IMPLIKASI PEMILIHAN
KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG Abdul Kahar Maranjaya Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta |
|
Diterima: 6Maret 2022 Direvisi: 14 Maret 2022 Disetujui: 15 Maret 2022 |
Abstrak Pemilihan umum yang dilaksanakan di Indonesia di era
pemilihan langsung pasca perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), terbukti telah menimbulkan berbagai
implikasi yang tidak saja karena biaya yang terlalu besar tetapi juga telah
merusak sendi-sendi demokrasi itu sendiri yang sejatinya menjadai landasan dalam
pelaksanaan pemilihan umum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
implikasi pemilihan kepala daerah secara langsung. Penelitian ini merupakan
sebuah penelitian normatif yuridis. Sumber data yang digunakan merupakan
sumber data sekunder. Pengempulan datanya melalui dokumen-dokumen yang dapat
dijadikan sumber data seperti undang-undang, jurnal, buku dan lain
sebagainya. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis isi dari berbagai
dokumen terkaitfenomena yang sedang diteliti. Kata kunci: Pemilihan Umum, Kepala Daerah, Secara Langsung Abstract The general election
held in Indonesia in the era of direct elections after the amendment to the
1945 Constitution of the Republic of Indonesia (UUD 1945), has proven to have
various implications not only because the costs are too large but also have
damaged the foundations of democracy itself which is actually true. form the
basis of the general election. This study aims to determine the implications
of direct regional head elections. This research is a juridical normative
research. The data source used is a secondary data source. The data is
collected through documents that can be used as data sources such as laws,
journals, books and so on. The analytical technique used is content analysis
of various documents related to the phenomenon being studied. Keywords:
General Election, Regional Head, Directly |
Pemilihan
umum yang dilaksanakan di Indonesia di era pemilihan langsung pasca perubahan
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), terbukti
telah menimbulkan berbagai implikasi yang tidak saja karena biaya yang terlalu
besar tetapi juga telah merusak sendi-sendi demokrasi itu sendiri yang
sejatinya menjadai landasan dalam pelaksanaan pemilihan umum (Nasution,
2022).
Adalah� Hamilton, 1931 menyatakan bahwa
setiap negara modern dewasa ini senantiasa memerlukan suatu sistem pengaturan
yang dijabarkan dalam suatu konstitusi. Oleh karena itu konstitusionalisme
mengacu kepada pengertian sistem institusionalisasi secara efektif dan teratur
terhadap suatu pelaksanaan pemerintahan (Marfianieni,
2021).
Dengan lain perkataan untuk menciptakan suatu tertib pemerintahan diperlukan
perlakuan sedemikian rupa, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses
pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan (Rachmadi
Usman, 2022).
Gagasan ini muncul karena adanya kebutuhan untuk merespon perkembangan peran
relative kekuasaan umum dalam suatu kehidupan umat manusia (Jimly
Asshiddiqie, 2021). Dalam
kosakata bahasa Indonesia, istilah konstitusi mempunyai dua makna yaitu segala
ketentuan dan aturan tenang ketatanegaraan dan UUD suatu negara. UUD menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti Undang-Undang yang dasar semua
undangundang dan peraturan lain suatu negara yang mengatur bentuk, sistem
pemerintahan, pembagian kekuasaan, wewenang badan pemerintahan (Tampubolon,
2022).
Konstitusi
sebagai kaidah yang tertuang dalam suatu dokumen khusus dikenal dengan sebutan
Undang-Undang Dasar (Siradjuddin
& Cici, 2021). Sekedar
catatan perlu juga diutarakan bahwa ada yang memandang UUD itu bukan kaidah
hukum melainkan kumpulan pernyataan (manifesto), pernyataan tentang keyakinan,
pernyataan cita-cita (Hasim,
2017).
�Konstitusi dianggap sebagai sebuah hukum
atau aturan dasar suatu negara, dalam bentuk tertulis atau tidak tertulis yang
membentuk karakteristik dan konsep-konsep pemerintahannya, berisi
prinsip-prinsip asasi yang dipatuhi sebagai dasar kehidupan kenegaraan,
pengendalian pemerintah, pengaturan, pembagian dan pembatasan fungsi-fungsi
yang berbeda dari departemen-departemen serta penjabaran secara luas
urusan-urusan yang berkaitan� engan
pengujian kekuasaan kedaulatan (Pratiwi,
2021).
Jika disederhanakan, konstitusi adalah sebuah piagam pelimpahan wewenang dari
rakyat kepada pemerintah (Haryanti,
2014).
Konstitusi mempunyai fungsi dan kedudukan yang sangat fundamental dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara dalam konteks ini, Komisi Konstitusi tentang
perubahan Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945 menyimpulkan bahwa kedudukan
dan fungsi konstitusi adalah sebagai berikut : (a) Konstitusi berfungsi sebagai
dokumen nasional yang mengandung perjanjian luhur, berisi
kesepakatan-kesepakatan tentang politik, hukum, pendidikan, kebudayaan,
ekonomi, kesejahteraan, dan aspek fundamental yang menjadi tujuan negara; (b)
Konstitusi sebagai piagam kelahiran negara baru. Hal ini juga membutuhkan
adanya pengakuan masyarakat internasional, termasuk untuk menjadi anggota PBB,
karena itu sikap kepatuhan suatu negara terhadap hukum internasional ditandai
dengan adanya ratifikasi terhadap perjanjian-perjanjian internasional. (c)
Konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi. Konstitusi mengatur maksud dan
tujuan terbentuknya suatu negara dengan sistem administrasinya melalui adanya
kepastian hukum yang tekandung dalam pasal-pasalnya, unifikasi hukum nasional, social
control, memberikan legitimasi atas berdirinya lembaga-lembaga negara termasuk
pengaturan tentang pembagian dan pemisahan kekuasaan antara organ legislatif,
eksekutif, yudisial. (d) Konstitusi sebagai identitas nasional dan lambang
persatuan, konstitusi menjadi suatu sarana untuk memperlihatkan berbagai nilai
dan norma suatu bangsa dan negarra, misalnya simbol demokrasi, keadilan,
kemerdekaan, negara hukum yang menjadikan sandaran untuk mencapai kemajuan dan
keberhasilan tujuan negara. (e) Konstitusi sebagai alat untuk membatasi suatu
kekuasaan, konstitusi dapat berfungsi untuk membatasi kekuasaan, mengendalkan
perkembangan dan situasi politik yang selalu berubah, serta berupaya untuk
menghindarkan adanya penyalahgunaan kekuasaan. (f) Konstitusi sebagai pelindung
HAM dan kebebasan warga negara. Konstitusi emberikan perlindungan terhadap
hak-hak asasi manusia dan hak-hak kebebasan warga negara. Hal ini merupakan
pengejahwantahan suatu negara hukum.
