepatan dengan tanggal 28 Dzulqa’dah1440 Hijriah oleh kami Drs. H. A.
Shonhadji Ali, M.HI sebagai Ketua Majelis serta Drs. H. Faizin, S.H , M.Hum. dan
Dr. H. Uyun Kamiluddin, S.H., M.H, masing-masing sebagai Hakim Anggota
berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Tinggi Agama Palangka Raya Nomor
W/Pdt.G/2019/PTA.PIk tanggal 15 Juli 2019, putusan tersebut diucapkan pada hari
itu juga, dalam sidang terbuka untuk umum oleh Ketua Majelis tersebut didampingi
oleh Hakim-hakim Anggota dan dibantu oleh Relas Warni, S.H. sebagai panitera
sidang, dengan tidak dihadiri oieh pembanding dan terbanding.
Catatan akhir di Putusan Kasasi Mahkamah Agung. Demikianlah diputuskan
dalam rapat musyawarah Majelis Hakim pada hari Selasa, tanggal 18 Februari 2020
oleh Dr. H. Amran Suadi, S.H., M.H., M.M., Hakim Agung yang ditetapkan oleh
Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. H. Purwosusilo, S.H., M.H. dan
Dr. H. Edi Riadi, S.H., M.H., Hakim-Hakim Agung sebagai anggota dan diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis dengan
dihadiri para Hakim Anggota tersebut dan Dr. H. Khoirul Anwar, S.Ag., M.H.,
Panitera Pengganti dan tidak dihadiri oleh para pihak.
Berdasarkan ketiga catatan akhir Putusan tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa Putusan Pengadilan Buntok, Putusan Pengadilan Tinggi Agama Palangka
Raya dan Putusan Kasasi Mahkamah Agung telah memenuhi 3 asas yang harus ada
dalam putusan yaitu Asas Musyawarah, Asas Keterbukaaan dan Asas bahwa putusan
harus tertulis. Sedangkan tentang pemenuhan asas putusan harus mengadili seluruh
bagian gugatan dan asas ultra petitum partium (asas yang melarang hakim untuk
memutus melebihi apa yang dituntut) maka kita bisa melihat dari amar ketiga
putusan tersebut. Setelah peneliti meneliti amar putusan dari Pengadilan Agama
Buntok, Pengadilan Tinggi Agama Palangka Raya dan Putusan Kasasi Mahkamah
Agung serta dihubungkan dengan petitum gugatan penggugat atau petitum
permohonan pembanding/Pemohon Kasasi maka peneliti berkesimpulan ketiga
putusan tersebut telah memenuhi asas putusan harus mengadili seluruh bagian
gugatan dan asas ultra petitum partium (asas yang melarang hakim untuk memutus
melebihi apa yang dituntut). Asas yang harus ada dalam putusan selanjutnya adalah
Vol. 1, No. 11, pp. 1.371-1.386, November 2021
1.377 http://sostech.greenvest.co.id
asas putusan harus memuat dasar/alasan yang cukup. Semua putusan pengadilan
harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili. Alasan-
alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban hakim
terhadap putusannya kepada masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi
dan ilmu hukum, sehingga mempunyai nilai objektif. Karena alasan-alasan itulah,
maka putusan mempunyai wibawa dan bukan karena hakim tertentu
menjatuhkannya.
Kita ingin bisa melihat ada atau tidaknya asas putusan harus memuat
dasar/alasan yang cukup dalam putusan hakim, maka kita harus membaca secara
lengkap ketiga putusan tersebut. Jika ingin menjatuhkan putusan terhadap perkara
yang diperiksa dan diadili biasanya melalui proses tahapan-tahapan yaitu
mengkonstantir, yang artinya hakim melihat, mengetahui, serta membenarkan telah
terjadinya peristiwa, harus bersifat pasti bukan dugaan, yang didasarkan alat bukti
dalam pembuktian. Berdasarkan tahap ini hakim harus bersifat logis serta
penguasaan hukum pembuktian hakim sangat dibutuhkan, mengkualifikasi, yang
artinya tindakan hakim untuk melakukan penemuan hukum untuk peristiwa yang
telah dikonstantir. Berdasarkan tahap ini hakim menilai terhadap dalil yang telah
terbukti dan yang tidak terbukti dengan mencari penerapan hukum yang tepat,
mengkonstituir, yang artinya tindakan hakim untuk memberi konstitusinya terhadap
peristiwa yang telah dikonstantir dan dikualifisir. Berdasarkan tahap ini hakim telah
menentukan hukumnya.
