IMPLIKASI PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG

Abdul Kahar Maranjaya

Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta

[email protected]

 

Diterima:

6Maret 2022

Direvisi:

14 Maret 2022

Disetujui:

15 Maret 2022

Abstrak

Pemilihan umum yang dilaksanakan di Indonesia di era pemilihan langsung pasca perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), terbukti telah menimbulkan berbagai implikasi yang tidak saja karena biaya yang terlalu besar tetapi juga telah merusak sendi-sendi demokrasi itu sendiri yang sejatinya menjadai landasan dalam pelaksanaan pemilihan umum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implikasi pemilihan kepala daerah secara langsung. Penelitian ini merupakan sebuah penelitian normatif yuridis. Sumber data yang digunakan merupakan sumber data sekunder. Pengempulan datanya melalui dokumen-dokumen yang dapat dijadikan sumber data seperti undang-undang, jurnal, buku dan lain sebagainya. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis isi dari berbagai dokumen terkaitfenomena yang sedang diteliti.

Kata kunci: Pemilihan Umum, Kepala Daerah, Secara Langsung

Abstract

The general election held in Indonesia in the era of direct elections after the amendment to the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia (UUD 1945), has proven to have various implications not only because the costs are too large but also have damaged the foundations of democracy itself which is actually true. form the basis of the general election. This study aims to determine the implications of direct regional head elections. This research is a juridical normative research. The data source used is a secondary data source. The data is collected through documents that can be used as data sources such as laws, journals, books and so on. The analytical technique used is content analysis of various documents related to the phenomenon being studied.

Keywords: General Election, Regional Head, Directly


PENDAHULUAN

 

Pemilihan umum yang dilaksanakan di Indonesia di era pemilihan langsung pasca perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), terbukti telah menimbulkan berbagai implikasi yang tidak saja karena biaya yang terlalu besar tetapi juga telah merusak sendi-sendi demokrasi itu sendiri yang sejatinya menjadai landasan dalam pelaksanaan pemilihan umum (Nasution, 2022). Adalah� Hamilton, 1931 menyatakan bahwa setiap negara modern dewasa ini senantiasa memerlukan suatu sistem pengaturan yang dijabarkan dalam suatu konstitusi. Oleh karena itu konstitusionalisme mengacu kepada pengertian sistem institusionalisasi secara efektif dan teratur terhadap suatu pelaksanaan pemerintahan (Marfianieni, 2021). Dengan lain perkataan untuk menciptakan suatu tertib pemerintahan diperlukan perlakuan sedemikian rupa, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan (Rachmadi Usman, 2022). Gagasan ini muncul karena adanya kebutuhan untuk merespon perkembangan peran relative kekuasaan umum dalam suatu kehidupan umat manusia (Jimly Asshiddiqie, 2021). Dalam kosakata bahasa Indonesia, istilah konstitusi mempunyai dua makna yaitu segala ketentuan dan aturan tenang ketatanegaraan dan UUD suatu negara. UUD menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti Undang-Undang yang dasar semua undangundang dan peraturan lain suatu negara yang mengatur bentuk, sistem pemerintahan, pembagian kekuasaan, wewenang badan pemerintahan (Tampubolon, 2022).

Konstitusi sebagai kaidah yang tertuang dalam suatu dokumen khusus dikenal dengan sebutan Undang-Undang Dasar (Siradjuddin & Cici, 2021). Sekedar catatan perlu juga diutarakan bahwa ada yang memandang UUD itu bukan kaidah hukum melainkan kumpulan pernyataan (manifesto), pernyataan tentang keyakinan, pernyataan cita-cita (Hasim, 2017). �Konstitusi dianggap sebagai sebuah hukum atau aturan dasar suatu negara, dalam bentuk tertulis atau tidak tertulis yang membentuk karakteristik dan konsep-konsep pemerintahannya, berisi prinsip-prinsip asasi yang dipatuhi sebagai dasar kehidupan kenegaraan, pengendalian pemerintah, pengaturan, pembagian dan pembatasan fungsi-fungsi yang berbeda dari departemen-departemen serta penjabaran secara luas urusan-urusan yang berkaitan� engan pengujian kekuasaan kedaulatan (Pratiwi, 2021). Jika disederhanakan, konstitusi adalah sebuah piagam pelimpahan wewenang dari rakyat kepada pemerintah (Haryanti, 2014). Konstitusi mempunyai fungsi dan kedudukan yang sangat fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam konteks ini, Komisi Konstitusi tentang perubahan Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945 menyimpulkan bahwa kedudukan dan fungsi konstitusi adalah sebagai berikut : (a) Konstitusi berfungsi sebagai dokumen nasional yang mengandung perjanjian luhur, berisi kesepakatan-kesepakatan tentang politik, hukum, pendidikan, kebudayaan, ekonomi, kesejahteraan, dan aspek fundamental yang menjadi tujuan negara; (b) Konstitusi sebagai piagam kelahiran negara baru. Hal ini juga membutuhkan adanya pengakuan masyarakat internasional, termasuk untuk menjadi anggota PBB, karena itu sikap kepatuhan suatu negara terhadap hukum internasional ditandai dengan adanya ratifikasi terhadap perjanjian-perjanjian internasional. (c) Konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi. Konstitusi mengatur maksud dan tujuan terbentuknya suatu negara dengan sistem administrasinya melalui adanya kepastian hukum yang tekandung dalam pasal-pasalnya, unifikasi hukum nasional, social control, memberikan legitimasi atas berdirinya lembaga-lembaga negara termasuk pengaturan tentang pembagian dan pemisahan kekuasaan antara organ legislatif, eksekutif, yudisial. (d) Konstitusi sebagai identitas nasional dan lambang persatuan, konstitusi menjadi suatu sarana untuk memperlihatkan berbagai nilai dan norma suatu bangsa dan negarra, misalnya simbol demokrasi, keadilan, kemerdekaan, negara hukum yang menjadikan sandaran untuk mencapai kemajuan dan keberhasilan tujuan negara. (e) Konstitusi sebagai alat untuk membatasi suatu kekuasaan, konstitusi dapat berfungsi untuk membatasi kekuasaan, mengendalkan perkembangan dan situasi politik yang selalu berubah, serta berupaya untuk menghindarkan adanya penyalahgunaan kekuasaan. (f) Konstitusi sebagai pelindung HAM dan kebebasan warga negara. Konstitusi emberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan hak-hak kebebasan warga negara. Hal ini merupakan pengejahwantahan suatu negara hukum.

