Jurnal Sosial dan Teknologi (SOSTECH)
Volume 1, Number 11, November 2021
p-ISSN 2774-5147 ; e-ISSN 2774-5155
How to cite:
Anastasia Wiwik Swastiwi. (2021). Jejak Jalur Rempah di Kepulauan Riau. Jurnal Sosial dan Teknologi
(SOSTECH), 1(11): 1.395-1.405
E-ISSN:
2774-5155
Published by:
https://greenpublisher.id/
JEJAK JALUR REMPAH DI KEPULAUAN RIAU
Anastasia Wiwik Swastiwi
Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Maritim Raja
Ali Haji Kepulauan Riau, Indonesia
anastasiawiwiks[email protected]
Abstrak
Latar belakang: Rempah merupakan salah satu saksi sejarah perjalanan panjang bangsa
Indonesia. Dari rempah pula kemudian terbangun hubungan dagang antar bangsa dan benua.
Tujuan penelitian: Untuk mengetahui jejak jalur rempah di Kepulauan Riau agar tradisi dan
budaya dapat terwariskan.
Metode penelitian: Metode sejarah dalam merekonstruksi jejak jalur rempah di Kepulauan Riau
ini melalui empat tahapan kerja, yaitu heuristik (pengumpulan sumber), kritik sumber (eksternal
terhadap bahan dan intern terhadap isi), interpretasi (penafsiran) dan historiografi (penulisan
kisah sejarah). Sumber primer diperoleh melaui naskah Melayu seperti Tuhfat An Nafis,
Perhimpunan Plakat, anotasi Hasan Junus Syair Perjalanan Engku Puteri ke Lingga, Kitab
Pengetahuan Bahasa dan Tunjuk Ajar Perempuan.
Hasil penelitian: Jalur Rempah bukan hanya berisi perdagangan rempah-rempah, tetapi juga
sekaligus menghasilkan pertukaran ilmu, budaya, sosial, bahasa, keahlian-keterampilan dan
bahkan agama di antara berbagai orang yang berasal dari berbagai tempat yang jauh. Karena itu,
jalur rempah adalah melting pot berbagai konsep, gagasan dan praksis; dan jalur rempah menjadi
sarana perpindahan semua itu dari satu tempat ke tempat lain. Rempah juga menjadi penggerak
sejarah dan bahkan mengubah peta dunia. Oleh karena itu, rempah bukan hanya sebagai komoditi
dagang, tetapi juga menjadi simbol tertentu dalam budaya
Kesimpulan: Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa jalur rempah adalah meleburnya berbagai
konsep dan gagasan. Jalur rempah menjadi sarana perpindahannya dari satu tempat ke tempat
lain. Jejak jalur rempah di Kepulauan Riau pada akhirnya juga mewariskan tradisi dan budaya
diantaranya diantaranya kuliner dan pengobatan.
Kata kunci: Jejak, Jalur, Rempah, Warisan, Budaya
Abstract
Background: Spice is one of the witnesses to the long history of the long journey of the
Indonesian nation. From the spices also then built trade relations between nations and
continents.
Research purposes: To find out the traces of spice lines in riau islands so that traditions and
culture can be inherited.
Research methods: Historical methods in reconstructing the traces of spice lines in riau islands
through four stages of work, namely heuristics (source collection), source criticism (external to
materials and internal to content), interpretation (interpretation) and historiography (writing
historical stories). Primary sources were obtained through Malay manuscripts such as Tuhfat An
Nafis, Plakat Society, Annotation Hasan Junus Ayat Engku Puteri's Journey to Lingga, Book of
Language Knowledge and Appoint Women's Teaching.
Research results: The Spice Line not only contains the spice trade, but also at the same time
produces the exchange of knowledge, culture, social, language, skills and even religion among
various people who come from various far-reaching places. Therefore, the spice line is a melting
pot of various concepts, ideas and praxis; And the spice line became a means of moving all of it
from one place to another. Spices also became the driving force of history and even changed the
map of the world. Therefore, spice is not only a trading commodity, but also becomes a certain
symbol in the culture.
Conclusion: This research can be concluded that the spice line is the melting pot of various
concepts and ideas. The spice route becomes a means of moving from one place to another. The
trail of spice lines in the Riau Islands in the end also bequeathed traditions and cultures
including culinary and medicine.
Keywords: Trail, Path, Spice, Heritage, Culture
Diterima: 29-10-2021; Direvisi: 2-11-2021; Disetujui: 14-11-2021
Jejak Jalur Rempah di Kepulauan Riau
Anastasia Wiwik Swastiwi 1.396
PENDAHULUAN
Rempah merupakan berbagai jenis tanaman yang dapat digunakan untuk bumbu
masakan (Hakim et al., 2015) dan bahan obat-obatan yang sangat penting bagi kehidupan
manusia (Prasanti, 2017). Produk ini dihasilkan oleh berbagai daerah di kepulauan
Indonesia. Banten, Sumatera bagian Selatan dan Aceh menghasilkan lada dan merica
(Habibi, 2016). Pulau Banda menghasilkan pala. Sementara itu cengkeh dihasilkan
terutama oleh Ambon dan Ternate. Kayu manis dan kayu cendana dihasilkan oleh
kepulauan Nusa Tenggara (Marihandono & Kanumoyoso, 2016). Kekaguman terhadap
daya magis rempah dalam kehidupan masyarakat dunia pada zaman dulu memang diakui
oleh banyak orang, namun yang lebih mengagumkan lagi adalah bahwa banyak hal telah
dikorbankan (harta, nyawa, kehormatan, kekuasaan, dan sebagainya) hanya untuk
memperebutkan rampah (Sobariah, 2020). Dengan demikian rempah bukan hanya
memiliki kekuatan magis bagi para penggunanya tetapi juga memiliki kekuatan magis
dalam menentukan sejarah dunia (Muslim, 2018). Tidak ada komoditas yang memainkan
peran lebih penting dalam perkembangan peradaban modern selain rempah-rempah
(Handoko, 2016).