Melalui tahapan mengkontastir, mengkualifisir dan mengkonstituir, putusan
Pengadilan Agama Buntok menyimpulkan menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan di atas, maka ditemukan suatu fakta hukum bahwa benar telah terjadi
perselisihan antara penggugat dan tergugat secara terus-menerus, perselisihan mana
yang tidak dapat dirukunkan kembali, menimbang, bahwa dari pertimbangan di atas,
meskipun tidak semua unsur terpenuhi namun berdasarkan fakta hukum yang telah
ditemukan, maka patut dinyatakan bahwa maksud dan kehendak dari Pasal 39 ayat 2
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 19 huruf f
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum
Islam telah terpenuhi, hingga patut dinyatakan bahwa gugatan Penggugat a quo telah
beralasan hukum, menimbang, bahwa dengan telah beralasan hukumnya gugatan
Penggugat, maka dapat diyakini bahwa keutuhan rumah tangga penggugat dan
tergugat benar-benar telah retak dan pecah (broken home) tidak ada lagi
ketentraman, kebahagiaan dan kedamaian dalam pernikahan Penggugat dan Tergugat
sebagaimana maksud dari Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam.
Kesimpulan Pengadilan Tinggi Agama Palangka Raya menimbang, bahwa
Majelis Hakim tingkat banding mencermati dengan seksamaa pertimbangan hukum
Pengadilan Agama Buntok tersebut dan memberikan penilaian bahwa Majelis Hakim
Tingkat Pertama telah tepat dan benar dalam mempertimbangkan seluruh aspek, baik
formil maupun materiil.
Kesimpulan dalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung bahwa tidak terbukti
pertengkaran yang terus menerus antara penggugat dan tergugat, yang terjadi hanya
perubahan sikap dari Penggugat saja sehingga wujud dari pecah perkawinan
Penggugat dan Tergugat belum ada, apa lagi usia perkawinan Penggugat dan
Tergugat masih muda, keduanya menikah pada bulan Maret 2018 dan Penggugat
mengajukan gugatan pada tanggal 17 Januari 2019. Oleh sebab itu gugatan
Penggugat patut untuk ditolak;
Studi Kritis Terhadap Putusan Kasasi MA Nomor
1/K/Ag/2020 Tentang Alasan Perceraian
Mustolich 1.378
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, dengan tanpa
mempertimbangkan alasan kasasi lainnya, Mahkamah Agung berpendapat terdapat
cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi, H N Bin
D, tersebut dan membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Palangka Raya
Nomor 10/Pdt.G/2019/PTA.PIk. tanggal 31 Juli 2019 Masehi bertepatan dengan
tanggal 28 Zulkaidah 1440 Hijriah yang menguatkan Putusan Pengadilan Agama
Buntok Nomor 17/Pdt.G/2019/PA.Btk. tanggal 21 Mei 2019 Masehi bertepatan
dengan tanggal 16 Ramadan 1440 Hijriah serta Mahkamah Agung mengadili sendiri
perkara ini dengan amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini”.
Kesimpulan-kesimpulan yang ada dalam ketiga putusan tersebut tentunya
berawal dari hakim yang telah mengkontastir, mengkualifisir dan mengkonstituir
peristiwa hukum. Setelah meneliti dan membaca secara lengkap putusan-putusan
tersebut maka peneliti berpendapat ketiga putusan tersebut telah memenuhi asas
putusan harus memuat dasar/alasan yang cukup.
H. Tinjauan Teori Kewenangan.
Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang berasal dari undang-undang,
sedangkan wewenang itu sendiri yaitu suatu spesifikasi dari kewenangan yang
artinya barang siapa disini adalah subjek hukum yang diberikan kewenangan oleh
undang-undang, maka subjek hukum berwenang untuk melakukan sesuatu tersebut
dalam kewenangan karena perintah undang-undang. Secara yuridis, pengertian
wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan
untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.
Tentang Kekuasaan kehakiman di Indonesia diatur dalam Undang-undang
Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman. Berdasarkan bab III pasal 18
dijelaskan “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstierkara yang diteliti adalah perkara
Cerai Gugat antara Penggugat (S A D Y Binti J) melawan Tergugat (H N bin D).
Perkara Cerai Gugat sendiri merupakan salah satu jenis perkara dari bidang
perkawinan. Berdasarkan kasus ini Penggugat berdomisili di Kabupaten Barito
Selatan sedangkan Tergugat berdomisili di Kota Palangka Raya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Peneliti, diketahui bahwa perkara
ini merupakan tugas dan wewenang Pengadilan Agama Buntok. Peradilan Agama,
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006,
adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang
beragama Islam mengenai perkara tertentu. Tugas pokoknya adalah memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak,
shadaqah dan ekonomi syariat.
Hal tersebut dapat diketahui karena Penggugat dan Tergugat telah
melangsungkan pernikahan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Dusun Selatan
Kabupaten Barito Selatan, juga gugatan Penggugat telah diajukan oleh pihak isteri
sebagai Penggugat di tempat tinggal Penggugat yang masuk dalam yurisdiksi
Pengadilan Agama Buntok serta tidak adanya eksepsi dari Tergugat; oleh karenanya
gugatan tersebut dapat diterima. Terhadap perkara tersebut, untuk dapat mengajukan
gugatan cerai di pengadilan maka harus mempunyai kepentingan yang cukup dan
layak serta memiliki dasar hukum. Alasan tersebut haruslah telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan sebagai hukum nasional serta termasuk ke dalam
hukum Islam dan hukum adat, yang menjadi alas atau dasar hukum bagi pengajuan
Vol. 1, No. 11, pp. 1.371-1.386, November 2021
1.379 http://sostech.greenvest.co.id
gugatan cerai di pengadilan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berbunyi: “Perceraian
hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah Pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.