 

METODE PENELITIAN

 

Penelitian ini merupakan sebuah penelitian normatif yuridis. Sumber data yang digunakan merupakan sumber data sekunder. Pengempulan datanya melalui dokumen-dokumen yang dapat dijadikan sumber data seperti undang-undang, jurnal, buku dan lain sebagainya. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis isi dari berbagai dokumen terkait fenomena yang sedang diteliti.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Hakekat pemilihan umum adalah suatu proses dimana rakyat mentransfer kedaulatan kepada wakil-wakilnya (Hambali, 2014). Ada dua aspek dalam pemilihan umum yaitu, penggunaan kedaulatan rakyat secara langsung yang kedua adalah memilih wakilnya dan sekaligus mentransfer pelaksanaan kedaulatan itu melalui perwakilan. Pasal 22E Ayat(2) yang berbunyi� Pemilihan umun diselenggarakan untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat, Dewan perwakilan daerah, Presiden dan wakil presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah wujud dari demokrasi perwakilan tersebut�. Disitulah dipencarkan keinginan atau kedaulatan rakyat itu dalam lembaga-lembaga perwakilan. Lembaga perwakilan tersebut akan melaksanakan bagian kedaulatan rakyat yang telah menjadi porsinya (Hambali, 2014). Sesuai dengan UndangUndang Dasar terdapat tiga tiang lembaga perwakilan diindonesia yaitu : Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan presiden. Ketiganya merupakan bentuk lembaga yang berasal dari aspirasi rakyat, meskipun tidak terdapat kata �perwakilan� daam menyebut nama lembaga presiden, karena merupakan juga cerminan dari wakil rakyat. Oleh sebab itu ketiga lembaga tersebut mempunyai posisi yang sama-sama mendapatkan mandat ataupun kepercayaan secara langsungdari rakyat. Dan kemudian ketiganya diberikan mandat oleh rakyat untuk menjalankan fungsinya sesuai dengan porsinya masing-masing yaitu, fungsi pembuat UndangUndang diberikan kepada DPR dan Presiden, fungsi �konstituante� pembuat UUD 1945 diberikan kepada DPD dan DPR dan mereka masuk dalam satu forum yang sama yaitu MPR. Disadari atau tidak sebenarnya pemilihan umum (pemilu) rakyat memangsudah dibatasi dengan pilihannya (Novriama & Subiyanto, 2020). Pada umumnya mereka memilih antara calon-calon yang tidak diajukan mereka sendiri, organisasi partai politik menguasai bagian yang terbesar dari seleksi caloncalon tersebut, partai politik hanya memberikan kepada rakyat pemutusan antara caloncalon partai politik lainnya, kandidat yang meraka sangat dipersukar dan sekurangkurangnya ia membaurkan persoalan, bahkan utuk seleklsi calon-calon yang dilakukan oleh partai politik yang pada umumnya jauh dari proses demokrasi. Pertimbangan seperti jasa yang telah diberikan dalam hal keuangan, gengsi yang melekat pada golongan-golongan keluarga, kesediaan calon untuk mentaati perintah-perintah partai politik sangat mempengaruhi dalam hal seleksi calon-calon yang dilakukan tersebut.

Pemilukada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan Undang-Undang Dasar 1945 seperti telah diamanatkan pada pasal 18 Ayat (A) UUD 1945, Gubernur, Bupati dan Walikota, masing-masing sebagia kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur dalan Undang-Undang No. 32 tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah. Salah satu pertanyan yang sulit dijawab oleh masyarakat kebanyakan dan menjadi pradoks bagi demokrasi di Indonesia dalah siapa wakil wakyat yang mewakili daerahnya saat ini, sehingga memunculkan quovadis yang memunculkan adanya jarak antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya saat pemilihan umum (Pemulu) (Noor, 2002). Salah satu sayarat pokok demokrasi adalah adanya sistem pemilihan umum yang jujur dan adil (free and fair elections). Bagi negara demokrasi modern pemilihan umum merupakan mekanisme utama yang harus ada dalam tahapan penyelenggaraan negara dan pembentukan pemerintahan, Pemilu dipandang sebagai bentuk nyata dari kedaulatan rakyat serta wujud paling konkrit partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan negara

Menurut Heywood, terdapat dua pandangan berbeda tentang fungsi pemilu, yaitu pandangan konvensional yang menyatakan bahwa pemilu merupakan sebuah mekanisme dimana para politisi dapat dituntut untuk memperhitungkan dan dipaksa untuk menjalankan kebijakan-kebijakan yang mencerminkan opini publik. Pendekatan seperti ini menenkankan bottom-up dari pemilu yaitu rekrutmen politik, perwakilan, pembentukan pemerintahan, pemberian pengaruh pada kebijakan dan sebagainya, �namun setiap kali pemilu dilaksanakan selalu saja muncul isu tentang lemahnya penegakan hukum pemilu. Isu ini berangkat dari kenyataan betapa banyak pelanggaran administrasi dan tindak pidana pemilu yang tidak ditangani sampai tuntas. Selain itu, peraturan perundangan-undangan yang ada juga belum mengatur tentang keberatan atas keputusan penyelenggara pemilu. Memang Mahkamah Konstitusi punya kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu (yang ditetapkan penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU), tetapi bagaimana dengan keberatan atas masalah lain (di luar hasil pemilu) yang juga diputuskan oleh penyelenggara pemilu? Banyaknya kasus pelanggaran administrasi pemilu dan tindak pidana pemilu, serta banyaknya kasus keberatan atas keputusan penyelenggara pemilu; di satu sisi, mendorong munculnya protes-protes yang bisa berujung kekerasan, di sisi lain, juga mengurangi legitimasi hasil pemilu.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD telah ditetapkan sebagai aturan main pelaksanaan Pemilu. Di dalam Undang-Undang ini, ketentuan yang mengatur tentang penyelesaian sengketa dan pelanggaran Pemilu ditangani oleh 3 (tiga) lembaga Peradilan yaitu Pengadilan umum, Pengadilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Konstitusi. Selain ketiga lembaga peradilan yang disebut di atas, maka sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum memberikan kewenangan kepada pengawas pemilu untuk menangani sengketa dalam penyelenggaraan Pemilu. tapi fakta menunjukkan hampir tidak ada kasus sengketa dalam penyelenggaraan pemilu yang menjadi tugas pengawas pemilu untuk menyelesaikannya.