Rempah bisa disebut sebagai salah satu saksi sejarah perjalanan panjang bangsa
Indonesia (Sulaiman et al., 2018). Sejarah mencatatkan rempah sebagai komoditas
penting bangsa Indonesia, sehingga Indonesia dikenal di kancah Internasional. Rempah
pun sangat lekat dengan kehidupan bangsa Indonesia (Samodro, 2018), dari dulu hingga
sekarang. Masyarakat Indonesia sudah terbiasa memanfaatkan rempah untuk berbagai
kebutuhan, seperti kuliner (Rahman, 2016), pengobatan, ritual, sampai dengan bahan
pengawet (Ulfa et al., 2019). Namun ternyata, rempah tidak hanya terlibat dalam tatanan
kehidupan masyarakat Indonesia saja. Lebih dari itu, rempah juga mengubah tatanan
kehidupan bangsa di dunia.
Berasal dari rempah pulalah kemudian terbangun hubungan dagang antarbangsa
dan benua. Bahkan, rempah telah memicu lahirnya kolonialisme, yang mau tidak mau
membawa perubahan pada perkembangan peradaban dunia. Nusantara memiliki posisi
strategis sebagai poros yang menghubungkan Cina, India, Timur Tengah hingga Eropa.
Jauh sebelum bangsa Eropa melakukan aktivitas perdagangan di Asia Tenggara,
Nusantara telah menjadi pemain penting dalam perdagangan dunia dan telah lama dikenal
sebagai negara pemasok utama komoditas penting di dunia adalah rempah-rempah (Reid,
2014). Bangsa Eropa yang pertama kali sampai ke nusantara adalah Portugis, kemudian
disusul dengan Spanyol dan bangsa Eropa lainnya. Sementara orang Belanda baru sampai
Banten pada 1596. Pada abad ke-16 itu, belum ada satu kekuatan pun yang berhasil
memonopoli perdagangan rempah-rempah. Menjelang abad ke-17, bangsa Belanda secara
bertahap menggantikan posisi Eropa dan menegakkan monopoli perdagangan rempah-
rempah. Belanda mendirikan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang memiliki
kapal, gudang dan komoditas rempah.
Sementara itu, jejak pelayaran dan perdagangan dapat dilihat dari penemuan
benda-benda bersejarah di lautan, yaitu muatan kapal-kapal kuno pada periode tahun
1511-1800, yang tenggelam di perairan Nusantara. Kapal tersebut diyakini mengangkut
berbagai benda muatan, antara lain, sutra murni Cina, teh dari Cina, Opium dari Bengal
(Bangladesh), Danuan (India) dan Turki. Bahan katun dari Amerika dan Cina, rempah
dari Maluku, logam dari Eropa seperti besi dan kulit hewan dari Inggris dan Amerika.
Selama bertahun-tahun sejak tenggelamnya kapal yang membawanya, barang-barang
tersebut banyak yang hancur. Namun, ada pula yang bisa diabadikan hingga saat ini,
seperti yang ditampilkan dalam pameran jalur rempah tersebut, yaitu muatan-muatan
Vol. 1, No. 11, pp. 1.395-1.405, November 2021
1.397 http://sostech.greenvest.co.id
kapal yang tergolong sebagai benda berharga. Diantaranya, emas, perak, berlian, zamrud,
mutiara, batu berharga, porselen dan keramik dari Cina dan Jepang.
Secara historis, Selat Malaka mulai berkembang pesat sebagai salah satu urat nadi
pelayaran sejak akhir abad 14, yaitu saat berdirinya Malaka. Peranan yang sangat
menonjol dari Selat Malaka adalah sebagai tempat bertemunya berbagai saudagar yang
berasal dari Persia, Arab, India, Tiongkok dan daerah sekitar. Jenis barang-barang yang
diperdagangkan melalui Selat Malaka menarik untuk di kaji terutama rempah. Dari Selat
Malaka, jalur pelayaran dan perdagangan selanjutnya memasuki Laut Cina Selatan.
Sementara, penyusuran Laut Selatan akan tiba di Selat Lombok atau Laut Arafura untuk
selanjutnya memasuki Laut Banda hingga Laut Sulawesi. Lalu, setelah mencapai Selat
Sunda, jalur pelayaran menjadi bercabang empat, yaitu melalui Laut Jawa hingga ke Selat
Sulawesi, melalui Selat Bangka, Gaspar dan Karimata.
Berdasarkan segi navigasi, tidak semua alur di sepanjang kawasan Selat Malaka
bisa dilayari dengan leluasa, mengingat beberapa bagian dari Selat Malaka alur
pelayarannya sangat sempit. Selat Malaka (kini) telah mengalami perkembangan yang
sangat pesat sebagai salah satu jalur transportasi laut terpenting di dunia. Selain itu,
keberadaannya tidak hanya bernilai strategis baik ekonomis maupun politik bagi negara
pantai, yakni Indonesia, Malaysia dan Singapura. Namun, juga bernilai strategis bagi
negara-negara pengguna seperti China, Korea, Jepang, Filipina, Negara Timur Tengah
dan Negara lainnya.
Jalur rempah adalah narasi besar bangsa Indonesia. Rempah telah mengharumkan
nama Indonesia. Narasi jalur rempah pada masa sekarang masih tetap memiliki peran
penting. Karena, rempah menyimpan berbagai cerita sejarah, jalur perdagangan,
monopoli perdagangan sampai dengan warisan budaya. Oleh karena itu, pemerintah
melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan akan mendaftarkan Jalur Rempah sebagai
Warisan Budaya Dunia ke UNESCO. Salah satu titik jalur rempah Kepulauan Riau.
Beberapa sumber tertulis, bahkan menyebut Pelabuhan Riau (di kawasan Tanjungpinang,
kini) pada abad ke-18 dikenal memiliki perdagangan yang sangat ramai di Ulu Sungai
Riau, atau Sungai Carang. Pelabuhan Riau ini juga sangat dikenal memiliki jaringan
perdagangan dan pelayaran di kawasan pantai Timur Sumatera. Kajian jejak pelayaran
dan perdagangan melalui Selat Malaka terutama dari perspektif politik telah banyak di
lakukan. Namun, nyaris belum dilakukan kajian dalam perspektif sejarah bagaimana
Jejak jalur rempah Selat Malaka khususnya hubungannya dengan wilayah Kepulauan
Riau dan bagaimana warisan budaya yang terbentuk.