Mengingat sebagaimana berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Pengadilan Agama bahwa salah satu kewenangannya mengadili perkara perceraian,
yang terdiri dari dua macam yakni cerai talak dan cerai gugat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Peneliti, diketahui bahwa
Tergugat sebagai pihak yang merasa tidak puas terhadap putusan Pengadilan Agama
sehingga mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Agama melalui
Panitera Pengadilan Agama yang memutuskan perkara tersebut.
Banding adalah permohonan pemeriksaan kembali terhadap putusan atau
penetapan pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Agama) karena merasa tidak puas
atas putusan atau penetapan tersebut, ke pengadilan tingkat Banding (Pengadilan
Tinggi Agama) yang menguasai wilayah pengadilan tingkat pertama yang
bersangkutan, melalui pengadilan tingkat pertama yang memutus tersebut, dalam
tenggang waktu tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu. Batas waktu pengajuan
banding tersebut adalah 14 (empat belas) hari setelah putusan Pengadilan Agama
diumumkan atau diberitahukan secara sah pada pihak yang tidak hadir ketika
putusan itu diucapkan.
Wewenang Pengadilan Tinggi sebagai badan peradilan tingkat banding
ditegaskan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di
Jawa dan Madura dan Rechtreglement voor de Buitengewesten, Bab IV, Bagian
Ketiga terdiri dari Pasal 199-205 untuk wilayah di luar Jawa dan Madura.
Kewenangan ini bersifat mandiri, tidak bersifat hirarkis, peradilan tingkat banding
dalam melaksanakan kewenangan tidak dapat diintervensi Mahkamah Agung karena
mempunyai fungsi yang berbeda.
Peradilan tingkat banding merupakan peradilan judex facti tingkat kedua.
Fungsi ini melekat, karena badan peradilan tingkat banding mempunyai wewenang
melakukan koreksi terhadap putusan pengadilan agama, bertindak melakukan
pemeriksaan ulang terhadap perkara secara keseluruhan, sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan Ulangan, yang
menyatakan bahwa: “Dari putusan-putusan Pengadilan Negeri di Jawa dan Madura
tentang perkara perdata, yang tidak ternyata, bahwa besarnya harga gugat ialah
seratus rupiah atau kurang, oleh salah satu dari pihak-pihak (partijen) yang
berkepentingan dapat diminta, supaya pemeriksaan perkara diulangi oleh Pengadilan
Tinggi yang berkuasa dalam daerah masing-masing”.
Kewenangan Pengadilan Tinggi dalam mengadili perkara juga disebutkan
dalam Pasal 26 ayat (1) Undang undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
kehakiman “Putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada
pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang
menentukan lain”.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Peneliti, diketahui bahwa
Pembanding sebagai pihak yang merasa tidak puas terhadap putusan Pengadilan
Tinggi Agama kemudian mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung.
Terhadap tindakan Tergugat atau Pembanding melakukan upaya hukum mengajukan
kasasi ini telah sesuai dengan Pasal 23 Undang undang Nomor 48 tahun 2009
tentang Kekuasaan kehakiman, yaitu “Putusan pengadilan dalam tingkat banding
dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang
bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.
Studi Kritis Terhadap Putusan Kasasi MA Nomor
1/K/Ag/2020 Tentang Alasan Perceraian
Mustolich 1.380
Kewengan Mahkamah Agung memeriksa dan mengadili perkara Kasasi
dijelaskan dalam Pasal 20 ayat (1) Undang undang Nomor 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan kehakiman yaitu “Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara
tertinggi dari badan peradilan yang berada di dalam keempat lingkungan peradilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. Dijelaskan juga dalam 20 ayat (2) Undang
undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah
Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan
pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di
bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang menentukan lain, menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang
dan kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang. Berdasarkan paparan
tersebut di atas maka Pengadilan Agama Buntok, Pengadilan Tinggi Agama
Palangka Raya dan Mahkamah Agung dalam memeriksa, mengadili dan
memutuskan perkara Perceraian antara S A D Y bin J dengan N bin D telah sesuai
dengan wewenangnya.
I. Tinjauan Teori Kepastian Hukum
Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai
bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah
pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa
yang melakukan. Dengan adanya kepastian hukum setiap orang dapat
memperkirakakan apa yang akan dialami jika melakukan tindakan hukum tertentu.
Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan dihadapan hukum tanpa
diskriminasi.
Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara
normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu
peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan
logis. Norma yang mengatur tentang alasan terjadinya perceraian diatur dalam pasal
19 PP nomor 9 tahun 1975 yaitu Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-
alasan yaitu salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan, salah satu pihak meninggalkan pihak
lain selama 2 (dua) tahun berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang
sah atau karena hal lain diluar kemampuannya, salah satu pihak mendapat hukuman
penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung; salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain; Salah satu pihak mendapat cacat badan atau
penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri,
antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Jika dihubungkan dengan Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 beserta penjelasannya serta Pasal 116 huruf f dan Pasal 134 Kompilasi
Hukum Islam untuk dapat terjadinya perceraian maka terdapat beberapa unsur yang
harus dipenuhi yaitu adanya perselisihan dan pertengkaran, perselisihan dan
pertengkaran tersebut terjadi secara terus menerus, penyebab perselisihan dan
pertengkaran tersebut cukup jelas setelah mendengar keterangan dari pihak keluarga
serta orangorang terdekat dari suami dan istri, sebabsebab perselisihan dan
pertengkaran tersebut merupakan sesuatu yang prinsipil dan berpengaruh langsung
terhadap keretakan rumah tangga, perselisihan dan pertengkaran tersebut
menyebabkan suami istri sudah tidak ada harapan untuk kembali rukun.
Seseorang ketika akan mengajukan gugatan/permohonan perceraian maka
harus bisa memenuhi ketentuan tersebut. Jika bisa dibuktikan di persidangan tentang
Vol. 1, No. 11, pp. 1.371-1.386, November 2021
1.381 http://sostech.greenvest.co.id
alasan-alasan tersebut maka gugatan/permohonannya dikabulkan oleh Pengadilan,
sebaliknya jika tidak dapat membuktikan dalil-dalil gugatan/permohonanya maka
Pengadilan akan menolaknya. Terhadap dikabulkannya gugatan tersebut maka bagi
pihak yang keberatan bisa melakukan upaya hukum yaitu banding dan kasasi.
Majelis Hakim tingkat banding dan kasasi akan memeriksa perkara tersebut
berdasarkan keberatan-keberatan dari pihak yang dikalahkan. Jika keberatan-
keberatan yang disampaikan oleh pihak lawan tersebut beralasan hukum maka hakim
tingkat banding dan hakim tingkat kasasi akan mengabulkan permohonan pihak
lawan dan membatalkan putusan Pengadilan tingkat pertama. Sebaliknya jika hakim
tingkat banding dan hakim tingkat kasasi berpendapat keberatan-keberatan dari
pihak lawan ternyata tidak beralasan maka hakim tingkat banding dan hakim tingkat
kasasi akan menguatkan kembali putusan pengadilan tingkat pertama.
Berdasarkan dua hal inilah, maka kepastian hukum bisa dicapai. Peneliti
berpendapat bahwa Pengadilan Agama Buntok telah dapat mewujudkan kepastian
hukum kepada para pihak, karena Pengadilan Agama Buntok berpendapat Penggugat
telah berhasil membuktikan gugatannya yaitu sesuai dengan pasal 19 huruf (f) antara
suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga, sehingga demi kepastian hukum
maka gugatan Penggugat harus dikabulkan. Demikian juga pendapat dari Pengadilan
Tinggi Agama Palangka Raya yang menyatakan keberatan-keberatan yang
disampaikan oleh Tergugat tidak beralasan, maka demi kepastian hukum Pengadilan
Tinggi Agama Palangka Raya harus menguatkan Putusan Pengadilan Agama
Buntok.
Pemeriksaan selanjutnya di tingkat kasasi, Hakim Mahkamah Agung
berpendapat bahwa keberatan yang diajukan tergugat beralasan, pengadilan tingkat
pertama kurang dalam menerapkan hukum, menurut Majelis Hakim Mahkamah
Agung yang terjadi bukanlah sebuah pertengkaran yang terus menerus antara
penggugat dan tergugat, maka demi kepastian hukum Mahkamah Agung kemudian
mengabulkan kasasi tergugat dan membatalkan Putusan Pengadilan Agama Buntok.
J. Tinjauan Teori Keadilan
Terdapat dua rumusan tentang keadilan yaitu pertama, pandangan bahwa yang
dimaksudkan dengan keadilan itu ialah keserasian antara penggunaan hak dan
pelaksanaan kewajiban selaras dengan “dalil neraca hukum” yakni “takaran hak dan
kewajiban”. Kedua, pandangan para ahli hukum yang pada dasarnya merumuskan
bahwa keadilan itu adalah keserasian antara kepastian hukum dan kesebandingan
hukum. Plato dalam mengartikan keadilan, sangat dipengaruhi oleh cita-cita
kolektivistik yang memandang keadilan sebagai hubungan harmonis dengan
berbagai organisme sosial. Setiap warga negara harus melakukan tugasnya sesuai
dengan posisi dan sifat alamiahnya. Keadilan adalah memberikan kepada setiap
orang apa yang menjadi haknya (fiat jutitia bereat mundus). Selanjutnya dia
membagi keadilan dibagi menjadi dua bentuk yaitu Pertama, keadilan distributif,
adalah keadilan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang, distribusinya
memuat jasa, hak dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip
kesamaan proporsional. Kedua, keadilan korektif, yaitu keadilan yang menjamin,
mengawasi dan memelihara distribusi ini melawan serangan-serangan ilegal.
Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur oleh hakim dan menstabilkan
kembali status quo dengan cara mengembalikan milik korban yang bersangkutan
atau dengan cara mengganti rugi atas miliknya yang hilang atau kata lainnya
keadilan distributif adalah keadilan berdasarkan besarnya jasa yang diberikan,
sedangkan keadilan korektif adalah keadilan berdasarkan persamaan hak tanpa
Studi Kritis Terhadap Putusan Kasasi MA Nomor
1/K/Ag/2020 Tentang Alasan Perceraian
Mustolich 1.382
“Sebuah kualitas yang mungkin, tetapi bukan harus dan sebuah tatanan sosial yang
menuntun terciptanya hubungan timbal balik di antara sesama manusia. Baru setelah
itu ia merupakan sebuah bentuk kebaikan manusia, karena memang manusia itu adil
bilamana perilakunya sesuai dengan norma-norma tatanan sosial yang seharusnya
memang adil. Maksud tatanan sosial yang adil adalah bahwa peraturan itu menuntun
perilaku manusia dalam menciptakan kondisi yang memuaskan bagi semua manusia
dengan kata lain bahwa supaya semua orang bisa merasa bahagia dalam peraturan
tersebut”.
Keadilan yang dimaksud Hans Kelsen di atas, dalam menuntun perilaku
manusia dalam tatanan sosial, terutama dalam pertimbangan hakim dalam
putusannya, khususnya dalam mempertimbangkan alasan dalam perceraian. Lebih
lanjut menurut (John, 2011), keadilan sosial merupakan prinsip kebijaksanaan
rasional yang diterapkan pada konsep kesejahteraan agretatif dari kelompok. Selain
itu menurut H.L.A Hart mengemukakan prinsip-prinsip keadilan yaitu:
...dalam berbagai penerapan konsep keadilan bahwa para individu di hadapan
yang lainnya berhak atas kedudukan relatif berupa kesetaraan atau ketidaksetaraan
tertentu. Ini merupakan sesuatu yang harus dipertimbangkan dalam ketidakpastian
kehidupan sosial ketika beban atau manfaat hendak dipulihkan ketika terganggu.
Dari situlah menurut tradisi keadilan dipandang sebagai pemeliharaan atau
pemulihan keseimbangan (balance) atau jatah bagian (propotion) dan kaidah
pokoknya sering dirumuskan sebagai “Perlakukan hal-hal yang serupa dengan cara
yang serupa”; kendatipun kita perlu menambahkan padanya “dan perlakuan hal-hal
yang berbeda dengan cara yang berbeda”...
Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Buntok dan Pengadilan Tinggi
Agama Palangka Raya Peneliti melihat bahwa paradigma yang dianut oleh hakim
dalam memutus perkara adalah paradigma positivistik. Dimana kaum positivistik
menganggap hukum positif dapat memberikan kepastian hukum karena kita
mengenali apa yang dilarang dan diperbolehkan dari hukum positif tersebut. Karena
itu, ius (keadilan) yang abstrak agar bisa diverifikasi harus dipositifkan (ius
constitutum) terlebih dulu menjadi rumusan hukum positif. Implikasinya, kepatuhan
terhadap hukum positif dianggap adil, sebaliknya pelanggarannya dianggap tidak
adil. Dengan kata lain, hukum positif menentukan keadilan. Widodo, “Tinjauan
Kritis-Filosofis Terhadap Paradigma Positivisme Hukum”.
Alasan-alasan hukum yang dapat menjadi dasar dikabulkannya perceraian
diatur dalam Pasal 39 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
menentukan bahwa untuk melakukan suatu perceraian harus ada cukup alasan di
mana suami istri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri serta diatur juga
dalam dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116
huruf f Kompilasi Hukum Islam Pasal 19 huruf f dan Pasal 22 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 beserta penjelasannya serta Pasal 116 huruf f dan
Pasal 134 Kompilasi Hukum Islam.
Putusan Pengadilan Agama Buntok dan Putusan Pengadilan Tinggi Agama
Palangka Raya dalam mengabulkan gugatan perceraian dalam perkara ini
berdasarkan peraturan di atas (Sulistyowati, 2015). Majelis Hakim berpendapat
Penggugat telah berhasil membuktikan dalil-dalil gugatannya. Di samping itu
Majelis Hakim juga merujuk kepada Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor
3180/K/Pdt/1985 yang berisi stressing pemeriksaan perselisihan dan pertengkaran
terus menerus bukan pada penyebabnya, tetapi pada fakta riil bahwa terbukti ada
perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus dan tidak dapat didamaikan lagi.
Vol. 1, No. 11, pp. 1.364-1.370, November 2021
1.383 http://sostech.greenvest.co.id
Mahkamah Agung RI menentukan bahwa putusan hakim harus
mempertimbangkan segala aspek yang bersifat yuridis, filosofis dan sosiologis
(Pratama et al., 2019). Dalam pertimbangan dikabulkannya gugatan perceraian,
hakim telah melihat dari aspek yuridis merupakan aspek yang pertama (Burhanudin,
2015) dan utama dengan berpatokan kepada undang-undang yang berlaku (Manik,
2019). Hakim sebagai aplikator undang-undang, harus memahami undang-undang
dengan mencari undang-undang yang berkaitan dengan perkara yang sedang
dihadapi (Istiqomah, 2017). Hakim menilai apakah undang-undang tersebut adil
(Mubarok, 2014), ada manfaatnya atau memberikan kepastian hukum jika
ditegakkan, sebab salah satu tujuan hukum itu unsurnya adalah menciptakan
keadilan (Armalina & Hidayah, 2020).