Penegakan Pelanggaran Pemilu/Pemilukada tidaklah lepas dari sistem hukum Pemilu yang diputuskan oleh pembuat undang-undang secara keseluruhan. Friedman, menyatakan bahwa sistem hukum terdiri dari substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure) dan budaya hukum (legal cultur). Sinergistas bekerjanya ketiga komponen hukum tersebutj, diharapkan membuat proses Pemilu/Pemilukada semakin baik, agar tidak ada lagi �pembiaran� proses pelanggaran yang terjadi dalam Pemilu/Pemilukada yang menciderai asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Sehubungan dengan itu maka sistem penegakan hukum dalam undang-undang harus lebih responsive memberi ruang penyelesaian yang memadai baik itu administrasi maupun pidana, berupa pengintegrasian sistem peradilan pidana, sistem peradilan administrasi Negara serta peradilan terhadap sengketa Pemilu/Pemilukada oleh Mahkamah Konstitusi.

Dalam perkembangannya, undang-undang yang telah lahir untuk menghundle pelaksanaan pemilu, mengalami gejolak politik akibat beberapa pihak merasa tidak puas terhadap klausula di beberapa pasal terkait undang-undang tersebut. Pemilu di Indonesia diatur dengan undang undang pemilu yang selalu berubah-ubah karena kebutuhan perbaikan kualitas, karena pengaruh konfigurasi politik dan karena perubahan demografi-kependudukan dan peta pemerintahan (Hidayatulloh, 2014). Hasil pemilu merupakan manifestasi suara rakyat sebagai jaminan hasil pemilu harus dipastikan didapatkan dengan cara benar sesuai dengan prinsip one man one value. Salah satu persoalan mendasar dalam membangun hukum nasional yang demokratis adalah bagaimana membuat sistem hukum yang kondusif bagi keberagaman sub-sistem, keberagaman substansi, pengembangan bidangbidang hukum yang dibutuhkan masyarakat, juga kondusif bagi terciptanya kesadaran hukum masyarakat dan kebebasan untuk melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban sesuai dengan aturan yang berlaku, untuk mewujudkan hak tersebut adalah dengan membentuk peraturan perundang-undnagan yang disusun melalui instrument perencanan penyusunan UndangUndang yang dikenal dengan program legislasi nasional (prolegnas). Yang pelaksana dari pihak pemerintahnya dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Secara singkat prolegnas dibuat untuk menjamin ketepatan isi dan ketepatan prosedur yang didasarkan pada falsafah dan Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945, ditetapkan Prolegnas jangka menengah 2005-2009 melalui keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 1 Februari 2005 sebanyak 284 RUU sampai dengan 2008, telah ada 120 RUU yang disahkan menjad UU dari daftar tersebut, salah satu indikator kualitas UU adalah maraknya upaya pengujian melalui MK. Menurut data Mahkamah KonstitusiRepublik Indonesia, dari tahun 2003 hingga 27 agustus 2008 telah ada 150 putusan terhadap 73 UU yang dikonstitusional review, dan 40 putusan diantaranya mengambulkan permohonan tersebut. Putusan MK sangat berpengaruh pada Prolegnas, oleh karena itu pada Prolegnas tahun 2008 telah diprioritaskan tujuan RUU akibat putusan Mahkamah Konstitusi, diantaranya adalah RUU tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasan kehakiman, RUU tentang Penggantian atas UU No.27 Tahun 2004 tentang Komisi kebenaran dan Rekonsiliasi, RU tentang Perubahan atas UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi dan RUU tentang Pengadilan Tipikor (Surya, Johni, & Putra, 2014).

Dari hasil kajian yang dilakukan Moch Nurhasim setidak tidaknya mencatat beberapa dampak negatif dari penyelenggaraan pilkada langsung yang berujung pada konflik dalam beragam bentuk Pertama adanya intervensi lembaga lembaga penyelenggara dan institusi lainnya seperti MA dan pemerintah pusat dalam menentukan hasil pilihan masyarakat dari kasus yang dikaji persoalan hasil akhir penghitungan tidak dipercayai sebagai hasil yang akurat Padahal perbedaan tipis bukanlah alasan untuk mementahkan hasil pemilu di mana pemenangnya ditentukan oleh rakyat yang meiniliki kedaulatan Kedua intervensi dan penyelesaian hasil pilkada langsung justu menciptakan bentuk bentuk ketidakpastian suatu pemilihan Hal ini menunjukkan ketidaksiapan para calon untuk mematuhi rule of the game Budaya tidak siap kalah menjadi salah satu efek negatifdan dampak dari penyelenggaraan pilkada yang memang sejak awal telah menyimpan sejumlah embrio untuk dipertentangkan Elite yang tidak siap kalah menggunakan massa sebagai instrumen untuk memengaruhi perubahan hasil pilihan rakyat. Hal ini tentu merupakan efek negatif dari penyelenggaran pilkada secara langsung. Distorsi dalam pilkada seakan akan terjadi dari tahapan demi tahapan yang penuh ketidakpastian Ketiga pilkada menampakkan wajah democrazy suatu lelucon demokrasi lokal Kenapa disebut lelucon karena mirip dengan dagelan dan acap kali hasil pilihan rakyat dipelintir oleh kepentingan penyelenggara pemilu dan atau institusi yang lebih tinggi. Sikap massa yang pokoknya menjadi salah satu hambatan bagi demokrasi local. Demokrasi sebetulnya bertujuan mengembangkan dialog yang intinya tidak mengharapkan cara cara yang anarkis Selain itu demokrasi juga harus diletakkan pada adanya kepercayaan semua pihak atas aturan main yang telah ditentukan (Nurhasim, n.d.).