Penelitian
ini merupakan sebuah penelitian normatif yuridis. Sumber data yang digunakan
merupakan sumber data sekunder. Pengempulan datanya melalui dokumen-dokumen
yang dapat dijadikan sumber data seperti undang-undang, jurnal, buku dan lain
sebagainya. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis isi dari berbagai
dokumen terkait fenomena yang sedang diteliti.
Hakekat
pemilihan umum adalah suatu proses dimana rakyat mentransfer kedaulatan kepada
wakil-wakilnya (Hambali,
2014).
Ada dua aspek dalam pemilihan umum yaitu, penggunaan kedaulatan rakyat secara
langsung yang kedua adalah memilih wakilnya dan sekaligus mentransfer
pelaksanaan kedaulatan itu melalui perwakilan. Pasal 22E Ayat(2) yang berbunyi�
Pemilihan umun diselenggarakan untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat,
Dewan perwakilan daerah, Presiden dan wakil presiden, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah adalah wujud dari demokrasi perwakilan tersebut�. Disitulah dipencarkan
keinginan atau kedaulatan rakyat itu dalam lembaga-lembaga perwakilan. Lembaga
perwakilan tersebut akan melaksanakan bagian kedaulatan rakyat yang telah
menjadi porsinya (Hambali,
2014).
Sesuai dengan UndangUndang Dasar terdapat tiga tiang lembaga perwakilan
diindonesia yaitu : Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah
(DPD), dan presiden. Ketiganya merupakan bentuk lembaga yang berasal dari
aspirasi rakyat, meskipun tidak terdapat kata �perwakilan� daam menyebut nama
lembaga presiden, karena merupakan juga cerminan dari wakil rakyat. Oleh sebab
itu ketiga lembaga tersebut mempunyai posisi yang sama-sama mendapatkan mandat
ataupun kepercayaan secara langsungdari rakyat. Dan kemudian ketiganya
diberikan mandat oleh rakyat untuk menjalankan fungsinya sesuai dengan porsinya
masing-masing yaitu, fungsi pembuat UndangUndang diberikan kepada DPR dan
Presiden, fungsi �konstituante� pembuat UUD 1945 diberikan kepada DPD dan DPR
dan mereka masuk dalam satu forum yang sama yaitu MPR. Disadari atau tidak
sebenarnya pemilihan umum (pemilu) rakyat memangsudah dibatasi dengan pilihannya
(Novriama
& Subiyanto, 2020). Pada
umumnya mereka memilih antara calon-calon yang tidak diajukan mereka sendiri,
organisasi partai politik menguasai bagian yang terbesar dari seleksi
caloncalon tersebut, partai politik hanya memberikan kepada rakyat pemutusan
antara caloncalon partai politik lainnya, kandidat yang meraka sangat dipersukar
dan sekurangkurangnya ia membaurkan persoalan, bahkan utuk seleklsi calon-calon
yang dilakukan oleh partai politik yang pada umumnya jauh dari proses
demokrasi. Pertimbangan seperti jasa yang telah diberikan dalam hal keuangan,
gengsi yang melekat pada golongan-golongan keluarga, kesediaan calon untuk
mentaati perintah-perintah partai politik sangat mempengaruhi dalam hal seleksi
calon-calon yang dilakukan tersebut.
Pemilukada
langsung merupakan perwujudan konstitusi dan Undang-Undang Dasar 1945 seperti telah
diamanatkan pada pasal 18 Ayat (A) UUD 1945, Gubernur, Bupati dan Walikota,
masing-masing sebagia kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara
demokratis. Hal ini telah diatur dalan Undang-Undang No. 32 tahun 2005 tentang
pemilihan, pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah dan wakil
kepala daerah. Salah satu pertanyan yang sulit dijawab oleh masyarakat
kebanyakan dan menjadi pradoks bagi demokrasi di Indonesia dalah siapa wakil
wakyat yang mewakili daerahnya saat ini, sehingga memunculkan quovadis yang
memunculkan adanya jarak antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya saat
pemilihan umum (Pemulu) (Noor,
2002).
Salah satu sayarat pokok demokrasi adalah adanya sistem pemilihan umum
yang jujur dan adil (free and fair elections).
Bagi negara demokrasi modern pemilihan umum merupakan mekanisme utama yang
harus ada dalam tahapan penyelenggaraan negara dan pembentukan pemerintahan,
Pemilu dipandang sebagai bentuk nyata dari kedaulatan rakyat serta wujud paling
konkrit partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan negara
Menurut
Heywood, terdapat dua pandangan berbeda tentang fungsi pemilu, yaitu pandangan
konvensional yang menyatakan bahwa pemilu merupakan sebuah mekanisme dimana
para politisi dapat dituntut untuk memperhitungkan dan dipaksa untuk
menjalankan kebijakan-kebijakan yang mencerminkan opini publik. Pendekatan
seperti ini menenkankan bottom-up dari pemilu yaitu rekrutmen politik,
perwakilan, pembentukan pemerintahan, pemberian pengaruh pada kebijakan dan
sebagainya, �namun setiap kali pemilu
dilaksanakan selalu saja muncul isu tentang lemahnya penegakan hukum pemilu.
Isu ini berangkat dari kenyataan betapa banyak pelanggaran administrasi dan
tindak pidana pemilu yang tidak ditangani sampai tuntas. Selain itu, peraturan
perundangan-undangan yang ada juga belum mengatur tentang keberatan atas
keputusan penyelenggara pemilu. Memang Mahkamah Konstitusi punya kewenangan
untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu (yang ditetapkan penyelenggara
pemilu, dalam hal ini KPU), tetapi bagaimana dengan keberatan atas masalah lain
(di luar hasil pemilu) yang juga diputuskan oleh penyelenggara pemilu?
Banyaknya kasus pelanggaran administrasi pemilu dan tindak pidana pemilu, serta
banyaknya kasus keberatan atas keputusan penyelenggara pemilu; di satu sisi,
mendorong munculnya protes-protes yang bisa berujung kekerasan, di sisi lain,
juga mengurangi legitimasi hasil pemilu.
