Jurnal
Sosial dan Teknologi (SOSTECH) Volume 2, Number 3, Maret 2021
KEBEBASAN BERAGAMA DALAM PERSPEKTIF
AL-QUR�AN Safa�ah SDN 1 Ploso |
|
Diterima: 8 Maret 2022 Direvisi: 14 Maret 2022 Disetujui: 15 Maret 2022 |
Abstrak Sudah menjadi fitrah manusia bahwa dia tidak bisa
menghindarkan diri dari agama. Kebebasannya adalah memilih antara satu dari berbagai agama.
Artinya manusia tidak pernah dipaksa untuk memeluk agama
tertentu. Dalam ajaran Islam tidak boleh ada pemaksaan kepada pemeluk
agama lain untuk berkonvensi kepada Islam. Alasannya karena disadari bahwa keyakinan agama yang dipaksakan
tidak akan menimbulkan keyakinan yang sebenarnya. Tujuan
penelitian ini pada dasarnya adalah untuk mengetahui bagaimana prinsip
kebebasan beragama dalam perspektif Al-Qur�an serta untuk mengetahui apa
konsekuensi logis dari kebebasan beragama tersebut bagi tata interaksi
sosial. Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif dengan metode tafsir maudu�iy. Sumber
datanya adalah ayat-ayat al-qur�an. Pengumpulan
datanya menggunakan dokumentasi dan teknik analisis datanya merupakan
analisis isi. Dari penelitian ini dapat diketahui
bahwa kebebasan beragama merupakan hak terpenting, dijaga dan dijamin oleh
Al-Qur�an, oleh karenanya tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam, sebab
iman yang dipaksakan bukanlah iman. Bila iman
dipaksakan maka akan menimbulkan sikap munafik yang justru bertentangan
dengan iman itu sendiri. Konsekuensi logis kebebasan
beragama bagi tata interaksi sosial adalah Rasulullah SAW terbukti mengakui
eksistensi Ahlul Kitab yang menolak ajakan Tauhid dan membiarkan mereka tetap
pada keyakinan masing-masing. Serta Al-Qur�an secara tegas
memerintahkan umat Islam untuk menjaga hubungan baik dengan penganut agama lain khususnya Ahlul Kitab. Kemudian, azaz yang harus
dipegangi dalam Islam dalam berinteraksi dengan penganut agama lain adalah
sikap menghormati agama dan kepercayaan mereka (non-muslim) serta mengakui
perbedaan cara melakukan peribadatan. Kata kunci : Kebebasan
beragama, Tafsir maudu�iy, Al-Qur�an Abstract It is human nature that he cannot escape from
religion. His freedom is to choose between one of the various religions. This
means that humans are never forced to embrace a certain religion. In the
teachings of Islam, there should be no coercion on adherents of other
religions to convert to Islam. The reason is because it is realized that
forced religious beliefs will not lead to real beliefs. The purpose of this
research is basically to find out how the principle of religious freedom is
in the perspective of the Qur'an and to find out what the logical
consequences of religious freedom are for the social interaction system. This
research is a qualitative research with the maudu'iy interpretation method.
The source of the data is the verses of the Qur'an. The data collection uses
documentation and the data analysis technique is content analysis. From this
study it can be seen that religious freedom is the most important right,
protected and guaranteed by the Qur'an, therefore there is no compulsion to
enter Islam, because forced faith is not faith. If faith is forced, it will
lead to hypocrisy which is contrary to faith itself. The logical consequence
of religious freedom for the social interaction system is that the Messenger
of Allah (PBUH) was proven to have acknowledged the existence of the Ahlul
Kitab who rejected the invitation to monotheism and allowed them to stick to
their respective beliefs. And the Qur'an explicitly instructs Muslims to
maintain good relations with adherents of other religions, especially the
People of the Book. Then, the principle that must be adhered to in Islam in
interacting with adherents of other religions is an attitude of respect for
their religion and beliefs (non-Muslims) and acknowledging differences in the
way of worship. Keywords : Freedom of religion, Maudhu'i interpretation, Al-Qur'an |
Pada
dasarnya ajaran-ajaran Islam terkandung dalam Al-Qur�an yang diwahyukan kepada
Nabi Muhammad SAW.(Siswanto,
Malik, and Fauzia 2022) Melalui Nabi Muhammad SAW,
Al-Qur�an yang merupakan kalam Illahi memperkenalkan dirinya sebagai hudan li
al nas (Ulfa 2022). Ia adalah
kitab yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang
benderang. Itulah sebabnya ajaran Islam bersifat universal (DJATI n.d.). Salah satu ajaran yang menampilkan
universalismenya adalah adanya kebebasan beragama (Nasution 2019). Dengan kebebasan inilah dunia akan mendapat jaminan dalam mencapai kebenaran dan kemajuan
untuk menuju kesatuan yang integral dan terhormat. Setiap tindakan menentang
kebenaran berarti memperkuat kebatilan (Nasution 2019). Kebebasan
beragama yang ditunjukkan dalam Al-Qur�an sebenarnya merupakan bentuk jaminan
dasar yang diberikan Islam terhadap masyarakat.
Jaminan
ini melandasi hubungan antar warga masyarakat atas dasar sikap saling
menghormati yang akan mendorong timbulnya sikap tenggang rasa dan saling
pengertian (Swardiyamsyah
2019). Terlepas dari sejarah yang
mencatat penindasan, kesempitan pandangan dan kedholiman terhadap minoritas
agama sejarah umat manusia membuktikan bahwa toleransi adalah bagian inheren
kehidupan manusia (Suripto 2018).
Sejarah
juga membuktikan bahwa agama merupakan dobrakan moral atas kungkungan ketat
dari pandangan manusia yang bersifat menindas (Taufan n.d.). Hal ini telah
dibuktikan oleh Islam dengan dobrakannya atas ketidakadilan wawasan hidup
jahiliyah yang dianut meyoritas bangsa Arab waktu itu. Dengan tauhid, Islam menegakkan penghargaan kepada perbedaan
keyakinan. Islam mentolerir perbedaan keimanan.
Dengan kata lain Islam melalui ajarannya memiliki pandangan universal yang
berlaku untuk seluruh manusia (Umar 2021).
Sudah
menjadi fitrah manusia bahwa dia tidak bisa menghindarkan diri dari agama (Komarudin 2020). Kebebasannya
adalah memilih antara satu dari berbagai agama. Artinya manusia tidak
pernah dipaksa untuk memeluk agama tertentu (Viri and
Febriany 2020). Dalam ajaran Islam tidak boleh ada
pemaksaan kepada pemeluk agama lain untuk berkonvensi
kepada Islam. Alasannya karena disadari bahwa keyakinan agama yang dipaksakan
tidak akan menimbulkan keyakinan yang sebenarnya (Saleh 2021).
Agama
menurut Erich From adalah kecenderungan kodrati manusia dalam mencari keseimbangan
dalam eksistensinya (Luthfi 2021). Dalam
pencariannya itu manusia mencari yang ideal. Dari situlah ia membentuk sistem orientasinya dan pengabdiannya. Kecenderungan ini merupakan bagian yang intrinsik dalam eksistensi
manusia.
