TRADISI ”SELAMATAN PETIK PARI” SEBAGAI WUJUD NILAI RELIGIUS
MASYARAKAT DESA PETUNGSEWU, KECAMATAN WAGIR, KABUPATEN
MALANG
Maria Dolorosa Jawa Maran
1
, Roni Alim Ba’diya Kusufa
2
, Ika Meviana
3
(Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas PGRI Kanjuruhan Malang, Indonesia
1,2, dan
3
)
1
mariadolorosajawamaran@gmail.com,
2
roniabk@unikama.ac.id,
3
meviana@unikama.ac.id
Diterima:
9 Februari 2022
Direvisi:
13 Februari 2022
Disetujui:
14 Februari 2022
Abstrak
Tradisi ”Selamatan Petik Pari” adalah bentuk salah satu bentuk pelaksanaan agar
bisa memperoleh keselamatan dalam penggarapan lahan pertanian. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan tradisi Selamatan Petik Pari”,
keterkaitan antara religi dengan tradisi, perubahan yang terjadi pada tradisi
”Selamatan Petik Pari”. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif
dalam mengumpulkan dan menganalisis data. Teknik analisis data dilakukan
melalui pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan verification.
Berdasarkan hasil penelitian, beberapa tahapan persiapan dalam proses
pelaksanaan tradisi ”Selamatan petik pari yaitu menyiapkan sesajen, bersama
tokoh adat dan sesepuh desa berangkat ke sawah yang mulai yang siap dipanen,
meletakan sesajen di sawah. Keterkaitan antara nilai-nilai religius masyarakat
Desa Petungsewu terhadap tradisi ”Selamatan Petik Pari” adalah saling
keterkaitan dibuktikan dengan adanya bentuk komunikasi manusia dengan Dewi
penjaga lahan pertanian melalui jajanan, kemenyan, dan sarana lainnya, oleh
karena itu tradisi yang telah ada turun temurun ini selalu dilaksanakan
masyarakat Desa Petungsewu, tanpa mengesampingkan ajaran agama atau
keyakinannya masing-masing. Perubahan yang terjadi dalam tradisi ”Selamatan
Petik Pari” yaitu alat-alat sesajen yang diganti, misalnya saja alat yang biasanya
digunakan untuk memotong padi dahulu memakai ani-ani sekarang diganti
memakai arit, penyediaan makanan yang semakin berkurang sesuai dengan
keadaan yang berhajat tidak dipaksakan.
Kata kunci: Tradisi, Religius, pelestarian budaya
Abstract
The tradition of "Petik Pari Selamat" is a form of implementation in order to
obtain safety in cultivating agricultural land. This study aims to determine the
implementation of the tradition of "Petik Pari Selamatan", the relationship
between religion and tradition, the changes that occur in the "Petik Pari
Selamatan" tradition. This study uses qualitative methods in collecting and
analyzing data. This research is a type of descriptive researchData analysis
techniques are carried out through data collection, data reduction, data
presentation and verification. Based on the results of the study, several stages of
preparation in the process of carrying out the tradition of Selamatan picking
pari” , namely preparing offerings, together with traditional leaders and village
elders went to the fields which were starting to be ready to be harvested, placing
the offerings in the fields. The relationship between the religious values of the
people of Petungsewu Village and the tradition of " Selamatan Petik Pari " is
interrelated, evidenced by the existence of forms of human communication with
the Goddess of agricultural land guardians through snacks, incense, and other
means, therefore this tradition that has been passed down from generation to
generation is always carried out by the people of Petungsewu Village, without
compromising the teachings of their respective religions or beliefs. Changes that
occur in the tradition of "Selamatan Petik Pari" are that the offerings are
replaced, for example, the tools that are usually used for cutting rice before
using ani-ani are now replaced with sickles, the supply of food is getting less and
Jurnal Sosial dan Teknologi (SOSTECH)
Volume 2, Number 2, Februari 2022
p-ISSN 2774-5147 ; e-ISSN 2774-5155
less in accordance with the circumstances that require it not to be forced.