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD telah
ditetapkan sebagai aturan main pelaksanaan Pemilu. Di dalam Undang-Undang ini,
ketentuan yang mengatur tentang penyelesaian sengketa dan pelanggaran Pemilu
ditangani oleh 3 (tiga) lembaga Peradilan yaitu Pengadilan umum, Pengadilan
Tata Usaha Negara dan Mahkamah Konstitusi. Selain ketiga lembaga peradilan yang
disebut di atas, maka sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011
tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum memberikan kewenangan
kepada pengawas pemilu untuk menangani sengketa dalam penyelenggaraan
Pemilu. tapi fakta menunjukkan hampir tidak ada kasus sengketa dalam
penyelenggaraan pemilu yang menjadi tugas pengawas pemilu untuk
menyelesaikannya.
Penegakan
Pelanggaran Pemilu/Pemilukada tidaklah lepas dari sistem hukum Pemilu yang
diputuskan oleh pembuat undang-undang secara keseluruhan. Friedman, menyatakan
bahwa sistem hukum terdiri dari substansi hukum (legal substance),
struktur hukum (legal structure) dan budaya hukum (legal cultur).
Sinergistas bekerjanya ketiga komponen hukum tersebutj, diharapkan membuat
proses Pemilu/Pemilukada semakin baik, agar tidak ada lagi �pembiaran� proses
pelanggaran yang terjadi dalam Pemilu/Pemilukada yang menciderai asas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Sehubungan dengan itu maka sistem
penegakan hukum dalam undang-undang harus lebih responsive memberi ruang
penyelesaian yang memadai baik itu administrasi maupun pidana, berupa
pengintegrasian sistem peradilan pidana, sistem peradilan administrasi Negara
serta peradilan terhadap sengketa Pemilu/Pemilukada oleh Mahkamah Konstitusi.
Dalam
perkembangannya, undang-undang yang telah lahir untuk menghundle pelaksanaan
pemilu, mengalami gejolak politik akibat beberapa pihak merasa tidak puas
terhadap klausula di beberapa pasal terkait undang-undang tersebut. Pemilu di
Indonesia diatur dengan undang undang pemilu yang selalu berubah-ubah karena
kebutuhan perbaikan kualitas, karena pengaruh konfigurasi politik dan karena
perubahan demografi-kependudukan dan peta pemerintahan (Hidayatulloh,
2014).
Hasil pemilu merupakan manifestasi suara rakyat sebagai jaminan hasil pemilu
harus dipastikan didapatkan dengan cara benar sesuai dengan prinsip one man one
value. Salah satu persoalan mendasar dalam membangun hukum nasional yang
demokratis adalah bagaimana membuat sistem hukum yang kondusif bagi keberagaman
sub-sistem, keberagaman substansi, pengembangan bidangbidang hukum yang
dibutuhkan masyarakat, juga kondusif bagi terciptanya kesadaran hukum masyarakat
dan kebebasan untuk melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban sesuai dengan
aturan yang berlaku, untuk mewujudkan hak tersebut adalah dengan membentuk
peraturan perundang-undnagan yang disusun melalui instrument perencanan
penyusunan UndangUndang yang dikenal dengan program legislasi nasional
(prolegnas). Yang pelaksana dari pihak pemerintahnya dilakukan oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Secara singkat prolegnas dibuat untuk menjamin
ketepatan isi dan ketepatan prosedur yang didasarkan pada falsafah dan
Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945, ditetapkan Prolegnas jangka
menengah 2005-2009 melalui keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal
1 Februari 2005 sebanyak 284 RUU sampai dengan 2008, telah ada 120 RUU yang
disahkan menjad UU dari daftar tersebut, salah satu indikator kualitas UU
adalah maraknya upaya pengujian melalui MK. Menurut data Mahkamah
KonstitusiRepublik Indonesia, dari tahun 2003 hingga 27 agustus 2008 telah ada
150 putusan terhadap 73 UU yang dikonstitusional review, dan 40 putusan
diantaranya mengambulkan permohonan tersebut. Putusan MK sangat berpengaruh
pada Prolegnas, oleh karena itu pada Prolegnas tahun 2008 telah diprioritaskan
tujuan RUU akibat putusan Mahkamah Konstitusi, diantaranya adalah RUU tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasan kehakiman, RUU
tentang Penggantian atas UU No.27 Tahun 2004 tentang Komisi kebenaran dan
Rekonsiliasi, RU tentang Perubahan atas UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi dan RUU tentang Pengadilan Tipikor (Surya,
Johni, & Putra, 2014).
Dari
hasil kajian yang dilakukan Moch Nurhasim setidak tidaknya mencatat beberapa
dampak negatif dari penyelenggaraan pilkada langsung yang berujung pada konflik
dalam beragam bentuk Pertama adanya intervensi lembaga lembaga penyelenggara
dan institusi lainnya seperti MA dan pemerintah pusat dalam menentukan hasil
pilihan masyarakat dari kasus yang dikaji persoalan hasil akhir penghitungan
tidak dipercayai sebagai hasil yang akurat Padahal perbedaan tipis bukanlah
alasan untuk mementahkan hasil pemilu di mana pemenangnya ditentukan oleh
rakyat yang meiniliki kedaulatan Kedua intervensi dan penyelesaian hasil
pilkada langsung justu menciptakan bentuk bentuk ketidakpastian suatu pemilihan
Hal ini menunjukkan ketidaksiapan para calon untuk mematuhi rule of the game
Budaya tidak siap kalah menjadi salah satu efek negatifdan dampak dari
penyelenggaraan pilkada yang memang sejak awal telah menyimpan sejumlah embrio
untuk dipertentangkan Elite yang tidak siap kalah menggunakan massa sebagai
instrumen untuk memengaruhi perubahan hasil pilihan rakyat. Hal ini tentu
merupakan efek negatif dari penyelenggaran pilkada secara langsung. Distorsi
dalam pilkada seakan akan terjadi dari tahapan demi tahapan yang penuh ketidakpastian
Ketiga pilkada menampakkan wajah democrazy suatu lelucon demokrasi lokal Kenapa
disebut lelucon karena mirip dengan dagelan dan acap kali hasil pilihan rakyat
dipelintir oleh kepentingan penyelenggara pemilu dan atau institusi yang lebih
tinggi. Sikap massa yang pokoknya menjadi salah satu hambatan bagi demokrasi
local. Demokrasi sebetulnya bertujuan mengembangkan dialog yang intinya tidak
mengharapkan cara cara yang anarkis Selain itu demokrasi juga harus diletakkan
pada adanya kepercayaan semua pihak atas aturan main yang telah ditentukan (Nurhasim,
n.d.).
Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yang mengabulkan sebagian
permohonan uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan Effendi Gazali
dkk aturan pemilu serentak ini muncul, keluarnya putusan MK ini merupakan salah
satu terobosan hukum baru. Dimana dalam amar putusannya MK menyatakan: Pasal 3
Ayat (5), Pasal 12 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 14 Ayat (2), dan Pasal 112
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
(inkonstitusional). Dari rangkaian ketentuan yang dinyatakan kehilangan
validitas konstitusional tersebut, MK menegaskan, pemilihan umum presiden dan
wakil presiden harus dilaksanakan serentak dengan pemilihan umum anggota DPR,
DPD, dan DPRD. Dengan putusan ini, ketentuan bahwa Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden (Pemilu Presiden) dilaksanakan setelahPemilihan Umum anggota
DPR, DPD, dan DPRD (Pemilu Legislatif) adalah inkonstitusional, dalam diktum
kedua dari amar putusan Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa putusan pemilu
serentak akan diterapkan pada pemilu 2019. Putusan MK merupakan putusan final,
bagian yang menarik dari amar putusan MK tersebut adalah pelaksanaannya baru bisa
dilaksanakan pada pemilu 2019 mengingat pelaksanaan persiapan pemilu 2014 waktu
itu sudah mulai berjalan. Apabila pemilu serentak 2019 dapat dilaksanakan maka
akan menjadi sejarah Indonesia untuk pertama kalinya pemilu dilaksanakan secara
bersamaan.Rancangan UU Pemilu 2019 telah disahkan oleh DPR dan Pemerintah,
banyak kalangan yang merasa kurang puas dengan isi undang-undang tersebut
kemudian mengajukan uji materi ke MK. Sedikitnya ada lima isu-isu krusial dalam
UU Pemilu yang menjadi perdebatan elit politik pada saat paripurna di DPR
yaitu: ambang batas presidential (presidential threshold), ambang batas
parlemen (parliamentary threshold), alokasi kursi anggota DPR per daerah
pemilihan (dapil), metode konversi suara pemilu legislatif, dan sistem pemilu (Triono,
2017).
Pilihan
terhadap sistem pemilihan langsung merupakan koreksi atas Pilkada terdahulu
yang menggunakan sistem perwakilan oleh DPRD, sebagaimana tertuang dalam UU No.
22/1999 tentang Pemerintahan daerah dan PP No. 151/2000 tentang Tata Cara
Pemilihan, Pengesahan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Digunakannya sistem pemilihan langsung menunjukkan perkembangan penataan format
demokrasi daerah yang berkembang dalam kerangka liberalisasi politik.
Berdasarkan ketentuan pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 2005 tentang pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, (PP Pilkada). Pemilihan
Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat
di wilayah provinsi dan / atau kabupaten atau kota berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk memilih Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Berdasarkan ketentuan pasal 1 ayat (2) PP
Pilkada �Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah adalah Gubernur dan Wakil
gubernur untuk provinsi, Bupati atau Wakil Bupati unutk kabupaten serta
Walikota dan Wakil Walikota untuk kota. Jadi Pilkada langsung merupakan
rekruitmen politik, yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang
mencalonkan diri sebagai kepala daerah, baik gubernur dan wakil gubernur,
bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota.
Konflik�
dan Quo Vadis Pemilihan Kepala Daerah.
Konflik
unsur penting bagi integrasi sosial, selama ini konflik selalu dipandang
sebagai faktor negatif yang memecah belah, tetapi konflik sosial dalam beberapa
cara memberikan sumbangan pada keutamaan kelompok serta mempererat hubungan
interpersonal. Dalam posisinya sebagai anggota suatu kelompok, orang akan cenderung
memilah-milah diri meraka ke dalam dua kategori: �kita� (ingroup) dan �mereka�
(outgroup). Ingroup adalah mereka yang menjadi anggota lembaga, dan outgroup
adalah mereka yang berada diluar ingroup. Konflik antar lembaga muncul ketika
ada perbedaan paham antara ingroup dan outgroup. Kalau kita amati dinamika
suatu lembaga, bisa menemukan adanya dalam tiga tipe konflik. Pada dasarnya
politik selalu mengandung konflik dan persaingan kepentingan. Suatu konflik
biasanya berawal dari kontroversi-kontroversi yang muncul dalam berbagai
peristiwa politik, dimana kontroversi tersebut diawali dengan hal-hal yang
abstrak dan umum, kemudian bergerak dan berproses menjadi suatu konflik. Salah
satu contoh potensi konflik pada Pemilihan Daerah cermin mulai dari pendaftaran
dan penetapan calon kepala daerah/wakil kepala daerah, sebagaimana pasal l 59
ayat 2 UU No.32 Tahun 2004 mensyaratkan bahwa partai politik atau gabungan
partai politik sebagaimana yang dimaksud boleh mendaftarkan calon apabila
memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi DPRD atau 15%
dari akumulasi perolehan suara dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang
bersangkutan. Persyaratan tersebut seringkali menimbulkan masalah. Masalahnya
yaitu dengan ketentuan semacam ini, di daerah-daerah di mana tidak ada satu pun
atau gabungan partai politik yang bisa mencalonkan diri sebagai pasangan calon,
maka akan ada hanya satu calon. Sebagai contoh, di beberapa daerah di Bali,
perolehan PDI-P sekitar 80 persen suara, sehingga di daerah-daerah ini sulit
mendapatkan dua calon. Problemnya, UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 6 Tahun
2005 tidak mengatur tentang pemilihan dengan satu pasangan calon. Kelemahan
aturan main inilah yang menjadi sumber awal masalah. Akibat hanya satu pasangan
calon yang mendaftar, KPUD tidak melanjutkan tahapan pilkada karena khawatir
akan �bertabrakan‟ dengan aturan hukum yang berlaku. KPUD hanya dapat
merujuk pada PP Nomor 17 tahun 2005. Pada pasal 149 ayat (1) disebutkan �Dalam
hal di suatu daerah pemilihan terjadi bencana alam, kerusuhan, gangguan
keamanan, dan/atau gangguan lainnya di seluruh atau sebagian wilayah pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang berakibat pemilihan tidak dapat
dilaksanakan sesuai dengan jadwal, pemilihan ditunda.� Alasan hanya satu
pasangan calon yang mendaftar itu kemudian disetarakan dengan gangguan lainnya,
sehingga akhirnya KPUD melakukan penundaan pilkada.