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan Effendi Gazali dkk aturan pemilu serentak ini muncul, keluarnya putusan MK ini merupakan salah satu terobosan hukum baru. Dimana dalam amar putusannya MK menyatakan: Pasal 3 Ayat (5), Pasal 12 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 14 Ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (inkonstitusional). Dari rangkaian ketentuan yang dinyatakan kehilangan validitas konstitusional tersebut, MK menegaskan, pemilihan umum presiden dan wakil presiden harus dilaksanakan serentak dengan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD. Dengan putusan ini, ketentuan bahwa Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pemilu Presiden) dilaksanakan setelahPemilihan Umum anggota DPR, DPD, dan DPRD (Pemilu Legislatif) adalah inkonstitusional, dalam diktum kedua dari amar putusan Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa putusan pemilu serentak akan diterapkan pada pemilu 2019. Putusan MK merupakan putusan final, bagian yang menarik dari amar putusan MK tersebut adalah pelaksanaannya baru bisa dilaksanakan pada pemilu 2019 mengingat pelaksanaan persiapan pemilu 2014 waktu itu sudah mulai berjalan. Apabila pemilu serentak 2019 dapat dilaksanakan maka akan menjadi sejarah Indonesia untuk pertama kalinya pemilu dilaksanakan secara bersamaan.Rancangan UU Pemilu 2019 telah disahkan oleh DPR dan Pemerintah, banyak kalangan yang merasa kurang puas dengan isi undang-undang tersebut kemudian mengajukan uji materi ke MK. Sedikitnya ada lima isu-isu krusial dalam UU Pemilu yang menjadi perdebatan elit politik pada saat paripurna di DPR yaitu: ambang batas presidential (presidential threshold), ambang batas parlemen (parliamentary threshold), alokasi kursi anggota DPR per daerah pemilihan (dapil), metode konversi suara pemilu legislatif, dan sistem pemilu (Triono, 2017).

Pilihan terhadap sistem pemilihan langsung merupakan koreksi atas Pilkada terdahulu yang menggunakan sistem perwakilan oleh DPRD, sebagaimana tertuang dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan daerah dan PP No. 151/2000 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Digunakannya sistem pemilihan langsung menunjukkan perkembangan penataan format demokrasi daerah yang berkembang dalam kerangka liberalisasi politik. Berdasarkan ketentuan pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2005 tentang pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, (PP Pilkada). Pemilihan Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan / atau kabupaten atau kota berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Berdasarkan  ketentuan pasal 1 ayat (2) PP Pilkada �Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah adalah Gubernur dan Wakil gubernur untuk provinsi, Bupati atau Wakil Bupati unutk kabupaten serta Walikota dan Wakil Walikota untuk kota. Jadi Pilkada langsung merupakan rekruitmen politik, yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah, baik gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota.

 

Konflik� dan Quo Vadis Pemilihan Kepala Daerah.

Konflik unsur penting bagi integrasi sosial, selama ini konflik selalu dipandang sebagai faktor negatif yang memecah belah, tetapi konflik sosial dalam beberapa cara memberikan sumbangan pada keutamaan kelompok serta mempererat hubungan interpersonal. Dalam posisinya sebagai anggota suatu kelompok, orang akan cenderung memilah-milah diri meraka ke dalam dua kategori: �kita� (ingroup) dan �mereka� (outgroup). Ingroup adalah mereka yang menjadi anggota lembaga, dan outgroup adalah mereka yang berada diluar ingroup. Konflik antar lembaga muncul ketika ada perbedaan paham antara ingroup dan outgroup. Kalau kita amati dinamika suatu lembaga, bisa menemukan adanya dalam tiga tipe konflik. Pada dasarnya politik selalu mengandung konflik dan persaingan kepentingan. Suatu konflik biasanya berawal dari kontroversi-kontroversi yang muncul dalam berbagai peristiwa politik, dimana kontroversi tersebut diawali dengan hal-hal yang abstrak dan umum, kemudian bergerak dan berproses menjadi suatu konflik. Salah satu contoh potensi konflik pada Pemilihan Daerah cermin mulai dari pendaftaran dan penetapan calon kepala daerah/wakil kepala daerah, sebagaimana pasal l 59 ayat 2 UU No.32 Tahun 2004 mensyaratkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana yang dimaksud boleh mendaftarkan calon apabila memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Persyaratan tersebut seringkali menimbulkan masalah. Masalahnya yaitu dengan ketentuan semacam ini, di daerah-daerah di mana tidak ada satu pun atau gabungan partai politik yang bisa mencalonkan diri sebagai pasangan calon, maka akan ada hanya satu calon. Sebagai contoh, di beberapa daerah di Bali, perolehan PDI-P sekitar 80 persen suara, sehingga di daerah-daerah ini sulit mendapatkan dua calon. Problemnya, UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 6 Tahun 2005 tidak mengatur tentang pemilihan dengan satu pasangan calon. Kelemahan aturan main inilah yang menjadi sumber awal masalah. Akibat hanya satu pasangan calon yang mendaftar, KPUD tidak melanjutkan tahapan pilkada karena khawatir akan �bertabrakan‟ dengan aturan hukum yang berlaku. KPUD hanya dapat merujuk pada PP Nomor 17 tahun 2005. Pada pasal 149 ayat (1) disebutkan �Dalam hal di suatu daerah pemilihan terjadi bencana alam, kerusuhan, gangguan keamanan, dan/atau gangguan lainnya di seluruh atau sebagian wilayah pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang berakibat pemilihan tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan jadwal, pemilihan ditunda.� Alasan hanya satu pasangan calon yang mendaftar itu kemudian disetarakan dengan gangguan lainnya, sehingga akhirnya KPUD melakukan penundaan pilkada.