Keywords: Tradition, Religion, cultural preservation
How to cite:
E-ISSN: 2774-5155
Published by:
Green Publisher
Maran, D. J. M., Kusufa, R. A. B., & Meviana, I. (2022). Tradisi “Selamatan Petik Pari” sebagai
wujud nilai religius masyarakat desa Petungsewu, kecamatan Wagir, kabupaten Malang.
Jurnal Sosial dan Teknologi (SOSTECH), 2(2): 167-halaman
2774-5155
https://greenvest.co.id/
167
Maria Dolorosa Jawa Maran
1
, Roni Alim Ba’diya Kusufa
2
, Ika Meviana
3
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan ragam suku, adat dan budaya. Kebanyaan
pelestarian adat dan budaya ini masih ada dan dilaksanakan di beberapa daerah atau desa,
sedangkan untu yang tinggal di daerah perkotaan sudah jarang adanya pelestarian budaya.
Peneliti tertarik melakukan penelitian di desa Putungsewu terait dengan rutinan
pelaksanaan upacara “Selamatan Petik Pari”. Desa Petungsewu adalah desa yang
bertempat di Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang. Desa Petungsewu juga merupakan
daerah yang masih memiliki budaya yang sangat erat. Desa Petungsewu merupakan
bentuk dari tradisi yang ada di Desa Petungsewu itu sendiri merupakan proses upacara
adat yang didalamnya terdapat nilai budaya seperti pada upacara Selamatan Petik Pari”.
Bentuk budaya dan system pada upacara adat adalah wujud tindakan dari system religi
(Jannah, 2015). Budaya dan upacara adalah bentuk dari perwujudan atau kegiatan dari
tatanan yang didalamnya terdapat kepercayaan yang akan menentukan tata cara dan
deretan acara dalam tradisi yang bisa memberi inspirasi nilai baik (pesan adab) untuk
masyarakat Desa Petungsewu.
Tradisi menurut Warisno (2017) merupakan peninggalan dari para leluhur dan
harus selalu diteruskan dilaksanakan agar tidak hilang kebudayaannya. Tradisi berarti
peninggalan dari masa lalu. Seperti pada tradisi “Selamatan Petik Pari” yang
dilaksanakan di Desa Petungsewu. Pelaksanaan “Selamatan Petik Pari” ini juga dilakukan
agar anak muda generasi sekarang tetap meneruskan dan menjaga kebudayaa, serta
menjalin erat hubungan antar sesame manusia. Pelaksanaaan ini dilakukan pada setiap
masa panen tiba. Proses tradisi ini adalah suatu bentuk usaha agar tetap bisa menjaga
kebudayaan dari masa ke masa. Tradisi ”Selamatan Petik Pari” adalah bentuk salah satu
bentuk pelaksanaan agar bisa memperoleh keselamatan dalam penggarapan lahan
pertanian (Situmorang & Pasaribu, 2017).
Upaya meningkatan tradisi ”Selamatan Petik Pari” dengan masyarakat melakukan
dan lebih banyak mengetahui tentang pelaksanaan generasi sekarang harus memiliki
kesadaran dan tanggung jawab untuk menjaga budaya yang sudah dilakukan sejak dari
dulu. Tujuan peneliti ini untuk mengetahui partisipasi masyarakat sekarang yang ada di
Desa Petungsewu, Kecamatan Wagir dalam upaya pelestarian dan memelihara budaya.
Penelitian terkait tradisi ini telah banyak dilakukan. Seperti penelitian terkait
tradisi lisan yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti berikut, menganalisa tradisi lisan
terkait upacara kematian saur matua batak toba (Hasugian, 2017; Hernawaty & Purba,
2019; Manurung, 2013; Sanca, 2020), analisis tradisi adat pemakaman rambu solo
dilakukan oleh (Hidayah, 2018; Marwing, 2011; Patiung & Suleman, 2020), (A Nesi,
2018; Antonius Nesi & Rahardi, 2019) meneliti nilai-nilai kearifan lokal dalam tradisi
lisan takanab.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif
kualitatif merupakan penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata- kata lisan
atau tulisan dari orang- orang dan perilaku yang diamati kemudian setelah itu dilakukan
analisis. Penelitian deskriptif juga merupakan penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-
kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan
Tradisi ”Selamatan Petik Pari” sebagai Wujud Nilai Religius
Masyarakat Desa Petungsewu, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN 2774-5147
168
Maria Dolorosa Jawa Maran
1
, Roni Alim Ba’diya Kusufa
2
, Ika Meviana
3
berbagai metode alamiah.
