Jurnal Sosial dan Teknologi (SOSTECH)

Volume 2, Number 3, Maret 2022

p-ISSN 2774-5147 ; e-ISSN 2774-5155

TINJAUAN PENATALAKSANAAN KEGAWATDARURATAN� PADA REMAJA DENGAN BUNUH DIRI DI SMK MUHAMMADIYAH PADANG

Weni Mailita1, Diana Arianti2 dan Amelia Susanti3

Sekolah� Tinggi Ilmu Kesehatan Alifah Padang, Indonesia

1[email protected], 2[email protected], 3[email protected]

 

 

Diterima:

8 Maret 2022

Direvisi:

14 Maret 2022

Disetujui:

15 Maret 2022

Abstrak

Bunuh diri merupakan masalah kesehatan yang menjadi perhatian utama di banyak negara terutama pada kelompok anak-anak dan usia paruh baya. Pada tahun 2012, WHO mengungkapkan bunuh diri merupakan penyebab kematian nomor dua terbanyak pada kelompok usia 15-29 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui� gambaran risiko bunuh diri pada remaja di SMK Muhammadiyah Kota Padang. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain penelitian deskriptif korelasi dan pendekatan Cross Sectional Study yaitu pengukuran variabel independen dan variabel dependen yang diukur dalam waktu bersamaaan. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa remaja harus bersiap untuk memasuki fase dewasa awal. Mahasiswa akan banyak mendapatkan peran, tugas dan kewajiban yang baru, dan berbeda dari sebelumnya. Baik laki-laki maupun wanita berupaya menemukan bidang pekerjaan yang sesuai dengan minat dan karirnya. Hal ini berarti bahwa mahasiswa akan mengalami berbagai masalah baru di dalam masa transisi untuk benar-benar menjadi dewasa. Tekanan yang dialami individu akibat masalah-masalah yang timbul dalam tugas perkembangan itulah yang menjadi salah satu faktor pemicu kecenderungan bunuh diri pada remaja. karakteristik berdasarkan jenis kelamin, mahasiswa baru laki � laki dikategorikan dalam risiko bunuh diri rendah begitu juga dengan mahasiswa perempuan. Ini ini karena remaja laki-laki cenderung untuk mengekspresikan masalah emosional dalam bentuk agresivitas sementara perempuan cenderung menginternalisasi masalah dan menjadi depresi yang berujung pada ide bunuh diri.

.Kata kunci: Bunuh Diri, Remaja, SMK

 

Abstract

Suicide is a health problem that is a major concern in many countries, especially in children and middle age groups. In 2012, WHO revealed that suicide was the second most common cause of death in the 15-29 year age group. This study aims to describe the risk of suicide in adolescents at SMK Muhammadiyah Padang City. This type of research is a quantitative research with a descriptive correlation research design and a Cross Sectional Study approach, namely the measurement of the independent variable and the dependent variable, which are measured at the same time. The results indicate that adolescents must be prepared to enter the early adulthood phase. Students will get many new roles, tasks and obligations, which are different from before. Both men and women try to find a field of work that matches their interests and career. This means that students will experience various new problems in the transition period to truly become adults. The pressure experienced by individuals due to problems that arise in developmental tasks is one of the triggering faktor� s for suicidal tendencies in adolescents. Characteristics based on gender, male freshmen are categorized as low suicide risk as well as female students. This is because boys tend to express emotional problems in the form of aggressiveness while girls tend to internalize problems and become depressed which leads to suicidal ideation.