Dengan
demikian prinsip kebebasan itu sebenarnya merupakan kehormatan bagi manusia
dari Tuhan, karena Tuhan mengakui hak manusia untuk memilih sendiri jalan
hidupnya (Utami 2018). Tentu tidak
perlu lagi dijelaskan bahwa semua resiko pilihan itu adalah tanggung jawaban
sepenuhnya manusia sendiri. Pelembagaan prinsip
kebebasan beragama untuk pertama kali dalams sejarah umat manusia adalah yang
dibuat oleh Rasulullah SAW. Hal ini terjadi setelah
beliau hijrah ke Madinah dan harus menyusun masyarakat majemuk karena
menyangkut unsur � unsur masyarakat non-muslim.�� Sekarang prinsip kebebasan
beragama itu telah dijadikan sebagaisendi sosial politik modern. Prinsip
itu antara lain dijabarkan oleh Thomas Jefferson dan Robepiere. Mereka percaya akan �Wujud Yang Maha Tinggi� tetapi mereka menolak agama
formal. Sikap mereka itu mungkin karena agama yang mereka kenal di sana waktu itu tidak mengajarkan kebebasan agama.
Atas
dasar proposisi-proposisi yang terdapat dalam latar belakang masalah maka
penelitian ini hendak mengemukakan wawasan Al-Qur�an tentang kebebasan beragama
(Fauzi n.d.). Pembahasan
difokuskan dan dibatasi beberapa ayat saja yang setema dengan judul penelitian
ini yaitu �Kebebasan Beragama dalam Prepektif Al-Qur�an�.
Ayat-ayat
yang setema lainnya juga disebutkan dalam Al-Qur�an yaitu surat
Al-Kahfi ayat 29, surat Al-Kafirun ayat 1 � 6, surat Al-Insan ayat 3, dan
lain-lain.
Tujuan
penelitian ini pada dasarnya adalah untuk mengetahui bagaimana prinsip
kebebasan beragama dalam perspektif Al-Qur�an serta untuk mengetahui apa konsekuensi logis dari kebebasan beragama tersebut bagi
tata interaksi sosial.
Al-Qur�an adalah wahyu yaitu kebenaran yang langsung disampaikan Tuhan
kepada salah seorang hamba-Nya.� Dan hal ini
terjadi karena adanya komunikasi antara Tuhan dan manusia. Al-Qur�an
yang menurut bahasa berarti �bacaan�� ini disebut sebagai kalam Allah Yang
Maha Esa. Predikat kalam Allah untuk Al-Qur�an , bukan
datang dari Nabi Muhammad SAW. Apalagi dari sahabat, atau
dari sipapun. Akan tetapi dari Allah SWT.
Dialah yang memberikan nama kitab suci agama Islam ini
Qur�an atau Al-Qur�an sejak pertama turun, sebagaimana firman-Nya:
﴿يٰٓاَيُّهَا
الْمُزَّمِّلُۙ
١ قُمِ الَّيْلَ
اِلَّا
قَلِيْلًاۙ ٢
نِّصْفَهٗٓ
اَوِ انْقُصْ
مِنْهُ
قَلِيْلًاۙ ٣
اَوْ زِدْ عَلَيْهِ
وَرَتِّلِ
الْقُرْاٰنَ
تَرْتِيْلًاۗ
٤ ﴾
�Hai orang yang berselimutm bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari,
kecuali sedikit (dari padanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari
seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah
Al-Qur�an itu dengan perlahan-lahan.� (QS. Al-Muzammil
ayat 1 � 4).
Para ulama dalam memberikan pengertian Al-Qur�an mempunyai sighah-sighah
tertentu, ada yang panjang dan ada yang pendek. Sedangkan yang paling mendekati dan sama
menurut pengertian mereka tentang definisi Al-Qur�an adalah kalam Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, bagi yang membacanya merupakan suatu
ibadah dan mendapat pahala.�
Maksud
kalam Allah bukan seperti kalam yang diucapkan umat manusia, para jin dan para malaikat. Sedangkan yang
dimaksud yang diturunkan bukan berarti Allah memberikan ilmunya kepada para
malaikat agar mereka bisa mengamalkan ilmu yang bersankutan dan tidak
diturunkan kepada salah satu umat manusia. Tetapi yang dimaksud kalam
Allah adalah firman-Nya yang diturunkan kepada manusia agar manusia bisa mengamalkannya
dan kalam Allah itu tidak terbatas luas jangkauannya, sebagaimana termaktub
dalam Al-Qur�an :
قُلْ
لَّوْ كَانَ
الْبَحْرُ
مِدَادًا
لِّكَلِمٰتِ
رَبِّيْ
لَنَفِدَ
الْبَحْرُ
قَبْلَ اَنْ
تَنْفَدَ
كَلِمٰتُ
رَبِّيْ
وَلَوْ جِئْنَا
بِمِثْلِهٖ
مَدَدًا ﴿ ١٠٩
﴾
Katakanlah �Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk menulis
kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis)
kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).� (Surah Al � Kahfi
ayat 109).
Menurut asalnya, tafsir berarti mengungkapkan dan menampakkan. Dalam peristilahan ia berarti penjelasan mengenai arti ayat dan maksud serta
situasi dan kondisinya dengan kalimat-kalimat yang mampu menunjukkan semuanya
itu secara jelas dan terang.� Kata tafsir itu sendiri merupakan kata benda verbal yangberasal
dari kata kerja fassara yang artinya uraian atau penjelasan.� Allah berfirman:
وَلَا
يَأْتُوْنَكَ
بِمَثَلٍ
اِلَّا جِئْنٰكَ
بِالْحَقِّ
وَاَحْسَنَ
تَفْسِيْرًا ﴿وَلَا
يَأْتُوْنَكَ
بِمَثَلٍ
اِلَّا جِئْنٰكَ
بِالْحَقِّ
وَاَحْسَنَ
تَفْسِيْرًا
ۗ ٣٣ ﴾
Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) suatu yang
ganjil, melainkan Kami datangkan padamu suatu yang benar dan baik
penjelasannya. (S. Al-Furqan ayat 33).
Sementara Az-Zarkasyi mendefinisikan tafsir menurut istilah yaitu ilmu
penegetahuan untuk memahami kitab Allah (Al-Qur�an) yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya dan menarik hukum-hukum serta
hikmah-hikmah yang terkandung didalamnya.
Dalam karyanya Al-Burhan fi Ulum Al-Qur�an Az-Zarkasyi menjelaskan
masalah tafsir.� Tafsir berasal dari kata
tafsirah. Yaitu air yang menjadi bahan pemeriksaan dokter, sebagaimana
dokter dengan menggunakan air tersebut ia dapat
mengetahui orang yang sakit, demikian juga mufassir, dengan tafsir ini ia akan
dapat mengetahui keadaan ayat, kisah-kisah, makna dan sebab-sebab turunnya.