Penelitian ini dilakukan karena peneliti ingin mengeksplor fenomena-fenomena
yang bersifat deskriptif seperti dalam tradisi ”Selamatan Petik Pari”, gambaran
pelaksanaan tradisi ”Selamatan Petik Pari”, keterkaitan religi dengan tradisi ”Selamatan
Petik Pari”, dan Perubahan yang terjadi dalam tradisi ”Selamatan Petik Pari”.
Untuk memperoleh data-data yang diperlukan peneliti maka perlu dilakukan
beberapa metode untuk pengumpulan data. Metode yang digunakan adalah Observasi,
wawancara, dokumentasi. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu data
collection, data reduction, data display, dan conclusion drawing/verification. Data
Collection (Pengumpulan Data), Data Reduction (Reduksi Data), Data Display
(Penyajian Data), Conclusion Drawing/Verification.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Desa Petungsewu merupakan salah satu desa yang terletak di wilayah Kecamatan
Wagir, Kabupaten Malang, Propinsi Jawa Timur. Desa ini berbatasan dengan Desa
Pandanrejo (Kecamatan Wagir) di sebelah timur, Desa Sumbersuko (Kecamatan Wagir)
di sebelah selatan, Gunung Kawi (Hutan), di sebelah barat, dan Desa Sukodadi
(Kecamatan Wagir) di sebelah utara.
Dengan luas 504,85 hektar desa ini bukanlah desa yang terpencil letaknya. Jarak
Desa Petungsewu dengan kantor Kecamatan Wagir yang ada di sebelah barat hanya
sekitar 5 km. Kondisi jalan yang menghubungkan Malang ke Desa Petungsewu cukup
baik. Jalan sepanjang 5 km itu telah sepenuhnya berlapis aspal, masing-masing di kiri-
kanan 1 meter merupakan bahu jalan yang ditanami pepohonan.
Angkutan umum yang bisa digunakan dari Malang (kota) menuju Desa
Petungsewu adalah angkudes dan pick-up. Dari Malang seseorang dapat mencari
angkudes dengan huruf yang sesuai dengan jurusan asal, dengan pemberhentian terakhir
di Pandanrejo.
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
Jumlah penduduk Desa Petungsewu sebesar 3.336 jiwa. Penduduk Desa
Petungsewu terdiri dari 1.667 jiwa laki-laki dan jumlah penduduk perempuan 1.666 jiwa.
Jumlah kepala keluarga di Desa Petungsewu terdiri dari 1.200 kepala keluarga (kk).
Pendidikan masyarakat di Desa Petungsewu terdiri dari Jenjang Perguruan Tinggi
103 orang, SMU/ SMK 427 orang, SLTP/ sederajat 757 orang, SD/ sederajat 1.625 orang,
PAUD 137 orang. Masyarakat Desa Petungsewu merupakan masyarakat yang memegang
teguh ajaran yang telah nenek moyang mereka berikan, hal ini terbukti dengan selalu
diadakannya upacara adat yang diikuti semua masyarakat. Mereka bersama sama
menjalankan tradisi dan saling bergotong royong dalam melakukan kegiatan yang
169
Maria Dolorosa Jawa Maran
1
, Roni Alim Ba’diya Kusufa
2
, Ika Meviana
3
berkaitan dengan desa mereka.