Arif
Budiman menyatakan ada beberapa sumber konflik dalam Pilkada serentak tahun
2018 meliputi; pertama suhu tahun politik bahwa Pilkada serentak 2018
berdekatan dengan Pemilu 2019 menjadi salah satunya; kedua, populasi
penduduk yang ikut dalam Pilkada serentak tahun ini sangat besar. Sebab, ada
171 satu daerah yang akan mengelar Pilkada serentak 2018. ika pemilih Pilkada
2018 tercatat 158 juta maka hampir 80 persen pemilih Pemilu 2019 diperebutkan suaranya dalam Pilkada
setelahnya; ketiga jarak Pilkada serentak 2018 yang berdekatan dengan Pemilu
2019. Jarak dua pesta politik ini hanya 10 bulan; keempat berkenaan dengan
kuantitas anggaran dimana jumlah anggaran Pilkada 2018 sangat besar jika
dibandingkan Pilkada 2015 maupun Pilkada 2017, Pilkada
serentak 2018 membutuhkan anggaran mencapai Rp11,9 triliun. Pada dua Pilkada
sebelumnya, anggaran Pilkada masing-masing sebesar Rp6,4 triliun (2015) dan
Rp4,3 triliun (2017), anggaran ini tidak hanya untuk KPU dan Bawaslu saja,
melainkan juga untuk biaya keamanan. Perputaran anggaran yang besar ini juga
bisa mendorong konflik kepentingan. Sodik dalam penelitiannya menyatakan bahwa� setidaknya ada 5 (lima)
sumber konflik potensial, baik menjelang, saat penyelenggaraan, maupun
pengumuman hasil Pemilukada. Pertama, konflik yang bersumber dari mobilisasi
politik atas nama etnik, agama, daerah, dan darah. Kedua, konflik yang
bersumber dari kampanye negatif antar pasangan calon kepala daerah. Ketiga,
konflik yang bersumberdari premanisme politik dan pemaksaan kehendak. Keempat,
konflik yang bersumber dari manipulasi dan kecurangan penghitungan suara hasil
Pemilukada. Kelima, konflik yang bersumberdari perbedaan
penafsiran terhadap aturan main penyelenggaraan Pemilukada.
Kenyataan yang tak terhindarkan dalam
pemilihan kepala daerah secara langsung adalah muncul kapitalisasi dalam
tahapan pemilihan kepala daerah.Dengan munculnya kapitalisasi ini maka
pemilihan kepala daerah secara langsung jauh lebih mahal dibandingkan dengan
model pemilihan kepala daerah lewat perwakilan DPRD (Amirudin & Bisri, 2006). Ulasan mengenai pemilihan kepala daerah, baik secara
langsung atau secara perwakilan melalui DPRD sebagaimana diuraikan di atas
sesungguhnya menunjukkan bahwa pilihan akan bentuk pemilihan kepala daerah
belumlah tuntas. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang merupakan landasan
konstitusional pemilihan kepala daerah hanya menggariskan bahwa kepala daerah
dipilih secara demokratis, namun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,
menterjemahkan kalimat �dipilih secara demokratis� sebagaimana dinyatakan Pasal
18 ayat (4) sebagai pemilihan langsung, dari berbagai
aspek beberapa masalah dalam pelaskanana pilkada langsung :
1.������ Biaya
yang dibutuhkan sangat besar baik yang di keluarkan pemerintah mapun calon
(individu calon), sisi pengeluaran pemerintah dibanyak sub pengeluaran mulai
dari oprasional, logistik� hingga hal-hal
sosialisasi serta keamanan baik pra pemilihan mapun paca pemilihan, dengan
demikian besarnya biaya yang di keluarga bagi kepentingan pilkada langsung
secara sesugghnya merupakan biaya yang bersumber dari rakyat, biaya yang di
pikul pemerintah� (dari uang rakyat) akan
lebih besar lagi manakala� penyelenggraan
dilakukan lebih dari satu putaran.
2.������ Sarat
kepentingan, pemilihan kepala daerah dengan pelibatan partai lain (koalisi)
baik dua partai maupun lebih menjadi keniscayaan, mengingat aturan-aturan yang
telah di tetapkan mengharuskan adanya elektrolal, dengan biaya yang tinggi
sebagai beban sebagaimana point diatas, tentunya membutuhkan kemampuan capital
yang tinggi, sehingga keterlibatan baik individu dalam satu partai lain dan
atau banyak individu dalam partai kualisi memunculkan beragam kepentingan yang
bersandar kelak pada calon, dengan demikian kepentingan untuk menjaga keinginan
dari pemilik capital menjadi kenisyaan.
3.������ Kualitas Kepemimpin, pemilihan era
liberalisasi politik, memunculkan kepemimpinan didasarkan hasrat kekuatan
ekonomi dan capital, dengan kata lain, biaya yang tinggi atau ongkos
operasional mulai dari pra pencalonan (permintaan dukungan dari parpol) serat
di warnai isu uang mahar, memasuki pasnca pencalonan dnegan sosialisasi
tentunya calon pimpinan kepala daerah harus memiliki kemampuan dan kematangan
secara prima (kemampuan stamina dan ekonomi), yang pada akhirn mendahulukan
figure yang memiliki kesiapan tersebut, daripada figur yang memiliki kompetensi
dan visi yang jelas.
4.������ Terbukanya konflik antar calon� dan masa, konflik tidak hanya sebatas konflik
yang didasakan atas isu-isu social bahkan potensi konflik juga telah
memanfaatkan saran sebagaimana contoh kahalnya calon incanben gubernur DKI
Jakarta sebagai akibat isu sara yang berpotensi terhadap konflik yang lebih
besar.
5.������ Banyaknya
calon kepala daerah yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
memunculkan sorotan tajam atas pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara
langsung.Amatlah mudah menebak klausul yang mendasari KPK melakukan penangkapan
terhadap sejumlah calon kepala daerah yang sedang bertarung untuk menghadapi
pilkada, 27 Juni 2018. Sejumlah calon kepala daerah itu ditangkap atas dugaan
kasus korupsi.
��������� Bila merefleksikan berbagai undang-undang dan peaturan
sebagaimana Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi
Undang-Undang, dari sisi aturan tampaknya memang tidak ada masalah disisi
lainnya bila melihat implikasi�
temuan� empirs adanya� kepentingan atas pendompelengan pemilik modal
dan capital untuk mendukung salah satu dari bakal calon bagi mulusnya
kepentingan binis pemilik modal dan capital dikemudaian hari, sehingga hal ini
menghidupkan teori simbiois mutualisme, adanya saling membutuhkan atau bahkan
ketergantungan satu sama lainnya, bakal calon membutuhkan modal bagi hasrat dan
sahwat kepemimpinan, disisi lainnya pemilik modal dan capital merasakan adanya
keamanan dan keberlangusngan atau bahkan kemudahan dari fasilitas yang di
janjikan oleh bakal calon, warana inilah yang memunculkan politik trassaksional
baik antara bakal calon dengan pemilik modal dan capital dan bahkan antara
bakal calon dengan partai pengusung.