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisa bagaimana jejak jalur rempah di
Kepulauan Riau. Jalur rempah tidak hanya dimaknai sebagai jalur pelayaran dan
perdagangan, komoditas rempah, tetapi juga warisan budaya yang ditinggalkan. Jejaknya
berupa warisan kuliner, pengobatan dan bahkan seni, pakaian, bahasa dan warisan tradisi
atau budaya. Manfaat penelitian ini yaitu jejak jalur narasi ini diperlukan sebagai
pendukungan terhadap pemerintah melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan yang akan
mendaftarkan Jalur Rempah sebagai Warisan Budaya Dunia ke UNESCO pada tahun
2024.
METODE PENELITIAN
Kajian ini menggunakan metode sejarah. Metode sejarah dalam merekonstruksi
jejak jalur rempah di Kepulauan Riau ini melalui empat tahapan kerja, yaitu heuristik
(pengumpulan sumber), kritik sumber (eksternal terhadap bahan dan internal terhadap
isi), interpretasi (penafsiran) dan historiografi (penulisan kisah sejarah). Sumber primer
diperoleh melaui naskah Melayu seperti Tuhfat An Nafis, Perhimpunan Plakat, anotasi
Jejak Jalur Rempah di Kepulauan Riau
Anastasia Wiwik Swastiwi 1.398
Hasan Junus Syair Perjalanan Engku Puteri ke Lingga, Kitab Pengetahuan Bahasa dan
Tunjuk Ajar Perempuan. Kajian ini masuk dalam kategori penulisan Sejarah Maritim.
Sejarah maritim adalah studi tentang aktivitas manusia di masa lampau yang berkaitan
dengan aspek-aspek kemaritiman, khususnya pelayaran dan perdagangan.
Secara khusus laut memiliki peranan penting dalam dinamika politik dan
masyarakat Indonesia. Berdasarkan sudut pandang masa kini, laut tidak lagi dipandang
sebagai pemisah daratan atau pulau-pulau tetapi lebih sebagai pemersatu. Selain itu, laut
merupakan urat nadi penting dalam komunikasi antar tempat di nusantara. Sejarah
maritim dalam kajian ini menjadi wahana untuk membangkitkan kesadaran mengenai
proses-proses historis yang telah mengantarkan terbentuknya apa yang kemudian disebut
sebagai nasion Indonesia.
Adapun pendekatan digunakan untuk kajian ini setidaknya ada tiga, yaitu ekonomi,
politik, dan antropologi karena aktivitas perekonomian di pelabuhan sangat berkait erat
dengan situasi dan kondisi politik. Demikian pula, kota pelabuhan identik dengan
heterogenitas sosial, budaya, agama. Disitu pun ada kedinamisan dan keterbukaan. Oleh
karena itu kajian juga menggunakan pendekatan antropologis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kepulauan Riau merupakan pintu gerbang masuknya para pedagang Internasional
ke Nusantara. Kepulauan ini memiliki sejarah maritim yang panjang dan aktivitas
perdagangan global terekam secara detail di kawasan ini dengan ditemukannya situs
kapal karam dan barang komoditasnya. Kapal karam merupakan bukti langsung secara
arkeologi untuk merekonstruksi aktivitas pelayaran laut. Berdasarkan temuan kapal
karam kita dapat mempelajari teknologi struktur kapal itu sendiri, navigasi laut dalam
jalur perdagangan, interaksi budaya, serta jenis komoditas yang dipasarkan di Perairan
Nusantara secara khusus. Kerajaan-kerajaan Melayu berkembang pesat seiring makin
ramainya aktivitas perdagangan di laut Cina Selatan dan Selat Malaka. Data arkeologi
menunjukkan pedagang-pedagang dari India, Arab, Persia, bahkan Eropa telah singgah
dan beraktivitas di perairan Kepulauan Riau. Perairan Laut Cina Selatan hingga Selat
Malaka tidak kalah ramainya dengan perairan Mediteranian. Hal ini tergambar pada situs-
situs arkeologi bawah air yang berada di Perairan Pulau Natuna dan Pulau Bintan. Kedua
pulau ini hingga sekarang memiliki peran yang signifikan bagi aktivitas pelayaran dan
perdagangan di Indonesia. Aktivitas perdagangan masa lalu tersaji dengan sangat baik di
situs-situs arkeologi bawah air di perairan kedua pulau tersebut (A. W. Swastiwi, 2021).
Sebagai salah satu wilayah kepulauan terbesar di Pantai Timur Sumatera,
Kepulauan Riau selalu hadir dalam tahapan historis di wilayah ini mulai dari masa klasik
yang ditandai dengan hadirnya Sriwijaya sebagai imperium terkuat di Asia Tenggara,
hingga masa kejayaan Kerajaan Islam dan berkuasanya bangsa Barat di abad ke-17
hingga abad 20. Lalu lintas yang masih mengandalkan laut sebagai pengubung antar
wilayah di berbagai belahan dunia masa itu, menjadikan Pantai Timur Sumatera sebagai
jalur pelayaran yang sangat ramai. Rempah-rempah yang berasal dari kepulauan Maluku
dan berbagai komoditas dagang yang hanya dihasilkan di wilayah Indonesia bagian timur
untuk diangkut dan diperjualbelikan oleh pedagang India, Gujarat dan Cina yang melalui
Kepulauan Riau menjadikan daerah ini sebagai wilayah terpenting. Letak yang strategis
sebagai pengubung dari Nusantara ke Semenanjung Melayu dan sebaliknya inilah yang
menjadikan daerah Kepulauan Riau wajib ditaklukan. Menguasai Kepulauan Riau sama
dengan memegang kendali jalur perdagangan Nusantara yang menjadi bagian dari
jaringan internasional Jalur Sutera yang mengubungkan Cina di Timur dan Eropa di
Barat. Pentingnya kawasan Pantai Timur Sumatera inilah yang mendorong Majapahit
Vol. 1, No. 11, pp. 1.395-1.405, November 2021
1.399 http://sostech.greenvest.co.id
untuk menaklukan 27 daerah Melayu seperti yang dimuat dalam teks Melayu klasik
(Andaya, 2016).