Arif Budiman menyatakan ada beberapa sumber konflik dalam Pilkada serentak tahun 2018 meliputi; pertama  suhu tahun politik bahwa Pilkada serentak 2018 berdekatan dengan Pemilu 2019 menjadi salah satunya; kedua,  populasi penduduk yang ikut dalam Pilkada serentak tahun ini sangat besar. Sebab, ada 171 satu daerah yang akan mengelar Pilkada serentak 2018. ika pemilih Pilkada 2018 tercatat 158 juta maka hampir 80 persen pemilih Pemilu 2019 diperebutkan suaranya dalam Pilkada setelahnya; ketiga jarak Pilkada serentak 2018 yang berdekatan dengan Pemilu 2019. Jarak dua pesta politik ini hanya 10 bulan; keempat berkenaan dengan kuantitas anggaran dimana jumlah anggaran Pilkada 2018 sangat besar jika dibandingkan Pilkada 2015 maupun Pilkada 2017, Pilkada serentak 2018 membutuhkan anggaran mencapai Rp11,9 triliun. Pada dua Pilkada sebelumnya, anggaran Pilkada masing-masing sebesar Rp6,4 triliun (2015) dan Rp4,3 triliun (2017), anggaran ini tidak hanya untuk KPU dan Bawaslu saja, melainkan juga untuk biaya keamanan. Perputaran anggaran yang besar ini juga bisa mendorong konflik kepentingan. Sodik dalam penelitiannya menyatakan bahwa� setidaknya ada 5 (lima) sumber konflik potensial, baik menjelang, saat penyelenggaraan, maupun pengumuman hasil Pemilukada. Pertama, konflik yang bersumber dari mobilisasi politik atas nama etnik, agama, daerah, dan darah. Kedua, konflik yang bersumber dari kampanye negatif antar pasangan calon kepala daerah. Ketiga, konflik yang bersumberdari premanisme politik dan pemaksaan kehendak. Keempat, konflik yang bersumber dari manipulasi dan kecurangan penghitungan suara hasil Pemilukada. Kelima, konflik yang bersumberdari perbedaan penafsiran terhadap aturan main penyelenggaraan Pemilukada.

Kenyataan yang tak terhindarkan dalam pemilihan kepala daerah secara langsung adalah muncul kapitalisasi dalam tahapan pemilihan kepala daerah.Dengan munculnya kapitalisasi ini maka pemilihan kepala daerah secara langsung jauh lebih mahal dibandingkan dengan model pemilihan kepala daerah lewat perwakilan DPRD (Amirudin & Bisri, 2006). Ulasan mengenai pemilihan kepala daerah, baik secara langsung atau secara perwakilan melalui DPRD sebagaimana diuraikan di atas sesungguhnya menunjukkan bahwa pilihan akan bentuk pemilihan kepala daerah belumlah tuntas. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang merupakan landasan konstitusional pemilihan kepala daerah hanya menggariskan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis, namun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, menterjemahkan kalimat �dipilih secara demokratis� sebagaimana dinyatakan Pasal 18 ayat (4) sebagai pemilihan langsung, dari berbagai aspek beberapa masalah dalam pelaskanana pilkada langsung :

1.������ Biaya yang dibutuhkan sangat besar baik yang di keluarkan pemerintah mapun calon (individu calon), sisi pengeluaran pemerintah dibanyak sub pengeluaran mulai dari oprasional, logistik� hingga hal-hal sosialisasi serta keamanan baik pra pemilihan mapun paca pemilihan, dengan demikian besarnya biaya yang di keluarga bagi kepentingan pilkada langsung secara sesugghnya merupakan biaya yang bersumber dari rakyat, biaya yang di pikul pemerintah� (dari uang rakyat) akan lebih besar lagi manakala� penyelenggraan dilakukan lebih dari satu putaran.

2.������ Sarat kepentingan, pemilihan kepala daerah dengan pelibatan partai lain (koalisi) baik dua partai maupun lebih menjadi keniscayaan, mengingat aturan-aturan yang telah di tetapkan mengharuskan adanya elektrolal, dengan biaya yang tinggi sebagai beban sebagaimana point diatas, tentunya membutuhkan kemampuan capital yang tinggi, sehingga keterlibatan baik individu dalam satu partai lain dan atau banyak individu dalam partai kualisi memunculkan beragam kepentingan yang bersandar kelak pada calon, dengan demikian kepentingan untuk menjaga keinginan dari pemilik capital menjadi kenisyaan.

3.������ Kualitas Kepemimpin, pemilihan era liberalisasi politik, memunculkan kepemimpinan didasarkan hasrat kekuatan ekonomi dan capital, dengan kata lain, biaya yang tinggi atau ongkos operasional mulai dari pra pencalonan (permintaan dukungan dari parpol) serat di warnai isu uang mahar, memasuki pasnca pencalonan dnegan sosialisasi tentunya calon pimpinan kepala daerah harus memiliki kemampuan dan kematangan secara prima (kemampuan stamina dan ekonomi), yang pada akhirn mendahulukan figure yang memiliki kesiapan tersebut, daripada figur yang memiliki kompetensi dan visi yang jelas.

4.������ Terbukanya konflik antar calon� dan masa, konflik tidak hanya sebatas konflik yang didasakan atas isu-isu social bahkan potensi konflik juga telah memanfaatkan saran sebagaimana contoh kahalnya calon incanben gubernur DKI Jakarta sebagai akibat isu sara yang berpotensi terhadap konflik yang lebih besar.

5.������ Banyaknya calon kepala daerah yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memunculkan sorotan tajam atas pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung.Amatlah mudah menebak klausul yang mendasari KPK melakukan penangkapan terhadap sejumlah calon kepala daerah yang sedang bertarung untuk menghadapi pilkada, 27 Juni 2018. Sejumlah calon kepala daerah itu ditangkap atas dugaan kasus korupsi.

��������� Bila merefleksikan berbagai undang-undang dan peaturan sebagaimana Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi Undang-Undang, dari sisi aturan tampaknya memang tidak ada masalah disisi lainnya bila melihat implikasi� temuan� empirs adanya� kepentingan atas pendompelengan pemilik modal dan capital untuk mendukung salah satu dari bakal calon bagi mulusnya kepentingan binis pemilik modal dan capital dikemudaian hari, sehingga hal ini menghidupkan teori simbiois mutualisme, adanya saling membutuhkan atau bahkan ketergantungan satu sama lainnya, bakal calon membutuhkan modal bagi hasrat dan sahwat kepemimpinan, disisi lainnya pemilik modal dan capital merasakan adanya keamanan dan keberlangusngan atau bahkan kemudahan dari fasilitas yang di janjikan oleh bakal calon, warana inilah yang memunculkan politik trassaksional baik antara bakal calon dengan pemilik modal dan capital dan bahkan antara bakal calon dengan partai pengusung.

