Wahyoe Rita Wulandari
295
KUNCI PERTUMBUHAN GEREJA DI INDONESIA YANG BERBASIS DATA
DARI PERSPEKTIF EVANGELIKAL DAN TINJAUAN KRITIS ATASNYA
Wahyoe Rita Wulandari
Sekolah Tinggi Filsafat JAFFRAY, Indonesia
rwahyu@israelbiblecenter.com
Diterima:
8 Maret 2022
Direvisi:
14 Maret 2022
Disetujui:
15 Maret 2022
Abstrak
Data yang tertera dalam buku-buku tentang pertumbuhan gereja kebanyakan
bukanlah angka-angka faktual tetapi lebih pada angka motivasi, harapan atau
apologetis. Pendekatan penelitian empiris pada tema atau teologi pertumbuhan
gereja menghasilkan data dengan angka-angka faktual. Bilangan Research Center
(BRC) adalah lembaga penelitian empiris yang menyediakan rujukan data yang
relevan, valid dan terkini tentang spiritualitas kekristenan dan pertumbuhan gereja.
Spiritualitas dan pertumbuhan gereja dibahas menggunakan basis data penelitian
empiris tingkat nasional. Tulisan jurnal ini membahas BRC dalam perspektif
evangelikal dan mengkritisi temuan-temuannya dalam perspektif ekumenikal.
.
Kata kunci: Amanat Agung, Penginjilan, Pemuridan, Pertumbuhan Gereja,
Bilangan Research center, Berbasis Data
Abstract
The datas which is contained in the books of church growth are mostly non-
empirical research, on the other hand only raises subject of motivational, hope &
promises and apologetic figures. Empirical research approach on the theme or
theology of church growth produces data with factual figures. Bilangan Research
Center (BRC) is an empirical research institute that provides relevant, valid and
current reference data on Christian spirituality and church growth. Spirituality and
church growth are discussed using a national-level empirical research database.
This paper examines the BRC from an evangelical perspective and critiques its
findings from an ecumenical perspective.
Keywords: Great Commission, evangelism, discipleship, church growth, research
center numbers, data-based
Jurnal Sosial dan Teknologi (SOSTECH)
Volume 2, Number 3, Maret 2022
p-ISSN 2774-5147 ; e-ISSN 2774-5155
Kunci Pertumbuhan Gereja di Indonesia yang Berbasis Data dari Perspektif e-ISSN 2774-5155
Evangelikal dan Tinjauan Kritis Atasnya
Wahyoe Rita Wulandari
296
PENDAHULUAN
Pata tahun 1994, lahir sebuah buku bunga rampai tentang pertumbuhan gereja. Ada dua
belas penulis dalam buku tersebut dan empat penulis diantaranya terkenal dalam literatur
pertumbuhan gereja (Hutagalung et al., 2021). Dua penulis pertama, yaitu Petrus Octavianus dan
Chris Marantika, kita kenal sebagai pelopor pertumbuhan gereja di Indonesia. Sedangkan dua
penulis berikutnya, yaitu Bambang Budijanto dan Gideon I. Tanbunaan, sejak tahun 2017, kita
kenal sebagai pelopor pertumbuhan gereja berbasis data penelitian empiris pada tingkat nasional.
Sekalipun demikian, di buku yang terbit tahun 1994 ini, Bambang dan Gideon belum membahas
soal pertumbuhan gereja berbasis data penelitian empiris. Bambang menulis soal “peranan
pelayanan desa dalam pertumbuhan gereja”, sedangkan Gideon menulis soal “pendekatan budaya
setempat”. Sekalipun membahas soal yang berbeda, keduanya sama-sama membicarakan
pendekatan budaya yang dipahami sebagai kontekstualisasi dan juga keduanya sama-sama tidak
mendasari pemaparannya berbasis data hasil penelitian empiris. Keduanya, sama seperti yang
penulis lain dalam buku itu, lebih mengutamakan apa yang seharusnya gereja lakukan supaya
bertumbuh berdasarkan Alkitab.
Berbicara tentang pertumbuhan gereja tanpa basis data hasil penelitian ilmiah adalah ciri
tulisan di tahun 1990-an hingga sebelum tahun 2017 (Ahdar, 2017). Buku-buku terjemahan tentang
pertumbuhan gereja pun tidak memberikan data hasil penelitian empiris. Kalau lah ada penyebutan
angka-angka di dalamnya, angka-angka itu tidak memiliki rujukan pada hasil penelitian empiris
(Abbas, 2016). Hanya penyebutan angka-angka saja. Sebagai contoh, ini bisa kita lihat tatkala
Peter Wagner mengatakan bahwa di Amerika Latin, selama abad ke-20, ada pertumbuhan gereja
Protestan yang paling dramatis: tahun 1900 hanya ada sekitar 50.000 jemaat, tahun 1930-an lebih
dari 1 juta, tahun 1950-an lebih dari 5 juta, tahun 1960-an lebih dari 10 juta, tahun 1970-an lebih
dari 20 juta dan akhir tahun 1980-an lebih dari 50 juga dan akan mencapai 137 juta pada tahun
2000. Pertumbuhan selama 80 tahun, dari 50 ribu hingga 50 juta tidak berdasarkan data hasil
penelitian ilmiah. Ini angka-angka motivasi, angka harapan atau bahkan angka apologetis terhadap
Katolik sehingga memberi kesan kesuksesan Protestan yang luar biasa. Dari Pew Research
Center kita mendapatkan angka bahwa pada tahun 2014, jumlah penduduk Amerika Latin adalah
425 juta dengan pembagian Katolik 69% (293,25 juta) dan Protestan 19% (80,75 juta atau sekitar
81 juta). Prediksi Peter Wagner 137 juta cukup jauh dari 81 juta. Selain dari pada itu, kita juga bisa
bertanya, di dalam kerangka gerakan ekumene, apakah bisa dikatakan “pertumbuhan” jika yang
terjadi hanyalah “perpindahan” dari Katolik ke Protestan? Bukankah mereka sama-sama
“Kristen”?.