Di bidang kepemimpinan non formal, diakui keberadaannya oleh masyarakat Desa
Petungsewu. kedudukan ini dipercayakan penuh kepada tokoh adat masing-masing
agama. Tokoh adat agama Islam biasa disebut Ustad. Terdapat kegiatan dalam rangka
pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat contohnya setiap satu tahun sekali diadakan
agenda pembahasan sesama masyarakat sekitar bersama para tokoh adat dan aparat desa,
dalam pertemuan ini dibahas masalah-masalah yang berhubungan dengan Realisasi
Rencana Pembangunan Tahunan Desa (RPTD), Realisasi Peraturan Desa, Posyandu,
Karang Taruna dan urusan lain yang bersangkutan dengan perubahan desa.
Pelaksanaan Tradisi ”Selamatan Petik Pari” yang dilaksanakan masyarakat di
Desa Petungsewu, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang
Tradisi ”Selamatan Petik Pari” sudah ada sejak zaman nenek moyang. Masyarakat
Desa Petungsewu yang kebayakan bekerja sebagai petani sudah lama melaksanakan tradisi
ini, dari informasi Bapak Ki Asmari Ekocarito sebagai tetua desa dan tokoh adat
mengungkapkan bahwa tradisi ini sudah ada sejak nenek moyang Orang Jawa yang percaya
adanya dewi penjaga padi yaitu Dewi Sri.
“Masyarakat Desa Petungsewu sudah lama menjalankan Tradisi ”Selamatan Petik
Pari” ini, karena mayoritas masyarakatnya adalah petani, dan mereka percaya yang
menjaganya yaitu seorang dewi yang bernama Dewi Sri, mereka melakukan tradisi ini
sebagai tanda penghormatan kepada nenek moyang mereka dan Dewi Sri”. (wawancara, 8
September 2020, 11.20 WIB, dirumah Bapak Ki Asmari).
Dengan adanya tradisi Selamatan Petik Pari” yang terdapat di Desa Petungsewu
bertambahnya symbol dan penghormatan kepada para leluhur, yang disebut sebagai Dewi
Sri, yang dianggap oleh masyarakat petani Desa Petungsewu adalah penjaga lahan dan yang
memberikan kesuburan pada lahan pertanian hingga terhindar dari segala hama penyakit,
dan bisa membantu untuk mendapatkan hasil panen yang banyak. Kegiatan pemujaan ini
dilakukan karena mereka percaya dengan adanya Dewi Sri dan ucapan syukur terima kasih
mereka pada leluhur dan Dewi Sri yang telah membantu dalam bidang pertanian.
Tahap-tahap persiapan dalam pelaksanaan tradisi ”Selamatan Petik Pari” adalah:
1. Menyiapkan sesajen, pada tahap awal pelaksanaan tradisi Selamatan Petik Pari”
disiapkan terlebih dahulu perlengkapan atau yang disebut dengan uborampe seperti pada
tradisi selamatan yang lain. Uborampe ini terdiri dari, nasi, sayuran yang diurap, ikan
asin, telur rebus, aneka ragam kue tradisional dan lain- lain.
2. Tokoh adat dan sesepuh desa bersama- sama menuju ke sawah yang siap dipanen.
Bersama para ibu-ibu dan tokoh adat membawa sesajian berupa makanan, uborampe,
dan alat-alat ritual dalam berdoa, jika yang melaksanakan hajat adalah yang beragama
islam maka doa dipimpin oleh tokoh adat agama Islam dengan membaca doa selamat.
3. Meletakan sesajian di sawah, sesudah mereka melaksanakan doa pada sesajen, tokoh
adat bersama para tetua bersama-sama membawa sesajen itu kesawah dan meletakan
sesajen di pinggir setiap petak sawah, kemudian menyiram air yang sudah didoakan ke
setiap sudut sawah, lalu membakar kemeyan sambil membaca mantra. Jerami dan dupa
yang sudah di bakar dibacakan juga lalu para tetua adat memotong seikat padi dan
setalah mereka melakukan ritual tersebut para tetua adat bersama tokoh masyarakat
kembali ke rumah dan meletakan padi yang sudah diikat di simpan didalam lumbung
padi.