Selama ini masyarakat modern percaya pada kemampuan rasio dan pendekatan
ilmiah. Sementara itu, bila yang dibicarakan adalah soal agama, maka dasar
agama lebih banyak berkaitan dengan perasaan dan keyakinan daripada rasio.
Perasaan dan keyakinan, berlainan dengan rasio yang mempunyai
tendensi dogmatis. Ajaran-ajaran agama oleh pemeluknya
dirasakan dan diyakini mesti benar, walaupun tidak semuanya demikian. Selanjutnya agama banyak dan erat hubungannya dengan hal-hal yang
bersifat immateri dan yang tak dapat ditangkap panca indera. Sementara itu pembahasan ilmiah pada umumnya dapat dipakai dengan
baik danya dalam lapangan yang bersifat materi.
Atas
dasar itu rasanya agak sulit untuk mendefinisikan apa
itu agama. Apalagi untuk memberikan uraian yang bersifat
ilmiah tentang persoalan-persoalan agama. Bicara
tentang agama pada umumnya dan bukan agama tertentu juga menimbulkan kesulitan
tersendiri. Orang biasanya menganut agama tertentu dan
dengan demikian memandang ajaran-ajaran agama yang dianutnya itu merupakan
kebenaran mutlak. Bagi orang demikian, berbicara tentang agama lain
menjadi sulit. Hal ini lebih dipersukar lagi oleh informasi yang lebih banyak
tentang seluk beluk agamanya sendiri daripada agama oang lain. Jadinya ia biasanya lebih kompeten berbicara tentang agamanya
sendiri daripada agamanya orang lain. Apalagi kekurangan pengetahuannya tentang
agama lain itu dapat menimbulkan salah paham bagi penganut agama yang
bersangkutan dan sebagai akibatnya akan timbul
ketegangan yang tidak diinginkan.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode tafsir maudu�iy. Sumber datanya adalah ayat-ayat al-qur�an. Pengumpulan datanya menggunakan dokumentasi dan teknik analisis datanya merupakan analisis isi.
Adapun dalam penerapannya, ada tujuh tahapan yang harus ditempuh dalam metode tafsir maudhu�iy sebagaimana yang telah dirumuskan oleh ustadz Dr. Ahmad Al-Sayyid Al-Kumy, ketua jurusan tafsir Universitas Al-Azhar, bersama beberapa temannya yaitu sebagai berikut:� 1) Memilih atau menetapkan masalah Al-Qur�an yang akan dikaji secara maudhu�iy. 2) Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan, ayat makkiyah dan ayat madaniyyah. 3) Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya, disertai pengetahuan mengenai latar belakang turunnya ayat atau sebab al-nuzul. 4) Mengetahui kolerasi (munasabah) ayat-ayat tersebut di dalam kontek masing-masing ayatnya. 5) Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna dan utuh. 6) Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadis, sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna dan semakin jelas. 7) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan meneyeluruh dengan cara mengkompromikan antara yang �am dan yang khas, antara yang mutlak dengan yang muqayyad, mensingkronkan ayat-ayat yang lahirnya kontradiktif, menjelaskan ayat yang nasikh dan mansukh, sehingga ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.
Pembahasan yang disajikan dalam bagian ini sengaja ingin mengaplikasikan metode Maudhu�iy yang dirumuskan oleh Al � Farmawi. Namun demikian keinginan tersebut tidak dapat terwujud karena keterbatasan keilmuan penulis (Rahmawati 2021). Oleh karena itu hasil akhir kajian tafsir Al-Qur�an tentang kebebasan beragama ini masih perlu disempurnakan lagi supaya melahirkan pemahaman yang tuntas dan utuh.
Baik secara tersurat maupun tersirat, Al-Qur�an banyak berbicara tentang kebebasan manusia untuk menentukan sendiri perbuatannya yang bersifat ikhtiarriyah. Yang dimaksud perbuatan ikhtiarriyah adalah perbuatan yang dapat dinisbatkan kepada manusia dan menjadi tanggung jawabnya karena ia mempunyai kemampuan untuk melakukan atau meninggalkannya. Secara tersirat, diturunkannya Al-Qur�an juga menunjukkan adanya kebebasan yang diberikan kepada manusia dalam memilih jalan hidupnya, yang berkenaan dengan iman dan kufur terhadap apa yang dibawa Al-Qur�an itu sendiri. Allah menyatakan didalam Al-Qur�an bahwa kitab itu merupakan petunjuk bagi manusia yang mengarahkannya ke jalan yang lebih lurus.
A.
Periode
Mekkah
1. Kebebasan Religius
Menurut Yusuf Al-Qardhawi kebebasan merupakan satu diantara tiga buah insaniyah (prinsip kemanusiaan). Oleh karena itu mendapat perhatian khusus dalam syarai�at. Islam meletakkan konsep yang cukup gamblang untuk memperaktekkannya. Termasuk di dalamnya adalah kebebasan beragama. Perhatian Al-Qur�an terhadap kebebasan beragama telah muncul pada ayat�ayat makkiyah, berikut firman Allah SWT:
﴿وَلَوْ
شَاۤءَ
رَبُّكَ
لَاٰمَنَ
مَنْ فِى الْاَرْضِ
كُلُّهُمْ
جَمِيْعًاۗ
اَفَاَنْتَ
تُكْرِهُ
النَّاسَ
حَتّٰى
يَكُوْنُوْا
مُؤْمِنِيْنَ
٩٩ ﴾
�Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?� (QS Yunus: 99).
Ayat ini menerangkan bahwa jika Allah SWT berkehendak agar seluruh manusia beriman kepada-Nya, maka hal itu akan terlaksana, karena untuk melakukan yang demikian adalah mudah bagi-Nya. Tetapi dia tidak menghendaki yang demikian. Dia berkehendak melaksanakan Sunnah-Nya di alam ciptaan-Nya ini. Tidak seorangpun yang dapat merubah Sunnah-Nya itu kecuali jika Dia sendiri yang menghendakinya. Diantara Sunnah-Sunnah-Nya itu ialah memberi manusia akal, pikiran dan perasaan yang membedakannya dengan malaikat dan makhluk-makhluk yang lain. Dengan akal, pikiran dan perasaannya itu manusia menjadi makhluk yang berbudaya, dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, baik untuk dirinya, untuk orang lain maupun untuk alam semesta ini.
Dari prespektif sejarah menarik untuk diamati bahwa ketika Rasul SAW memulai dakwahnya diantara kaum pagan di Mekkah, beliau mengajak mereka memasuki keyakinan baru ini, walaupun sikap dan tanggapan mereka bermusuhan. Situasi ini mendukung kesimpulan bahwa Islam mengakui kebebasan beragama, karena Islam itu sendiri dimulai dengan mengajak dan membujuk orang untuk memeluknya melalui rasionalitas dan kebenarannya. Dengan kata lain Islam mengesahkan kebebasan beragama sesuai dengan sejarah awal perkembangannya. Dalam hal ini, para ulama yaitu ulama ahli teologi dan tauhid (monotheisme) bersepakat untuk mengatakan bahwa pengakuan iman tidak sah bila tidak dilakukan secara sukarela. Oleh karena itu, pengakuan keimanan secara terpaksa membuat iman itu tidak sah.