Sebagai orang Kristen, mungkin kita senang dengan angka-angka motivasi yang “meledak”
luar biasa. Terlebih lagi kalau dikatakan bahwa pertumbuhan gereja itu adalah hasil dari program
penginjilan gereja. Maka, kita akan lebih termotivasi untuk melakukan penginjilan. Kita akan
senang membaca buku-buku pertumbuhan gereja yang dihasilkan oleh penginjilan. Tetapi, apakah
faktanya demikian? Ternyata, tidak. Bambang Budijanto, dengan lembaga penelitian ilmiahnya
Bilangan Research Center (BRC), menemukan data bahwa penginjilan menyumbangkan hanya
1,7% untuk pertumbuhan gereja. Angka itu jauh lebih kecil daripada pertumbuhan biologis
(memiliki anak) yang menyumbangkan angka 23,8% untuk pertumbuhan gereja. Dan yang
mengejutkan lagi, angka terbesar dari pertumbuhan gereja adalah karena pindah dari gereja lain,
yaitu sebesar 45,7%. Apakah ini bisa disebut “pertumbuhan”? Dalam makalah ini, pertanyaan ini
dan pertanyaan lain berkaitan dengan temuan pokok BRC akan kita analisa.
Judul dari jurnal ini “Kunci Pertumbuhan Gereja di Indonesia dari Perspektif Evangelikal”
sebagian diambil dari buku terbitan BRC yaitu Kunci Pertumbuhan Gereja di Indonesia. Hanya
Kunci Pertumbuhan Gereja di Indonesia yang Berbasis Data dari Perspektif e-ISSN 2774-5155
Evangelikal dan Tinjauan Kritis Atasnya
Wahyoe Rita Wulandari
297
saja, dalam judul makalah ada tambahan “dari Perspektif Evangelikal.” Diberi tambahan demikian
supaya pembaca semakin memahami buku Kunci Pertumbuhan Gereja di Indonesia dan
pertanyaan-pertanyaan yang dimunculkan dalam penelitian ilmiahnya. Kritik yang paling mudah
dapat kita berikan dari lawannya “perspektif evangelikal”, yaitu “perspektif ekumenikal.”
METODE PENELITIAN
Penelitian kualitatif kepustakaan merupakan jenis penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh perspektif evangelis tentang
kunci ekspansi atau pertumbuhan gereja di Indonesia. Peneliti melakukan tinjauan literatur untuk
lebih memahami dan menganalisis perspektif evangelis tentang ekspansi gereja. Sumber data yang
digunakan adalah alkitab, buku, jurnal atau literatur yang bisa mendukung penelitian ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perspektif Evangelikal
Richard Siwu memasukkan Petrus Octavianus dan Chris Marantika ke dalam kelompok
evangelikal. Dalam konteks kongres Lausanne 1974, Octavianus memberi presentasi soal
pentingnya dasar Alkitabiah untuk mencari identitas kultural di Asia. Alkitab dilihat sebagai satu-
satunya landasan berteologi yang memiliki kebenaran universal yang mutlak atau “kebenaran
supra kultural” yang mengatasi semua kebenaran kultural. Alkitab dapat dikhotbahkan dalam
situasi apapun. Kebenaran-kebenarannya “dapat diterapkan pada kebudayaan apa pun dan di dalam
keadaan apa pun juga dalam sejarah”. Di sini, “kontekstualisasi” dipahami lebih sebagai
aktualisasi, penerjemahan atau penerapan iman Kristen ke dalam situasi konkret. Prosedurnya
“dari teks ke konteks”. Dalam konteks kongres Lausanne II 1989, Chris Marantika memberi
kesaksian tentang pertumbuhan gereja di Indonesia. Lausanne II sendiri memberi perhatian pada
“tugas memberitakan Injil secara utuh kepada seluruh dunia”. Dan ini sebagai tanda kesetiaan
orang-orang evangelikal kepada Amanat Agung. Misi “berpusat pada gereja” atau bergerak dari
“gereja dan setiap orang Kristen yang lahir kembali” ke dunia non-Kristen. Orang yang telah lahir
baru ini lah yang diamanatkan untuk melaksanakan Amanat Agung Yesus Kristus.