Adapun keadilan yang diciptakan Hakim Pengadilan Agama Buntok dan
Pengadilan Tinggi Agama Palangka Raya dalam Putusan dikabulkan perceraian ini
adalah keadilan hukum (legal justice) (Fahni & Fahni, 2017), yaitu keadilan
berdasarkan hukum dan perundang-undangan. Dalam arti hakim hanya memutuskan
perkara hanya berdasarkan hukum positif dan peraturan perundang-undangan.
Keadilan seperti ini keadilan menurut penganut aliran legalistis positivisme. Dalam
menegakkan keadilan ini hakim atau pengadilan hanya sebagai pelaksana undang-
undang belaka, hakim tidak perlu mencari sumber-sumber hukum di luar dari hukum
tertulis dan hakim dipandang menerapkan undang-undang pada perkara konkret
belaka dengan kata lain, hakim sebagai corong atau mulut undang-undang.
Mahkamah Agung, Hakim Agung dalam memutus perkara menggunakan
metode interpretasi sistematis logis. Metode interpretasi sistematis logis itu
menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan
peraturan hukum atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum
disebut penafsiran sistematis. Tidak hanya suatu peraturan dalam satu himpunan
peraturan dapat membenarkan penafsiran tertentu dari peraturan itu, juga pada
beberapa peraturan dapat mempunyai dasar tujuan atau asas yang sama.
Mahkamah Agung dalam mengadili perkara a quo Hakim telah menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Bahwa tidak terbukti pertengkaran yang terus menerus antara Penggugat
dan Tergugat, yang terjadi hanya perubahan sikap dari Penggugat saja sehingga
wujud dari pecah perkawinan Penggugat dan Tergugat belum ada, apa lagi usia
perkawinan Penggugat dan Tergugat masih muda, keduanya menikah pada bulan
Maret 2018 dan Penggugat mengajukan gugatan pada tanggal 17 Januari 2019. Oleh
sebab itu gugatan Penggugat patut untuk ditolak.
Dasar hukum inilah yang dijadikan dasar untuk membatalkan gugatan cerai
Penggugat yang telah diputus dalam Putusan Perkara Nomor 0017/Pdt.G/2019/PA.
Btk., dan putusan Hakim Pengadilan Tinggi Agama Palangka Raya dalam Perkara
Nomor 10/Pdt.G/PTA.Plk. dari kedua putusan tersebut pertimbangan hakim untuk
alasan perceraiaan lebih ditonjolkan adalah perselisihannya menurut pertimbangan
Mahkamah Agung ini sebetulnya kurang pas. Hal ini sejalan dalam Undang-undang
perkawinan nasional menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian,
sebagaimana termaktub dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan angka 4 huruf e. Salah satu penerapan asas mempersulit
terjadinya perceraian ada pada Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
K. Tinjauan Studi Hukum Kritis (Critical Legal Studies)
Terdapat hal yang melatar belakangi lahirnya CLS adalah anggapan bahwa
hukum gagal dalam memainkan peran menjawab permasalahan yang ada. CLS
Studi Kritis Terhadap Putusan Kasasi MA Nomor
1/K/Ag/2020 Tentang Alasan Perceraian
Mustolich 1.384
menolak perbedaan antara teori dan praktik, sekaligus menolak perbedaan antara
fakta (fact) dan nilai (value) yang merupakan karakteristik paham liberal. Dengan
demikian, aliran ini menolak kemungkinan teori murni (pure theory), tetapi lebih
menekankan pada teori yang memiliki daya pengaruh terhadap transformasi sosial
yang praktis.
Critical Legal Studies menawarkan analisis kritis terhadap hukum dengan
melihat relasi suatu doktrin hukum dengan realitas dan mengungkapkan kritiknya.
Berbeda dengan kaum legis liberial, gerakan CLS ini memang ingin mengarahkan
kritik mereka mempunyai sumbangan bagi transformasi politik dalam masharà'at
atau mempunyai implikasi praksis. Kalangan CLS ingin mengedepankan analisis
hukum yang tidak hanya bertumpu semata-mata pada segi-segi doktrinal (internal
relation), tapi juga dengan mempertimbangkan berbagai faktor di luar itu, seperti
preferensi-preferensi ideologis, bahasa, kepercayaan, nilai-nilai dan konteks politik
dalam proses pembentukan dan aplikasi hukum (external relation).
Herman J. pietersen, sebagaimana di kutip oleh samekto, menyebut tipologi
pemikiran Gerakan Studi Hukum Kritis sebagai subjektivitis-idealis missionary-
developmental mode. Gerakan pemikiran Studi Kritis menggunakan pendekatan
subjektivis-idealis yang didasarkan pada pemikiran missionary-developmental mode.