Keywords: Suicide, Adolescence, Vocational School


PENDAHULUAN

 

Bunuh diri merupakan masalah kesehatan yang menjadi perhatian utama di banyak negara terutama pada kelompok anak-anak dan usia paruh baya (Zulaikha & Febriyana, 2018). Pada tahun 2012, WHO mengungkapkan bunuh diri merupakan penyebab kematian nomor dua terbanyak pada kelompok usia 15-29 tahun (Mantiri, Kristanto, & Siwu, 2016). Di Indonesia belum ada data secara nasional mengenai kejadian bunuh diri pada anak dan remaja. Namun berdasarkan data pada tahun 2012, WHO memperkirakan kejadian bunuh diri di Indonesia adalah 4,3% per 100.000 populasi (WHO, 2012). Kemudian Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI pada tahun 2014 melakukan penelitian ekstrapolasi dan menunjukkan angka kejadian bunuh diri di Indonesia adalah 1,77 per 100.000 penduduk (Zulaikha & Febriyana, 2018). Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPAI) pada tahun 2014 melaporkan ada 89 kasus bunuh diri pada anak dan remaja. Sembilan kasus pada rentang usia 5 sampai 10 tahun. Sementara 12 hingga 15 tahun ada 39 kasus. Sedangkan yang berusia di atas 15 tahun ada 27 kasus (Noviana, 2015).

Bunuh diri merupakan suatu kegawatdaruratan psikiatri yang merupakan tindakan destruktif yang dapat merusak intergritas diri (Fitriani, 2017). Pada laki-laki prevalensi bunuh diri tiga kali lebih sering dibandingkan dengan wanita, karena laki-laki lebih sering menggunakan alat yang lebih efektif untuk bunuh diri seperti pistol, menggantung diri, atau lompat dari gedung yang tinggi. Sedangkan wanita lebih sering penyebab kematian kedua dimana motivasi remaja melakukan percobaan bunuh diri yaitu 51% masalah dengan orang tua, 30% masalah sekolah dan 16% masalah dengan saudara (Jannah, 2010). Keluarga sering menjadi sorotan utama bila remaja bermasalah. Kenyataan ini tidak bisa dipungkiri karena remaja itu sendiri merupakan bagian dari keluarga.

Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang berlangsung antara usia 10 sampai 19 tahun (Fhadila, 2017). Salah satu gambaran dasar masa remaja adalah adanya serangkaian perubahan biologis atau dikenal sebagai masa pubertas. Masa pubertas melibatkan serangkaian kejadian biologis yang berdampak pada perubahan tubuh. Menurut Stuart (2016) perubahan fisik, kognitif dan emosional yang dialami pada fase remaja dapat menimbulkan stres dan memicu perilaku unik pada remaja. Disamping itu, salah satu tugas perkembangan remaja yang harus dilalui adalah mengembangkan identitas diri dan mulai mengembangkan kemandirian emosional dari orangtua. Remaja memiliki keinginan alam bawah sadar untuk mempertahankan ketergantungannya, namun disisi lain remaja juga dalam proses kemandirian. Sehingga remaja mungkin akan menunjukkan sikap ambivalen yang ditunjukkan dalam emosi yang meluap-luap. Kegagalan dalam mencapai tugas perkembangan pada masa ini dapat menyebabkan kebingungan peran (role confusion) (Keliat, 2013).

Selain itu masalah yang dapat timbul dari kurangnya rasa percaya diri pada anak, yang akan diekspresikan pada perilaku kenakalan remaja (Wahyuni, 2021). Sehingga dampak yang muncul adalah berbagai perilaku menyimpang seperti perilaku agresif (Hasanah, Hijrianti, & Iswinarti, 2020). Masalah perilaku anak dan remaja seperti perilaku agresif dapat berkembang menjadi gejala positif skizotipal (Barneveld et al., 2014). Salah satu masalah gangguan kesehatan mental yang umum dialami oleh remaja adalah suicide.� Tingkat bunuh diri bervariasi mulai dari ide bunuh diri, ancaman bunuh diri, percobaan bunuh diri dan tindakan bunuh diri. Faktor risiko bunuh diri pada anak dan remaja mencakup gangguan psikiatri, stresor psikososial, faktor kognitif dan faktor biologi. Selain itu bunuh diri pada anak dan remaja juga dipengaruhi oleh perkembangan kognitif, pemahaman mengenai kosep kematian, faktor afektif dan peran kelekatan.