Gerakan Lausanne yang dipimpin oleh Billy Graham adalah pelanjutan diskusi-diskusi
evangelikal di Berlin tahun 1966 yang disponsori oleh Billy Graham Evangelistic Association dan
oleh jurnal evangelikal Christianity Today. Kongres Berlin bertema “Satu ras, Satu Injil, Satu
tugas” dan merumuskan satu dasar teologi evangelisasi sedunia yang Alkitabiah dan menemukan
metode baru evangelisasi. Bermisi mendapat tekanan atas dasar iman pribadi yang tidak tergantung
pada institusi gereja.
Kalau Billy Graham menjadi pelopor gerakan evangelisasi sedunia, maka Donald A.
McGavran menjadi pelopor gerakan pertumbuhan gereja. McGavran mengubah tiga pendekatan
misi tradisional yang tidak tepat, yaitu pendekatan individualistis, pendekatan “stasiun misi”
(mendirikan gereja-gereja) dan “penaklukkan kebudayaan” (memaksakan kebudayaan Barat),
menjadi program pertumbuhan gereja di setiap sektor masyarakat sehingga menjadi “gerakan
rakyat” Ada lima alasan Alkitabiah bahwa program pertumbuhan gereja adalah “perintah Allah”,
yaitu (1) Matius 9:37-38, dunia adalah ladang bermisi untuk menuai jiwa-jiwa; (2) Roma 1:5, tugas
gereja adalah “untuk menuntun semua bangsa, supaya mereka percaya dan taat kepadaNya”; (3)
Matius 28: 18-19, gereja membimbing orang dalam skala dunia untuk menjadikan murid “semua
rakyat dan semua golongan masyarakat di mana pun juga”; (4) I Korintus 10:33 - 11:1,
memenangkan sebanyak mungkin orang-orang yang tidak percaya; (5) Markus 14:9,
melaksanakan evangelisasi di seluruh dunia.
Selain lima alasan Alkitabiah tersebut, McGavran memberi tujuh langkah teologis bagi
Kunci Pertumbuhan Gereja di Indonesia yang Berbasis Data dari Perspektif e-ISSN 2774-5155
Evangelikal dan Tinjauan Kritis Atasnya
Wahyoe Rita Wulandari
298
pengembangan program pertumbuhan gereja, yaitu: (1) dorongan untuk berevangelisasi; (2)
melipatgandakan jumlah gereja di tengah orang-orang yang belum terjangkau oleh injil; (3)
menjadikan seluruh bangsa atau lapisan masyarakat murid Yesus; (4) kedekatan hubungan dengan
masyarakat yang telah menjadi Kristen; (5) tanggungjawab keuangan dan doa yang tiada hentinya;
(6) informasi yang akurat kepada jemaat lokal dan denominasi; (7) semangat evangelisasi pada
orang awam. Jadi, dari ketujuh langkah ini, kita melihat ada tiga inti pokok program pertumbuhan
gereja, yaitu pelipatgandaan jumlah jemaat lokal, memuridkan suku-suku bangsa bahkan seluruh
umat manusia, dan mencari yang terhilang.
McGavran mendirikan Institute of Church Growth tahun 1961. Lalu berubah namanya
menjadi School of World Mission dan kemudian bergabung dengan Fuller Theological Seminary
tahun 1965. Akhirnya, gerakan pertumbuhan gereja McGavran bergandengan tangan dengan Billy
Graham Evangelistic Association dan World Evangelical Fellowship (WEF) yang kini bernama
World Evangelical Alliance (WEA). Dalam wadah evangelikal sedunia inilah bergabung
Evangelical Fellowship of Asia (EFA) yang berdiri tahun 1983. Dan, pada tahun 2008, EFA
berganti nama menjadi Asian Evangelical Alliance (AEA). Saat ini, Bambang Budijanto adalah
sekretaris umum AEA.
Bambang Budijanto, ketua dewan pembina BRC, adalah salah satu penulis buku Kunci
Pertumbuhan Gereja di Indonesia. Penulis yang lain adalah Handi Irawan, yang saat ini menjabat
sebagai ketua BRC dan wakil ketua yayasan STT SAAT Malang. Pada tanggal 28 Maret 2018,
bertempat di STT SAAT, berlangsung seminar yang dibawakan oleh BRC. Dalam acara ini pula,
ditandatangani perjanjian kerjasama antara STT SAAT dengan BRC. Sebelumnya, keduanya juga
menjadi penulis dalam buku Dinamika Spiritualitas Generasi Muda Kristen Indonesia, yang
disunting oleh Bambang dan yang diterbitkan oleh BRC.
Kunci Pertumbuhan Gereja di Indonesia yang Berbasis Data
Sebelum membahas buku Kunci Pertumbuhan Gereja di Indonesia yang berbasis data, ada
baiknya kita meletakkan pemikiran buku ini dalam pendekatan empiris yang meneliti sebuah
pokok permasalahan dengan metodologi riset ilmiah. Gitowiratmo, dalam bukunya Gagasan Dasar
Pastoral Berbasis Data, memperkenalkan empat model atau pendekatan pastoral yang bisa kita
pakai untuk pendekatan pada pertumbuhan gereja. Keempat pendekatan tersebut adalah:
1. Pendekatan Rintisan. Bertujuan untuk plantatio ecclesiae atau penanaman gereja, yang
berarti membentuk dan mengembangkan komunitas-komunitas gerejawi. Prosedurnya top-
down dengan berpola hubungan pimpinan-bawahan atau guru-murid. Pada posisi top ada
seorang tokoh sentral yang mengajar (pastor sentris) dan pada posisi down ada murid yang
belajar tentang doktrin iman.
