Jurnal Sosial dan Teknologi (SOSTECH)
Volume 2, Number 1, January 2022
p-ISSN 2774-5147 ; e-ISSN 2774-5155
How to cite:
Tatag Dwi Utomo
1
, Erwin Prakosa
2
, Laksamana Dian Ariawan
3
dan Triyono
4
. (2022). Broken Home Sebagai
Faktor Penyebab Anak Berkonflik dengan Hukum. Jurnal Sosial dan Teknologi (SOSTECH), 2(1): 1.7861.799
E-ISSN:
2774-5155
Published by:
https://greenpublisher.id/
BROKEN HOME SEBAGAI FAKTOR PENYEBAB ANAK BERKONFLIK DENGAN
HUKUM
Tatag Dwi Utomo
1
, Erwin Prakosa
2
, Laksamana Dian Ariawan
3
dan Triyono
4
Balai Pemasyarakatan Kelas II Gorontalo
tatagdw93@gmail.com
1
, erwin.psi14@gmail.com
2
, ldianariawan@gmail.com
3
dan
triyono1899@gmail.com
4
Abstrak
Latar belakang: Anak sebagai generasi penerus cita-cita bangsa perlu mendapat kesempatan
yang untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun spiritual. Anak
memiliki potensi yang strategis dalam menjamin eksistensi bangsa dan negara di masa
mendatang.
Tujuan penelitian: Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan bagaimana faktor
Broken Home sebagai penyebab Anak Berkonflik dengan Hukum. Penelitian ini bermanfaat
dalam upaya peningkatan kompetensi para aparat penegak hukum guna untuk menambah,
memperluas khazanah ilmu pengetahuan dan diharapkan dapat memberikan kontribusi
keilmuan yang berkaitan dengan penanganan anak yang berkonflik dengan hukum.
Metode penelitian: Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif studi kasus. Karakteristik
subjek dalam penelitian ini berusia 16 17 tahun, menjadi klien Balai Pemasyarakatan Kelas II
Gorontalo karena terlibat tindak pidana serta mengalami keluarga yang Broken Home. Subjek
dalam penelitian ini berjumlah tiga orang dan berjenis kelamin pria. Pengumpulan data
menggunakan Wawancara terstruktur dan observasi non partisipan.
Hasil penelitian: Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa faktor-faktor broken home sebagai
penyebab ke empat subjek menjadi anak yang berkonflik dengan hukum .
Kesimpulan: Dari data ke empat subjek, dapat disimpulkan bahwa broken home sebagai faktor
penyebab Anak Berkonflik dengan Hukum. Ke empat subjek antara lain AP, NK, RO, dan IK
mengalami dinamika psikologis yang berbeda-beda di dalam keluarganya masing-masing baik
seperti perceraian maupun orang tua meninggal. Yang mana hal tersebut menjadikan ke empat
subjek tersebut memilih untuk lari” dan menghabiskan banyak waktu berada diluar rumah
bermain bersama dengan teman-temannya. Apabila ke empat subjek tidak mampu memfilter
sikap maupun perilaku yang menyimpang / melanggar hukum maka akan sangat mudah ke empat
subjek terjerumus dalam tindakan yang melanggar atau lebih tepatnya melakukan tindak pidana.
Kata kunci: Broken Home, Anak, Konflik, Hukum
Abstract
Background: Children as the next generation of the nation's ideals need to have the opportunity
to grow and develop optimally, both physically, mentally, and spiritually. Children have strategic
potential in ensuring the existence of the nation and state in the future.
Research purposes: The purpose of this study is to describe how the Broken Home factor causes
Children in Conflict with the Law. This research is useful in an effort to increase the competence
of law enforcement officers in order to add, expand the treasures of knowledge and is expected to
provide scientific contributions related to handling children in conflict with the law.
Research methods: This research uses a qualitative case study approach. The characteristics of
the subjects in this study were 16-17 years old, became clients of the Gorontalo Class II
Correctional Center because they were involved in criminal acts and experienced a broken home
family. The subjects in this study were three people and male. Collecting data using structured
interviews and non-participant observation.
Research results: The results of this study illustrate that broken home factors are the cause of the
four subjects becoming children in conflict with the law.
Conclusion: From the data for the four subjects, it can be concluded that broken home is a factor
causing Children in Conflict with the Law. The four subjects, including AP, NK, RO, and IK,
experienced different psychological dynamics in their respective families, such as divorce or the
death of a parent. Which is what makes the four subjects choose to "run" and spend a lot of time
outside the house playing with their friends. If the four subjects are not able to filter out deviant /
unlawful attitudes and behaviors, it will be very easy for the four subjects to fall into violating
Broken Home Sebagai Faktor Penyebab Anak Berkonflik
dengan Hukum
Tatag Dwi Utomo
1
, Erwin Prakosa
2
, Laksamana Dian Ariawan
3
dan Triyono
4
1.787
actions or more precisely commit criminal acts.
Keywords: Broken Home, Child, Conflict, Law
Diterima: 26-12-2021; Direvisi: 29-12-2021; Disetujui: 15-01-2022
PENDAHULUAN
Anak adalah generasi penerus cita-cita bangsa (Arliman, 2018). Anak memiliki
potensi yang strategis dalam menjamin eksistensi bangsa dan negara di masa mendatang
(Fitriani, 2016). Pada prinsipnya Anak perlu mendapat kesempatan yang untuk tumbuh
dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun spiritual agar dapat memikul
tanggung jawab tersebut (Holis, 2017). Mereka perlu mendapatkan hak-haknya,
dilindungi, dan disejahterakan. Kekerasan dan diskriminasi harus dihindarkan dari
kehidupan anak (Mahfiana, 2012).