�� Kondisi ini yang dinilai berbagai kalangan
sebagai penyimpangan dan penyelewengan maksud pilkada secara langsung. Pada
kasus-kasus kepala daerah yang ditangkap KPK, kemudian diadili di Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi secara gamblang terurai adanya transaksi bisnis dan
politik yang saling bertautan dalam hubungan simbiosis mutualisme, logika dasar
dari berbagai aspek yang ditimbulkan pemilihan pimpinan daerah melalui sistem
langsung memunculkan wacana baru, yakni mengembalikan pemilihan kepala daerah
melalui DPRD, sebagaimana telah di lakukan, wancana ini tentunya memunculkan
diskursus pro dan konra, dari wancana ini pada akhirnya mengiring adanya
pertemuan antara Ketua DPR-RI dengan Kementerian Dalam Negeri�� pada tanggal 6 April 2018 dimana pertemuan ini
menguatkan� munculnya wacana tersebut
melalui revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Lebih lanjut
dari hasil pertemuan terebut ketua DPR menyatakan bahwa pada prinsipnya KPK
setuju dengan sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD karena banyak
persoalan yang ditimbulkan dari pelaksanaan pilkada langsung. Sisi lain dari keinginan masyarakat berdasarkan hasil
survey yang dilakukan Chentra Politika�
berkenana dengan revisi RUU Pilkada di DPRD dengan hasil:
|
|
Gambar 2.1
Pilihan Rakyat cara Pemilihan Kepala Daerah melalui langsung
atau DPRD (Maranjaya, n.d.)
����������� Dari grafik kedua lembaga survey
kredibel diatas menujukan bahwa sebagian besar rakyat menghendaki pemilihan
Kepala Daerah melalui langsung, hasil studi empiris atas pilihan rakyat yang
menyatakan mereka setuju atas pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD, menyatakan
bahwa belum adanya kepastian unsur korupsi adan trasaksional akan hilang bahkan
akan bergeser dari elit ke elit sehingga rakyat secara nyata tidak dapat
melihat dan meraksakan, dengan demikian dapat di garsi bawahi atas sikap
kebanyakan masyarakat diatas mengidikasikan bahwa belum adanya jaminan dan
formulasi yang pasti apakah dengan pemilihan melalui DPRD masyarakat di
untungkan malah sebaliknya penyimpangan penyimpangan akan terjadi pada pusaran
elit, sedangkan masyaraka atau rakyat hanya kebagian dari output yang
dihasilkan tanpa ada saluran yang di kehendaki mereka melalui sistem� pemungutan suara yang pada prinsipnya ada
keterlibatan masyarakat secara luas. Namun kalangan lainnya khususnya dari
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebaliknya melalui Katib
Aam Syuriah PBNU, KH Malik Madany, dalam Munas Alim Ulama NU pada September
2017 adanya wacana yang mendukung�
kembalinya seluruh Pilkada ke DPRD, hasil munas memberikan rujukan bahwa
banyak kerugian bahkan kerusakan yang ditimbulkan Pilkada langsung., Pilkada
langsung yang diniatkan untuk mendapatkan pemimpin berkualitas, sekaligus
sebagai pendidikan politik dan demokrasi bagi masyarakat, justru memberikan
hasil yang sebaliknya. Karena itulah, berbagai perilaku korupsi, kolusi, dan
nepotisme yang sebenarnya ingin dihapuskan di Era Reformasi justru semakin
sulit dihindari. Apa yang di samapikan MUI sejalan dengan suara yang
disamapikan Kualisi Merah Putih (Grindra, PKS dan� PAN) dengan pernyaan bulat menyatakan bahwa
�Pilkada langsung menguras biaya, selain juga memarakkan politik uang�.
����������� Bila
mereflesikan melalui Pasal 18 ayat (4)
UUD 1945 dengan tegas� bahwa kepala
daerah dipilih secara demokratis, dari konteks ini dapat ditasirkan bahwa
konstitusi secara tegas tidak mengharuskan Gubernur dipilih secara
langsung oleh rakyat, melainkan hanya dipilih secara demokratis, tafsir iti
dari konteks pasar tersebut adalah �dipilih secara demokratis, namun memang
makna �demokratis� bisa berkonotasi dua yaitu pertama, bisa dipilih
secara langsung oleh rakyat dan kedua, bisa dipilih oleh DPRD
sebagai lembaga perwakilan rakyat, bila mengacu pada Pasal 22E UUD 1945 lahir
melalui perubahan ketiga UUD 1945, tetapi tidak memasukkan Pasal 18 ayat (4)
UUD 1945 melainkan hanya ketentuan Pasal 18 ayat (3) yang mengatur mengenai
DPRD, berkenaan dengan hal ini pandangan ahli atau narasumber dalam penelitain
ini menyatakan :�Sebagaimana yang sudah dijelaskan pada jawaban nomor 3, maka dapat
ditegaskan kembali bahwa perumusan dan penetapan Pasal 18 UUD 1945 secara
keseluruhan dilakukan pada perubahan kedua sedangkan perumusan dan penetapan
Pasal 6A ayat (1)� tersebut dilakukan
pada perubahan UUD yang ketiga. Pada perubahan kedua UUD 1945 (tahun 2000),
belum ada kesepakatan MPR tentang tata cara pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden apakah secara langsung atau tidak langsung. Oleh karena itu, untuk
menetapkan Pasal 18 ayat (4) tersebut dipilih frasa �demokratis� yang pelaksanaannya dapat dilakukan secara langsung
atau tidak langsung. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka apabila UU yang
dibentuk berdasarkan perintah Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menetapkan pemilihan
secara demokratis itu dengan mengatur pemilihan kepala daerah secara langsung
oleh rakyat daerah yang bersangkutan atau tidak langsung melalui lembaga
perwakilan daerah yang bersangkutan, maka secara normatif tidak bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak melanggar prinsip �hierarki peraturan
perundang-undangan�.