Hal tersebut adalah prinsip paling awal
yang diambil Rasulullah SAW guna menghindari pemaksaan dalam beragama, sesuatu
yang baik secara tekstual maupun substansial sangat ditentang oleh Islam, guna
memantapkan manusia akan amanatnya. Juga untuk memastikan bahwa akidah itu
benar-benar bersumber dari keyakinan hati, karena tidak ada iman kecuali
berasal dari hati yang rela, murni, tenang dan jujur. Tidak akan berarti kata
yang diucapkan mulut namun diingkari hati. Ini adalah kemunafikan yang oleh
islam dianggap sebagai yang paling jahat. Karena munafik adalah berpura-pura
percaya padahal kesadarannya bertentangan dengan kepercayaan itu. Dengan
demikian jelas sekali bahwa surat Yunus ayat 99 tersebut menunjukkan adanya
kesengajaan Allah SWT sebagai Tuhan untuk tidak melaksanakan kehendak-Nya,
walaupun hal itu tidaklah sulit bagi-Nya. Artinya, jika allah menghendaki
penduduk bumi untuk beriman kepada-Nya, lalu Dia menghujamkan rasa iman kepada
lubuk hati mereka, maka secara otomatis kondisi mereka laksana malaikat tanpa
ada penyediaan pada fitrahnya untuk selain beriman. Ayat ini menurut Muhammad
Abduh semakna dengan ayat 107 Al-An�am: وَلَوْ
شَاۤءَ
اللّٰهُ مَآ
اَشْرَكُوْاۗ Dan ayat 118 surat Hud: وَلَوْ
شَاۤءَ
رَبُّكَ
لَجَعَلَ
النَّاسَ اُمَّةً
وَّاحِدَةً. Ayat-ayat ini mengandung pengertian
bahwa jika allah menghendaki untuk tidak menciptakan manusia dilengkapi dengan
fitrah akan keimanan dan kekuatan, kebaikan dan kejahatan yang dengan kehendak
dan pilihannya (manusia) dapat menerima dan menolak hal-hal yang mungkin sesuai
dengan kapasitasnya yang dimiliki maka Allah mewujudkannya. Ketika manusia
diciptakan Allah pun menciptakan sebagian dari mereka beriman dengan sebagian
yang lainnya tidak beriman.
Dalam menafsirkan ayat اَفَاَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتّٰى يَكُوْنُوْا مُؤْمِنِيْنَ Abduh menyatakan bahwa pemaksaan keimanan itu bukanlah otoritas Rasul. Kewajiban itu hanyalah menyampaikan ajaran tanpa ada unsur-unsur pemaksaan. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur�an sebagai berikut:
﴿فَذَكِّرْۗ
اِنَّمَآ
اَنْتَ
مُذَكِّرٌۙ
٢١ لَّسْتَ
عَلَيْهِمْ
بِمُصَيْطِرٍۙ
٢٢ ﴾
�Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberikan peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka. (QS Al � Ghasiyyah: 21 � 22)
........وَمَا
عَلَى
الرَّسُوْلِ
اِلَّا
الْبَلٰغُ
الْمُبِيْنُ
�� Dan kewajiban Rasul itu, tidak lain hanyalah menyampaikan (agama Allah) dengan seterang � terangnya�. (QS Al � Ankabut: 18)
.....
وَمَآ
اَنْتَ
عَلَيْهِمْ
بِجَبَّارٍۗ
فَذَكِّرْ
بِالْقُرْاٰنِ
مَنْ
يَّخَافُ وَعِيْدِ
ࣖ
�� dan kamu sekali � kali bukanlah orang pemaksa terhadap mereka. Maka beri peringatanlah dengan Al-Qur�an orang yang takut pada ancaman-Ku.� (QS Qaf: 45)
Ayat-ayat tersebut merupakan bukti adanya wewenang Rasul sebagai utusan Allah. Dan Rasul tidak lebih hanya sebagai penyampai wahyu yang merupakan petunjuk bagi manusia. Selanjutnya apakah manusia itu menerima atau menolaknya, hal tersebut sudah menjadi kebebasannya.
1. Tidak Ada Toleransi dalam hal
Keimanan dan Peribadatan
�� Kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia dalam pengakuan
terhadap eksistensi individu, secara terinci difirmakan Allah SWT di dalam
surah Al-Kafiruun ayat 1 � 6 sebagai berikut:
﴿قُلْ
يٰٓاَيُّهَا
الْكٰفِرُوْنَۙ
١ لَآ اَعْبُدُ
مَا
تَعْبُدُوْنَۙ
٢ وَلَآ اَنْتُمْ
عٰبِدُوْنَ
مَآ
اَعْبُدُۚ ٣
وَلَآ اَنَا۠
عَابِدٌ مَّا
عَبَدْتُّمْۙ
٤ وَلَآ اَنْتُمْ
عٰبِدُوْنَ
مَآ
اَعْبُدُۗ ٥
لَكُمْ
دِيْنُكُمْ
وَلِيَ
دِيْنِ ࣖ ٦ ﴾
�Katakanlah, �Hai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang harus kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.� (QS. Al � Kafiruun: 1-6).
Kata-kata pada surat Al-Kafirun tersebut menyatakan secara dramatik dobrakan yang sangat radikal terhadap lingkungan politeisme, dengan pernyataan tersebut Islam menuju kepada sikap yang fundamental dalam urusan agama. Boleh dikatakan, ini merupakan pernyataan formal mengenai kebebasan dari pihak Islam terhadap semua hal yang apada hakekatnya tidak sesuai dengan kepercayaan monoteistik yang diproklamirkan. Secara langsung surat ini juga menginformasikan bahwa Islam tidak memberikan toleransi dalam hal keimanan dan peribadatan.
Telah diriwayatkan bahwa Walid bin Mughirah, �As bin Wail As Sahmi, Aswad bin Abdul Muttalib dan Umaiyah bin Khalaf bersama rombongan pembesar-pembesar Quraisyi datang menemui Nabi SAW menyatakan, �Hai Muhammad! Marilah engkau bersama kami dalam semua masalah yang kami hadapi, engkau menyembah Tuhan kami setahun dan kami menyembah Tuhanmu setahun. Jika agama yang engkau bawa itu benar, maka kami berada bersamamu dan mendapat bagian darinya, dan jika ajaran yang ada pada kami itu benar, maka engkau telah bersekutu pula bersama-sama kami dan engkau akan mendapat bagian pula dari padanya�. Beliau menjawab, �Aku berlindung kepada Allah dari mempersekutukan-Nya�. Lalau turunlah surat Al-Kafirun sebagai jawaban terhadap ajakan mereka.