Anak merupakan bagian dari masyarakat yang memiliki hak yang sama dengan
masyarakat yang lain yang harus dilindungi dan juga dihormati (Itasari, 2020). Hak anak
merupakan hak konstitusi, yang dirumuskan dalam Konstitusi (khususnya amandemen II)
(El-Muhtaj, 2017). Pasal 28 B ayat 2 berbunyi “setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi” (Hariyono et al., 2019).
Anak bukanlah miniatur orang dewasa, maka perlu ditentukan pembedaan
perlakuan terhadap ciri khas dan kepribadian anak (Nugroho, 2017). Hal ini tentang
melindungi dan mengasuh dengan baik sehingga mereka dapat menyongsong di masa
depan (Agustina, 2020). Dengan segala potensi yang dimiliki, tidak mustahil anak-anak
pada masa sekarang akan berperan dalam meningkatkan laju pembangunan bangsa di
masa yang akan datang (Latuharhary, 2010). Kelangsungan pertumbuhan anak baik
mental maupun fisik serta interaksi dalam pergaulan bermasyarakat (Syahraeni, 2015),
maka anak harus benar-benar mendapat perhatian khusus serta perlakuan terhadap anak
harus benar-benar diperhatikan dan diperlakukan secara hati-hati dan konseptual sehingga
potensi yang melekat dalam diri anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dan
seimbang (Lefaan & Suryana, 2018).
Pengertian anak jika ditinjau lebih lanjut lagi dari segi usia kronologis menurut
hukum dapat berbeda-beda tergantung tempat, waktu dan untuk keperluan apa, hal ini
juga akan mempengaruhi batasan yang digunakan untuk menentukan umur (Dea, 2020).
Misalkan dalam urusan keperdataan, sesuai dengan Pasal 330 ayat (1) KUHPerdata
menjelaskan bahwa seseorang belum dikatakan dewasa jika orang tersebut umurnya
belum genap 21 tahun (Ruzaipah et al., 2021), kecuali seseorang tersebut telah menikah
sebelum umur 21 tahun. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
kesejahteraan anak menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai
umur 21 tahun dan belum kawin. Jika seseorang yang belum berumur 21 tahun namun ia
sudah pernah kawin maka ia tidak lagi berstatus sebagai anak, melainkan sebagai orang
dewasa.
Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan. Sementara menurut Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Sistem Peradilan
Pidana Anak, Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) dalam pengertiannya adalah
anak yang berkonflik dengan hukum, yaitu anak yang menjadi korban tindak pidana, dan
anak yang menjadi saksi tindak pidana, yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang
telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
diduga melakukan tindak pidana.
Vol. 2, No. 1, pp. 1.786-1.799, January 2022
1.788 http://sostech.greenvest.co.id
Anak yang berkonflik dengan hukum sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur
18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana, sedangkan menurut
Hurlock (1980) masa remaja berlangsung dari usia 13 tahun sampai 16 tahun atau tujuh
belas tahun, dan akhir masa remaja mulai dari usia 16 hingga 18 tahun. Dalam penelitian
ini Anak yang berkonflik dengan hukum dapat dikategorikan sebagai remaja. Anak yang
berkonflik dengan hukum di wilayah kerja Balai Pemasyarakatan Kelas II Gorontalo pada
tahun hingga bulan November 2021 mencapai 43 (empat puluh tiga) anak, sedangkan
pada tahun 2020 mencapai 79 (tujuh puluh sembilan) anak (sumber :Data klien Balai
Pemasyarakatan Gorontalo tahun 2020-2021).
Kenakalan remaja mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang
tidak dapat diterima sosial sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal. Tingginya
kasus kriminalitas di kalangan anak-anak, bukan berarti Mereka dapat dipersamakan
dengan orang dewasa yang sudah mempunyai pengalaman dan kontrol perilaku. Perilaku
anak yang bertentangan dengan hukum dan normal sosial sebagai akibat dari keluarga,
lingkungan sosial dan gagalnya negara memenuhi hak-hak mereka. Pengaruh sosial dan
budaya memegang peranan penting dalam pembentukan atau pengaturan kenakalan
remaja. Perilaku anak di bawah umur ini menunjukkan tanda-tanda kurangnya atau
ketidakpatuhan terhadap norma sosial.
Pandangan sosiologi tentang penyebab tingkah laku Delinkuen pada anak -anak
berasal dari faktor sosiologis seperti pengaruh sosial yang menyimpang, tekanan dari
kelompok, peranan sosial atau internalisasi simbolis yang keliru. Faktor partisipasi anak
dalam lingkungan kultural dan sosial yang menyimpang ditambah dengan kondisi
keluarga dan sekolah yang kurang menarik bagi anak sebagai sebab perilaku Delinkuen
anak. Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian ditemukan bahwa salah satu faktor
penyebab timbulnya kenakalan remaja adalah tidak berfungsinya orangtua sebagai figur
teladan bagi anak (Hawari, 1997) . Faktor orang tua merupakan tempat dimana seorang
anak belajar dan berkembang dalam membentuk kepribadian dari seorang anak. Dari
keluarga yang baik maka seorang anak dapat berkembang dan tumbuh menjadi pribadi
yang baik, akan tetapi jika anak yang tumbuh dalam keluarga yang buruk maka bisa jadi
anak akan mempunyai perkembangan yang mempengaruhi masa depan anak tersebut.