�� Kondisi ini yang dinilai berbagai kalangan sebagai penyimpangan dan penyelewengan maksud pilkada secara langsung. Pada kasus-kasus kepala daerah yang ditangkap KPK, kemudian diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi secara gamblang terurai adanya transaksi bisnis dan politik yang saling bertautan dalam hubungan simbiosis mutualisme, logika dasar dari berbagai aspek yang ditimbulkan pemilihan pimpinan daerah melalui sistem langsung memunculkan wacana baru, yakni mengembalikan pemilihan kepala daerah melalui DPRD, sebagaimana telah di lakukan, wancana ini tentunya memunculkan diskursus pro dan konra, dari wancana ini pada akhirnya mengiring adanya pertemuan antara Ketua DPR-RI dengan Kementerian Dalam Negeri�� pada tanggal 6 April 2018 dimana pertemuan ini menguatkan� munculnya wacana tersebut melalui revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Lebih lanjut dari hasil pertemuan terebut ketua DPR menyatakan bahwa pada prinsipnya KPK setuju dengan sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD karena banyak persoalan yang ditimbulkan dari pelaksanaan pilkada langsung. Sisi lain dari keinginan masyarakat berdasarkan hasil survey yang dilakukan Chentra Politika� berkenana dengan revisi RUU Pilkada di DPRD dengan hasil:

Gambar 2.1

Pilihan Rakyat cara Pemilihan Kepala Daerah melalui langsung atau DPRD (Maranjaya, n.d.)

 

����������� Dari grafik kedua lembaga survey kredibel diatas menujukan bahwa sebagian besar rakyat menghendaki pemilihan Kepala Daerah melalui langsung, hasil studi empiris atas pilihan rakyat yang menyatakan mereka setuju atas pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD, menyatakan bahwa belum adanya kepastian unsur korupsi adan trasaksional akan hilang bahkan akan bergeser dari elit ke elit sehingga rakyat secara nyata tidak dapat melihat dan meraksakan, dengan demikian dapat di garsi bawahi atas sikap kebanyakan masyarakat diatas mengidikasikan bahwa belum adanya jaminan dan formulasi yang pasti apakah dengan pemilihan melalui DPRD masyarakat di untungkan malah sebaliknya penyimpangan penyimpangan akan terjadi pada pusaran elit, sedangkan masyaraka atau rakyat hanya kebagian dari output yang dihasilkan tanpa ada saluran yang di kehendaki mereka melalui sistem� pemungutan suara yang pada prinsipnya ada keterlibatan masyarakat secara luas. Namun kalangan lainnya khususnya dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebaliknya melalui Katib Aam Syuriah PBNU, KH Malik Madany, dalam Munas Alim Ulama NU pada September 2017 adanya wacana yang mendukung� kembalinya seluruh Pilkada ke DPRD, hasil munas memberikan rujukan bahwa banyak kerugian bahkan kerusakan yang ditimbulkan Pilkada langsung., Pilkada langsung yang diniatkan untuk mendapatkan pemimpin berkualitas, sekaligus sebagai pendidikan politik dan demokrasi bagi masyarakat, justru memberikan hasil yang sebaliknya. Karena itulah, berbagai perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme yang sebenarnya ingin dihapuskan di Era Reformasi justru semakin sulit dihindari. Apa yang di samapikan MUI sejalan dengan suara yang disamapikan Kualisi Merah Putih (Grindra, PKS dan� PAN) dengan pernyaan bulat menyatakan bahwa �Pilkada langsung menguras biaya, selain juga memarakkan politik uang�.

����������� Bila mereflesikan melalui Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dengan tegas� bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis, dari konteks ini dapat ditasirkan bahwa konstitusi secara tegas tidak mengharuskan Gubernur dipilih secara langsung oleh rakyat, melainkan hanya dipilih secara demokratis, tafsir iti dari konteks pasar tersebut adalah �dipilih secara demokratis, namun memang makna �demokratis� bisa berkonotasi dua yaitu pertama, bisa dipilih secara langsung oleh rakyat dan kedua, bisa dipilih oleh DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat, bila mengacu pada Pasal 22E UUD 1945 lahir melalui perubahan ketiga UUD 1945, tetapi tidak memasukkan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 melainkan hanya ketentuan Pasal 18 ayat (3) yang mengatur mengenai DPRD, berkenaan dengan hal ini pandangan ahli atau narasumber dalam penelitain ini menyatakan :�Sebagaimana yang sudah dijelaskan pada jawaban nomor 3, maka dapat ditegaskan kembali bahwa perumusan dan penetapan Pasal 18 UUD 1945 secara keseluruhan dilakukan pada perubahan kedua sedangkan perumusan dan penetapan Pasal 6A ayat (1)� tersebut dilakukan pada perubahan UUD yang ketiga. Pada perubahan kedua UUD 1945 (tahun 2000), belum ada kesepakatan MPR tentang tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden apakah secara langsung atau tidak langsung. Oleh karena itu, untuk menetapkan Pasal 18 ayat (4) tersebut dipilih frasa �demokratis� yang pelaksanaannya dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka apabila UU yang dibentuk berdasarkan perintah Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menetapkan pemilihan secara demokratis itu dengan mengatur pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat daerah yang bersangkutan atau tidak langsung melalui lembaga perwakilan daerah yang bersangkutan, maka secara normatif tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak melanggar prinsip �hierarki peraturan perundang-undangan�.