2. Pendekatan Terapan Kanonik. Bertujuan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan
kanonik. Yang kanonik ini berisi prinsip-prinsip yang bersifat universal dan tidak
memandang kekhasan (konteks) hidup jemaat yang konkret. Prosedurnya top-down, di
mana yang top menurunkan aturan dan yang down melakukannya.
3. Pendekatan Partisipatif. Gereja adalah persekutuan orang beriman dengan Kristus sebagai
pusatnya. Gambaran gereja bukanlah piramidal yang top-down, tetapi lingkaran. Seluruh
komunitas beriman berpartisipasi dalam karya pastoral dan mendapat tempat sesuai
dengan karunia, kompetensi dan keilmuannya masing-masing. Di sini, pendekatan
pastisipatif bersifat lintas ilmu dan bahkan lintas agama.
4. Pendekatan Empiris. Bersifat lintas ilmu dan mengutamakan data yang tertata dan terukur.
Disebut “empiris” karena memberi perhatian pada kenyataan hidup jemaat yang dialami
dan ditangkap (dihitung, dilihat, dianalisis dll.) sebagai “fenomena empiris”. Muara
pendekatan empiris adalah karya pastoral yang kontekstual, relevan dan signifikan.
Kunci Pertumbuhan Gereja di Indonesia yang Berbasis Data dari Perspektif e-ISSN 2774-5155
Evangelikal dan Tinjauan Kritis Atasnya
Wahyoe Rita Wulandari
299
Kata “kontekstual” pada pendekatan empiris lebih dekat pada perspektif ekumenikal
dibanding pada perspektif evangelikal karena yang ekumenikal “berangkat dari konteks”
sedangkan yang evangelikal “berangkat dari teks” untuk diterapkan pada konteks. Dalam
metodologi riset dijelaskan bahwa responden riset adalah para pemimpin gereja Kristen yang
mayoritas memiliki tugas, jabatan, serta tanggung jawab pelayanan sebagai gembala jemaat atau
pendeta. Pemilihan pada pemimpin ini menunjukkan sifat “pastor sentris” pada pendekatan
rintisan. Jadi, di sini, dari perspektif evangelikal, pendekatan terapan dan pendekatan rintisan yang
top-down bercampur dengan pendekatan empiris dengan penekanan pada pentingnya data yang
relevan dan signifikan; atau, menggunakan bahasanya BRC, “data yang relevan, valid, dan
terkini”. Dengan memahami jiwa evangelikal dan pentingnya penelitian empiris yang
menghasilkan “data yang relevan, valid, dan terkini”, kita dapat memahami lebih baik apa yang
disajikan buku Kunci Pertumbuhan Gereja di Indonesia.
Dalam “Kata Pengantar” dikatakan bahwa sesuai visinya, BRC adalah lembaga pelayanan
yang menyediakan data terkini, valid, dan relevan bagi gereja dan lembaga gerejawi. Fokus pada
“gereja dan lembaga gerejawi” adalah misi evangelikal yang berpusat pada gereja. Ini ditegaskan
berkali-kali di dalam pernyataan misinya sebagaimana terdapat dalam situs resminya, misalnya,
“Membantu gereja dalam membuat strategi dan program pertumbuhan gereja yang efektif”. BRC
berharap bahwa dia dan gereja bersama-sama setia mengerjakan misi Amanat Agung. Riset
keempat BRC fokus pada soal memuridkan dan keterlibatan gereja dalam menaati Amanat Agung
Tuhan Yesus.i Pertumbuhan gereja direncanakan sesuai visi teologis Amanat Agung.
Dalam “Pendahuluan”, dinyatakan pendapat McGavran soal hubungan antara pertumbuhan
gereja dan visi Amanat Agung. McGavran berpendapat bahwa penginjilan adalah input, yaitu
orang-orang terhilang yang harus dimenangkan untuk Kristus, dibaptis, dan kemudian menjadi
anggota gereja. Sedangkan output-nya adalah pertumbuhan gereja. Pertumbuhan gereja
dipengaruhi oleh ketaatan dalam menjalankan visi Amanat Agung. Inti pertumbuhan gereja adalah
upaya penginjilan yang berhasil. McGavran melakukan riset pertumbuhan gereja dengan metode
observasi dan investigasi di mana dia mencatat gereja-gereja mana saja yang bertumbuh dan
membandingkannya dengan gereja-gereja yang tidak bertumbuh. Kombinasi dari metodologi riset
dan doktrin teologis membuat pertumbuhan gereja bersifat lintas ilmu atau multidisipliner demi
melaksanakan Amanat Agung untuk menjadikan segala bangsa murid-Nya secara efektif. BRC
sendiri mengkombinasikan riset statistik dan riset sosiologis karena melibatkan budaya berbeda di
Indonesia. Dalam riset, data dan informasi yang diperoleh sangat bergantung pada pertanyaannya.