Diperkuat dengan hasil penelitian dari Lembaga Penelitian Pendidikan IKIP Bandung
terhadap 920 orang anak nakal di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Wanita dan Anak-
anak di Tangerang yang menyebutkan (dalam Sobari, 2011) bahwa 51 % anak nakal
berasal dari keluarga Broken Home.
Broken Home merupakan kondisi keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalan
sebagaimana layaknya keluarga yang rukun,damai, sejahtera yang menyebabkan konflik
dan perpecahan dalam keluarga (Santrock:2020) Prie Maulidi (2018) Menyebutkan
definisi Broken home sebagai keluarga yang apabila salah satu dari orang tuanya (ayah
atau ibu) sudah meninggal, disebabkan karena perceraian, karena pergi meninggalkan
keluarga dengan urusan pekerjaan atau urusan yang lainnya. Romli Atmasasmita (Dalam
Angger Sigit Pramukti dan Fuady Primaharsa: 2014 ) Menyatakan bahwa Keluarga
merupakan lingkungan sosial terdekat untuk membesarkan, mendewasakan dan di
dalamnya remaja mendapatkan pendidikan pertama kali, sehingga keluarga mempunyai
peranan penting dalam perkembangan anak. Keluarga merupakan benteng pertama anak-
anak dalam menghadapi perubahan kondisi sosial dan lingkungan masyarakat.
Ketidakberfungsian keluarga akan memberikan dampak terhadap perkembangan kejiwaan
anak-anaknya.
Broken Home Sebagai Faktor Penyebab Anak Berkonflik
dengan Hukum
Tatag Dwi Utomo
1
, Erwin Prakosa
2
, Laksamana Dian Ariawan
3
dan Triyono
4
1.789
Anwar Kamil (2017) menyebutkan dalam kondisi keluarga yang retak dan tidak
harmonis akan menimbulkan beberapa dampak yang mempengaruhi anak, yaitu : (1)
Anak kurang mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tuanya. Dimana
kurang adanya pengawasan terhadap anaknya yang berkaitan dengan sekolah, hubungan
sosial, penggunaan waktu luang, sikap dan tingkah laku, organisasi yang dimasuki dan
pelaksanaan ibadah serta semua aspek yang sering terjadi dimasa remaja, (2) Lemahnya
kondisi ekonomi keluarga, hal ini bisa menghabiskan pertemuan orang tua dan anak
sehingga hubungan dialog antara orang tua dan anak sangat kurang, (3) Unit keluarga
yang tidak lengkap juga menimbulkan dampak psikologis bagi anak, misalnya orang tua
bercerai, salah satu meninggal dunia atau keduanya meninggal dunia.
a.Orang tua menjadi pusat penyuluh, pengajar, pembimbing, pengarah, pendidik,
Pembina, dan pembentuk karakter terpenting bagi anak, yang karenanya perilaku
keduanya akan sangat mewarnai terhadap proses perkembangan kepribadian anak
selanjutnya. Sehingga keteladanan dari keduanya menjadi sangat diperlukan, karena apa
yang didengar, dilihat, dan dirasakan anak dalam berinteraksi dengan kedua orang tua
akan sangat membekas di memori anak .
b. Berdasarkan permasalahan diatas adapun tujuan penulisan ini adalah
untuk menggambarkan bagaimana faktor-faktor Broken Home sebagai penyebab Anak
Berkonflik dengan Hukum. Penelitian ini bermanfaat dalam upaya peningkatan
kompetensi para aparat penegak hukum guna untuk menambah, memperluas khazanah
ilmu pengetahuan dan diharapkan dapat memberikan kontribusi keilmuan yang
berkaitan dengan penanganan anak yang berkonflik dengan hukum. Meskipun banyak
kesamaan penelitian oleh para ahli tentang broken home namun ada perbedaan dengan
penelitian dari peneliti yaitu seperti subjek, lokasi dan waktu dari peneliti terdahulu.
METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian berada di Tanjung Lalang, Tanjung Agung, Kabupaten Muara
Enim, Provinsi Sumatera Selatan. Lokasi penelitian dapat dicapai dengan kendaraan
mobil selama empat jam dari kota Palembang dengan jarak ± 215 km (Gambar 1).
Vol. 2, No. 1, pp. 1.786-1.799, January 2022
1.790 http://sostech.greenvest.co.id
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian.
Geologi Regional
A. Fisiografi Regional Daerah Penelitian
Sumatera merupakan salah satu pulau besar di Indonesia dan termasuk dalam enam
pulau terbesar di dunia dengan luas sekitar 435.000 km
2
. Secara fisiografi, Pulau
Sumatera menurut van Bemmelen (1949) terbagi menjadi enam zona, yaitu Jajaran
Barisan, Semangko, Pegunungan Tiga Puluh, Kepulauan Busur Luar, Paparan Sunda, dan
Dataran Rendah dan Berbukit. Sumatera Selatan memiliki rekam pola tiga sesar utama
yaitu Utara-Selatan, Timur Laut-Barat Daya dan Barat Laut Tenggara. Secara fisiografi
lokasi penelitian merupakan bagian dari zona dataran rendah dan berbukit dan termasuk
dalam Cekungan Sumatera Selatan. Daerah cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x
510 km
2
, dimana sebelah barat daya dibatasi oleh singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di
sebelah timur oleh Paparan Sunda (Sunda Shield), sebelah barat dibatasi oleh Pegunungan
Tigapuluh dan ke arah tenggara dibatasi oleh Tinggian Lampung.