Jawaban yang terinci dalam surah Al-Kafirun menyangkut tawaran yang diberikan kaum Quraisy kepada Nabi SAW menunjukkan bahwa memang sangat tidak mungkin masalah keimanan dan peribadatan untuk ditolerir karena:
a. Tuhan orang-orang kafir dan
Tuhan SAW jelas tidak sama. Maksudnya, Tuhan mereka mempunyai pembantu, dapat
menjelma dalam sesuatu bentuk atau rupa dan bahkan mempunyai anak. Sementara
Tuhan Nabi SAW tidaklah demikian
b. Adanya perbedaan yang sangat
besar antara Tuhan yang mereka sembah dan disembah oleh Nabi SAW. Mereka
menyakiti Tuhannya dengan sifat-sifat yang tidak layak bagi Tuhan Nabi SAW
c. Cara ibadat yang dilakukan
oleh Nabi SAW tidak sama dengan cara yang dilakukan oleh orang-orang kafir
Dengan demikian umat Islam tidak menghendaki ada pihak-pihak yang melanggar hak asasinya dengan cara apapun. Sebaliknya umat Islam pun diajarkan untuk tidak mengganggu atau mengusik pemeluk agama lain. Dengan kata lain sikap yang tidak toleran dalam hal keagamaan bukan merupakan bagian dari komitmen inti Islam.
2. Konsekwensi Logis Kebebasan
Beragama Bagi Tata Interaksi Sosial
Pengakuan atas kebebasan beragama tersebut di atas menimbulkan konsekuensi-konsekuensi logis dari penerapan Islam dalam kehidupan keseharian. Sejarah tidak pernah mengenal suatu bangsa muslim memaksa ahlud dhimmah untuk masuk Islam, dimana telah diakui oleh para ahli sejarah barat sendiri. Gustave le Bon mengatakan: �Tersebarnya Al-Qur�an sekali-kali bukanlah karena disebabkan dengan kekerasan. Orang arab telah membiarkan bangsa yang ditaklukkannya menjalankan agamanya dengan bebas. Pendapat senada juga disampaikan oleh orientalis Perancis Count Henrydu Castri bahwa Islam tidak disebarkan dengan paksa. Demikian Islam telah memelihara secara baik rumah-rumah ibadah milik non-muslim serta menghargai kesucian ritual mereka. Memang benar salah satu sasaran yang hendak dicapai dalam menjalin hubungan dengan penganut agama lain ialah mengajak mereka untuk memeluk Islam sesuai dengan misi Islam sebagai agama dakwah. Islam sebagai jalan keselamatan dunia dan akhirat menganjurkan umat Islam untuk mengajak obyek dakwah agar menganut Islam yang diikat oleh suatu tali aqidah atau keimanan yang telah diturunkan kepada para rasul sebelum Nabi Muhammad SAW. Al-Qur�an surat Ali Imran ayat 64 mengatakan:
﴿قُلْ
يٰٓاَهْلَ
الْكِتٰبِ
تَعَالَوْا
اِلٰى
كَلِمَةٍ
سَوَاۤءٍۢ
بَيْنَنَا
وَبَيْنَكُمْ
اَلَّا
نَعْبُدَ
اِلَّا
اللّٰهَ وَلَا
نُشْرِكَ
بِهٖ
شَيْـًٔا
وَّلَا
يَتَّخِذَ
بَعْضُنَا
بَعْضًا ا
َرْبَابًا
مِّنْ دُوْنِ
اللّٰهِ ۗ
فَاِنْ
تَوَلَّوْا
فَقُوْلُوا
اشْهَدُوْا
بِاَنَّا
مُسْلِمُوْنَ
٦٤ ﴾
Katakanlah: �Hai Ahli Kitab, marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain dari pada Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: �Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri (kepada Allah).�
Ibnu Jarir Al-Thabary dalam menafsirkan ayat di atas menyatakan abhwa ayat tersebut mengajak kaum Yahudi dan Nasrani (Ahlul Kitab) agar kembali kepada pegangan yang lurus diantara kaum muslimin dengan mereka yaitu mentauhidkan Allah dan tidak menganut suatu keyakinan atau mempertahankan sesuatu (selain Allah), membesarkan-Nya dan sujud kepada-Nya.
Setelah Allah menjelaskan perlunya mengajak Ahlul Kitab kepada tauhid, maka sebagian dari mereka menerima ajakan itu dan sebagian yang lain menolaknya. Sebagaimana dijelaskan dalam surat Ali �Imran 113:
﴿۞
لَيْسُوْا
سَوَاۤءً ۗ
مِنْ اَهْلِ
الْكِتٰبِ
اُمَّةٌ
قَاۤىِٕمَةٌ
يَّتْلُوْنَ
اٰيٰتِ
اللّٰهِ
اٰنَاۤءَ
الَّيْلِ
وَهُمْ يَسْجُدُوْنَ
١١٣ ﴾
�Mereka itu tidak sama; diantara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang).�
Diantara Ahlul Kitab itu ada golongan yang tidak berlaku lurus atau menolak ajakan terhadap tauhid, tetapi itu tidak berarti bahwa eksistensi mereka diingkari oleh Islam. Mereka tetap sebagai suatu kelompok yang memiliki keyakinan dan aturan-aturan keagamaan yang wajib mereka laksanakan sendiri. Hal ini menyangkut interaksi sosial dengan penganut agama lain, Islam membuka cakrawala pandang yang lebih luas yang membuka peluang besar dalam interaksi sosial denga umat lain. Hal ini tersermin dalam universalisme Islam yang termasnivestasi dalam keluasan wilayah Rasul-Nya untuk semua umat manusia seperti tersebut dalam surat An � Nahl ayat 36 berikut:
﴿وَلَقَدْ
بَعَثْنَا
فِيْ كُلِّ
اُمَّةٍ رَّسُوْلًا
اَنِ
اعْبُدُوا
اللّٰهَ
وَاجْتَنِبُوا
الطَّاغُوْتَۚ
فَمِنْهُمْ
مَّنْ هَدَى
اللّٰهُ
وَمِنْهُمْ
مَّنْ
حَقَّتْ عَلَيْهِ
الضَّلٰلَةُ
ۗ
فَسِيْرُوْا
فِى
الْاَرْضِ فَانْظُرُوْا
كَيْفَ كَانَ
عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِيْنَ
٣٦ ﴾
Dan sesungguhnyaKami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): �Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thogut itu�, maka diantara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula diantaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya.