Selain menjadi lintas utama di Pantai Timur Sumatera, faktor lainnya dari
pentingnya posisi Kepulauan Riau dalam mendukung jalur pedagangan Nusantara di
masa lalu adalah kehadiran orang laut yang berperan sebagai angkatan militer dan
petugas pengamanan jalur pelayaran dari gangguan perompak di kawasan perairan Pantai
Timur Sumatera. Kebesaran imperium Sriwijaya sebagai kerajaan maritim tidak terlepas
dari loyalitas orang laut dalam mengamankan pelayaran di wilayah kekuasaan Sriwijaya.
Hanya dengan bekerjasama dengan orang laut pihak kerajaan sanggup menjelajahi dan
mengendalikan konstelasi politik di wilayah laut Pantai Timur Sumatera hingga ke
Semenajung Melayu yang begitu luas. Di masa Kesultanan Malaka orang laut tetap
tampil sebagai kekuatan utama dalam pendirian kerajaan dengan membantu Raja Sri
Tribuwana berpindah dari Palembang ke Selat Malaka. Mereka tetap menjadi kekuatan
militer kerajaan sebagai tentara, pendayung dan pembuat peralatan perang. Penaklukan
oleh Portugis atas Malaka membuat Johor muncul sebagai penerus kerajaan ini. Orang
Laut kembali memainkan peran yang vital, khususnya saat krisis yang terjadi pada tahun
1688 dengan mendukung penuh akan kekuasaan Sultan yang dirongrong oleh Paduka
Raja (bekas laksamana) yang ingin mengambil alih kekuasaan. Saat Kesultanan Riau-
Johor terbentuk, orang laut di bawah pimpinan Raja Negara Selat meninggalkan Johor
dan berlayar ke Bengkalis tempat raja kecil menghimpun kekuatan melawan Johor. Orang
Laut kembali menunjukkan dukungannya kepada keturunan Sultan yang sah.
Riau mulai berperan dalam aktivitas perdagangan sejak ramainya perdagangan di
Kerajaan Johor tahun 1687. Kerajaan Johor berdiri tahun 1641, saat berhasilnya
penaklukan atas Malaka yang dikuasai oleh Portugis. Dengan bantuan Belanda, Malaka
dapat direbut dan saat itu mulai dibentuk pemerintahan baru dengan nama Kerajaan
Johor. Saat itu pusat pemerintahan terletak di Sungai Johor. Pada tahun 1687, kota-kota di
sepanjang Sungai Johor dan Riau, yang pada masa itu merupakan wilayah dari Kerajaan
Johor ramai dengan kegiatan perdagangan. Gubernur Thomas Slicher Malaka dalam
suratnya ke Betawi pada bulan Mei 1687 (Andaya, 2016). Riau pada tahun itu menjadi
pusat perdagangan antar bangsa yang terkenal. Perahu yang berlabuh di Sungai Riau saat
itu sekitar 500-600 buah termasuk di antaranya kapal-kapal besar (Andaya, 2016).
Berdasarkan perkembangannya tahun 1697 terjadi konflik intern dalam kerajaan
Johor. Sebagai konsekuensinya, perdagangan di Johor merosot. Sungai Riau sebagai
pelabuhan Kerajaan Johor menjadi pelabuhan kecil yang terpencil. Selanjutnya, Riau
menjadi bagian dari kerajaan Johor Riau yang dipindahkan pusat pemerintahannya dari
Johor ke Ulu Riau pada tahun 1719 oleh Raja Kecil. Sejak pemindahan pusat
pemerintahan tersebut yang dipicu oleh kemenangan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah
atas Raja Kecil tahun 1722, aktivitas kerajaan berada di Riau (Pulau Bintan). Oleh karena
memang pusat pemerintahannya berada di Riau. Beberapa literature seringkali menandai
perpindahan pusat pemerintahan ke Ulu Riau pada tahun 1722 tersebut dengan pergantian
nama kerajaan menjadi Kerajaan Riau Lingga. Hal ini disesuaikan dengan pusat
pemerintahan kerajaan yang berada di Riau. Namun demikian wilayah kerajaannya tetap
sama dengan wilayah kerajaan Johor-Riau yaitu meliputi Johor, Riau, Lingga, Pahang,
Selangor, Trengganu sampai dengan tahun 1824.
Pelabuhan Riau mulai beraktivitas lagi sejak dilakukannya penataan dalam bidang
ekonomi oleh Sultan Riau, Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah tahun 1722. Sejak tahun
tersebut penataan dalam bidang ekonomi secara perlahan-lahan mengalami kemajuan.
Sebelum tahun 1722 yaitu sebelum kemunculan orang-orang Bugis di Kerajaan Riau-
Lingga, orang laut merupakan tenaga penggerak utama di balik pembangunan Riau
sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan. Akan tetapi dalam perkembangannya
Jejak Jalur Rempah di Kepulauan Riau
Anastasia Wiwik Swastiwi 1.400
dengan usaha Daeng Marewa sebagai yang Dipertuan Muda I dan orang-orang Bugis
lainnya, peranan Riau dalam perdagangan antarabangsa berkembang amat pesat sehingga
mampu menyaingi Belanda yang pada saat itu berpusat di Melaka. Mereka telah
menggalakkan para pedagang Bugis supaya membawa masuk ke Riau barang-barang
perdagangan utama yaitu rempah-rempah, lada hitam, bijih timah dan barang-barang
komoditi ke Riau. Peranan pedagang-pedagang Bugis ini amat penting bagi Kerajaan
Riau-Lingga sebagai pusat perdagangan berpengaruh. Dikuasainya bijih timah Johor dan
daerah taklukannya di kawasan pedalaman Melaka amat membantu perkembangannya
sebagai sebuah entreport. Selain itu, komoditas perdagangan seperti bijih timah dari
Sungai Ujong, Sri Menanti, Muar dan Linggi juga dipasarkan di Riau.