B. Struktur Geologi Regional
Cekungan Belakang Busur Sumatera terbentuk pada fase pertama tektonik
regangan pada masa Tersier Awal. Sedimentasi awal merupakan sedimentasi dengan
lingkungan darat yang diakibatkan pengangkatan blok batuan dasar. Batuan dasar yang
tersingkap sekarang di Cekungan Sumatera Selatan berarah Utara-Selatan dan Timur
Laut-Barat Daya. Pada Oligosen awal sampai dengan miosen awal terdapat fase
transgresi yang menyebabkan sesar dan lipatan sebagai media sistem jebakan pada
hidrokarbon. Berdasarkan Miosen tengah terjadi pengangkatan Bukit Barisan
menyebabkan regresi muka air laut yang dilanjutkan dengan pengendapan sedimen darat
pada Miosen Tengah. Cekungannya menjadi objek dari deformasi baru yang berarah
Timur Laut-Barat Daya yang mengaktifkan kembali struktur perlipatan berarah Barat
Laut-Tenggara dan sesar mendatar berarah Utara-Selatan juga membentuk struktur
struktur bunga.
C. Stratigrafi Regional
Pengamatan stratigrafi daerah penelitian dilakukan untuk mengetahui urutan dan
sejarah geologi. Berdasarkan data yang berasal dari peta geologi regional lembar Lahat,
Broken Home Sebagai Faktor Penyebab Anak Berkonflik
dengan Hukum
Tatag Dwi Utomo
1
, Erwin Prakosa
2
, Laksamana Dian Ariawan
3
dan Triyono
4
1.791
daerah penelitian merupakan formasi Muaraenim. Stratigrafi regional daerah penelitian
adalah sebagai berikut (Gambar 2).
a) Satuan Gunung Api Muda: Satuan Gunungapi muda terdiri dari breksi dan tuf,
sebarannya menempati bagian selatan daerah Kabupaten Muara Enim dengan
membentuk morfologi perbukitan tinggi dan menyatu dengan deretan Pegunungan
Bukit Barisan.
b) Formasi Kasai: Komposisi dari formasi ini terdiri dari batupasir tuffan, lempung dan
kerakil dan lapisan tipis batubara. Umur dari formasi ini tidak dapat dipastikan, tetapi
diduga Plio-Pleistosen. Lingkungan pengendapannya darat.
c) Formasi Muara Enim: Batuan penyusun yang ada pada formasi ini berupa batupasir,
batulempung dan lapisan batubara. Jumlah serta ketebalan lapisan-lapisan batubara
menurun dari Selatan ke Utara pada cekungan ini. Ketebalan formasi berkisar antara
sekitar 450-750 m.
Gambar 2. Bagian Peta Geologi Regional Daerah Penelitian (Gafoer dkk., 1986).
Lokasi Penelitian Ditunjukkan Lingkaran Bulat Merah.
Pada tahap penelitian ini peneliti melakukan pengambilan data yang berasal dari
data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan sebagai pedoman peneliti
adalah data geologi dan geoteknik daerah penelitian. Metode penghimpunan data pada
stopsite dilakukan dengan:
a. Melakukan pengamatan dan identifikasi pada singkapan batuan yang dijumpai.
Identifikasi singkapan dilakukan dengan cara melakukan pengukuran dimensi, foto,
dan sketsa. Melakukan deskripsi singkapan batuan dengan tahapan yaitu melihat
bentang arah singkapan dengan melihat kompas, mencatat perkiraan dimensi
panjang, tinggi, dan lebar singkapan, melihat kondisi singkapan batuan terhadap
lingkungan sekitar, melakukan pengukuran dan pencatatan terhadap bidang
perlapisan batuan dan melakukan pengukuran dan pencatatan terhadap bidang
diskontinuitas
b. Melakukan pengamatan, deskripsi, dan pencatatan terhadap susunan batuan yang
tersingkap pada singkapan tersebut secara megaskopis, dimana proses deskripsi
batuan tersebut memiliki parameter diantaranya warna, struktur, tekstur, dan
komposisi batuan.
Vol. 2, No. 1, pp. 1.786-1.799, January 2022
1.792 http://sostech.greenvest.co.id
Pengamatan pada singkapan batuan dapat memberikan interpretasi tentang
stratigrafi daerah penelitian yang dapat tersajikan dalam bentuk kolom stratigrafi. Data
geoteknik merupakan data yang dijadikan sebagai salah satu data primer yang diantaranya
dilakukan secara mandiri oleh peneliti sebagai data utama dalam penelitian ini. Proses
penghimpunan data geoteknik dilakukan dengan cara :
1. Back analysis, metode ini adalah metode untuk melihat parameter sebelum
terjadinya longsor pada lereng. Metode ini dilakukan dengan menggunakan data
geometri lereng sebagai data utama dalam proses analisis. Proses analisis akan
menggunakan bantuan software Slide yang berbasis Limit Equilibrium Method
(LEM) dengan metode trial and error untuk menentukan nilai kohesi dan sudut
geser dalam sebelum lereng mengalami longsor
2. Analisis laboratorium, metode ini dilakukan dengan menggunakan sampel tanah dari
lokasi penelitian yang diuji dengan menggunakan alat Direct Shear Test. Hasil dari
pengujian ini adalah sudut geser dalam, kohesi, dan sifat fisik tanah
3. Analisis kinematika, metode ini dilakukan dengan menggunakan data hasil
pengukuran bidang diskontinuitas yang dilakukan di titik pengamatan di lokasi
penelitian. Data tersebut akan diolah pada software Dips untuk mengetahui jenis
kelongsoran yang akan terjadi pada lokasi penelitian dari hasil plot pada streonet.