Tren remaja yang mengalami masalah cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia pada tahun 2007 menunjukkan beberapa kenakalan remaja diantaranya adalah kasus tentang minuman keras, rokok dan narkoba. Pada masa remaja dengan perilaku penyalahgunaan zat, masalah hukum, agresi/tawuran pelajar, menjadikan risiko tinggi bunuh diri pada remaja (Fitria & Maulidia, 2019). Banyaknya masalah dan perilaku menyimpang pada masa remaja menunjukkan bahwa remaja merupakan kelompok risiko terhadap masalah kesehatan jiwa.

Apabila berbagai perilaku menyimpang yang terjadi pada masa remaja dibiarkan terus berlanjut, maka akan semakin banyak remaja yang tidak siap untuk melaksanakan perannya sebagai generasi penerus. National Service Framework (NSF) for Children and Young People menyampaikan bahwa masa transisi harus dibimbing, dididik, dan merupakan proses terapeutik tidak hanya sebatas proses administratif. Transisi yang efektif juga harus memberikan kesempatan pada remaja untuk mengalami perubahan secara luas, lebih dari sekedar kebutuhan klinis remaja (RCN, 2013 dalam Fitria & Maulidia, 2019). Dukungan sosial baik dari keluarga, sekolah, maupun lingkungan luar merupakan hal yang penting bagi kesehatan jiwa remaja, dalam menjalani masa transisi.

Stuart (2016) mengemukakan bahwa jenis kepribadian yang paling sering melakukan bunuh diri adalah tipe agresif, bermusuhan, putus asa, harga diri rendah dan kepribadian anti sosial. Anak akan lebih besar melakukan upaya bunuh diri bila berasal dari keluarga yang menerapkan pola asuh otoriter atau keluarga yang pernah melakukan bunuh diri. Selain itu juga faktor gangguan emosi dan keluarga dengan alkoholisme, riwayat psikososial seperti orang tua yang bercerai, putus hubungan, kehilangan pekerjaan atau multiple stress seperti pindah rumah, kehilangan dan penyakit kronik merupakan faktor predisposisi yang dapat membentuk koping yang maladaptif serta dapat mencetuskan bunuh diri.

Penatalaksanaan gangguan jiwa remaja di antaranya yaitu pencegahan primer melalui berbagai program sosial yang ditujukan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif dan pencegahan sekunder dengan menemukan kasus secara dini pada remaja yang mengalami kesulitan di sekolah sehingga tindakan yang tepat dapat segera dilakukan. Dengan menemukan kasus secara dini dapat meminimalkan tingkat keparahan masalah kesehatan jiwa pada remaja dan memberikan benefit secara ekonomi mengingat bahwa pengobatan gangguan jiwa memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit (Pakpahan et al., 2021). Bedasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah penelitian ini adalah menggambarkan tinjuan penatalaksanaan keperawatan kegawatdaruratan pada remaja dengan bunuh diri. Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam mengenal kesehatan jiwa dan melakukan asuhan keperawatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui� gambaran Risiko Bunuh Diri pada Remaja di SMK Kota Padang.

 

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain penelitian deskriptif korelasi dan pendekatan Cross Sectional Study �yaitu pengukuran variabel independen dan variabel dependen yang diukur dalam waktu bersamaaan (Notoatmodjo, 2018). Pada penelitian ini mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan risiko bunuh diri yaitu: faktor� �psikologis, faktor keluarga dan faktor lingkungan. Penelitian ini dilaksanakan di SMK Muhammadiyah Padang. Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai dengan Agustus tahun 2020. Pada penelitian ini populasi adalah siswa kelas XI yang berjumlah 40 orang dan langsung dijadikan sampel dalam penelitian ini. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling yang dimana pengambilannya secara keseluruhan oleh peneliti.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Penelitian ini berfokus terhadap penatalaksanaan keperawatan kegawatdaruratan pada remaja dengan bunuh diri. Untuk lebih menggambarkan hasil penelitian, berikut dipaparkan karakteristik partisipan (nama disamarkan), proses wawancara dan deskripsi hasil penelitian. Adapun karakteristik partisipan sebagai berikut:

Tabel 1. Karakteristik Partisipan

No

Karakteristik Responden

Kategori

f

%

1.