Selanjutnya, Daeng Celak yang menggantikan Daeng Merawah sebagai yang
Dipertuan Muda Riau kedua pada tahun 1727 menggalakkan perkebunan Gambir. Dalam
waktu yang singkat, tanaman gambir yang berasal dari daratan Sumatera telah menjadi
satu komoditi perdagangan utama bagi Riau. Selain Gambir, Riau juga terkenal dengan
dengan hasil tenunan kainnya dan sagu. Atas usaha Daeng Celak Yang Dipertuan Muda
II, Riau dapat menjalin hubungan dagang dengan Mempawah, Matan, Sambas, Kampar
serta daerah-daerah lain seperti Jambi, Indragiri dan Palembang. Jaringan perdagangan
dengan daerah-daerah seperti tersebut di atas menjadikan Riau sebagai daerah pusat
perddgangan yang ramai. Hubungan baiknya dengan Palembang untuk memperoleh
komoditi lada hitam dan bijih timah. Dari Mempawah, Jambi dan Indragiri diperoleh
komoditi bijih timah. Sedangkan komoditas berupa beras diperoleh dari pelabuhan-
pelabuhan Jawa terutamanya Semarang. Dengan demikian jaringan perdagangan antara
Riau dengan pelabuhan-pelabuhan Jawa saat itu juga berjalan lancar. Riau juga menjalin
hubungan perdagangan dengan Ujung Salang (Phuket) yang menyediakan komoditas
bijih timah. Bijih timah amat diperlukan oleh Riau untuk memajukan kegiatan
perdagangannya sebagai entrepot. Sementara itu, antara Riau dengan pelabuhan pantai
Corromandel di India juga terjalin hubungan perdagangan yang relatif lama. Pedagang-
pedagang India menyediakan komoditas berupa kain.
Wilayah Siak Sri Indrapura selain mempunyai wilayah daratan juga mempunyai
wilayah lautan dan pulau-pulau sepanjang Selat Malaka yang berbatasan dengan Kerajaan
Riau Lingga. Oleh karena itu, Siak menjadi daerah hinterland yang mempunyai komoditi
penting berupa hasil laut seperti ikan terubuk dan telurnya. Selain itu hasil perkebunan
seperti karet di Balai Kayang dan Lubuk Ampoi, sagu di Selat Panjang (Tebing Tinggi),
kelapa di Tanjung Layang (Sungai Apit). Hasil perkebunan tersebut turut meramaikan
aktivitas perdagangan di Riau sesudah diberlakukannya Riau sebagai perdagangan dan
pelabuhan bebas. Selain itu, terdapat juga kerajinan rakyat Siak tenunan kain (W.
Swastiwi et al., 2021).
Komoditas rempah yang dihasilkan dan diperdagangkan diantaranya adalah gambir
dan lada di abad 18 sedangkan cengkeh di awal abad 20. Sumber Tuhfat An Nafis
menyebutkan bahwa lada gambir merupakan salah satu rempah yang dikembangkan di
wilayah Kepulauan Riau saat itu. Berikut kutipannya.
.......Dan apalagi di dalam Sungai Riau segala perahu-perahu rantau seperti
bercocok ikanlah, bersambung berpendapat. Syahadan (kata sahib al-hikayat)
pada masa inilah Yang Dipertuan Muda (Opu Dahing Cellak) menyuruh
Punggawa Tarum, dan Penghulu J-n-d-w-a-n, mengambil benih gambir sebelah
tanah Pulau Perca di bawa ke Riau memulai bertanam gambir. Maka bertanam
gambirlah segala Bugis-bugis (itu) dan Melayu(-Melayu). (Maka) membuat(lah
orang Melayu dan Bugis) beberapa ratus /lading dan berapa ratus /lading
gambir. Adalah kuli/-kuli yang/masak itu segala Cina(-Cina) yang datang dari
Vol. 1, No. 11, pp. 1.395-1.405, November 2021
1.401 http://sostech.greenvest.co.id
(negeri) China. Maka apabila jadilah gambir itu, /maka se/mangkin ramailah
Riau....
Keberadaan gambir dan lada juga diperkuat oleh naskah Melayu Perhimpunan
Plakat, anotasi Hasan Junus. Berikut kutipannya.
Yang pergi ke Pulau Cembul dan ke Pulau Bulang akan
Membuka lada dan gambir dan lada hitam di dalam
Tanah itu maka jangan siapa-siapa membuat haru
Telah adalah cap kita dan tandatangan kita di atas ini.
Termaktub di dalam Riau 7 Rabi’ul Awal
hari Ahad tahun 1277
Sedangkan rempah cengkeh di Kepulauan Riau termuat dalam naskah Surat-surat
Dari Pengelola Ahmadi Syarkah Ahmadi, Surat Menyurat Pengurus Ahmadi (1906-1950)
dan Kumpulan surat Mahkamah Kerajaan Riau.
Rempah pada dasarnya adalah bahan aromatik yang berasal dari bagian tanaman
seperti bunga, buah, kulit, batang dan biji yang digunakan untuk memasak. Menurut
asalnya rempah dikelompokan menjadi 4 (empat) yaitu rempah berasal dari batang,
rempah berasal dari bunga, rempah bersal dari biji-bijian dan rempah berasal dari buah.
Sementara itu, salah satu wilayah kerajaan Riau-Lingga yaitu Daik-Linggapada
masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II (1857-1883) merupakan daerah
penghasil sagu bagi kerajaan Riau-Lingga. Pada masa tersebut Sultan Sulaiman Badrul
Alamsyah II memfokuskan kehidupan ekonominya pada bidang pertanian. Beliau
mengatakan tanaman sagu sebagai bahan makanan pokok di samping beras. Tanaman
sagu di pilih karena sagu merupakan jenis tanaman yang tahan terhadap jenis hama. Di
samping itu, tanaman tersebut tidak memerlukan perhatian yang khusus dalam
penanamannya.
Sedang kopra dan telur penyu berasal dari gugusan Pulau Tujuah yang meliputi
gugusan Anambas, Natuna dan Serasan. Tembakau dari gugusan Pulau Serasan. Jadi,
sebagai daerah hinterland bagi aktivitas perdagangan yang dipusatkan di Sungai Daik
tersebut pada masa ini adalah Daik-Lingga itu sendiri, dan gugusan Pulau Tujuh (A. W.
Swastiwi, 2015). Sedangkan untuk daerah hinterland yang memproduksi hasil tambang
adalah Dabo Singkep. Sejak tahun 1855, Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II
menjadikan tambang timah sebagai bagian dari roda perekonomian Kerajaan Riau-
Lingga. Hasilnya pun dapat terus dilipatgandakan dan penghasilan kerajaan semakin
besar.