����������� Mengacu pandangan narasumber
menujukna bahwa ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tersebut tidak menegaskan
keharusan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota harus dipilih melalui suatu
pemilihan yang dilaksanakan secara langsung. Pemilihan kepala daerah secara
langsung sebagai interprestasi atas ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945
agaknya sebagai keputusan (politik) untuk mensinkronkan bentuk pemilihan kepala
daerah dengan bentuk pemilihan presiden dan wakil presiden, yaitu pemilihan
secara langsung. Oleh karena Daerah merupakan bagian tak terpisahkan dari
Negara Republik Indonesia, maka dalam melakukan pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah seharusnya sinkron dengan pemilihan presiden dan wakil
presiden, yaitu melalui pemilihan langsung. Kenyataan yang tak terhindarkan
dalam pemilihan kepala daerah secara langsung adalah muncul kapitalisasi dalam
tahapan pemilihan kepala daerah (Amirudin & Bisri, 2006). Dengan munculnya kapitalisasi ini maka pemilihan kepala
daerah secara langsung jauh lebih mahal dibandingkan dengan model pemilihan
kepala daerah lewat perwakilan DPRD (Amirudin & Bisri, 2006). Dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara
langsung selama ini, nuansa yang paling menonjol adalah maraknya sengketa
pemilihan kepala daerah yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Sidang sengketa
pemilihan kepala daerah telah mendominasi perkara yang ditangani Mahkamah
Konstitusi.� Ulasan mengenai pemilihan
kepala daerah, baik secara langsung atau secara perwakilan melalui DPRD
sebagaimana diuraikan di atas sesungguhnya menunjukkan bahwa pilihan akan
bentuk pemilihan kepala daerah belumlah tuntas. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang
merupakan landasan konstitusional pemilihan kepala daerah hanya menggariskan
bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis, namun Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004, menterjemahkan kalimat �dipilih secara demokratis� sebagaimana
dinyatakan Pasal 18 ayat (4) sebagai pemilihan langsung.
����������� Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 sebagai
dasar konstitusional pelaksanaan pemilihan kepala daerah, sesungguhnya lahir
bersamaan dengan Pasal 18A dan Pasal 18B, yaitu pada perubahan kedua UUD 1945
dan dimasukkan dalam Bab tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya Pasal 22E
lahir melalui perubahan ketiga UUD 1945 tetapi tidak memasukkan Pasal 18 ayat
(4) melainkan hanya ketentuan Pasal 18 ayat (3) yang mengatur mengenai DPRD.
Hal ini, menurut Leo Agustina, setidaknya dapat diartikan bahwa Konstitusi tidak
hendak memasukkan pemilihan kepala daerah dalam pengertian pemilihan umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E ayat (1) yang menyebutkan �pemilihan umum
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima
tahun sekal, kebali pada konteks ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945
sepanjang berkaitan dengan pemilihan kepala daerah tidaklah menekankan pada
�cara� pemilihan dilakukan, yaitu dengan sistem�
langsung atau sistem� perwakilan,
namun yang menjadi penegasan dari ketentuan pasal 18 yat (4) UUD 1945 adalah
�proses�. Berkenana dengan hal ini pandangan narasumber terhadap hal ini dapat
dilihat seabgai berikut:
Frasa �cara� dan frasa �proses� memiliki
perbedaan yang fundamental walaupun keduanya memiliki hubungan dalam mewujudkan
suatu tujuan. Tujuan pemilihan kepala daerah adalah memilih pemimpin yang
memiliki kompetensi baik intelektual, moral dan skill, diterima oleh masyarakat
(legitimate) dan dilakukan menurut
peraturan perundang-undangan. Jadi seorang pemimpin dipilih jika calon harus copetence, legitimate dan legal. Prinsip
pemilihannya harus langsung, umum, bebas dan rahasia serta jujur dan adil.
Menurut saya ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 merupakan asas yang harus
menjadi rujukan dan pedoman bagi cara dan proses pemilihan kepala daerah. Cara
lebih dimaknai pada prinsip-prinsip dan proses adalah tahapan-tahapan
pelaksanaan, sehingga antara cara dan proses pemilihan harus sejalan. Oleh
karena prinsipnya langsung, umum, bebas dan rahasia serta jujur dan adil, maka prinsip
adalah mendudukan daulat rakyat yang memiliki suara untuk menentukan
pilihannya. Dengan demikian pemilihan langsung sebaga salah satu cara memilih
pemimpin dalam hal ini kepala daerah adalah konstitusional. Namun demikian,
tahapan-tahapan pemilihannya pun harus diatur dalam suatu peraturan yang
mengikat secara umum agar prinsip pemilihan yang dipilih dan ditentukan
tersebut tidak tercederai oleh perbuatan-perbuatan yang mengurangi hak daulat
rakyat (Hoesein, n.d.).
�� Mengacu pandangan
narasumber menujukan bahwa meskipun pemilihan secara langsung dipandang memiliki makna
positif dari aspek legitimasi dan kompetensi, prase �dipilih secara demokratis�
sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tidak dapat diterjemahkan
secara tunggal sebagai pemilihan secara langsung. Pemilihan secara tidak
langsung atau perwakilan pun dapat diartikan sebagai pemilihan yang demokratis,
sepanjang proses pemilihan yang dilakukan demokratis, dalam konteks sejarah ketatanegaraan di Indonesia
berkaitan dengan pemilihan kepala daerah, beberapa sistem mekanisme pemilihan
kepala daerah telah dilaksanakan.Pertama, (era kemerdekaan pra-1958)
pemerintah pusat menunjuk kepala daerah. Kedua, (1959-1973)
Presiden mempunyai kewenangan langsung menunjuk para kepala daerah.Ketiga,
(1974-1998) DPRD menominasikan calon kepala daerah kepada Presiden dan akan
diputuskan oleh Presiden. Keempat, (1999-2003) DPRD memilih kepala
daerah tanpa keterlibatan dari pemerintah pusat. Kelima,
(2004-sekarang) pemilihan kepala daerah diubah menjadi pemilihan langsung oleh
rakyat yang menggunakan mekanisme satu orang satu suara yang lebih lanjut di
atur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemda. Namun setelah sekian lama
implementasi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemda mulai dari tahun 2004 hingga
sekarang, banyak masyarakat Indonesia mempertanyakan, apakah mekanisme
pemilihan Gubernur secara langsung oleh rakyat masih sesuai dengan tujuan
demokrasi itu sendiri?. Hal itulah yang menjadi usulan Pemerintah melalui RUU
Pilkada untuk mengubah mekanisme pemilihan Gubernur secara langsung oleh rakyat
menjadi pemilihan Gubernur oleh DPRD. Usulan perubahan pemilihan Gubernur
tersebut merupakan topik yang sangat serius, karena mengingat berpotensi
menyurutkan pembangunan demokrasi di Indonesia yang bermaksud mengurangi peran
rakyat dalam menentukan pemimpinnya di daerah.
