Jurnal Sosial
dan Teknologi (SOSTECH) Volume
2, Number 3, Maret 2022
TINJAUAN PENATALAKSANAAN
KEGAWATDARURATAN� PADA REMAJA DENGAN
BUNUH DIRI DI SMK MUHAMMADIYAH PADANG Weni Mailita1, Diana Arianti2 dan Amelia Susanti3 Sekolah� Tinggi Ilmu Kesehatan
Alifah Padang, Indonesia |
|
Diterima: 8 Maret 2022 Direvisi: 14 Maret 2022 Disetujui: 15 Maret 2022 |
Abstrak Bunuh
diri merupakan masalah kesehatan yang menjadi perhatian utama di banyak
negara terutama pada kelompok anak-anak dan usia paruh baya. Pada tahun 2012,
WHO mengungkapkan bunuh diri merupakan penyebab kematian nomor dua terbanyak
pada kelompok usia 15-29 tahun. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui� gambaran risiko bunuh diri pada remaja di SMK Muhammadiyah Kota Padang. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif
dengan desain penelitian deskriptif korelasi dan pendekatan Cross
Sectional Study yaitu pengukuran variabel independen dan variabel
dependen yang diukur dalam waktu bersamaaan. Hasil penelitian mengindikasikan
bahwa remaja harus bersiap untuk memasuki fase dewasa awal. Mahasiswa akan
banyak mendapatkan peran, tugas dan kewajiban yang baru, dan berbeda dari
sebelumnya. Baik laki-laki maupun wanita berupaya menemukan bidang pekerjaan
yang sesuai dengan minat dan karirnya. Hal ini berarti bahwa mahasiswa akan
mengalami berbagai masalah baru di dalam masa transisi untuk benar-benar
menjadi dewasa. Tekanan yang dialami individu akibat masalah-masalah yang
timbul dalam tugas perkembangan itulah yang menjadi salah satu faktor pemicu
kecenderungan bunuh diri pada remaja. karakteristik berdasarkan jenis
kelamin, mahasiswa baru laki � laki dikategorikan dalam risiko bunuh diri rendah begitu juga dengan
mahasiswa perempuan. Ini ini karena remaja laki-laki cenderung untuk
mengekspresikan masalah emosional dalam bentuk agresivitas sementara
perempuan cenderung menginternalisasi masalah dan menjadi depresi yang
berujung pada ide bunuh diri. .Kata kunci: Bunuh
Diri, Remaja, SMK Abstract Suicide is a health problem that is a major
concern in many countries, especially in children and middle age groups. In 2012,
WHO revealed that suicide was the second most common cause of death in the
15-29 year age group. This study aims to describe the risk of suicide in
adolescents at SMK Muhammadiyah Padang City. This type of research is a
quantitative research with a descriptive correlation research design and a
Cross Sectional Study approach, namely the measurement of the independent
variable and the dependent variable, which are measured at the same time. The
results indicate that adolescents must be prepared to enter the early
adulthood phase. Students will get many new roles, tasks and obligations,
which are different from before. Both men and women try to find a field of
work that matches their interests and career. This means that students will
experience various new problems in the transition period to truly become
adults. The pressure experienced by individuals due to problems that arise in
developmental tasks is one of the triggering faktor�
s for suicidal tendencies in
adolescents. Characteristics based on gender, male freshmen are categorized
as low suicide risk as well as female students. This is because boys tend to
express emotional problems in the form of aggressiveness while girls tend to
internalize problems and become depressed which leads to suicidal ideation. Keywords: Suicide,
Adolescence, Vocational School |
Bunuh diri merupakan masalah
kesehatan yang menjadi perhatian utama di banyak negara terutama pada kelompok
anak-anak dan usia paruh baya (Zulaikha
& Febriyana, 2018). Pada tahun 2012, WHO mengungkapkan bunuh diri
merupakan penyebab kematian nomor dua terbanyak pada kelompok usia 15-29 tahun (Mantiri, Kristanto,
& Siwu, 2016). Di Indonesia belum ada data secara nasional
mengenai kejadian bunuh diri pada anak dan remaja. Namun berdasarkan data pada
tahun 2012, WHO memperkirakan kejadian bunuh diri di Indonesia adalah 4,3% per
100.000 populasi (WHO, 2012). Kemudian Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kemenkes RI pada tahun 2014 melakukan penelitian ekstrapolasi dan
menunjukkan angka kejadian bunuh diri di Indonesia adalah 1,77 per 100.000
penduduk (Zulaikha & Febriyana,
2018). Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPAI) pada
tahun 2014 melaporkan ada 89 kasus bunuh diri pada anak dan remaja. Sembilan
kasus pada rentang usia 5 sampai 10 tahun. Sementara 12 hingga 15 tahun ada 39
kasus. Sedangkan yang berusia di atas 15 tahun ada 27 kasus (Noviana, 2015).