Tradisi ”Selamatan Petik Pari” dilaksanakan pada masa panen tiba, ketika padi
sudah saatnya itu panen karena sudah menguning. Diharapkan pelaksanaan tradisi”
Selamatan Petik Pari” membantu para masyarakat petani pada kesuburan tanaman padi.
Karena masyarakat petani Desa Petungsewu percaya bahwa semua berkat bantuan Dewi
Sri. Kesakralan ini yang menyebabkan lumbung sebagai tempat penyimpanan padi
170
Maria Dolorosa Jawa Maran
1
, Roni Alim Ba’diya Kusufa
2
, Ika Meviana
3
diperlukan sebagai tempat yang suci (Shomad & Adinata, 2020; Sukanteri & Lestari,
2017)
Pelaksanaan tradisi ”Selamatan Petik Pari” dalam bercocok tanam padi merupakan
kejadian eksternal dari individu yang memberi pengaruh kuat dalam kehidupan petani di
Desa Petungsewu Kecamatan Wagir Kabupaten Malang. Pelaksanaan tradisi ”Selamatan
Petik Pari” biasanya dilakukan oleh para petani yang menyelenggarakan yang dipimpin
oleh tokoh adat sebagai lambang penghormatan kepada nenek moyang mereka.
Pelaksanaan tradisi ”Selamatan Petik Pari” Desa Petungsewu adalah dengan
masyarakat mempersiapkan hal yang digunakan untuk selamatan dan yang biasa
memetik padi di sawah mempersiapkan beberapa sesajen yang akan di bawah ke sawah.
Setelah selesai persiapan, semua peralatan selamatan dan sesaji di bawah ke sawah.
Setelah acara tradisi petik pari dibuka sesepuh terjun ke sawah dengan membawa sesajen
untuk mengambil beberapa dengan ikatan kelambang. Kemudian sesepuh mengikrarkan
maksud dan tujuan diadakannya tradisi ”Selamatan Petik Pari” .Setelah itu dilanjutkan
dengan sambutan-sambutan oleh beberapa pihak dan kemudian membaca doa yang
dilakukan oleh tokoh agama Islam sebagai penutup.
Pelaksanaan ”Selamatan Petik Pari” terdapat dua proses tahapan yaitu (1) tahapan
persiapan, dan (2) tahapan pelaksanaan.
Tahap Persiapan Tradisi ”Selamatan Petik Pari”
Tradisi ”Selamatan Petik Pari” dilakukan sebagai harapan agar masyarakat
mendapat hasil panen yang melimpah, dari zaman nenek moyang dulu sampai sekarang
tidak ada yang berubah dari tradisi tersebut. Prosesnya sudah jelas di masyarakat,
masyarakat yang ingin melakukan tradisi tersebut mempersiapkan sesaji yang kemudian
akan dibawah ke sawah. Sampai di sawah proses sepenuhnya dipimpin oleh sesepuh
desa.
Sesaji yang disiapkan pada saat pelaksanaan ”Selamatan Petik Pari” antara lain.
banyak macamnya, dan ditaruh dalam takir, Takir pertama Nasi kuning, ayam, terong dan
lauk pauk lainnya. Takir kedua berisi daun sirih, telur mentah, merang. dan takir ketiga
berisi bunga tujuh rupa, yang terdiri dari bunga kenanga, mawar, melati, kantil,
bougenville, arum dalu dan bunga sepatu serta gedang sepet. Setelah semua takir siap
ditaruh di atas nampan dan dibawah ke sawah.
Tahap Pelaksanaan Tradisi ”Selamatan Petik Pari”
Setelah semua bahan sesajen dan makanan sudah disiapkan, tokoh adat dan tokoh
masyarakat memulai pelaksanaan upcara adat dengan membaca doa diatas sesajen
kemudian dibacakan mantra lalu mengambil sehelai padi yang sudah diikat disawur-
sawur dan diubengi pada setiap sudut sawah, setiap sudut sawah dibagi menjadi empat
sudut.