Selanjutnya, pada tahun 1905, pemerintah Belanda menambah beberapa cukai yang
dikenakan kepada rakyat sebagai tambahan dari perjanjian pada tahun 1888. Cukai
tambahan tersebut meliputi cukai perniagaan dan cukai lain-lain. Dengan demikian beban
rakyat semakin berat karena mereka dibebani bermacam-macam bea dan pajak yang
diwajibkan Belanda. Sedangkan pemasukan kas kerajaan semakin berkurang sebagai
akibat dari diambilnya tambang timah di Dabo Singkep oleh Belanda. Keadaan tersebut
terus berlanjut hingga akhirnya peranan Sultan diperkecil bahkan dihapuskan oleh
Belanda pada tahun 1913. Sejak tahun itu, Belanda semakin berkuasa menentukan
perekonomian di wilayah bekas Kerajaan Riau-Lingga (Tajudin, 2011).
Semenjak dihapuskan Kerajaan Riau-Lingga pada tahun 1913, daerah Riau yang
meliputi daerah lautan dan daerah daratan mempunyai ciri tersendiri dalam bidang
kehidupan perekonomian rakyatnya. Ciri khas tersebut yaitu tidak adanya pasar yang
menjadi pusat perdagangan. Demikian pula pelabuhan-pelabuhan yang ada di Riau. Tidak
Jejak Jalur Rempah di Kepulauan Riau
Anastasia Wiwik Swastiwi 1.402
ada salah satu pelabuhan besar yang mendominasinya. Pada umumnya para pedagang
yang umumnya orang Bugis dan Melayu langsung membawa barang dagangan mereka
yang di peroleh secara langsung membawa barang dagangan mereka yang diperoleh
secara langsung dari daerah-daerah penghasilnya ke Singapura. Keadaan tersebut dipicu
oleh berkembangnya Singapura sebagai bandar perniagaan di Asia Tenggara (Tajudin,
2011).
Jalur rempah dapat dimaknai juga sebagai kontak budaya antara satu kota
pelabuhan dengan kota pelabuhan lainnya. Dengan demikian, pelabuhan dimaknai
sebagai suatu tempat di perairan (di muara sungai, teluk atau pantai) yang secara alamiah
terlindung dari gempuran gelombang, sehingga kapal-kapal dan perahu-perahu dapat
merapat dan membuang jangkar untuk melakukan kegiatan bongkar muat barang maupun
menaik turunkan penumpang dengan aman. Sejalan dengan kemajuan zaman, Pelabuhan
sebagai sarana dan prasarana angkutan laut tidak lagi di perairan yang terlindungi secara
alamiah, tetapi bisa berada di laut terbuka sebagai Pelabuhan Samudra dengan perairan
yang luas dan dalam. Pelabuhan kemudian merupakan salah satu segmen mata-rantai
transportasi dari kegiatan bisnis yang terlibat dalam proses Transportasi. Prasarana yang
dapat menunjang dan mendorong pertumbuhan ekonomi dan perkembangan industri
didaerah belakang pelabuhan (hinterland).
Definisi terkini, menurut Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 mengenai Pelayaran,
pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan atau perairan dengan batas-batas
tertentu sebagai tempat berkegiatan pemerintah dan perusahaan. Secara fisik, pelabuhan
dipergunakan sebagai tempat kapal berlabuh, naik turun penumpang dan atau bongkar
muat barang. Dengan demikian, pelabuhan pada umumnya berupa terminal dan tempat
berlabuh kapal yang dilengkapi fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran serta
kegiatan penunjang pelabuhan lain.
Sebagai salah satu prasarana transportasi, pelabuhan memiliki peran strategis untuk
mendukung sistem transportasi karena menjadi titik simpul hubungan antar
daerah/negara. Selain itu, pelabuhan menjadi tempat perpindahan intra- dan antarmoda
transportasi. Dengan demikian, pelabuhan memiliki fungsi sosial dan ekonomi. Secara
ekonomi, pelabuhan berfungsi sebagai salah satu penggerak roda perekonomian karena
menjadi fasilitas yang memudahkan distribusi hasil-hasil produksi. Secara sosial,
pelabuhan menjadi fasilitas publik tempat berlangsungnya interaksi antarpengguna
(masyarakat), termasuk interaksi yang terjadi karena adanya aktivitas perekonomian.
Selain berfungsi secara sosial dan ekonomi, pelabuhan juga penting dari sisi politis.
Artinya, dengan peran strategisnya sebagai pusat interaksi yang mempunyai nilai
ekonomi dan urat nadi dinamika sosial- budaya suatu bangsa, pelabuhan mempunyai nilai
politis yang sangat strategis untuk dijaga dan dipertahankan eksistensi dan kedaulatannya.
Aturan-aturan pengelolaan pelabuhan yang berdaulat, transparan, aman, dan tidak
diskriminatif terhadap perusahaan asing serta dilakukan secara efektif dan efisien akan
meningkatkan sisi politis yang positif bagi suatu negara tempat pelabuhan itu berada.
Secara konseptual, pelabuhan memiliki tiga fungsi strategis. Pertama, sebagai link
atau mata rantai. Maksudnya, pelabuhan merupakan salah satu mata rantai proses
transportasi dari tempat asal barang/orang ke tempat tujuan. Kedua, sebagai interface
(titik temu), yaitu pelabuhan sebagai tempat pertemuan dua moda transportasi, misalnya
transportasi laut dan transportasi darat. Ketiga, sebagai gateway (pintu gerbang), yaitu
pelabuhan sebagai pintu gerbang suatu daerah/negara. Dalam kaitan dengan fungsinya
sebagai gateway, tidak terlalu mengherankan jika setiap kapal yang berkunjung ke suatu
daerah/negara maka kapal itu wajib mematuhi peraturan dan prosedur yang berlaku di
daerah/negara tempat pelabuhan tersebut berada.
Vol. 1, No. 11, pp. 1.395-1.405, November 2021
1.403 http://sostech.greenvest.co.id
Lebih dari itu, sebagai pusat kegiatan ekonomi, pelabuhan biasanya juga
memberikan layanan untuk lima kegiatan berikut. Pertama, pelayanan kapal (labuh,
pandu, tunda, dan tambat). Kedua, handling bongkar muat (peti kemas, curah cair, curah
kering, general cargo, roro). Ketiga, embarkasi dan debarkasi penumpang. Keempat, jasa
penumpukan (general cargo, peti kemas, tangki-tangki, silo). Kelima, bunkering (mengisi
perbekalan seperti air kapal, BBM). Keenam, reception, alat, lahan industri. Ketujuh,
persewaan, alat, lahan industri.