Karena sifat “sangat bergantung ini lah, di atas perlu dijelaskan terlebih dahulu “perspektif
evangelikal”. Dalam buku Kunci Pertumbuhan Gereja di Indonesia, pertanyaannya keluar dari
doktrin teologis evangelikal (Ugak & Nafensy, 2022).
Doktrin teologis evangelikal, sebagaimana dijelaskan dalam bagian “perspektif evangelikal”
sangat berpusat pada penginjilan dalam visi Amanat Agung dengan hasil kenaikan jumlah anggota
gereja, pemuridan dan iman pribadi. Oleh karena itu, dalam buku Kunci Pertumbuhan Gereja di
Indonesia, kita membaca pertanyaan-pertanyaan survei yang berkaitan dengan penginjilan,
pemuridan dan iman pribadi. Sebagai contoh, dalam “profil responden” yang ditanya adalah soal
kapan lahir baru atau kapan mengambil keputusan untuk ikut Yesus, siapa yang membawa pada
Yesus, dan pernah memuridkan atau tidak. Dalam “instrumen riset”, ditanyakan soal “bagaimana
responden hamba Tuhan mengenal Kristus”, pertumbuhan kuantitas umat di gereja, keterlibatan
jemaat dalam proses pemuridan, pertumbuhan kuantitas gereja baru yang dirintis dan pertanyaan
yang berhubungan dengan panggilan, motivasi, dan tantangan yang dihadapi hamba Tuhan.
Doktrin teologis evangelikal tidak banyak bicara tentang pelayanan sosial. Oleh karena itu, dalam
“instrumen riset” dan dalam “dinamika gereja sehat di Indonesia”, sekalipun ditulis soal pelayanan
Kunci Pertumbuhan Gereja di Indonesia yang Berbasis Data dari Perspektif e-ISSN 2774-5155
Evangelikal dan Tinjauan Kritis Atasnya
Wahyoe Rita Wulandari
300
sosial, hal ini tidak mendapat perhatian yang cukup dalam riset BRC tentang pertumbuhan gereja
ini. BRC menemukan faktor kepemimpinan dan strategi sebagai kunci pertumbuhan gereja di
Indonesia.
BRC menghitung pertumbuhan dari “jumlah rata-rata umat yang beribadah setiap hari
Minggu di gereja tersebut”ii. BRC mengelompokkan jemaat dalam tiga kategori, yaitu jemaat
dewasa 25 tahun ke atas, jemaat remaja-pemuda 15-24 tahun dan jemaat anak 1-14 tahun. Dalam
konteks jemaat dewasa yang beribadah pada hari Minggu, BRC mengelompokkan responden
gereja dalam tiga kategori ukuran, yaitu: pertama, gereja kecil 1-50 umat; kedua, gereja sedang 51-
200 umat; dan ketiga, gereja besar lebih dari 200 umat. Dalam konteks jemaat remaja-pemuda dan
anak yang beribadah pada hari Minggu, BRC mengelompokkan responden gereja dalam tiga
kategori ukuran, yaitu: jemaat kecil 1-50 umat, jemaat sedang 51-100 umat dan jemaat besar lebih
dari 100 umat. Makalah ini lebih fokus pada jemaat dewasa dan membahas secukupnya jemaat
remaja-pemuda dan anak.
Apakah gereja di Indonesia bertumbuh? Secara nasional, 58% jemaat dewasa bertumbuh,
sedangkan 42% tidak bertumbuh.iii Secara kategorial di atas, gereja yang paling bertumbuh adalah
gereja sedang. Apa penyebab dari pertumbuhan tersebut? Ada tujuh penyebab, yaitu:
1. Pindah dari gereja lain 45,7%
2. Pertumbuhan biologis (memiliki anak) 23,8%
3. Perkawinan dengan agama lain 11,7%
4. Konversi (pindah dari agama lain) 8,7%
5. Pindah tempat tinggal 2.2%
6. Penginjilan 1,7 %
7. Lainnya 8,2%
Penyebab utama pertumbuhan jemaat dewasa adalah “pindah dari gereja lain” (45,7%).
Penyebab berikutnya (46,4%) berkaitan dengan berkeluarga, yaitu memiliki anak (“pertumbuhan
biologis”) dan kawin dengan pemeluk agama lain, dan pindah tempat tinggal. “Lainnya” 8,2% dan,
yang sangat mengejutkan, penginjilan 1,7%. Menurut BRC, “penginjilan 1,7%” berarti hanya 1,7%
gereja di Indonesia yang penyebab utama pertumbuhan jumlah umatnya berasal dari upaya
penginjilan. Ini sangat kecil sekali dibanding penyebab “pindah dari greja lain”, “berkeluarga” dan
“pindah tempat tinggal” yang semuanya mencapai 92,1%. Jadi, dari temuan BRC di atas,
pertumbuhan gereja saat ini bukanlah hasil upaya yang disengaja dari program penginjilan tetapi
sebuah pertumbuhan natural dari kegiatan berpindah dan berkeluarga.