Bunuh diri merupakan
suatu kegawatdaruratan psikiatri yang merupakan tindakan destruktif yang dapat
merusak intergritas diri (Fitriani, 2017). Pada laki-laki prevalensi bunuh diri tiga kali
lebih sering dibandingkan dengan wanita, karena laki-laki lebih sering
menggunakan alat yang lebih efektif untuk bunuh diri seperti pistol, menggantung
diri, atau lompat dari gedung yang tinggi. Sedangkan wanita lebih sering
penyebab kematian kedua dimana motivasi remaja melakukan percobaan bunuh diri
yaitu 51% masalah dengan orang tua, 30% masalah sekolah dan 16% masalah dengan
saudara (Jannah, 2010). Keluarga sering menjadi sorotan utama bila remaja
bermasalah. Kenyataan ini tidak bisa dipungkiri karena remaja itu sendiri
merupakan bagian dari keluarga.
Masa remaja
merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang
berlangsung antara usia 10 sampai 19 tahun (Fhadila, 2017). Salah satu gambaran dasar masa remaja adalah
adanya serangkaian perubahan biologis atau dikenal sebagai masa pubertas. Masa
pubertas melibatkan serangkaian kejadian biologis yang berdampak pada perubahan
tubuh. Menurut Stuart (2016) perubahan fisik, kognitif dan emosional yang
dialami pada fase remaja dapat menimbulkan stres dan memicu perilaku unik pada
remaja. Disamping itu, salah satu tugas perkembangan remaja yang harus dilalui
adalah mengembangkan identitas diri dan mulai mengembangkan kemandirian
emosional dari orangtua. Remaja memiliki keinginan alam bawah sadar untuk
mempertahankan ketergantungannya, namun disisi lain remaja juga dalam proses kemandirian.
Sehingga remaja mungkin akan menunjukkan sikap ambivalen yang ditunjukkan dalam
emosi yang meluap-luap. Kegagalan dalam mencapai tugas perkembangan pada masa
ini dapat menyebabkan kebingungan peran (role confusion) (Keliat, 2013).
Selain itu masalah
yang dapat timbul dari kurangnya rasa percaya diri pada anak, yang akan
diekspresikan pada perilaku kenakalan remaja (Wahyuni, 2021). Sehingga dampak yang muncul adalah berbagai
perilaku menyimpang seperti perilaku agresif (Hasanah, Hijrianti,
& Iswinarti, 2020). Masalah perilaku anak dan remaja seperti perilaku
agresif dapat berkembang menjadi gejala positif skizotipal (Barneveld et al., 2014). Salah satu masalah gangguan kesehatan mental yang
umum dialami oleh remaja adalah suicide.�
Tingkat bunuh diri bervariasi mulai dari ide bunuh diri, ancaman bunuh
diri, percobaan bunuh diri dan tindakan bunuh diri. Faktor risiko bunuh diri
pada anak dan remaja mencakup gangguan psikiatri, stresor psikososial, faktor
kognitif dan faktor biologi. Selain itu bunuh diri pada anak dan remaja juga
dipengaruhi oleh perkembangan kognitif, pemahaman mengenai kosep kematian,
faktor afektif dan peran kelekatan.