Pengumpulan data sekunder adalah proses pengumpulan data yang dilakukan oleh
peneliti menggunakan data-data yang telah tersedia sebelumnya. Data yang telah tersaji
adalah data hasil pemboran yang dipadanankan dengan kondisi batuan dilapangan. Data
sekunder yang digunakan adalah data geoteknik, dan didaptkan dengan cara:
1. Analisis Rock Mass Rating (RMR), metode ini dilakukan dengan menggunakan data
pemboran pada lima titik pemboran yang dilakukan di lokasi penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya. Data yang dihasilkan dari analisis ini adalah mengetahui
parameter massa batuan yang dapat mempengaruhi perilaku massa batuan di lokasi
penelitian. Pemerian RMR dilakukan dengan melakukan pembobotan pada
parameter hasil pemboran menurut pembobotan RMR Bieniawski (1989).
2. Analisis Geological Strength Index (GSI), metode ini dilakukan dengan
menggunakan data kondisi diskontinuitas, RQD, dan RMR yang sebelumnya telah
didapatkan. Hasil dari analisis ini adalah mengetahui parameter massa batuan yang
dapat mempengaruhi perilaku massa batuan di lokasi penelitian terkait dengan
ketahanan terhadap pelapukan dan struktur geologi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Geologi Daerah Penelitian
Pada pengamatan litologi yang dilakukan dengan melihat highwall dan sidewall
pada area tambang, terlihat susunan batuan dengan kedudukan N 150
o
E/10
o
SW.
Pengamatan dilakukan pada batuan yang mempresentasikan kondisi batuan yang masih
dapat diamati secara megaskopis. Pengamatan litologi dilakukan dengan deskripsi secara
megaskopis pada sampel batuan hand specimen yang dirasa merepresentasikan kondisi
batuan di daerah tambang. Interpertasi stratigrafi daerah penelitian mengacu pada peta
geologi regional daerah sekitar yang dipadanankan dengan kondisi dilapangan. (Gambar
3).
a. Batubara
Batubara pada lokasi penelitian dapat dideskripsikan memiliki warna hitam pekat
dengan kilap bright-dull. Kilap ini menunjukkan adanya proses pembakaran batubara
yang kurang efisien, berdasarkan informasi yang didapatkan bahwa batubara yang
terdapat pada lokasi penelitian merupakan jenis batubara sub-bituminus. Batubara pada
Broken Home Sebagai Faktor Penyebab Anak Berkonflik
dengan Hukum
Tatag Dwi Utomo
1
, Erwin Prakosa
2
, Laksamana Dian Ariawan
3
dan Triyono
4
1.793
lokasi penelitian memiliki pecahan uneven. Batubara ini memiliki tingkat kekerasan 50-
100 Mpa saat dites dengan dua sampai tiga kali pukulan palu geologi. Pada beberapa titik
pengamatan pada singkapan batubara segar terlihat adanya bekas sisa tumbuhan serta
terdapat amber (fosil getah kayu) dan tuff yang diinterpresentasikan sebagai leaching
(pengotor) pada batuan.
b. Batupasir
Batupasir pada lokasi penelitian memiliki warna coklat hingga abu-abu dengan
besar butir pasir kasar sampai sedang (sedimen klastik). Batupasir daerah penelitian
memiliki derajat pemilahan poorly sorted . Batupasir pada formasi muaraenim memiliki
porositas1,27%-8,62% (buruk) dan permeabilitas 1,0-8,0 mD (rapat), hal tersebut
dipengaruhi oleh adanya matrix suported yaitu pasir kasar sampai >15% (Purwandono,
2015). Pada beberapa titik pengamatan, terdapat adanya fragmen batubara yang memiliki
ukuran sebesar kerikil-kerakil. Batupasir pada lokasi penelitian memiliki ketebalan ±1-15
meter.
c. Batulempung
Batulempung pada lokasi penelitian memiliki warna abu-abu dengan besar butir
lempung, terendapkan sebagai perselingan batupasir-batulempung dengan ketebalan ±5-
15 cm. Pada beberapa titik pengamatan ditemukan sisipan batubara dengan ketebalan <5
cm. Batulempung pada lokasi penelitian pada kondisi lapuk lanjut (hampir sempurna).
Gambar 3. Stratigrafi Daerah Penelitian.
Vol. 2, No. 1, pp. 1.786-1.799, January 2022
1.794 http://sostech.greenvest.co.id
Klasifikasi Massa Batuan Daerah Penelitian
Pada analisis geologi teknik dilakukan dengan menggunakan data pemboran yang
telah dilakukan sebelumnya. Data pemboran yang telah tersaji selanjutnya akan dikalukan
penilaian klasifikasi massa batuan sebagai cara untuk mengetahui parameter yang dapat
mempengaruhi kondisi batuan tersebut (Tabel 2). Pada hasil interpretasi deskripsi litologi
bawah permukaan didapatkan data litologi penyusun berupa claystone (CS), sandstone
(SS), soil (SO), carbonaceous mudstone (XM), dan coal (CO). Hasil pemboran akan
dapat dibaca dan diinterpretasi dari hasil pemboran dengan batuan yang masih utuh
(recovered length). Pada lima titik pemboran dapat terlihat batuan yang dapat
diinterpretasi dengan baik sebanyak 82-91%.