Kegiatan dilakukan hanya dalam satu hari saja dan pada pagi hari, kemudian
setelah semua upacara disawah sudah dilakukan selesai, tokoh adat dan tokoh masyarakat
kembali lagi kerumah dan bersama masyarakat, tetangga dan yang yang punya hajatan
bersama-sama hadir untuk makan bersama dalam syukuran pelaksanaan tardisi.
Keterkaitan antara Religi dengan Tradisi pada Pelaksanaan Tradisi ”Selamatan
Petik Pari” yang dilaksanakan di Desa Petungsewu, Kecamatan Wagir, Kabupaten
Malang
Ada keterkaitan dan hubungan antara nilai religius pada masyarakat Desa
Petungsewu dengan tradisi ”Selamatan Petik Pari” hal ini dibuktikan dalam pelaksanaan
tradisi ”Selamatan Petik Pari” dengan memakai sesajen yang sudah ditentukan oleh tokoh
adat, pada sesajen tersebut tokoh adat membacakan doa yang ditujukan kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan Dewi Sri sebagai lambang penghormatan mereka yang dipercaya
sudah menjaga lahan pertanian mereka.
171
Maria Dolorosa Jawa Maran
1
, Roni Alim Ba’diya Kusufa
2
, Ika Meviana
3
Hal ini juga disampaikan oleh Bapak Tanu selaku tokoh masyarakat Desa
Petungsewu menyatakan bahwa:
“Keterkaitan antara nilai-nilai religius dengan tradisi ”Selamatan Petik Pari” adalah
sangat berkaitan, hal ini dikarenakan pada kegiatan atau pelaksanaan tradisi
”Selamatan Petik Pari” dengan memakai sesajen yang sudah ditentukan oleh tokoh adat,
pada sesajen tersebut tokoh adat membacakan doa yang ditujukan kepada Tuhan Yang
Maha Esa dan Dewi Sri sebagai lambang penghormatan mereka yang dipercaya sudah
menjaga lahan pertanian mereka”.
Berdasarkan pernyataan diatas disimpulkan bahwa keterkaitan antara nilai-nilai
religius dengan tradisi ”Selamatan Petik Pari” adalah sangat berkaitan, hal ini
dikarenakan dalam pelaksanaan tradisi “Selamatan Petik Pari” selain menggunakan
sesajen yang sudah ditentukan oleh para tetua desa (ketua adat) didepan sesajen dengan
membaca mantra yang ditujukan Kepada Tuhan, leluhur nenek moyang dan Dewi Sri
yang sudah membantu menjaga dan menuyuburkan lahan prtanian.
Keterkaitan antara religi atau keyakinan serta adat- istiadat (tradisi) mendasarkan
diri kepada perubahan emosi manusia. Emosi religius dan tradisional dalam suatu
kelompok sangat sulit untuk begitu saja diterima atau disepakati oleh suatu kelompok
lain. Jadi pastilah semua kegiatan dalam pelaksanaan tradisi yang dilaksanakan oleh
masyarakat petani adalah cara mereka mendekatkan diri kepada Tuhannya yang sudah
memelihara kehidupan dan menentukan kematian manusia. Masyarakat Desa Petungsewu
dalam tradisi ”Selamatan Petik Pari“ ini merupakan tindakan simbolisme pada upacara
religi dan tradisi menyadarkan ke para generasi berikut bahwa tradisi ini harus tetap
dijaga dan diteruskan supaya tidak dilupakan
Perubahan yang terjadi pada Tradisi ”Selamatan Petik Paridi Desa Petungsewu,
Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang
Dalam tradisi ini terjadi sedikit perubahan, dulu sesajian dianggap sangat penting
dan harus lengkap, tetapi zaman semakin modern sehingga terjadi perubahan pada tradisi,
alat-alat sesajian pun berkurang, misalnya saja memotong padi yang dahulu memakai ani-
ani sekarang diganti memakai arit, dalam memberikan sesajian makanan juga mengalami
perubahan, sekarang disesuaikan dengan keadaan yang berhajat, tidak dipaksakan. Bapak
Ki Asmari selaku tokoh adat dan Bapak Tanu selaku tokoh masyarakat mengemukakan
bahwa:
Dalam sistem sosial mengalami sedikit perubahan dan dalam pelaksanaan tradisi
”Selamatan Petik Pari” ini dianggap sebagai tradisinya para sesepuh, jadi para pemuda
desa tidak mengerti makna diadakannya selamatan tersebut dan yang bekerja sebagai
petani juga semakin sedikit”. “Dalam sistem religinya sedikit mengalami perubahan
seperti penyediaan makanannya sudah sedikit, tidak sebanyak dulu, hal ini karena jaman
yang semakin modern, tetapi masyarakat masih memegang teguh apa yang telah para
leluhur mereka lakukan”.