Apakah pertumbuhan gereja di Indonesia memenui kriteria gereja yang sehat? BRC
mempunyai sepuluh kriteria gereja sehat, yang saya kelompokkaniv sebagai berikut:
A. Kuantitas
1. Jumlah jemaat dewasa bertambah (tumbuh secara kuantitas)
2. Jumlah jemaat anak bertambah (tumbuh secara kuantitas)
3. Jumlah jemaat remaja-pemuda bertambah (tumbuh secara kuantitas)
4. Merintis lebih dari satu gereja baru
B. Investasi
5. Investasi pada pengembangan kepemimpinan
6. Investasi pada membangun generasi mendatang
7. Investasi pada misi dan pengabaran injil
C. Kualitas
8. Spiritualitas, terlibat dalam proses pemuridan
9. Keterlibatan, terlibat dalam pelayanan rutin
10. Gereja memiliki program pelayanan sosial bagi masyarakat di sekitarnya
Kunci Pertumbuhan Gereja di Indonesia yang Berbasis Data dari Perspektif e-ISSN 2774-5155
Evangelikal dan Tinjauan Kritis Atasnya
Wahyoe Rita Wulandari
301
Dengan kriteria tersebut, BRC menetapkan tiga ukuran: tidak sehat (1-4), kurang sehat (5-6)
dan sehat (7-10). Angka yang di dalam tanda kurung adalah jumlah kriteria yang harus dipenuhi
dan minimal ada satu dari kuantitas dan kualitas yang dipenuhi. BRC menemukan bahwa gereja
yang tidak sehat 55,6%, kurang sehat 25,8% dan sehat 18,6%. Artinya, yang memenuhi minimal
tujuh kriteria gereja sehat hanya 18,6%. Kalau temuan ini dihubungkan dengan temuan
pertumbuhan natural dari kegiatan berpindah dan berkeluarga yang semuanya berjumlah 92,1%,
maka pertumbuhan gereja saat ini masih dalam angka yang jauh dari sehat atau pertumbuhan
gereja yang kurang sehat (Jura, 2022).
Supaya terjadi pertumbuhan gereja yang sehat hasil upaya program gereja seperti penginjilan, BRC
memaparkan kunci pertumbuhan gereja di Indonesia yang meliputi faktor kepemimpinan dan
strategi:
1. Faktor Kepemimpinan
a. Dukungan Sinode
Sebanyak 40,2% responden menyatakan bahwa mereka menerima dukungan kecil dari
pimpinan sinode. Sekitar 38,2% responden menerima dukungan sedang sementara sisanya
yakni 21,6% responden menyatakan bahwa dukungan besar yang diberikan pimpinan sinode.
Terdapat 54,6% gereja yang bertumbuh dari responden yang menyatakan memperoleh
dukungan kecil dari pimpinan sinode. Sebaliknya, terdapat 68,2% gereja yang bertumbuh dari
responden yang menyatakan menerima dukungan besar dari pimpinan sinode.
b. Panggilan dan Motivasi
Sekitar 63,5% gereja yang mengalami pertumbuhan adalah gereja yang dipimpin oleh hamba
tuhan yang menjadikan tingkat persentase umat yang melayani Tuhan sebagai tolak ukur
keberhasilannya. Hamba Tuhan yang memandang keterlibatan umat dalam pelayanan sebagai
tolak ukur keberhasilannya rupanya memberi prioritas dengan berinvestasi dalam
memperlengkapi, mendukung, dan memberi ruang pada jemaatnya untuk terlibat pelayanan
rutin di gereja. Upaya-upaya ini memang membuat gereja bertumbuh.
c. Pendidikan Hamba Tuhan
Tingkat pendidikan hamba Tuhan menjadi variabel penting pertumbuhan gereja. Secara
konsisten, hamba Tuhan yang mengenyam pendidikan Teologi jenjang Master dan Doktor
menunjukkan kinerja (performance) pertumbuhan gereja yang jauh lebih baik daripada hamba
Tuhan yang menyelesaikan pendidikan Sarjana, Master, dan Doktor non-Teologi, Sarjana
Teologi, atau mereka yang hanya menyelesaikan pendidikan hingga jenjang Sekolah
Menengah Atas (SMA). Keunggulan kinerja (performance) hamba Tuhan dengan tingkat
pendidikan Master dan Doktor Teologi, secara konsisten terlihat pada pertumbuhan jemaat
dewasa (67,7%), jemaat remaja-pemuda (67,4%), dan jemaat anak (72,1%).