����������� Mengacu pandangan narasumber menujukna bahwa ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tersebut tidak menegaskan keharusan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota harus dipilih melalui suatu pemilihan yang dilaksanakan secara langsung. Pemilihan kepala daerah secara langsung sebagai interprestasi atas ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 agaknya sebagai keputusan (politik) untuk mensinkronkan bentuk pemilihan kepala daerah dengan bentuk pemilihan presiden dan wakil presiden, yaitu pemilihan secara langsung. Oleh karena Daerah merupakan bagian tak terpisahkan dari Negara Republik Indonesia, maka dalam melakukan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah seharusnya sinkron dengan pemilihan presiden dan wakil presiden, yaitu melalui pemilihan langsung. Kenyataan yang tak terhindarkan dalam pemilihan kepala daerah secara langsung adalah muncul kapitalisasi dalam tahapan pemilihan kepala daerah (Amirudin & Bisri, 2006). Dengan munculnya kapitalisasi ini maka pemilihan kepala daerah secara langsung jauh lebih mahal dibandingkan dengan model pemilihan kepala daerah lewat perwakilan DPRD (Amirudin & Bisri, 2006). Dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung selama ini, nuansa yang paling menonjol adalah maraknya sengketa pemilihan kepala daerah yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Sidang sengketa pemilihan kepala daerah telah mendominasi perkara yang ditangani Mahkamah Konstitusi.� Ulasan mengenai pemilihan kepala daerah, baik secara langsung atau secara perwakilan melalui DPRD sebagaimana diuraikan di atas sesungguhnya menunjukkan bahwa pilihan akan bentuk pemilihan kepala daerah belumlah tuntas. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang merupakan landasan konstitusional pemilihan kepala daerah hanya menggariskan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis, namun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, menterjemahkan kalimat �dipilih secara demokratis� sebagaimana dinyatakan Pasal 18 ayat (4) sebagai pemilihan langsung.

����������� Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 sebagai dasar konstitusional pelaksanaan pemilihan kepala daerah, sesungguhnya lahir bersamaan dengan Pasal 18A dan Pasal 18B, yaitu pada perubahan kedua UUD 1945 dan dimasukkan dalam Bab tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya Pasal 22E lahir melalui perubahan ketiga UUD 1945 tetapi tidak memasukkan Pasal 18 ayat (4) melainkan hanya ketentuan Pasal 18 ayat (3) yang mengatur mengenai DPRD. Hal ini, menurut Leo Agustina, setidaknya dapat diartikan bahwa Konstitusi tidak hendak memasukkan pemilihan kepala daerah dalam pengertian pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E ayat (1) yang menyebutkan �pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekal, kebali pada konteks ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 sepanjang berkaitan dengan pemilihan kepala daerah tidaklah menekankan pada �cara� pemilihan dilakukan, yaitu dengan sistem� langsung atau sistem� perwakilan, namun yang menjadi penegasan dari ketentuan pasal 18 yat (4) UUD 1945 adalah �proses�. Berkenana dengan hal ini pandangan narasumber terhadap hal ini dapat dilihat seabgai berikut:

Frasa �cara� dan frasa �proses� memiliki perbedaan yang fundamental walaupun keduanya memiliki hubungan dalam mewujudkan suatu tujuan. Tujuan pemilihan kepala daerah adalah memilih pemimpin yang memiliki kompetensi baik intelektual, moral dan skill, diterima oleh masyarakat (legitimate) dan dilakukan menurut peraturan perundang-undangan. Jadi seorang pemimpin dipilih jika calon harus copetence, legitimate dan legal. Prinsip pemilihannya harus langsung, umum, bebas dan rahasia serta jujur dan adil. Menurut saya ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 merupakan asas yang harus menjadi rujukan dan pedoman bagi cara dan proses pemilihan kepala daerah. Cara lebih dimaknai pada prinsip-prinsip dan proses adalah tahapan-tahapan pelaksanaan, sehingga antara cara dan proses pemilihan harus sejalan. Oleh karena prinsipnya langsung, umum, bebas dan rahasia serta jujur dan adil, maka prinsip adalah mendudukan daulat rakyat yang memiliki suara untuk menentukan pilihannya. Dengan demikian pemilihan langsung sebaga salah satu cara memilih pemimpin dalam hal ini kepala daerah adalah konstitusional. Namun demikian, tahapan-tahapan pemilihannya pun harus diatur dalam suatu peraturan yang mengikat secara umum agar prinsip pemilihan yang dipilih dan ditentukan tersebut tidak tercederai oleh perbuatan-perbuatan yang mengurangi hak daulat rakyat (Hoesein, n.d.).

�� Mengacu pandangan narasumber menujukan bahwa meskipun pemilihan secara langsung dipandang memiliki makna positif dari aspek legitimasi dan kompetensi, prase �dipilih secara demokratis� sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tidak dapat diterjemahkan secara tunggal sebagai pemilihan secara langsung. Pemilihan secara tidak langsung atau perwakilan pun dapat diartikan sebagai pemilihan yang demokratis, sepanjang proses pemilihan yang dilakukan demokratis, dalam konteks sejarah ketatanegaraan di Indonesia berkaitan dengan pemilihan kepala daerah, beberapa sistem mekanisme pemilihan kepala daerah telah dilaksanakan.Pertama, (era kemerdekaan pra-1958) pemerintah pusat menunjuk kepala daerah. Kedua, (1959-1973) Presiden mempunyai kewenangan langsung menunjuk para kepala daerah.Ketiga, (1974-1998) DPRD menominasikan calon kepala daerah kepada Presiden dan akan diputuskan oleh Presiden. Keempat, (1999-2003) DPRD memilih kepala daerah tanpa keterlibatan dari pemerintah pusat. Kelima, (2004-sekarang) pemilihan kepala daerah diubah menjadi pemilihan langsung oleh rakyat yang menggunakan mekanisme satu orang satu suara yang lebih lanjut di atur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemda. Namun setelah sekian lama implementasi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemda mulai dari tahun 2004 hingga sekarang, banyak masyarakat Indonesia mempertanyakan, apakah mekanisme pemilihan Gubernur secara langsung oleh rakyat masih sesuai dengan tujuan demokrasi itu sendiri?. Hal itulah yang menjadi usulan Pemerintah melalui RUU Pilkada untuk mengubah mekanisme pemilihan Gubernur secara langsung oleh rakyat menjadi pemilihan Gubernur oleh DPRD. Usulan perubahan pemilihan Gubernur tersebut merupakan topik yang sangat serius, karena mengingat berpotensi menyurutkan pembangunan demokrasi di Indonesia yang bermaksud mengurangi peran rakyat dalam menentukan pemimpinnya di daerah.