Tren remaja yang
mengalami masalah cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Hasil Survey
Demografi Kesehatan Indonesia pada tahun 2007 menunjukkan beberapa kenakalan
remaja diantaranya adalah kasus tentang minuman keras, rokok dan narkoba. Pada
masa remaja dengan perilaku penyalahgunaan zat, masalah hukum, agresi/tawuran
pelajar, menjadikan risiko tinggi bunuh diri pada remaja (Fitria &
Maulidia, 2019). Banyaknya masalah dan perilaku menyimpang pada
masa remaja menunjukkan bahwa remaja merupakan kelompok risiko terhadap masalah
kesehatan jiwa.
Apabila berbagai
perilaku menyimpang yang terjadi pada masa remaja dibiarkan terus berlanjut,
maka akan semakin banyak remaja yang tidak siap untuk melaksanakan perannya
sebagai generasi penerus. National Service Framework (NSF) for Children and
Young People menyampaikan bahwa masa transisi harus dibimbing, dididik, dan
merupakan proses terapeutik tidak hanya sebatas proses administratif. Transisi
yang efektif juga harus memberikan kesempatan pada remaja untuk mengalami
perubahan secara luas, lebih dari sekedar kebutuhan klinis remaja (RCN, 2013
dalam Fitria &
Maulidia, 2019). Dukungan sosial baik dari keluarga, sekolah,
maupun lingkungan luar merupakan hal yang penting bagi kesehatan jiwa remaja,
dalam menjalani masa transisi.
Stuart (2016) mengemukakan bahwa jenis kepribadian yang paling
sering melakukan bunuh diri adalah tipe agresif, bermusuhan, putus asa, harga
diri rendah dan kepribadian anti sosial. Anak akan lebih besar melakukan upaya
bunuh diri bila berasal dari keluarga yang menerapkan pola asuh otoriter atau
keluarga yang pernah melakukan bunuh diri. Selain itu juga faktor gangguan
emosi dan keluarga dengan alkoholisme, riwayat psikososial seperti orang tua
yang bercerai, putus hubungan, kehilangan pekerjaan atau multiple stress seperti pindah rumah, kehilangan dan penyakit
kronik merupakan faktor predisposisi yang dapat membentuk koping yang
maladaptif serta dapat mencetuskan bunuh diri.
Penatalaksanaan
gangguan jiwa remaja di antaranya yaitu pencegahan primer melalui berbagai
program sosial yang ditujukan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif dan pencegahan
sekunder dengan menemukan kasus secara dini pada remaja yang mengalami
kesulitan di sekolah sehingga tindakan yang tepat dapat segera dilakukan.
Dengan menemukan kasus secara dini dapat meminimalkan tingkat keparahan masalah
kesehatan jiwa pada remaja dan memberikan benefit secara ekonomi mengingat
bahwa pengobatan gangguan jiwa memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit (Pakpahan et al.,
2021). Bedasarkan latar belakang di atas maka rumusan
masalah penelitian ini adalah menggambarkan tinjuan penatalaksanaan keperawatan
kegawatdaruratan pada remaja dengan bunuh diri. Hasil penelitian ini diharapkan
dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam mengenal kesehatan jiwa dan melakukan
asuhan keperawatan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui� gambaran Risiko Bunuh Diri pada Remaja di SMK Kota Padang.
Jenis penelitian ini
adalah penelitian kuantitatif dengan desain penelitian deskriptif korelasi dan
pendekatan Cross Sectional Study �yaitu pengukuran variabel independen dan
variabel dependen yang diukur dalam waktu bersamaaan (Notoatmodjo, 2018). Pada penelitian ini mengidentifikasi
faktor-faktor yang berhubungan dengan risiko
bunuh diri yaitu: faktor� �psikologis, faktor keluarga dan faktor lingkungan. Penelitian ini dilaksanakan di
SMK Muhammadiyah Padang. Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai dengan
Agustus tahun 2020. Pada penelitian ini populasi adalah siswa kelas XI yang
berjumlah 40 orang dan langsung dijadikan sampel dalam penelitian ini. Teknik pengambilan sampel
yang digunakan adalah total sampling yang dimana pengambilannya
secara keseluruhan oleh peneliti.
Penelitian ini berfokus
terhadap penatalaksanaan keperawatan kegawatdaruratan pada remaja dengan bunuh diri.