Beragamnya fungsi dan layanan yang disediakan pelabuhan membuat pelabuhan
sering dianalogikan sebagai sebuah sistem. Sistem pelabuhan mendapat dukungan paling
tidak dari tiga sub-sistem pendukung utama, yaitu: 1) penyelenggaraan atau port
administration/port authority, yakni pemerintah/kementerian perhubungan dan 16
institusi pemerintah lainnya; 2) pengusahaan atau port business, yakni PT. Pelindo dan
pengguna jasa pelabuhan atau port users, yaitu sektor swasta, seperti eksportir, importir,
dan 3) perusahaan angkutan khusus pelabuhan. Dengan demikian, bisa tidaknya
pelabuhan menjalankan fungsi dan menyediakan beragam layanan akan sangat
bergantung pada sinergi dan interaksi dari ketiga subsistem seperti tersebut di atas.
Peranan Selat Malaka sebagai salah satu jalan sutera atau silk road semakin ramai
dikenal berbagai bangsa di kawasan Asian Barat, Tenggara dan Timur. Bahkan sampai
negara-negara Eropa, walaupun belum secara langsung menggunakan jalur Selat Malaka.
Pertukaran kebudayaan di tempat-tempat lain yang dilintasi jalur sutra tidak hanya
pertukaran komoditi saja. Tetapi juga adanya pertukaran-pertukaran kebudayaan. Itu
sebabnya kehidupan masyarakat di daerah-daerah pesisir tampak lebih dinamis
dibandingkan dengan daerah pedalaman, karena mobilitas sosial yang terjadi di daerah-
daerah pesisir juga berfungsi sebagai ibu kota kerajaan dengan mempergunakan
transportasi perairan dapat lebih cepat pertumbuhan dan perkembangannya. Selat Malaka
merupakan jalur air yang menghubungkan Samudera Hindia dan Laut China Selatan
(Samudra Pasifik). Selat Malaka membentang antara Pulau Sumatra di Indonesia sebelah
barat dan Semenanjung Malaysia dan Thailand bagian selatan. Selat Malaka memiliki
panjang 500 mil (800 kilometer) dan berbentuk corong, dengan lebar hanya 40 mil (65
kilometer) di selatan yang melebar ke utara hingga sekitar 155 mil (250 kilometer)
(Samin, 2015).
Sebagai penghubung antara Samudra Hindia dan Laut China Selatan, Selat Malaka
adalah rute laut terpendek antara India dan China. Pada masa-masa awal, Selat Malaka
membantu menentukan arah migrasi besar-besaran orang Asia melalui Kepulauan
Melayu. Secara berturut-turut Selat Malaka dikuasai oleh orang Arab, Portugis, Belanda,
dan Inggris. Singapura. Salah satu pelabuhan terpenting di dunia, terletak di ujung selatan
selat. Perdagangan rempah kemudian turut mempengaruhi pertukaran budaya dari
berbagai bangsa. Perdagangan itu menghadirkan kontak antar orang dan bangsa yang
berbeda. Dari sana ada pertukaran budaya, filsafat dan teknologi.
Rempah dan kolonialisme bangsa Eropa membawa kisah yang suram selama
berabad-abad, namun dibalik kisah suram juga membawa kekuatan terintegrasinya suku-
suku bangsa dalam membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rempah dalam
sejarah Indonesia bukan sekedar perdagangan komoditi, namun juga menjadi kekuatan
yang menyatukan Indonesia antar satu daerah dengan daerah lainnya, antar suku bangsa,
antar nilai-nilai dan budaya, yang pada akhirnya membentuk identitas masyarakat
Indonesia (Reid, 2014).
Jejak jalur rempah menyisakan tinggalan atau warisan kuliner, pengobatan, seni,
pakaian, bahasa dan warisan tradisi atau budaya. Jejak kuliner Melayu melalui Jalur
Rempah dapat dilihat dari naskah Melayu. Raja Ahmad Engku Haji Tua dalam naskah
Syair Perjalanan Engku Puteri ke Lingga, ada menulis tentang petunjuk membuat juadah
Jejak Jalur Rempah di Kepulauan Riau
Anastasia Wiwik Swastiwi 1.404
Melayu. Dijelaskan dalam naskah tersebut cara membuat penganan yang berkukus,
penganan yang dibakar dan penganan yang dikacau. Konsep masakan Melayu itu
“Hendaklah Cantik Dimata, Sedap Dilidah”. Perempuan Melayu juga digesa
menyiapkan makanan berperencah, berempah, dan juadah-juadah yang khas untuk
menjaga stamina tubuh. Selain naskah Syair Perjalanan Engku Puteri ke Lingga terdapat
naskah Melayu lainnya yaitu Kitab Pengetahuan Bahasa dan Tunjuk Ajar Perempuan
yang berisikan pengetahuan kuliner melayu, bagaimana adat memasak, penggunaan
rempah dalam kuliner Melayu.
Rempah juga digunakan dalam pengobatan Melayu. Tok Bulan (2020)
mengisahkan bahwa pada masa lalu dikenal seorang tokoh bernama Raja Ahmad. Beliau
lebih dikenal sebagai Raja Ahmad Tabib. Dari sisi ayah, ia adalah cucu dari Raja Ali bin
Raja Ahmad (Raja Ali Haji), bahasa dan sejarawan nusantara yang terkenal. Dari sisi
ibunya, beliau adalah cucu dari Raja Abdullah bin Raja Ja'far Alauddin Shah. Raja
Ahmad Tabib atau nama asli Raja Ahmad bin Raja Hassan lahir tahun 1865 di Pulau
Penyengat. Pada tahun 1881, beliau pergi ke Mekah selama setahun. Saat di Mekah,
beliau berhasil mempelajari kitab thaiyib al-Ihsan fi thibb al-insan kepada syeikh Ahmad
bin Muhammad Zain al-Fathani. Ia kembali ke Pulau Penyengat pada tahun 1882. Pada
tahun 1883, beliau untuk memulai karier sebagai seorang tabib. Pada tanggal 12 Juli
1901, beliau diberi kepercayaan oleh Sultan Abdul Rahman Mu ' Azam Shah Ii Ibnu Raja
Muhammad Yusuf Al-Ahmadi sebagai tabib istana.