Berdasarkan usia

Remaja� Awal

Remaja Akhir

1

39

2,5

97,5

2.

Berdasarkan jenis kelamin

Laki-laki

Perempuan

32

8

80

29

Sumber: data yang diolah

Berdasarkan tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa karakteristik sampel berdasarkan usia hampir keseluruhannya pada kelompok remaja akhir sedangkan untuk karakteristik jenis kelamin sebagian besar adalah remaja laki-laki.

 

Tabel 2. Gambaran risiko bunuh diri pada remaja SMK Muhammadiyah Kota Padang

Variabel

Kategori

F

%

Risiko Bunuh Diri

Risiko Tinggi

11

27,5

 

Risiko Rendah

29

72,5

Sumber: data yang diolah

Berdasrakan pada tabel 2 dapat dilihat bahwa pada remaja di SMK Muhammadiyah Kota Padang memiliki risiko bunuh diri dalam kategori risiko rendah. Hasil penelitian ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Hurlock (2015) remaja dalam perkembangannya termasuk dalam masa remaja akhir yang merupakan masa � masa bermasalah. Hal ini disebabkan pada tahap ini remaja harus bersiap untuk memasuki fase dewasa awal. Mahasiswa akan banyak mendapatkan peran, tugas dan kewajiban yang baru, dan berbeda dari sebelumnya. Baik laki-laki maupun wanita berupaya menemukan bidang pekerjaan yang sesuai dengan minat dan karirnya. Hal ini berarti bahwa mahasiswa akan mengalami berbagai masalah baru di dalam masa transisi untuk benar-benar menjadi dewasa. Tekanan yang dialami individu akibat masalah-masalah yang timbul dalam tugas perkembangan itulah yang menjadi salah satu faktor pemicu kecenderungan bunuh diri pada remaja.

Apabila ditinjau dari jenis kelamin, laki laki menunjukkan peluang untuk melakukan bunuh diri (commit suicide) empat kali lebih� banyak� dari� perempuan.� Tetapi� peluang� bagi� perempuan untuk melakukan percobaan bunuh diri (attempt to suicide) empat kali lebih banyak dari laki laki. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian sikap yang menggambarkan ide bunuh diri pada perempuan lebih terlihat. Remaja laki-laki cenderung untuk mengekspresikan masalah emosional dalam bentuk agresivitas yang merupakan bentuk dari perilaku mencederai diri secara tidak langsung dan perilaku antisosial lainnya sementara perempuan cenderung menginternalisasi masalah dan menjadi depresi yang berujung pada ide bunuh diri.

Setiap�� individu�� pasti�� pernah�� mengalami�� masalah�� dan kegagalan dalam kehidupannya, namun respon terhadap kegagalan tersebut seringkali ditanggapi dengan respon yang negatif oleh beberapa�� individu,�� seperti�� putus�� harapan�� dan�� depresi� �yang kemudian mengarah kepada perilaku bunuh diri. Tindakan tersebut tidak lepas dari tinggi rendahnya penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri. Hal ini diungkapkan oleh Karin (n.d.) yang menyatakan bahwa setiap orang mempunyai kecenderungan untuk bunuh diri, tergantung pada seberapa besar penilaian seseorang terhadap� dirinya� sendiri.� Sedangkan� menurut� Nicholas� Emler dalam Riyadi (2004) (dalam Karin, n.d.) rendahnya harga diri yang dimiliki seseorang merupakan pencetus faktor risiko terjadinya usaha untuk bunuh diri dan keinginan untuk bunuh diri. Penilaian terhadap diri sendiri seringkali disebut dengan harga diri. Harga diri menunjuk kepada perasaan dasar kita tentang kelayakan dan nilai, pengetahuan eksistensial�� tentang�� kapasitas�� mencintai�� dan�� sebagai objek kecintaan orang lain. Harga diri juga dapat digunakan sebagai penilaian atau evaluasi seseorang terhadap dirinya sendiri bahwa yang bersangkutan dapat mengerjakan sesuatu.