Untuk lebih menggambarkan hasil penelitian, berikut dipaparkan karakteristik
partisipan (nama disamarkan), proses wawancara dan deskripsi hasil penelitian.
Adapun karakteristik partisipan sebagai berikut:
Tabel
1.
Karakteristik
Partisipan
No |
Karakteristik
Responden |
Kategori |
f |
% |
1. |
Berdasarkan usia |
Remaja� Awal Remaja Akhir |
1 39 |
2,5 97,5 |
2. |
Berdasarkan jenis kelamin |
Laki-laki Perempuan |
32 8 |
80 29 |
Sumber:
data yang diolah
Berdasarkan tabel 1 di atas dapat
dilihat bahwa karakteristik sampel berdasarkan usia hampir keseluruhannya pada
kelompok remaja akhir sedangkan untuk karakteristik jenis kelamin sebagian
besar adalah remaja laki-laki.
Tabel
2. Gambaran risiko bunuh diri pada remaja SMK Muhammadiyah Kota Padang
Variabel |
Kategori |
F |
% |
Risiko Bunuh
Diri |
Risiko Tinggi |
11 |
27,5 |
|
Risiko Rendah |
29 |
72,5 |
Sumber:
data yang diolah
Berdasrakan pada tabel 2 dapat
dilihat bahwa pada remaja di SMK Muhammadiyah Kota Padang memiliki risiko bunuh
diri dalam kategori risiko
rendah. Hasil penelitian ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Hurlock (2015)
remaja dalam perkembangannya termasuk dalam masa remaja akhir yang merupakan
masa � masa bermasalah. Hal ini disebabkan pada tahap ini remaja harus bersiap
untuk memasuki fase dewasa awal. Mahasiswa akan banyak mendapatkan peran, tugas
dan kewajiban yang baru, dan berbeda dari sebelumnya. Baik laki-laki maupun
wanita berupaya menemukan bidang pekerjaan yang sesuai dengan minat dan
karirnya. Hal ini berarti bahwa mahasiswa akan mengalami berbagai masalah baru
di dalam masa transisi untuk benar-benar menjadi dewasa. Tekanan yang dialami
individu akibat masalah-masalah yang timbul dalam tugas perkembangan itulah
yang menjadi salah satu faktor pemicu kecenderungan bunuh diri pada remaja.
Apabila ditinjau dari jenis
kelamin, laki laki menunjukkan peluang untuk melakukan bunuh diri (commit suicide) empat kali lebih� banyak�
dari� perempuan.� Tetapi�
peluang� bagi� perempuan untuk melakukan percobaan bunuh
diri (attempt to suicide) empat kali lebih banyak dari
laki laki. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian sikap yang menggambarkan ide
bunuh diri pada perempuan lebih terlihat. Remaja laki-laki cenderung untuk
mengekspresikan masalah emosional dalam bentuk agresivitas yang merupakan
bentuk dari perilaku mencederai diri secara tidak langsung dan perilaku
antisosial lainnya sementara perempuan cenderung menginternalisasi masalah dan
menjadi depresi yang berujung pada ide bunuh diri.
Setiap�� individu��
pasti�� pernah�� mengalami��
masalah�� dan kegagalan dalam
kehidupannya, namun respon terhadap kegagalan tersebut seringkali ditanggapi
dengan respon yang negatif oleh beberapa��
individu,�� seperti�� putus��
harapan�� dan�� depresi�
�yang kemudian mengarah kepada
perilaku bunuh diri. Tindakan tersebut tidak lepas dari tinggi rendahnya
penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri. Hal ini diungkapkan oleh Karin (n.d.)