Berdasarkan pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa adanya sedikit perubahan
dalam pelaksanaan tradisi ”Petik Pari” berupa beberapa makanan yang disediakan hal ini
karena masyarakat yang sebagai petani sudah sedikit sehingga yang melaksanakan juga
hanya beberapa orang saja. Begitu juga dengan para pemuda-pemudi yang tidak
memahami, mengerti dari kegiatan ”Petik Pari” ini karena zaman yang semakin modern.
Tradisi ”Selamatan Petik Pari” juga mendapatkan juga mengalami penurunan atau
perubahan karena adanya perkembangan zaman, mereka berpendapat tradisi “Selamatan
Petik Pari” sekedar akan dijalankan menurut ajaran masyarakat dulu tanpa mereka tau
makna dalam tradisi Selamatan Petik Pari” ini sendiri.. Faktor dalam perubahan tradisi
“Selamatan Petik Pari” adalah karena adanya temuan baru, (karena faktor migrasi) hilang
unsur kebudayaan, akulturasi, perubahan kebudayaan secara paksa, dan karena
172
Maria Dolorosa Jawa Maran
1
, Roni Alim Ba’diya Kusufa
2
, Ika Meviana
3
modernisasi (Herusatoto, 2008).
Modernisasi dan khususnya persaingan kesempatan kerja yang semakin ketat pula,
akibatnya dasar-dasar kemasyarakatan lama itu pun harus mengikuti sesuai
perkembangan zaman, sehingga kebudayaan atau adat istiadat mulai dilupakan dan
ditinggalkan setelah Indonesia merdeka (Rahman & Ismail, 2017).
KESIMPULAN
Dalam pelaksanaan Tradisi ”Selamatan Petik Pari” ada beberapa tahapan persiapan dalam
pelaksanaan tradisi ”Selamatan Petik Pari” adalah menyimpan sesajen pada wadah yang
sudah disiapkan lalu tetua adat dan tokoh adat, tokoh masyarakat membawa ke sawah yang
siap dipanen kemudian meletakan sesajian disawah yang siap dipanen. Keterkaitan antara
nilai religius masyarakat Desa Petungsewu terhadap tradisi ”Selamatan Petik Pari” saling
berhubungan erat dibuktikan dengan adanya komunikasi antara manusia dan Dewi Sri yang
di percaya sebagai penjaga lahan pertanian melalui sesajen dan sarana lainnya. Oleh karena
itu, tradisi yang telah ada turun temurun ini selalu dilaksanakan masyarakat Desa
Petungsewu, tanpa mengesampingkan ajaran agama atau keyakinannya masing-masing.
Perubahan yang terjadi dalam tradisi ”Selamatan Petik Pari” yaitu, alat-alat sesajian yang
diganti misalnya, alat yang biasanya digunakan untuk memotong padi dahulu memakai ani-
ani sekarang diganti memakai arit, penyediaan makanan yang semakin berkurang sesuai
dengan keadaan yang berhajat tidak dipaksakan.