 

KESIMPULAN

 

Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUDNRI) Tahun 1945,Bab VI dengan judul Pemerintahan Daerah, memperoleh legitimasi konstitusional melalui amademen UUD 1945 yang kedua.� Terdapat 3 (tiga) Pasal, yaitu Pasal 18, 18A, 18B, Ketiga pasal tersebut telah menampung semua keragaman bangsa Indonesia di mana mengatur mengenai pemerintah daerah sebagai amanat dari pembukaan UUDNRI 1945. Perubahan ini boleh disebut sebagai sebuah revolisi adminstrasi pemerintahan khususnya untuk memilih pemimpin formal di daerah. UUD 1945 telah mmenambah satu ayat dalam Pasal 18 UUD 1945 yang kemudian dituangkan� dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 sebagai akomodasi dari revolusi dimaksud.� Untuk mengatur mengenai pmerintah daerah dimana Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terdiri dari daerah provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintah daerah yang mengatur dan mengurus sendiri pemerintahannya dengan asas otonomi.Dalam pemerintah daerah itu terdapat Kepala Daerah dan Dewan Perwaiklan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai pimpinan pemerintah daerah. Serta juga diatur mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dan diakui dan dihormatinya satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus,. Karena itu, UUD tidak mengharuskan dipilih secara langsung, karena itu kemudian menjadi kewenangan pembuiat Undang-Undang ialah DPR dan Presiden untuk memutuskan atau membuatnya. Yang penting adalah Bupati, walikota, dan Gubernur dipilih secara demokratis. Nah peraturan perundang-undangan yang palin terakhir itu suasana kebatinan DPR waktu saya masih disanapun, memang tidak berkehendak untuk mengubah pemilihan secara langsung itu ( Gubernur, Bupati, dan Walikota), tetap diselenggarakan secara langsung, karena sudah mulai. Tapi kedepan manakala dipandang perlu, bahwa tidak perlu pemilihan langsung, tapi asal tetap melaksanakan pemilihan yang demokratis, ya tidak apa-apa. Jadi kedepan terbuka lebar peluang untuk kemungkinan merevisi sistem pemilihan langsung menjadi tidak langsung ketika memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota.� Tidak langsungnya seperti apa?. (1). Misalnya ada formula apakah kemudian kembali dipilih oleh DPRD. (2). Apakah dipilih merupakan design formula dua pihak ialah dipilih oleh DPRD disahkan oleh Presiden atau kemudian dipilih beberapa oleh Presiden untuk menjadi Gubernur, ya yang kemudian nanti bisa calon-calon itu dipilih oleh DPRD. Formula-formula semacam ini masih terbuka lebar untuk dibicarakan.

 

BIBLIOGRAFI

Amirudin, & Bisri, A. Z. (2006). Pilkada Langsung: Problem dan Prospek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hambali, M. A. (2014). Pemilukada Pasca Reformasi Di Indonesia. RECHSTAAT Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNSA, 8(1).

Haryanti, D. (2014). Tinjauan Singkat Konstitusi Tertulis yang Pernah Berlaku di Indonesia. Jurnal Selat, 2(1), 212�225.

Hasim, H. (2017). Gagasan Muatan Materi dalam Perubahan UUD 1945. Al-�Adl, 10(2), 83�97.

HIDAYATULLOH, B. A. (2014). POLITIK HUKUM SISTEM PEMILU DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI (STUDI SISTEM PEMILU LEGISLATIF DAN PRESIDEN TAHUN 2009 DAN 2014). UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA.

Hoesein, Z. A. (n.d.). Hasil wawancara dengan , Ketua Program Studi Ilmu Hukum Strata Dua (S2) dan Strata Tiga (S3) Fakultas Hukum Universitas Islam As-Syafi�iyah (UIA).

Jimly Asshiddiqie, S. H. (2021). Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia. Sinar Grafika.

Maranjaya, A. K. (n.d.). Pengisian Jabatan Kepala Daerah Secara Demokratis Dalam Mewujudkan Demokrasi Pancasila Pasca Perubahan Undang Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945. Pascasarjana Universitas Krisnadwipayana.

Marfianieni, M. (2021). Materi Diktat PKN. STIE YAI.

Nasution, M. A. (2022). ANALISIS YURIDIS TENTANG PENGAWASAN HAKIM OLEH KOMISI YUDISIAL DALAM PRESPEKTIF UNDANG UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006). Fakultas Hukum, Universitas Islam Sumatera Utara.

Noor, F. (2002). Quo Vadis Demokrasiu Kita, Sebuah Respon Terhadap Konsulidasi Demokrasi Indonesia. Jakarta: Wahana Semesta Intermedia.

Novriama, Y., & Subiyanto, A. E. (2020). PRESIDENTIAL TRESHOLD DALAM PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945. JCA of Law, 1(2).

Nurhasim, M. (n.d.). Konflik Dalam Pilkada Langsung Studi Tentang Penyebab Dan Dampak Konflik. Jurnal Penelitian Politik.

Pratiwi, W. (2021). Analisis Yuridis Ketetapan Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia Dalam Pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945. UIN SMH BANTEN.

Rachmadi Usman, S. H. (2022). Hukum persaingan usaha di Indonesia. Sinar Grafika.

Siradjuddin, A., & Cici, F. (2021). PROSES PERUBAHAN MENDASAR KONSTITUSI INDONESIA PRA DAN PASCA AMANDEMEN. Siyasah Jurnal Hukum Tatanegara, 1(1), 45�60.

Surya, G., Johni, S., & Putra, A. (2014). Membangun Politik Hukum Pemilu Yang Demokratis Dengan Membumikan Konsep Negara Hukum Pancasila.

TAMPUBOLON, E. (2022). TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEDUDUKAN PEMERINTAH DESA DALAM PENGGUNAAN DANA DESA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA.

Triono. (2017). Menakar Efektivitas Pemilu Serentak 2019. Jurnal Wacana Politik, 2(2).


This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License