2. Faktor Strategi
a. Proses Pemuridan dan Partisipasi Jemaat
38,5% termasuk “gereja yang memuridkan” karena lebih dari 10% jemaat yang terlibat dalam
pemuridan. 61,5% tidak termasuk “tidak memuridkan” karena 0-10% saja yang terlibat dalam
pemuridan. “Gereja yang memuridkan” bertumbuh 67,5%, lebih tinggi dari gereja yang tidak
memuridkan yang bertumbuh (juga) 52,4%. Secara kategorial, gereja sedang memiliki
pertumbuhan paling tinggi (74,5%) dibanding gereja besar dan kecil.
b. Keterlibatan Jemaat Melayani
Persentase partisipasi umat dalam pelayanan rutin adalah 52,7% di mana lebih dari 10%
Kunci Pertumbuhan Gereja di Indonesia yang Berbasis Data dari Perspektif e-ISSN 2774-5155
Evangelikal dan Tinjauan Kritis Atasnya
Wahyoe Rita Wulandari
302
jemaat yang terlibat dalam pelayanan rutin (kita sebut saja “jemaat melayani”). 47,3%-nya di
mana 0-10% jemaat yang terlibat dalam pelayanan rutin. “Jemaat melayani” bertumbuh 65,5%
lebih tinggi dari jemaat yang kurang terlibat (hanya bertumbuh 50,4%). Secara kategorial,
gereja sedang memiliki pertumbuhan paling tinggi (72,9%) dibanding gereja besar dan kecil.
c. Investasi Dana Pengabaran Injil
35,9% gereja menginvestasikan lebih dari 10% pendapatan gereja untuk program misi dan
pengabaran Injil. 64,1% gereja menginvestasikan 0-10% saja. Gereja yang menginvestasikan
lebih dari 10% mengalami pertumbuhan 68,5%. Ini lebih tinggi dibanding gereja yang
menginvestasikan 0-10% yang bertumbuh hanya 52,7%. Secara kategorial, gereja sedang
memiliki pertumbuhan paling tinggi (76%) dibanding gereja besar dan kecil.
d. Investasi/Alokasi Dana Pelayanan Anak dan Remaja
35,4% gereja menginvestasikan lebih dari 10% pendapatan gereja untuk pelayanan anak dan
remaja. 64,6% gereja menginvestasikan 0-10% saja. Gereja yang menginvestasikan lebih dari
10% mengalami pertumbuhan 68,3%. Ini lebih tinggi dibanding gereja yang menginvestasikan
0-10% yang bertumbuh hanya 55%. Secara kategorial, gereja sedang memiliki pertumbuhan
paling tinggi (74,6%) dibanding gereja besar dan kecil.
e. Investasi Pengembangan Kapasitas Kepemimpinan
48,4% gereja menginvestasikan lebih dari dua kali dalam setahun untuk mengembangkan
kapasitas kepemimpinan. 51,6% gereja 0-2 kali saja. Gereja yang menginvestasikan lebih dari
dua kali dalam setahun mengalami pertumbuhan 66,3%. Ini lebih tinggi dibanding gereja yang
menginvestasikan 0-2 kali yang bertumbuh hanya 55,4%. Secara kategorial, gereja sedang
memiliki pertumbuhan paling tinggi (76,6%) dibanding gereja besar dan kecil.
f. Perintisan Jemaat
65,8% gereja yang merintis dua atau lebih jemaat baru tercatat sebagai gereja-gereja yang
jumlah umatnya bertambah jauh lebih besar dibanding gereja yang hanya memiliki jemaat baru
0-1 saja. Secara kategorial, gereja sedang memiliki pertumbuhan paling tinggi (77%)
dibanding gereja besar dan kecil. 58,7% gereja besar yang tidak merintis jemaat baru tidak
mengalami pertumbuhan jumlah umat.
Dalam faktor strategi, ada 6 kriteria gereja sehat yang berhubungan secara signifikan dengan
pertumbuhan gereja. Tiga kriteia lain berkaitan dengan kuantitas, sedangkan satu kriteria yang
tidak diriset adalah pelayanan sosial. “Pelayanan sosial” hanya menjadi satu variabel tersembunyi
yang masuk dalam “dukungan pimpinan sinode”. Disebut “tersembunyi” karena tidak dijelaskan
berapa jumlah dukungan sinode untuk pelayanan sosial. Kembali, ini menegaskan bagaimana dari
perspektif evangelikal, pelayanan sosial kurang mendapat perhatian yang memadai. Yang paling
mencolok adalah bahwa “gereja sedang”, dengan jumlah umat antara 51 hingga 200, menjadi
konteks atau lahan yang paling ideal bagi pertumbuhan gereja. Keenam faktor strategi
menunjukkan keterkaitan yang kuat antara “gereja sedang” dengan pertumbuhan yang paling
tinggi.
Kritik dari Perspektif Ekumenikal Terhadap Buku Kunci Pertumbuhan Gereja di Indonesia
Hasil temuan BRC boleh dikatakan luar biasa. Karena, selain mencakup tingkat nasional se-
Indonesia, riset BRC memberi terobosan dalam bidang pertumbuhan gereja. Pertumbuhan gereja
menjadi bidang multidispliner yang dijalankan secara serius sesuai dengan standar penelitian
ilmiah yang ada (Marpaung et al., 2022). Dengan demikian, kita mendapat fenomena empiris di
dalam angka-angka yang faktual bukan angka-angka “tebakan” baik yang bersifat motivasi,
harapan atau apologetis. Pertumbuhan gereja berbasis data memberi manfaat yang sangat besar
untuk gereja-gereja di Indonesia (Baskoro et al., 2022). Sekalipun demikian, kita telah melihat
Kunci Pertumbuhan Gereja di Indonesia yang Berbasis Data dari Perspektif e-ISSN 2774-5155
Evangelikal dan Tinjauan Kritis Atasnya
Wahyoe Rita Wulandari
303
bahwa riset empiris ini dituntun oleh pertanyaan-pertanyaan teologis dari perspektif evangelikal,
dengan segala kekuatan dan kekurangannya. Di sini, penulis akan memberikan sedikit kritik dari
perspektif ekumenikal atas Kunci Pertumbuhan Gereja di Indonesia.