Lebih jauh dari itu bahwa agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW adalah kelanjutan dari agama-agama sebelumnya yang secara geneologis paling dekat adalah agama semitik Ibrahimistik. Disisi lain, Al-Qur�an secara tegas memerintahkan umat Islam untuk menjaja hubungan baik dengan orang-orang yang beragama lain khususnya ahlul Kitab. Surat Al-Ankabut ayat 46 menyatakan sebagai berikut:
﴿۞
وَلَا
تُجَادِلُوْٓا
اَهْلَ
الْكِتٰبِ اِلَّا
بِالَّتِيْ
هِيَ
اَحْسَنُۖ
اِلَّا الَّذِيْنَ
ظَلَمُوْا
مِنْهُمْ
وَقُوْلُوْٓا
اٰمَنَّا
بِالَّذِيْٓ
اُنْزِلَ
اِلَيْنَا وَاُنْزِلَ
اِلَيْكُمْ
�وَاِلٰهُنَا
وَاِلٰهُكُمْ
وَاحِدٌ
وَّنَحْنُ
لَهٗ مُسْلِمُوْنَ
٤٦ ﴾
Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahlul Kitab melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang dzalim di antara mereka, dan katakanlah: �kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan diturunkan kepada kamu. Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya lah berserah diri.
Uraian di atas memberikan pengertian abhwa azaz yang harus dipegangi dalam berinteraksi dengan penganut agama lain adalah sikap menghormati agama atau kepercayaan mereka. Dalam hubungan ini Al-Qur�an memberikan petunjuk:
﴿۞
قُلْ مَنْ
يَّرْزُقُكُمْ
مِّنَ
السَّمٰوٰتِ
وَالْاَرْضِۗ
قُلِ اللّٰهُ
ۙوَاِنَّآ اَوْ
اِيَّاكُمْ
لَعَلٰى
هُدًى اَوْ
فِيْ ضَلٰلٍ
مُّبِيْنٍ ٢٤
﴾
Katakanlah: �Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi? �Katakanlah: �Allah�, dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik)pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. (QS Saba�: 24).
Al -Qurthuby menafsirkan ayat tersebut dengan menyatakan bahwa makna sebenarnya dari ayat tersebut adalah bahwa Rasulullah berkeyakinan bahwa agamanyalah yang benar, sedang orang-orang musyrikin itu salah atau tersesat. Sehingga seolah-olah ayat tersebut berbunyi: Inna �ala hudan waiyyakum fi dhalalin mubin.
Ayat tersebut pertama-tama mengajak kaum musyirikin untuk menyadari bahwa sembahan-sembahan mereka tidak mampu memberikan rizki. Allah lah yang memberikan rizki dengan menurunkan hujan dari langit dan menyiapkan berbagai sumber rizki lainnya untuk menghidupkan tumbuh-tumbuhan untuk di makan manusia dan binatang ternak.
Bila ayat tersebut memberikan kesan seolah-olah belum ada kegiatan tentang siapa diantara kedua belah pihak yang selamat dan siapa pula yang sesat, maka hal ini dimaksudkan untuk digunakan dalam tata interaksi sosial. Sedangkan pihak yang menyatakan kata itu (Nabi) telah yakin dalam hatinya bahwa dialah yang selamat. Apabila pihak pertama menyatakan hanya dengan agamanya itu ia mendapatkan keselamatan dan dengan agama yang lain sesat, maka akan menimbulkan bibit-bibit perselisihan yang dapat merusak hubungan sosial antara umat beragama dalam masyarakat. Konsekuensi logis yang lain dari kebebasan beragama bagi tata interaksi sosial dengan penganut agama lain adalah bahwa umat Islam wajib menjalin hubungan secara baik dengan mereka apabila mereka menghormati umat Islam dan menghargainya serta tidak menghalangi kebebasan beragama umat Islam. Sebagaimana dinyatakan dalam surat Al-Mumtahanah ayat 8:
﴿لَا
يَنْهٰىكُمُ
اللّٰهُ عَنِ
الَّذِيْنَ
لَمْ
يُقَاتِلُوْكُمْ
فِى
الدِّيْنِ
وَلَمْ
يُخْرِجُوْكُمْ
مِّنْ
دِيَارِكُمْ
اَنْ
تَبَرُّوْهُمْ
وَتُقْسِطُوْٓا
اِلَيْهِمْۗ
اِنَّ اللّٰهَ
يُحِبُّ
الْمُقْسِطِيْنَ
٨ ﴾
Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Ayat tersebut dapat dijadikan salah satu dasar bagi interaksi sosial umat Islam dengan penganut agama lain. Hal ini telah dipraktekkan pada masa Rasulullah di Madinah. Ketika itu umat Islam hidup dalam komunitas sosial dengan penganut agama lain. Salah satu yang pertama �tama diperhatikan oleh Nabi adalah pembuatan perjanjian dengan penganut agama lain (Yahudi) untuk hidup berdampingan secara damai. Perjanjian tersebut dikenal dengan piagam Madinah yang berisi antara lain:
1) Bahwa kaum Yahudi hidup damai
bersama-sama dengan kaum muslimin; kedua belah pihak bebas memeluk dan
menjalankan agamanya masing-masing.
2) Kaum muslimin dan kaum Yahudi
wajib tolong-menolong untuk sisapa saja yang memerangi Islam. Orang Yahudi
memikul tanggung jawab belanja sendiri dan orang Islam memikul belanja mereka
sendiri.
3) Kaum muslimin dan kaum Yahudi
wajib nasehat menasehati dan tolong menolong dalam melaksanakan kebijakan dan
keutamaan.
4) Bahwa kota Madinah adalah
kota suci yang wajib dihomati oleh mereka yng terikat oleh perjanjian itu. Bila
terjadi perselisihan anatar kaum Yahudi dengan kaum muslimin sekiranya
dikuatirkan akan mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan maka hendaknya
urusan itu diserahkan pada Allah dan Rasul.
5) Bahwa siapa saja yang tinggal
di dalam atau di luar kota Madinah wajib dilindungi keamanan dirinya kecuali
orang yang zalim dan bersalah, sebab Allah menjadi pelindung bagi orang -orang
yang berbaik hati.
Perjanjian tersebut merupakan bukti bahwa perjanjian politik yang dibuat oleh Nabi Muhammad SAW sejak lima belas abad yang silam telah menjamin kemerdekaan beragama dan berfikir serta hak-hak kehormatan jiwa dan harta golongan non muslim. Sebaliknya Islam melarang umat Islam bergaul dengan penganut agama lain yang berusaha menghalangi umat Islam dalam menjalankan agama mereka atau mengusir mereka dari negeri mereka sendiri. Al-Qur�an surat Al-Mumtahanah ayat 9 menyatakan:
﴿اِنَّمَا
يَنْهٰىكُمُ
اللّٰهُ عَنِ
الَّذِيْنَ
قَاتَلُوْكُمْ
فِى
الدِّيْنِ
وَاَخْرَجُوْكُمْ
مِّنْ
دِيَارِكُمْ
وَظَاهَرُوْا
عَلٰٓى
اِخْرَاجِكُمْ
اَنْ
تَوَلَّوْهُمْۚ
وَمَنْ
يَّتَوَلَّهُمْ
فَاُولٰۤىِٕكَ
هُمُ
الظّٰلِمُوْنَ
٩ ﴾
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
Sikap toleransi yang inheren dalam watak Islam itu karena Islam lebih mementingkan perdamaian dan kedamaian dari pada permusuhan dan peperangan. Sikap toleransi itu telah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW. Rasulullah menerapkan dasar toleransi dalam hubungan beliau dengan kaum musyrikin, baik dalam naskah perjanjian maupun di medan perang. Perjanjian Hudaibiyah adalah salah satu contoh. Pada perjanjian itu menunjukkan sikap keterlaluan kaum musyrikin yang berusaha menghalangi Nabi ketika akan menunaikan ibadah haji, dan toleransi yang mengesankan dari pihak Nabi. Ketika itu Nabi SAW menerima surat dari mereka untuk tidak menunaikan haji pada tahun itu juga. Dalam pada itu mereka mensyaratkan lagi bahwa barang siapa keluar dari Mekkah dan masuk Islam serta menggabungkan diri kepada Nabi tanpa izin keluarganya, haruslah dikembalikan ke Mekkah. Sebaliknya, barang siapa memisahkan diri dari Nabi dan kembali ke Mekkah serta murtad dari Islam, mereka boleh menerima dan tak diharuskan kembali ke Madinah.