KESIMPULAN
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
(UUDNRI) Tahun 1945,Bab VI dengan judul Pemerintahan Daerah, memperoleh
legitimasi konstitusional melalui amademen UUD 1945 yang kedua.� Terdapat 3 (tiga) Pasal, yaitu Pasal 18, 18A,
18B, Ketiga pasal tersebut telah menampung semua keragaman bangsa Indonesia di
mana mengatur mengenai pemerintah daerah sebagai amanat dari pembukaan UUDNRI
1945. Perubahan ini boleh disebut sebagai sebuah revolisi adminstrasi
pemerintahan khususnya untuk memilih pemimpin formal di daerah. UUD 1945 telah
mmenambah satu ayat dalam Pasal 18 UUD 1945 yang kemudian dituangkan� dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 sebagai
akomodasi dari revolusi dimaksud.� Untuk
mengatur mengenai pmerintah daerah dimana Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) terdiri dari daerah provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintah
daerah yang mengatur dan mengurus sendiri pemerintahannya dengan asas
otonomi.Dalam pemerintah daerah itu terdapat Kepala Daerah dan Dewan Perwaiklan
Rakyat Daerah (DPRD) sebagai pimpinan pemerintah daerah. Serta juga diatur
mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dan diakui dan
dihormatinya satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus,. Karena itu, UUD
tidak mengharuskan dipilih secara langsung, karena itu kemudian menjadi
kewenangan pembuiat Undang-Undang ialah DPR dan Presiden untuk memutuskan atau
membuatnya. Yang penting adalah Bupati, walikota, dan Gubernur dipilih secara
demokratis. Nah peraturan perundang-undangan yang palin terakhir itu suasana
kebatinan DPR waktu saya masih disanapun, memang tidak berkehendak untuk
mengubah pemilihan secara langsung itu ( Gubernur, Bupati, dan Walikota), tetap
diselenggarakan secara langsung, karena sudah mulai. Tapi kedepan manakala
dipandang perlu, bahwa tidak perlu pemilihan langsung, tapi asal tetap
melaksanakan pemilihan yang demokratis, ya tidak apa-apa. Jadi kedepan terbuka
lebar peluang untuk kemungkinan merevisi sistem pemilihan langsung menjadi
tidak langsung ketika memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota.� Tidak langsungnya seperti apa?. (1). Misalnya
ada formula apakah kemudian kembali dipilih oleh DPRD. (2). Apakah dipilih
merupakan design formula dua pihak ialah dipilih oleh DPRD disahkan oleh
Presiden atau kemudian dipilih beberapa oleh Presiden untuk menjadi Gubernur,
ya yang kemudian nanti bisa calon-calon itu dipilih oleh DPRD. Formula-formula
semacam ini masih terbuka lebar untuk dibicarakan.
Amirudin, &
Bisri, A. Z. (2006). Pilkada Langsung: Problem dan Prospek. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Hambali, M. A. (2014). Pemilukada Pasca Reformasi Di
Indonesia. RECHSTAAT Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNSA, 8(1).
Haryanti, D. (2014). Tinjauan Singkat Konstitusi
Tertulis yang Pernah Berlaku di Indonesia. Jurnal Selat, 2(1),
212�225.
Hasim, H. (2017). Gagasan Muatan Materi dalam
Perubahan UUD 1945. Al-�Adl, 10(2), 83�97.
HIDAYATULLOH, B. A. (2014). POLITIK HUKUM SISTEM
PEMILU DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI (STUDI SISTEM PEMILU LEGISLATIF DAN
PRESIDEN TAHUN 2009 DAN 2014). UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA.
Hoesein, Z. A. (n.d.). Hasil wawancara dengan , Ketua
Program Studi Ilmu Hukum Strata Dua (S2) dan Strata Tiga (S3) Fakultas Hukum
Universitas Islam As-Syafi�iyah (UIA).
Jimly Asshiddiqie, S. H. (2021). Konstitusi dan
konstitusionalisme Indonesia. Sinar Grafika.
Maranjaya, A. K. (n.d.). Pengisian Jabatan Kepala
Daerah Secara Demokratis Dalam Mewujudkan Demokrasi Pancasila Pasca Perubahan
Undang Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945. Pascasarjana Universitas
Krisnadwipayana.
Marfianieni, M. (2021). Materi Diktat PKN. STIE YAI.
Nasution, M. A. (2022). ANALISIS YURIDIS TENTANG
PENGAWASAN HAKIM OLEH KOMISI YUDISIAL DALAM PRESPEKTIF UNDANG UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
005/PUU-IV/2006). Fakultas Hukum, Universitas Islam Sumatera Utara.
Noor, F. (2002). Quo Vadis Demokrasiu Kita, Sebuah
Respon Terhadap Konsulidasi Demokrasi Indonesia. Jakarta: Wahana Semesta
Intermedia.
Novriama, Y., & Subiyanto, A. E. (2020).
PRESIDENTIAL TRESHOLD DALAM PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945. JCA of
Law, 1(2).
Nurhasim, M. (n.d.). Konflik Dalam Pilkada Langsung
Studi Tentang Penyebab Dan Dampak Konflik. Jurnal Penelitian Politik.
Pratiwi, W. (2021). Analisis Yuridis Ketetapan Bentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia Dalam Pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945. UIN
SMH BANTEN.
Rachmadi Usman, S. H. (2022). Hukum persaingan
usaha di Indonesia. Sinar Grafika.
Siradjuddin, A., & Cici, F. (2021). PROSES
PERUBAHAN MENDASAR KONSTITUSI INDONESIA PRA DAN PASCA AMANDEMEN. Siyasah
Jurnal Hukum Tatanegara, 1(1), 45�60.
Surya, G., Johni, S., & Putra, A. (2014). Membangun
Politik Hukum Pemilu Yang Demokratis Dengan Membumikan Konsep Negara Hukum
Pancasila.
TAMPUBOLON, E. (2022). TINJAUAN YURIDIS TERHADAP
KEDUDUKAN PEMERINTAH DESA DALAM PENGGUNAAN DANA DESA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA.
Triono. (2017). Menakar Efektivitas Pemilu Serentak
2019. Jurnal Wacana Politik, 2(2).