Selama hidupnya Raja Ahmad Tabib menulis beberapa naskah, di antaranya adalah
(1) Puisi mengajarkan nasehat untuk menjaga diri
(2) Syair klaim perilaku
(3) Selebaran Rumah Obat di Pulau Tawon.
Ketokohan Raja Ahmad di bidang medis semakin menonjol ketika ia berhasil
memproduksi jenis obat yang disebut Jahe Syarbat. Obat tersebut dikenal sebagai yang
paling manjur dan terkenal di Kepulauan Riau, Singapura dan Tanah Melayu pada
masanya. Jahe Syarbat atau Syarbat Zanjabil adalah sejenis obat cair yang terbuat dari
rempah-rempah, aromanya cukup harum dan dijual dalam botol. Obat tersebut
bermujarab dalam menyembuhkan berbagai penyakit internal seperti sakit jantung, sakit
tulang, sakit kuning dan lain-lain. Selain Jahe Syarbat, ada juga dua jenis minyak yang
turun temurun oleh keluarganya yaitu minyak telon dan minyak bau. Kedua jenis minyak
tersebut baik untuk mengobati penyakit luar, seperti kembung, sengatan hewan beracun,
kram dan lain-lain.
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa jalur rempah bukan hanya berisi
perdagangan rempah-rempah, tetapi juga sekaligus menghasilkan pertukaran ilmu,
budaya, sosial, bahasa, keahlian-keterampilan dan bahkan agama di antara berbagai orang
yang berasal dari berbagai tempat yang jauh. Karena itu, jalur rempah adalah melting pot
berbagai konsep, gagasan dan praksis dan jalur rempah menjadi sarana perpindahan
semua itu dari satu tempat ke tempat lain. Rempah juga menjadi penggerak sejarah dan
bahkan mengubah peta dunia. Rempah bukan hanya sebagai komoditi dagang, tetapi juga
menjadi simbol tertentu dalam budaya. Perjalanan panjang rempah Indonesia dan
Kepulauan Riau khususnya membuat masyarakat Indonesia tak bisa lepas dari rempah.
Mulai dari obat hingga ke kuliner pasti mengandalkan rempah. Melalui warisan kuliner,
pengobatan dan bahkan seni, pakaian, bahasa dan warisan tradisi atau budaya terselip
demikian banyak kisah-kisah yang bisa dieksplorasi dan menunjukkan bagaimana sebuah
kebudayaan tumbuh dan berkembang ini.
Vol. 1, No. 11, pp. 1.395-1.405, November 2021
1.405 http://sostech.greenvest.co.id
BIBLIOGRAFI
Andaya, L. Y. (2016). Leaves of the same tree. University of Hawaii Press.
Habibi, M. M. (2016). Analisis Pelaksanaan Desentralisasi Dalam Otonomi Daerah
Kota/Kabupaten. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan,
28(2).
Hakim, L., Batoro, J., & Sukenti, K. (2015). Etnobotani Rempah-Rempah di Dusun
Kopen Dukuh, Kabupaten Banyuwangi. Indonesian Journal of Environment and
Sustainable Development, 6(2).
Handoko, W. (2016). Situs pulau ujir di kepulauan Aru: Kampung kuno, islamisasi dan
perdagangan. Kapata Arkeologi, 12(2), 163174.
Marihandono, D., & Kanumoyoso, B. (2016). Rempah, jalur rempah, dan dinamika
masyarakat Nusantara. Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan,
Kementerian Pendidikan ….
Muslim, R. (2018). Unsur magic pada jimat menurut James Frazer. UIN Walisongo
Semarang.
Prasanti, D. (2017). Komunikasi terapeutik tenaga medis dalam pemberian informasi
tentang obat tradisional bagi masyarakat. Mediator: Jurnal Komunikasi, 10(1), 53
64.
Rahman, F. (2016). Rijsttafel: budaya kuliner di Indonesia masa kolonial 1870-1942.
Gramedia Pustaka Utama.
Reid, A. (2014). Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1 Tanah Di Bawah
Angin. In Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Samin, S. M. (2015). Kingdom And Culture Of The World Of Malay: The Case Of
Sumatra And Semenanjung Malaysia. Jurnal Crikestra, 4(7), 6283.
Samodro, S. (2018). Upaya Meningkatkan Daya Saing Ekspor Produk Umkm Makanan
Dan Minuman Melalui Pengembangan Usaha Dengan Berbasis Pada Kearifan Lokal
Di Indonesia. Prosiding Sembadha, 1(1), 130137.
Sobariah, S. (2020). Kisah Nabi Sulaiman dalam Al-Qur’an Perspektif Semiotika Roland
Barthes.
Sulaiman, H., Rema, F. X., & Anita, A. (2018). Menelusuri Jejak Sejarah Peninggalan
Portugis Di Kampung Numba. HISTORIA: Jurnal Program Studi Pendidikan
Sejarah, 6(2), 237250.
Swastiwi, A. W. (2015). Pulau Tujuh : Sejarah dan Masyarakatnya Pada Naskah Pohon
Perhimpunan Peri Perjalanan. BPNB Tanjungpinang.
Swastiwi, A. W. (2021). Aktivitas Perdagangan Kerajaan Riau-Lingga Abad 18-20:
Historiografi Pantai Timur Sumatera. Seminar Nasional Humaniora, 1(1), 115.
Swastiwi, W., Gunawan, D., Yahya, G. Y., & Simbolon, G. (2021). Tudung manto and
three country relations (indonesia-malaysia-singapore). 5(2), 8697.
https://doi.org/10.36526/js.v3i2.e-ISSN
Tajudin, I. bin. (2011). From Riau To Singapore , 1700S-1870S : Trade Ports and Urban
a Response To the Book Singapore : a 700-Year History.
Ulfa, M., Albayudi, A., & Sirait, M. (2019). Jenis dan Nilai Ekonomi Hasil Hutan Bukan
Kayu Terhadap Suku Anak Dalam di Taman Nasional Bukit Duabelas. Jurnal Silva
Tropika, 3(1), 132142.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License