Syarat itu diterima oleh Nabi sehingga
sejumlah sahabat merasa perjanjian itu berat sebelah. Tetapi Nabi SAW
mengutamakan kesabaran dan toleransi untuk menghindarkan terjadinya pertumpahan
darah. Kebijaksanaan Nabi itu bukan pertanda kelemahan melainkan petunjuk Islam
yang menganjurkan kesabaran sebagai pengganti peperangan dan lemah lembut
sebagai pengganti kekerasan.
B. Periode Madinah
1. Prinsip Kebebasan Beragama
Kebebasan beragama merupakan hak kebebasan yang terpenting yang dijaga dan dilindungi oleh Islam. Setiap orang berhak memeluk agama dan alirannya masing-masing dan tidak boleh dipaksa untuk meninggalkannya ataupun dilakukan penekanan dengan cara apapaun agar berpindah ke agama lain. Dalam ajaran Islam, tidaklah boleh ada pemaksaan kepada pemeluk agama lain untuk berkonvensi kepada Islam. Alasannya karena disadari bahwa keyakinan agama yang dipaksakan tidak akan bisa menimbulkan keyakinan yang sebenarnya.
Berkaitan dengan hal ini Al-Qur�an menyatakan bahwa:
لَآ
اِكْرَاهَ
فِى
الدِّيْنِۗ
قَدْ تَّبَيَّنَ
الرُّشْدُ
مِنَ
الْغَيِّ ۚ.........
�Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agam (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah �� (QS Al � Baqarah: 256)
Berkaitan dengan ayat tersebut, Yusuf Ali memberikan komentar bahwa iman merupakan prestasi moral dan sebagai kelengkapannya maka orang yang beriman itu harus memiliki kesabaran, tidak marah bila berhadapan dengan orang kafir. Disamping itu, yang lebih penting lagi adalah mereka tidak boleh memaksakan imannya kepada orang lain baik dengan tekanan fisik maupun tekanan sosial, bujukan kekayaan atas kedudukan dan keunggulan lainnya. Iman yang dipaksakan bukanlah iman. Orang harus berjalan secara spriritual dan biarkan rencana Tuhan berjalan sebagaimana dikehendaki. Dalam menafsirkan ayat di atas, Ibnu Katsir berkata vahwa jangan memaksa siapapun untuk memeluk agama Islam. Sebab sudah jelas petunjuk dan bukti-buktinya sehingga tidak perlu adanya pemaksaan terhadap seseorang utuk memeasukinya. Para ahli tafsir menginformasikan bahwa sebab turun ayat tersebut tampak menunjukkan adanya kebebasan beragama. Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Abbas berkata:
Ada seorang wanita yang mandul atau kurang subur. Ia
menetapkan atas dirinya sendiri bahwa jika ia melahirkan anak yang dapat terus
hidup, maka anak itu akan diyahudikannya (hal ini merupakan kebiasaan
wanita-wanita anshor di jaman jahiliyah). Maka ketika Bani Nadhir suatu kaum
yahudi diusir dari perkampungannya, diantara mereka terdapat beberapa putra
dari keluarga anshar. Ayah-ayah mereka berkata: Kita tidak akan membiarkan
anak-anak kita. Maksudnya kami tidak akan membiarkan mereka tetap beragama
yahudi agar mereka tidak ikut terusir. Maka Allah menurunkan ayat itu, bahwa
tidak ada paksaan dalam agama.
Dengan demikian meskipun ada pemaksaan dari orang tuanya sendiri maka Al-Qur�an tetap menolak pemaksaan agama itu. Karena iman sebagimana dikenal dikalangan umat Islam bukan hanya merupakan kalimat yang diucapkan secara lisan atau gerakan dalam upacara keagamaan yang dilaksanakan dalam anggota tubuh semata-mata, tetapi pokok iman adalah pengakuan hati, kepatuhan serta penyerahan seutuhnya.
Tidak dibolehkannya memaksakan suatu agama, diisi lain karena manusia dianggap telah dewasa dan telah mampu menentukan pilihannya sendiri sebagai jalan hidupnya. Tentang firman Allah surah Al-Baqarah ayat 256 di atas, Nurcholis Madjid menegaskan bahwa jalan hidup tiranik adalah lawan dari jalan hidup beriman kepada Allah. Itu berarti bahwa jalan hidup beriman kepada Tuhan adalah kebalikan dari sikap memaksa-maksa. Beriman kepada Allah sebagai kebalikan dai tiranisme melahirkan sikap yang selalu menyediakan ruang bagi pertimbangan akal sehat untuk membuat penilaian yang jujur atau fair terhadap setiap persoalan.
1. Masalah Petunjuk dalm Al
�Qur�an
Sebagai akibat dari kebebasannya manusia untuk beragama sebagaimana difirmankan dalam surah Al-Baqarah ayat 256, berarti secara langsung memberi hak kepada manusia untuk menolak petunjuk yang telah ada. Hal ini difirmankan Allah dalam surat Al-Insan ayat 3 berikut:
﴿اِنَّا
هَدَيْنٰهُ
السَّبِيْلَ
اِمَّا شَاكِرًا
وَّاِمَّا
كَفُوْرًا ٣
﴾
�Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.�
Ayat ini menerangkan bahwa sesungguhnya Allah telah menunjuki ke jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. Dari perkataan �sabil� yang terdapat dalam ayat ini tergambar keinginan Allah terhadap manusia yakni membimbing manusia kepada hidayat-Nya sebab-sabil lebih tepat diartikan petunjuk daripada jalan. Hidayah itu berupa dalil-dalil ke Esa an Allah dan kebangkitan Rasul yang disebutkan dalam kitab suci. Sabil (hidayah) itu dapat ditangkap dengan pendengaran, penglihatan dan pikiran. Tuhan hendak menunjukkan kepada manusia bukti-bukti kewujudan-Nya melalui penglihatan terhadap diri (ciptaan) mereka sendiri dan melalui penglihatan terhadap alam semesta, sehingga pikirannya merasa puas untuk mengimani-Nya. Akan tetapi memang sudah merupakan kenyataan bahwa terhadap pemberian Allah itu, sebagiam manusia ada yang bersyukur tetapi ada pula yang ingkar (kafir). Tegasnya ada yang menjadi mukkmin yang berbahagia, ada pula yang kafir. Dengan sabil itu pula manusia bebas menentukan pilihannya antara dua alternatif yang tersedia itu.