DAFTAR PUSTAKA
Hasugian, Relly Monika. (2017). UPACARA KEMATIAN SAUR MATUA BATAK
TOBA: ANALISIS TRADISI LISAN. LINGUA: Journal of Language, Literature
and Teaching, 14(2), 225. https://doi.org/10.30957/lingua.v14i2.326
Hernawaty, H., & Purba, N. A. (2019). ETNOGRAFI KOMUNIKASI PADA
MASYARAKAT BATAK TOBA DI KABUPATEN SAMOSIR PROVINSI
SUMATERA UTARA MENGENAI ANALISIS TINDAK TUTUR DALAM
UPACARA KEMATIAN SAURMATUA. Jurnal Darma Agung, 27(3), 11591172.
Herusatoto, Budiono. (2008). Simbolisme jawa. Ombak.
Hidayah, Mei Nurul. (2018). Tradisi pemakaman Rambu Solo di Tana Toraja dalam novel
puya ke puya karya Faisal Oddang (Kajian intrepretatif simbolik Clifford Greetz).
Universitas Negeri Surabaya.
Jannah, N. U. R. (2015). AKULTURASI BUDAYA JAWA DAN ISLAM (Studi atas Sistem
Religi pada Ritual Pra Kelahiran dan Pasca Kelahiran Bayi di Desa Telang Karya
Kec. Muara Telang Kab. Banyuasin). UIN RADEN FATAH PALEMBANG.
Manurung, F. M. (2013). Makna Kerbau (Horbo) Pada Masyarakat Batak Toba Dalam
Upacara Kematian Saur Matua: Studi Di Kecamatan Simanindo Kabupaten
Samosir.
Marwing, A. (2011). Problem psikologis dan strategi coping pelaku upacara kematian
rambu solo’di toraja (studi fenomenologi pada tana’bulaan). Psikoislamika: Jurnal
Psikologi Dan Psikologi Islam, 8(2).
Nesi, A. (2018). Tradisi Lisan Takanab Sebagai Wujud Identitas Masyarakat Dawan:
Kajian Ekolinguistik Metaforis. Universitas Sanata Dharma.
Nesi, Antonius, & Rahardi, R. Kunjana. (2019). Nilai-nilai kearifan lokal dalam tradisi
lisan takanab: Kajian ekolinguistik. Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan Missio,
173
Maria Dolorosa Jawa Maran
1
, Roni Alim Ba’diya Kusufa
2
, Ika Meviana
3
11(1), 7190.
Patiung, Mirawaty, & Suleman, Ari Alpriansah. (2020). Maâ€
TM
pasilaga Tedong: Analisis
Tradisi Adat Pemakaman Rambu Solo Di Toraja Sulawesi Selatan. Solidarity:
Journal of Education, Society and Culture, 9(2), 10721077.
Rahman, Hardianto, & Ismail, Ismail. (2017). ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DASAR
ISLAM.
Sanca, I. I. (2020). Pola Komunikasi Upacara Kematian Adat Suku Batak Toba Saur
Matua” Di Kota Bandung. Universitas Komputer Indonesia.
Shomad, Abdul, & Adinata, Topan Priananda. (2020). Tradisi Adat Methik Pari Di Desa
Kalistail Kecamatan Genteng Kabupaten Banyuwangi (Studi Pendekatan Historis).
Agastya: Jurnal Sejarah Dan Pembelajarannya, 10(1), 3547.
Situmorang, Sintauli Edlina, & Pasaribu, Payerli. (2017). Tradisi Panjopputan Saat
Memasuki Masa Panen Padi pada Masyarakat di Desa Poldung Kecamatan Aek
Natas Kabupaten Labuhanbatu Utara. Buddayah: Jurnal Pendidikan Antropologi,
1(1), 2748.
Sukanteri, Ni Putu, & Lestari, Putu Fajar Kartika. (2017). PERAN WANITA TANI
DALAM EKSISTENSI BUDAYA SUBAK DAN KEBERLANJUTAN
PERTANIAN. AGRIMETA: Jurnal Pertanian Berbasis Keseimbangan Ekosistem,
7(14), 5358.
Warisno, Andi. (2017). Tradisi Tahlilan Upaya Menyambung Silaturahmi. Riayah: Jurnal
Sosial Dan Keagamaan, 2(02), 6997.
.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License