Tabel 2. Data Pemboran.
ID
Easting
Northing
Kedalaman
(m)
Recovered
Length (m)
Recovered
Length (%)
GTA-01
368115
9573279
48,6
40
82
GTA-02
367682
9572687
128
106,2
83
GTA-02R
367678
9572695
147,5
24,6
91
GTA-03
367599
9572991
200
184,3
92
GTA-04
367211
9572175
96,5
87,9
91
a. Rock Mass Rating (RMR)
Hasil analisis dari data pemboran selanjutnya dilakukan pemerian pada
klasifikasi RMR dengan tujuan untuk membagi batuan berdasarkan kelas dan
identifikasi bataun tersebut. Perhitungan RMR menggunakan parameter UCS, RQD,
joint space, joint condition, dan groundwater. Hasil klasifikasi RMR didapatkan
bahwa nilai batuan bawah permukaan berada pada kelas II-III dengan idetifikasi
batuan dalam kondisi baik sampai cukup baik (Tabel 3). Hal ini memberikan
penjelasan bahwa kondisi batuan bawah permukaan masih dalam kondisi fresh dan
belum terkena weathering factors.
Tabel 3. Data Rekapitulasi RMR.
Kategori
Jumlah
GTA-01
GTA-02
GTA-02R
GTA-03
GTA-04
I
0
1
1
1
0
II
15
70
33
117
61
III
26
26
22
81
49
IV
1
5
1
4
1
V
0
4
1
2
0
b. Geological Strength Index (GSI)
Hasil analisis yang telah dilakukan dari hasil data pemboran yang selanjutnya
dilakukan perhitungan pada klasifikasi GSI ini dilakukan dengan melihat joint
condition dan RQD (Hoek et al., 2013). Hasil perhitungan pada GSI dihasilkan
bahawa kondisi batuan adalah intact-very blocky (Tabel 4). Kondisi ini memberikan
gambaran bahwa batuan pada bawah permukaan dalam kondisi fresh dan sedikit
dipengaruhi oleh gaya yang menyebabkan terbentuknya block pada batuan tersebut.
Analisis Kestabilan Lereng Tambang Terbuka Blok A Sisi
Timur Daerah Tanjung Lalang, Kecamatan Tanjung
Agung, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan
Tatag Dwi Utomo
1
, Erwin Prakosa
2
, Laksamana Dian Ariawan
3
dan Triyono
4
1.795
Tabel 4. Data Rekapitulasi GSI
GSI
Jumlah
GTA-01
GTA-02
GTA-02R
GTA-03
GTA-04
Intact
17
61
24
95
57
Blocky
6
11
10
20
6
Very Blocky
18
25
21
87
46
Blocky Disturbed
1
0
0
0
0
Disintegrated
0
5
0
1
2
Laminated
0
4
3
2
0
c. Parameter Geoteknik Daerah Penelitian
a) Pengujian Laboratorium
Proses membuat suatu desain lereng dipengaruhi oleh sifat fisik batuan yang
terdiri dari berat isi batuan (γ), kadar air dalam batuan (w), kohesi batuan (c), dan
sudut geser dalam (
o
). Pengujian sampel tanah dari lokasi longsor dilakukan
dengan mengambil sampel tanah pada lokasi mahkota longsor, tubuh longsor,
dan ekor longsor. Dari hasil pengujian dengan uji geser langsung didapatkan nilai
rata-rata kohesi dan sudut geser dalam adalah 0,04 kPa dan 0,01
o
(dalam tan Φ).
Nilai tersebut sangat kecil untuk karakteristik fisik tanah, dan
menginterpretasikan bahwa tanah yang ada pada lokasi tersebut sudah sangat
lepas. Ikatan materi tanah yang ada telah hilang dan tidak ada materi tanah
kohesif sebagai pengikat tanah. Hal ini yang mengindikasikan lokasi dapat
mudah mengalami keruntuhan. Tanah kohesif dapat berisikan materi campuran
tanah dan lempung sebagai pengikat kestabilan tanah. Komposisi tanah pasir dan
tanah lempung dapat memberikan nilai kohesi dan sudut geser berbeda pada
kestabilan tanah. Semakin besar ukuran dari partikel pasir maka sudut geser pasir
(Φ) akan meningkat, sedangkan semakin banyak kandungan lempung maka
semakin meningkat kohesi tanah tersebut.
b) Back Analysis
Metode back analysis merupakan metode dimana memperoleh nilai kohesi
dan sudut geser dalam dari desain lereng sebelum longsor terjadi. Proses metode
trial-error dilakukan pada desain lereng sampai ditemukan nilai kitis lereng
(FK≤1). Pada pengujian desain dan nilai analisis balik digunakan software Slide
versi 6 dengan metode Generalized Hoek-Brown. Hasil dari pengolahan metode
back analysis dapat dilihat pada tabel 5 dan 6.
Tabel 5 Rekomendasi Geometri Lereng.