 

KESIMPULAN

 

Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh simpulan bahwa karakteristik berdasarkan jenis kelamin, mahasiswa baru laki-laki dikategorikan dalam risiko bunuh diri rendah begitu juga dengan mahasiswa perempuan. Ini ini karena remaja laki-laki cenderung untuk mengekspresikan masalah emosional dalam bentuk agresivitas sementara perempuan cenderung menginternalisasi masalah dan menjadi depresi yang berujung pada ide bunuh diri. Penilaian terhadap harga diri juga dapat digunakan oleh remaja sebagai penilaian atau evaluasi seseorang terhadap dirinya sendiri, bahwa yang bersangkutan dapat mengerjakan sesuatu, bahwa dirinya adalah orang yang berharga, dan orang yang mampu.

 

DAFTAR PUSTAKA

Barneveld, P. S., Swaab, H., Fagel, S., Van Engeland, H., & de Sonneville, L. M. J. (2014). Quality of life: A case-controlled long-term follow-up study, comparing young high-functioning adults with autism spectrum disorders with adults with other psychiatric disorders diagnosed in childhood. Comprehensive Psychiatry, 55(2), 302�310.

Fhadila, K. D. (2017). Menyikapi perubahan perilaku remaja. JPGI (Jurnal Penelitian Guru Indonesia), 2(2), 16�23.

Fitria, Y., & Maulidia, R. (2019). Hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan kesehatan jiwa remaja di SMPN Kota Malang.

Fitriani, D. R. (2017). Analisa Praktik Klinik Keperawatan Jiwa pada Klien Resiko Bunuh Diri dengan Intervensi Inovasi Guided Imageryterhadap Gejala Resiko Bunuh Diri di Ruang Punai RSJD Atma Husada Samarinda Tahun 2017.

Hasanah, U., Hijrianti, U. R., & Iswinarti, I. (2020). Pengaruh Smartphone Addiction Terhadap Perilaku Agresif Pada Remaja. Proyeksi: Jurnal Psikologi, 15(2), 182�191.

Hurlock, E. B. (2015). Developmental Psychology: An Approach Along the Range of Life. Jakarta: Erlangga.

Jannah, S. R. (2010). TINJAUAN PENATALAKSANAAN KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN DENGAN BUNUH DIRI. Idea Nursing Journal, 1(1), 32�38.

Karin, N. P. A. E. S. (n.d.). GAMBARAN RISIKO BUNUH DIRI PADA MAHASISWA BARU DI PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA.

Keliat. (2013). Ilmu Keperawatan Jiwa Komunitas. Jakarta: EGC.

Mantiri, A. D. B., Kristanto, E., & Siwu, J. (2016). PROFIL KASUS BUNUH DIRI DI KOTA MANADO PERIODE JANUARI-NOVEMBER 2015. E-CliniC, 4(1).

Notoatmodjo, S. (2018). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Noviana, I. (2015). Kekerasan seksual terhadap anak: dampak dan penanganannya. Sosio Informa, 1(1).

Pakpahan, M., Siregar, D., Susilawaty, A., Tasnim, T., Ramdany, R., Manurung, E. I., � Maisyarah, M. (2021). Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Yayasan Kita Menulis.

Stuart, G. W. (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Stuart 2.

Wahyuni, S. (2021). Psikologi Remaja: Penanggulangan Kenakalan Remaja. Penerbit PUSTAKA STAR�S LUB.

Zulaikha, A., & Febriyana, N. (2018). Bunuh Diri pada Anak dan Remaja. Jurnal Psikiatri Surabaya, 7(2), 62�72.

 


This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License