Beliau lalu menggambarkan lebih lanjut gerakan pemikiran hukum kritis ini dengan
merinci menjadi 6 pola dasar. Pertama, kebenaran dilihat dari perspektif ideologi,
konsep, atau prinsip-prinsip tertentu. Kedua, melibatkan nilai-nilai masyarakat atau
nilai-nilai bersifat komunal bukan individu. Ketiga, bersifat humanis, dalam arti
mengedapankan nilai-nilai kemanusiaan. Keempat bersifat developmental reformis,
dalam arti pendekatan ini lebih bermakna perubahan atau membangun kesadaran
tertentu. Kelima, transenden dalam arti analisis-analisis terhadap realitas
menyangkut hal-hal diluar practical experience. Keenam, bertujuan untuk
mempengaruhi dan merekayasa kehidupan atau masyarakat agar sesuai dengan ide-
ide atau prinsip-prinsip tertentu.
Salah satu kritik besar CLS adalah ia menghantam salah satu jantung doktrin
positivisme, yaitu doktrin rasionalitas formal. Rasionalitas formal adalah cara
berpikir atau nalar berpikir yang menyatakan bahwa kesimpulan dapat diperoleh
dengan cara kenali masalahnya (Nasrudin, 2019), kenali doktrin hukumnya,
preseden hukumnya, norma hukumnya kemudian langkah selanjutnya adalah
mengaplikasikannya. Termasuk pembuatan Putusan sangat terpengaruh dari rasional
formal ini. Positivisme hukum sangat percaya dengan nalar tersebut. Hakim
memutuskan kasus yang diperiksa dengan nalar tersebut. Kasus diperiksa ada saksi,
ada bukti kemudian hakim melihat hukumnya apa termasuk ada doktrin atau tidak
tentang kasus tersebut, kemuadian lahirlah sebuah putusan.
Putusan Pengadilan Agama Buntok dan Putusan Pengadilan Tinggi Agama
Palangka Raya dalam membuat putusan menggunakan doktrin rasional formal
tersebut. Kasus gugatan perceraian dengan alasan telah terjadi perselisihan dan
pertengkaran yang terus menerus antara Penggugat dan Tergugat setelah diperiksa
dan didapatkan fakta hukum kemudian hakim menerapkan norma hukum dan juga
doktrin hukumnya.
Berdasarkan putusan di atas hakim tidak melakukan terobosan hukum karena
undang-undang dan hukum positif dianggap telah mampu menjawab kasus
perceraian dengan alasan telah terjadi perselisihan dan pertengkaran antara suami
istri yang terus menerus, sehingga kasus ini dianggap sudah jelas dan tidak ada celah
hukum untuk diterobos. Pandangan semacam itu melukiskan hukum mampu
menghasilkan jawaban yang pasti terhadap semua kasus sehingga dianggap kasus
Vol. 1, No. 11, pp. 1.371-1.386, November 2021
1.385 http://sostech.greenvest.co.id
yang ringan. Akan tetapi sebenarnya tidak bisa semua kasus diputus seperti itu
karena tiap perkara pastinya memiliki perbedaan.
Perkara ini paham CLS menolak anggapan tentang netralitas obyektivitas
hukum sebagaimana yang diyakini Positivisme Hukum. Sebab menurut Roberto M.
Unger, setiap metode hukum tertentu akan menghasilkan pilihan hukum tertentu.
Dengan kata lain metode hukum yang dipilih oleh praktisi hukum akan
menghasilkan keputusan hukum yang tertentu. Majelis hakim Pengadilan Agama
Buntok dan Pengadilan Tinggi Agama Palangka Raya menjatuhkan putusan
perceraian ini lebih condong untuk mewujudkan kepastian hukum karena adanya
Putusan dapat memberi kejelasan hukum atas satus perkawinan Penggugat dan
Tergugat, meskipun dalam hal ini dinilai tidak adil karena semua permasalahan
berawal dari perubahan sikap Penggugat sebagai istri.
Sikap lebih kritis ditunjukan oleh hakim kasasi Mahmakah Agung. Menurut
peneliti Majelis Hakim Mahkamah Agung tidak hanya melihat penerapan norma
hukum dan aturan terhadap permasalahan ini, namun juga melihat secara
komprehensif termasuk latarbelakang terjadinya permasalahan antara penggugat dan
tergugat, sehingga majelis Hakim Mahkamah Agung berpendapat bahwa yang
terjadi bukanlah perselisihan terus menerus antara penggugat dan tergugat namun
hanyalah perubahan sikap penggugat terhadap tergugat. Sikap Mahkamah Agung
yang membatalkan putusan Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Banding
dengan alasan tersebut tentu lebih memberikan rasa keadilan yang substansial
terhadap Tergugat sebagai seorang suami yang berusaha untuk bersikap baik dan
mempertahankan rumah tangganya.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada penelitian ini dapat diambil
kesimpulan yaitu Pengadilan Agama Buntok dalam Putusan Nomor 0017/Pdt.G/2019/PA.