Deposit
Dump
Height (m)
Bench
Height (m)
Batter
Angle (o)
Berm
Width (m)
Overall
Slope Angle
(o)
Inter
Ramp
Angle (o)
Block A
90
10
37
29,7
14,2
13,1
c)
Tabel 6 Parameter Geologi teknik Back Analysis
Faktor Keamanan (FK)
UCS
(kPa)
m
(ɸ)
s
(c)
a
1,046
1000
0,192161
7,91279.𝑒
−5
0,561101
d. Analisis Kestabilan Lereng
a) Analisis Kinematika
Vol. 2, No. 1, pp. 1.786-1.799, January 2022
1.796 http://sostech.greenvest.co.id
Analisis kinematika dilakukan untuk mengetahui potensi keruntuhan yang
akan terjadi dengan menggunakan data struktur geologi dan selanjutnya dilakukan
analisis dengan bantuan software Dips (Gambar 4). Pada hasil plotting pada
streonet, terdapat kemungkinan longsor yang dapat terjadi yaitu wedge dan
toppling. Wedge Sliding memiliki kemungkinan longsor sebesar 6,65%, dimana
longsoran dapat terjadi apabila bidang diskontinuitas memiliki dua sumber rekahan
besar pada muka lereng yang saling berpotongan. Toppling Sliding memiliki
kemungkinan longsor sebesar 3,13 %, dimana longsor ini dapat terjadi apabila
terdapat bidang diskontinuitas yang tegak lurus terhadap muka lereng.
Gambar 4. Plot Kekar Streonet.
Pada pemerian klasifikasi Keputusan Menteri ESDM Nomor
1827/K/30/MEM/2018, tingkat keparahan longsor dapat diketahui dari nilai probabilitas
potensi longsor. Data pemerian potensi longsor yang dapat terjadi dapat dilihat pada
Tabel 7.
Tabel 7. Data Pemerian Potensi Longsor
Jenis Kelongsoran
Probabilitas (%)
Keparahan Longsor
Planar Sliding
0
-
Wedge Sliding
6,65
Tinggi
Toppling Sliding
3,13
Tinggi
b) Analisis Jenis Kelongsoran
Pada analisis menggunakan metode drawing contour secara 2D dengan
tujuan untuk melihat kenampakan sayatan dari longsor tersebut. Analisis tersebut
menunjukkan adanya jenis longsoran composite yaitu busur dan planar. Pada
bagian mahkota longsor terdapat dari garis permukaan menunjukkan adanya
penurunan kontur lereng secara signifikan, hal tersebut mengindikasikan
interpretasi terhadap longsor busur yang terjadi di lokasi penelitian. Pada bagian
mahkota lereng diasumsikan memiliki komposisi lereng yang didominasi oleh
material tanah lepas sehingga lapisan permukaan akan lebih mudah mengalami
perubahan akibat faktor eksternal. Pada bagian tubuh longsor, terlihat adanya
kondisi tubuh lereng yang tidak selaras dengan bentuk jenis longsoran busur. Hal
tersebut diasumsikan karena pada bagian tubuh lereng didominasi oleh material
yang lebih masif sehingga longsoran akan dapat membentuk longsoran planar.
Longsoran planar disebabkan karena batuan yang masif terdapat bidang
diskontinuitas yang tegak lurus terhadap arah muka lereng (Gambar 5).
Analisis Kestabilan Lereng Tambang Terbuka Blok A Sisi
Timur Daerah Tanjung Lalang, Kecamatan Tanjung
Agung, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan
Tatag Dwi Utomo
1
, Erwin Prakosa
2
, Laksamana Dian Ariawan
3
dan Triyono
4
1.797
Gambar 5. Sayatan Longsoran Daerah Penelitian.
c) Analisis Desain Kestabilan Lereng
Desain lereng yang dibuat merupakan bentuk overall slope, dengan asumsi
bahwa lereng dapat runtuh dengan bentuk rotasi dan campuran (composite).
Analisis desain lereng menggunakan data yang telah didapatkan dari analisis
balik dengan menggunakan pendekatan Generalized Hoek-Brown. Hasil analisis
desain lereng didapatkan nilai faktor keamanan >1,25 , dengan interpretasi bahwa
lereng aman secara temporal. Hasil desain ulang lereng longsoran didapatkan
nilai faktor keamanan (FK) sebesar 1,3. Nilai tersebut dirasa aman pada kondisi
lereng dan pertambangan saat ini. Hasil desain ulang lereng dapat dilihat pada
Tabel 8 dan Gambar 6.
Hasil analisis memberikan interpretasi bahwa lereng lebih tegak, dengan
interpretasi bahwa lereng yang tegak dapat meningkatkan produksi batubara. Semakin
banyak batubara diambil, maka peningkatan ekonomi akan semakin baik. Lereng dengan
komposisi material lepas cenderung memiliki lereng yang tidak tetap. Hal ini dikarenakan
material penyusun dapat terganggu oleh faktor eksternal seperti air hujan, getaran
kendaraan besar, dan iklim. Material disposal tambang tersusun dari berbagai tanah yang
dikeruk bersamaan dengan alat berat, sehingga dapat menyebabkan terbentuknya material
lempung karena air dapat mengendap dan terperangkap dalam tanah. Lempung dapat
menyebabkan terbentuknya bidang gelincir pada lereng. Oleh karena itu, lereng perlu
monitoring berkala untuk memastikan lereng tetap aman.
Tabel 8. Geometri Desain Lereng.