Petunjuk Tuhan itu menunjukkan arah yang ditemukan agar mencapai apa yang diinginkan-Nya. Akan tetapi umat manusia dapat menolak petunjuk ini, walaupun mereka tidak dapat mengajukan alasan yang valid tentang penolakan itu. Akibat dari penolakan itu manusia akan mendapatkan kesesatan. Penting untuk diperhatikan bahwa Al-Qur�an menilai penyebab kesesatan merupakan reaksi Tuhan terhadap perbuatan-perbuatan atau sikap-sikap yang memuaskan dari pihak individu-individu yang telah memilih untuk menolak keyakinan.
2. Praktek Kebebasan Beragama
pada Masa Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Mu�awiyah dan Masa Dinasti
Abbasiyah
Fakta sejarah menunjukkan bukti adanya toleransi Islam terutama pada saat umat Islam mencapai kemenangan dan kekuasaan, dan bukti adanya kebebasan beragama di negeri-negeri di bawah naungan bendera Islam. Hal ini dapat diketahui dari tindakan dan kebijaksanaan para khalifah dan para penguasa lainnyasebagai berikut:
a. Abu Bakar sebagai khalifah I,
ketika meletus Usamah panglima perangnya yang hendak berperang di Syiria
berpesan agar Usamah tidak berbuat kejam dan sewenang-wenang serta bertindak
benar dan adil. Dan apabila menjumpai orang-orang yang berada di gereja yang
sedang melakukan kebaktian pada Tuhan agar tidak diganggu dan dibiarkannya
b. Uamr sebagai khalifah II,
berpesan pada semua panglima dan gubernurnya agar mereka melindungi keselamatan
dan kemanan penduduk non-muslim, baik harta benda maupun jiwanya dan mereka
harus diberi kebebasan melakukan ajaran agama dan adat istiadatnya
c. Penguasa Mua�awiyah sebagai
pendiri dinasti Umayah pernah mengangkat Sarjun, seorang kristen sebagai
menteri keuangan dan memerintahkan agar gereja-gereja yang rusak akibat gempa
bumi diperbaiki atas tanggungan negara.
d. Pada masa pemerintahan Umayah
di Andalusia Spanyol, fakta sejarah menunjukkan bahwa khalifah II bukan hanya
menjamin kemerdekaan beragama kepada penduduk asli yang non-muslim, tetapi
mereka juga diberi kesempatan yang luas untuk memangku jabatan-jabatan yang
tinggi dan penting.
Pada masa dinasti Abbasiyah, para khalifah Abbasiyah memperhatikan kepentingan semua warga negaranya yang bermacam-macam asal kebangsaan dan agamanya. Mereka dijamin keselamatan jiwa, harta bendanya, kehormatannya dan kebebasan beragama seluas-luasnya. Pada masa khalifah makmun banyak sekali pengarang dan penerjemah dari berbagai bangsa dan agama dipekerjakan oleh khalifah di gedung Baitul Hikmah.
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan beberapa hal yang pertama adalah
terkait prinsip kebebasan beragama. Bahwa itu merupakan hak
terpenting, dijaga dan dijamin oleh Al-Qur�an, oleh karenanya tidak ada paksaan
untuk memasuki agama Islam, sebab iman yang dipaksakan bukanlah iman.
Bila iman dipaksakan maka akan menimbulkan sikap
munafik yang justru bertentangan dengan iman itu sendiri.
Konsekuensi logis kebebasan beragama bagi tata interaksi sosial adalah
Rasulullah SAW terbukti mengakui eksistensi Ahlul Kitab yang menolak ajakan
Tauhid dan membiarkan mereka tetap pada keyakinan masing-masing. Serta Al-Qur�an secara tegas
memerintahkan umat Islam untuk menjaga hubungan baik dengan penganut agama lain khususnya Ahlul Kitab. Kemudian, azaz yang harus
dipegangi dalam Islam dalam berinteraksi dengan penganut agama lain adalah
sikap menghormati agama dan kepercayaan mereka (non-muslim) serta mengakui
perbedaan cara melakukan peribadatan.
Djati,
Sunan Gunung. n.d. �Historiografi Kristen Awal.�
Fauzi, A.
n.d. �Epistemologi Tafsir Abad Pertengahan: Studi Atas Tafsir Al-Jami�Li Ahkam
Al-Qur�an Karya Al-Qurtubi.�
Komarudin,
Didin. 2020. �Pemikiran Murtadha Muthahhari Tentang Fitrah Manusia.�
Luthfi,
Kholifatush. 2021. �Layanan Sosial Bagi Penyandang Autis Ditinjau Dari Teori
Erich Fromm.�
Nasution,
Aulia Rosa. 2019. �Kebebasan Beragama Dalam Tinjauan Hak Asasi Manusia.� Jurnal
Hukum Responsif 6(6):67�92.
Rahmawati,
Sri Tuti. 2021. �Kecerdasan Verbal Dalam Perspektif Al-Qur�an.�
Saleh,
Madon. 2021. �Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Multikultural Pada Buku Teks
Pendidikan Agama Islam Dan Budi Pekerti SMP/MTs Kelas VIII.�
Siswanto,
Nopri Dwi, Stevan Malik, and Mutia Fauzia. 2022. �Sebuah Interpretasi
Kontemporer Atas Fenomena Kebahasaan Dalam Al-Qur�an: Interpretasi Kontemporer
Atas Fenomena Kebahasaan Dalam Al-Qur�an.� Qolamuna: Jurnal Studi Islam
7(2):116�30.
Suripto, E.
D. I. 2018. �Wawasan Al-Qur�an Tentang Toleransi Keagamaan (Studi Tafs�r
Al-Mishb�ḥ Karya Muhammad Quraish Shihab).�
Swardiyamsyah,
Swardiyamsyah. 2019. �Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Toleransi Beragama.� AL-IRSYAD
7(1).
Taufan, M.
U. H. n.d. �Nilai Nilai Humanisme Dalam Ajaran Tasawuf.�
Ulfa, Rizky
Mutia. 2022. �Pengaruh Membaca Al-Qur�an Terhadap Psikoreligi Residivis.�
Umar, H.
Nasaruddin. 2021. Islam Nusantara: Jalan Panjang Moderasi Beragama Di Indonesia.
Elex Media Komputindo.
Utami,
Kartika Nur. 2018. �Kebebasan Beragama Dalam Perspektif Al-Qur�an.� Kalimah:
Jurnal Studi Agama Dan Pemikiran Islam 16(1):23�34.
Viri,
Kristina, and Zarida Febriany. 2020. �Dinamika Pengakuan Penghayat Kepercayaan
Di Indonesia.� Indonesian Journal of Religion and Society 2(2):97�112.