Btk mengabulkan gugatan penggugat karena penggugat berhasil membuktikan gugatanya
bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah tidak rukun karena terjadi
perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus. Hal ini sesuai dengan Pasal 39 ayat
2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 19 huruf f
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum
Islam. Pengadilan Tinggi Agama Palangka Raya dalam putusan nomor
10/Pdt.G/2019/PTA. Plk menguatkan kembali Putusan Pengadilan Agama Buntok dengan
alasan Pengadilan Tingkat pertama telah tepat dan benar dalam mempertimbangkan
seluruh aspek, baik formil maupun materiil atas fakta kejadian dan fakta hokum dalam
perkara a quo dengan mencatumkan dasar-dasar hukum dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku serta telah menerapkan logika hokum secara tepat dan rinci.
Mahkamah Agung dalam putusan kasasi nomor 1/K/Ag/2020 membatalkan putusan
pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding dengan alasan judex facti
(pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding) kurang dalam pertimbangan
hukum. Penggugat tidak dapat membuktikan latar belakang ketidakharmonisan rumah
tangga penggugat dan tergugat. Alasan kasasi bahwa penggugat dan tergugat sering
terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus tidak terbukti, yang terbukti hanya
perubahan sikap dari penggugat saja sehingga wujud dari pecah perkawinan penggugat
dan tergugat belum ada. Dalam Putusan Pengadilan Agama Buntok dan Pengadilan
Tinggi Agama Palangka Raya Peneliti melihat bahwa paradigma yang dianut oleh hakim
dalam memutus perkara adalah paradigma positivistik.
Studi Kritis Terhadap Putusan Kasasi MA Nomor
1/K/Ag/2020 Tentang Alasan Perceraian
Mustolich 1.386
BIBLIOGRAFI
Adelia, N. A., Muflichah, S., & Rochati, R. (2019). Gugat Cerai Karena Perselisihan Dan
Pertengkaran Terus-Menerus (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan
Agama Baturaja Nomor 30/Pdt. G/2019/Pa. Bta). Soedirman Law Review, 1(1).
Armalina, A., & Hidayah, A. (2020). Dasar Pertimbangan Hakim dalam Penetapan
Perkara Isbat Nikah. Solusi, 18(1), 2032.
Auriga, A. (2017). Pola Komunikasi Keluarga dalam Menjaga Keharmonisan pada
Pasangan Suami Istri yang Menjalani Long Distance Relationship. Faculty of
Social and Political Science.
Burhanudin, M. (2015). Analisis Putusan Pengadilan Nomor: 179/Pdt. G/2011/Pta. Bdg.
Ditinjau Dari Aspek Hukum Formil. ADLIYA: Jurnal Hukum Dan Kemanusiaan,
9(1), 2356.
Chairunnisa, N. A. (2020). Strategi Komunikasi Suami Istri Dalam Memelihara Gairah,
Komitmen Dan Kedekatan Pada Pernikahan PoligamI. Universitas Airlangga.
Fahni, A., & Fahni, A. (2017). Proses mediasi perkara perceraian di Pengadilan Agama
Buntok dalam mengimplementasikan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
2016. IAIN Palangka Raya.
Istiqomah, K. V. (2017). Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Tindak Pidana
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Kdrt) Di Pengadilan Negeri Yogyakarta Dan
Pengadilan Negeri Sleman. Universitas Islam Indonesia.
John, R. (2011). A Theory of Justice (Teori Keadilan)”: Dasar-dasar Filsafat Politik untuk
Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara. In Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Manik, J. D. N. (2019). Penegakan Hukum Pidana di Bidang Perikanan (Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan). Perspektif Hukum, 18(1), 5675.
Mubarok, N. (2014). Penemuan hukum sebagai pertimbangan sosiologis Hakim Agama
dalam menerapkan hukum. Al-Qānūn: Jurnal Pemikiran Dan Pembaharuan Hukum
Islam, 17(2), 369402.
Nasrudin, J. (2019). Metodologi Penelitian Pendidikan: Buku ajar praktis cara membuat
penelitian. Pantera Publishing.
Pratama, G. E., Nugroho, H., & Hendriana, R. (2019). Penolakan Status Justice
Collaborators Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Korupsi Andi Narogong Oleh
Hakim Tingkat Banding (Studi Perbandingan Putusan Nomor 100/Pid. Sus-
TPK/2017/PN. Jkt. Pst dan Nomor 5/Pid. Sus-TPK/2018/PT. DKI). Soedirman Law
Review, 1(1).
Riami, R. (2020). Perceraian Menurut Persepsi Psikologi Dan Hukum Islam. Imtiyaz:
Jurnal Ilmu Keislaman, 4(2), 124145.
Sulistyowati, D. (2015). Problematika pembagian harta bersama (studi di pengadilan
agama kota palangka raya). Fakultas Syariah.
Syaefullah, S. (2021). Disharmoni Wanita Karir terhadap Gugat Cerai Perspektif Hukum
Islam dan Hukum Positif Di Indonesia (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Cirebon
Tahun 2018-2019). Jurnal Fakultas Ilmu Keislaman Kuningan, 2(1), 5167.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License