Deposit
Factor
of
Safety
Dump
Height
(m)
Bench
Height
(m)
Batter
Angle (o)
Berm
Width (m)
Overall
Slope
Angle (o)
Inter
Ramp
Angle
(o)
Block A
1,337
90
9,648
30
27,276
15
16
50
60
70
80
90
100
110
120
0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250
ELEVASI (m)
JARAK (m)
SAYATAN LERENG
LERENG SETELAH LONGSOR LERENG SEBELUM LONGSOR
TIMUR
BARAT
Vol. 2, No. 1, pp. 1.786-1.799, January 2022
1.798 http://sostech.greenvest.co.id
Gambar 6. Desain Lereng.
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hasil dari
empat log bor menunjukkan bahwa Rock Mass Rating (RMR) daerah tersebut didominasi
kategori II (dua) dengan interpretasi batuan baik dengan nilai perhitungan >60, sedangkan
hasil dari Geological Strength Index (GSI) menunjukkan hasil intact rock dengan
interpretasi batuan yang ada di daerah tersebut tergolong batuan massive. Kondisi batuan
yang ada di daerah penelitian tergolong baik sebagai batuan basement pada lereng.
Kondisi lereng saat penelitian dilakukan telah mengalami keruntuhan dan sebelum terjadi
keruntuhan diasumsikan lereng labil. Kondisi lereng labil selanjutnya dilakukan
pendekatan dengan metode back analysis untuk dapat mengetahui nilai parameter yang
mempengaruhi keruntuhan lereng. Kondisi lereng labil memiliki nilai faktor keamanan
(FK) sebesar 1,00. Mitigasi kestabilan lereng tambang terbuka dilakukan dengan cara
membuat desain ulang lereng yang memiliki nilai faktor keamanan >1,25. Keamanan
lokasi penelitian juga dapat dilakukan dengan memprediksi model kelongsoran yang
dapat terjadi selanjutnya dengan analisis kinematika bidang diskontinuitas di sekitar area
penelitian.
BIBLIOGRAFI
Agustina, F. (2020). Penanaman Pendidikan Karakter Dan Metode Story Telling. Jurnal
Penelitian Medan Agama, 10(2).
Arliman, L. (2018). Perlindungan Hukum Bagi Anak Dalam Perspektif Pancasila Dan
Bela Negara. UNIFIKASI: Jurnal Ilmu Hukum, 5(1), 5870.
Dea, I. M. (2020). Tinjauan Siyasah Dusturiyah Terhadap Kesadaran Masyarakat Dalam
Membayar Pajak Bumi Dan Bangunan (Pbb)(Studi Di Desa Gunung Labuhan
Kecamatan Gunung Labuhan Kabupaten Way Kanan). UIN Raden Intan Lampung.
El-Muhtaj, M. (2017). Hak asasi manusia dalam konstitusi Indonesia. Prenada Media.
Fitriani, R. (2016). Peranan Penyelenggara Perlindungan Anak Dalam Melindungi Dan
Memenuhi Hak-Hak Anak. Jurnal Hukum Samudra Keadilan, 11(2), 250358.
Hariyono, D., Suhartono, S., & Setyorini, E. H. (2019). Analisis Yuridis Putusan Nomor
69/Pid. Sus/2019/Pn. Mjk Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual Di Pengadilan
Negeri Mojokerto. Jurnal Akrab Juara, 4(5), 4148.
Hoek, E., Carter, T. G., & Diederichs, M. S. (2013). Quantification of the geological
strength index chart. 47th US Rock Mechanics/Geomechanics Symposium.
Broken Home Sebagai Faktor Penyebab Anak Berkonflik
dengan Hukum
Tatag Dwi Utomo
1
, Erwin Prakosa
2
, Laksamana Dian Ariawan
3
dan Triyono
4
1.799
Holis, A. (2017). Belajar melalui bermain untuk pengembangan kreativitas dan kognitif
anak usia dini. Jurnal Pendidikan UNIGA, 10(1), 2337.
Itasari, E. R. (2020). Perlindungan Hukum Terhadap Penyandang Disabilitas Di
Kalimantan Barat. Integralistik, 31(2), 7082.
Latuharhary, J. (2010). Tinjauan Yuridis Atas Tindak pidana Kekerasan Terhadap Anak
Dalam Rumah tangga Perkara No. 1512/PID. B//2000/PN. Jak-Pus. Universitas
Bhayangkara Jakarta Raya.
Lefaan, V. B. B., & Suryana, Y. (2018). Tinjauan Psikologi Hukum dalam Perlindungan
Anak. Deepublish.
Mahfiana, L. (2012). Perlindungan hukum Terhadap tersangka anak sebagai upaya
melindungi hak anak. MUWAZAH: Jurnal Kajian Gender, 3(1).
Nugroho, O. C. (2017). Peran balai pemasyarakatan pada sistem peradilan pidana anak
ditinjau dalam perspektif hak asasi manusia. Jurnal HAM, 8(2), 161174.
Purwandono, H. H. (2015). Petrofisik Batupasir Formasi Muara Enim Berdasarkan Data
Permukaan Di Daerah Talangberingin, Kabupaten Musirawas, Propinsi Sumatera
Selatan. Universitas Gadjah Mada.
Ruzaipah, R., Manan, A., & A’yun, Q. A. (2021). Penetapan Usia Kedewasaan Dalam
Sistem Hukum Di Indonesia. Jurnal Mitsaqan Ghalizan, 1(1), 120.
Syahraeni, A. (2015). Tanggung Jawab Keluarga dalam Pendidikan Anak. Al-Irsyad Al-
Nafs: Jurnal Bimbingan Dan Penyuluhan Islam, 2(1).
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License