yang menyatakan bahwa setiap orang mempunyai kecenderungan untuk bunuh diri,
tergantung pada seberapa besar penilaian seseorang terhadap� dirinya�
sendiri.� Sedangkan� menurut�
Nicholas� Emler dalam Riyadi
(2004) (dalam Karin, n.d.) rendahnya harga diri yang
dimiliki seseorang merupakan pencetus faktor risiko terjadinya usaha untuk bunuh diri dan
keinginan untuk bunuh diri. Penilaian terhadap diri sendiri seringkali disebut
dengan harga diri. Harga diri menunjuk kepada perasaan dasar kita tentang
kelayakan dan nilai, pengetahuan eksistensial��
tentang�� kapasitas�� mencintai��
dan�� sebagai objek
kecintaan orang lain. Harga diri juga dapat digunakan sebagai penilaian atau
evaluasi seseorang terhadap dirinya sendiri bahwa yang bersangkutan dapat
mengerjakan sesuatu.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh simpulan
bahwa karakteristik berdasarkan jenis kelamin, mahasiswa baru laki-laki
dikategorikan dalam risiko bunuh diri rendah begitu juga dengan mahasiswa
perempuan. Ini ini karena remaja laki-laki cenderung untuk
mengekspresikan masalah emosional dalam bentuk agresivitas sementara perempuan
cenderung menginternalisasi masalah dan menjadi depresi yang berujung pada ide
bunuh diri. Penilaian terhadap harga diri juga dapat digunakan oleh remaja
sebagai penilaian atau evaluasi seseorang terhadap dirinya sendiri, bahwa yang
bersangkutan dapat mengerjakan sesuatu, bahwa dirinya adalah orang yang
berharga, dan orang yang mampu.
Barneveld, P. S.,
Swaab, H., Fagel, S., Van Engeland, H., & de Sonneville, L. M. J. (2014).
Quality of life: A case-controlled long-term follow-up study, comparing young
high-functioning adults with autism spectrum disorders with adults with other
psychiatric disorders diagnosed in childhood. Comprehensive Psychiatry, 55(2),
302�310.
Fhadila, K. D. (2017). Menyikapi perubahan perilaku
remaja. JPGI (Jurnal Penelitian Guru Indonesia), 2(2), 16�23.
Fitria, Y., & Maulidia, R. (2019). Hubungan antara
dukungan sosial keluarga dengan kesehatan jiwa remaja di SMPN Kota Malang.
Fitriani, D. R. (2017). Analisa Praktik Klinik
Keperawatan Jiwa pada Klien Resiko Bunuh Diri dengan Intervensi Inovasi Guided
Imageryterhadap Gejala Resiko Bunuh Diri di Ruang Punai RSJD Atma Husada
Samarinda Tahun 2017.
Hasanah, U., Hijrianti, U. R., & Iswinarti, I.
(2020). Pengaruh Smartphone Addiction Terhadap Perilaku Agresif Pada Remaja. Proyeksi:
Jurnal Psikologi, 15(2), 182�191.
Hurlock, E. B. (2015). Developmental Psychology: An
Approach Along the Range of Life. Jakarta: Erlangga.
Jannah, S. R. (2010). TINJAUAN PENATALAKSANAAN
KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN DENGAN BUNUH DIRI. Idea Nursing Journal, 1(1),
32�38.
Karin, N. P. A. E. S. (n.d.). GAMBARAN RISIKO BUNUH
DIRI PADA MAHASISWA BARU DI PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA.
Keliat. (2013). Ilmu Keperawatan Jiwa Komunitas.
Jakarta: EGC.
Mantiri, A. D. B., Kristanto, E., & Siwu, J.
(2016). PROFIL KASUS BUNUH DIRI DI KOTA MANADO PERIODE JANUARI-NOVEMBER 2015. E-CliniC,
4(1).
Notoatmodjo, S. (2018). Metodologi penelitian
kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Noviana, I. (2015). Kekerasan seksual terhadap anak:
dampak dan penanganannya. Sosio Informa, 1(1).
Pakpahan, M., Siregar, D., Susilawaty, A., Tasnim, T.,
Ramdany, R., Manurung, E. I., � Maisyarah, M. (2021). Promosi Kesehatan dan
Perilaku Kesehatan. Yayasan Kita Menulis.
Stuart, G. W. (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan
Kesehatan Jiwa Stuart 2.
Wahyuni, S. (2021). Psikologi Remaja:
Penanggulangan Kenakalan Remaja. Penerbit PUSTAKA STAR�S LUB.
Zulaikha, A., & Febriyana, N. (2018). Bunuh Diri
pada Anak dan Remaja. Jurnal Psikiatri Surabaya, 7(2), 62�72.