Orientasi teologi evagelikal adalah berpusat pada gereja. Dari sepuluh kriteria gereja yang
sehat, sembilan di antaranya berkaitan dengan gereja, sedangkan satu kriteria, yaitu pelayanan
sosial, baru berkaitan dengan masyarakat atau dunia. Dalam uraian tentang faktor-faktor yang
menjadi kunci pertumbuhan gereja, pelayanan sosial tidak menjadi kunci (Wibowo & Purba,
2022). Di dalam faktor kepemimpinan, ada “dukungan pimpinan sinode” atas pelayanan sosial
tetapi ini tidak ditulis secara eksplisit berapa besar dukungan tersebut. “Pelayanan sosial” hanyalah
faktor yang tersembunyi yang disatukan begitu saja dengan fakto-faktor yang lain. Kurangnya
perhatian atas pelayanan sosial bisa diatasi jika BRC memperhitungkan juga perspektif ekumenikal
yang berpusat pada dunia. Dunia, masyarakat dengan segala ketidakadilan dan penderitaannya,
menjadi konteks pertumbuhan gereja.
Dari konteks akan muncul pertanyaan metodologis yang paling mendasar. Siapa, dari
perspektif siapa dan untuk kepentingan siapakah sebuah riset ilmiah dilakukan Untuk gereja atau
untuk rakyat pada umumnya Kalau kepentingannya hanya untuk gereja, maka riset itu tidak
dirasakan manfaatnya untuk rakyat pada umumnya dan akan dicurigai sebagai bentuk kristenisasi.
Di Indonesia, rakyat hidup dalam beragam agama, dengan Islam sebagai agama yang paling
banyak dianut (Faelasup, 2022). Pelayanan sosial adalah omong kosong jika tidak menyentuh
rakyat yang beragama Islam. Karena Kristen berjumlah kecil, maka adalah kesombongan jika ingin
mengubah masyarakat dengan pelayanan sosialnya. Kristen perlu kerja sama dengan Islam.
Dengan demikian, pelayanan sosialnya memiliki daya transformatif (Rozak, 2022).
Kerjasama dengan Islam akan memunculkan pertanyaan teologis yang mendasar (Ahmad,
2022). Apakah kebenaran Allah sama otentiknya ada dalam Islam sebagaimana ada dalam Kristen?
Menjawab pertanyaan ini dari perspektif Kristen tentu akan menguntungkan posisi Kristen.
Kecuali, kita menjawabnya dengan prapaham baik dan dalam paradigma proeksistensi yang inter-
being. To be religious today is to be inter-religious. Dan syukurlah, sudah banyak orang Kristen
yang berprapaham baik dan berparadigma proeksistensi dalam menjawab pertanyaan tersebut.
Teolog-teolog Asia, termasuk teolog-teolog Indonesia yang kontekstual-ekumenis, menegaskan
bahwa kebenaran atau wahyu Allah nyata secara otentik dalam agama-agama Asia bukan-Kristen.
Sebagai contoh, Aloysius Pieris berbicara tentang kehadiran hebat soteriologi bukan-Kristen. Pieris
berkata, “pelajarilah bahasa rakyat. Hadirilah upacara dan ritual rakyat Asia; dengarkanlah
nyanyian mereka...tangkaplah mitos-mitos mereka, Anda akan menemukan bahwa bahasa yang
mereka gunakan menghubungkan mereka dengan kebenaran-kebenaran dasar di mana setiap
agama bergulat dengannya”. Hanya dengan pemahaman akan wahyu, keselamatan dan kebenaran
yang demikian, kita baru bisa menghayati hidup menggereja yang terbuka yang menyambut rakyat
atau umat beragama lain dalam gereja. Umat beragama lain adalah saudara-saudara kita dan jangan
menyebut mereka itu kafir (Sherliza, 2022).
Gereja yang terbuka seperti itu, yang lintas agama, tentu tidak bisa dibayang dari perspektif
evangelikal. Dari perspektif evangelikal, gereja itu hanya untuk satu agama, yaitu agama Kristen.
Dari perspektif ekumenikal, gereja lintas agama itu bukannya sebuah kemungkinan tetapi sudah
dipraktikkan di dalam Komunitas Basis Kontekstual (KBK) atau Komunitas Basis Manusiawi
(KBM). Di sini, semua umat lintas agama duduk bersama, berdialog bersama untuk menggumuli
problem-problem kemanusiaan dari perspektif atau mata siapa yang menjadi korban. Gereja dalam
komunitas basis ini memang lebih cocok jika diteliti dengan riset partisipatoris di mana
pengamatan-serta terjadi. Di sini, peneliti mengamati kehidupan jemaat-rakyat sehari-hari dengan
terlibat secara langsung dalam kehidupan jemaat-rakyat yang diteliti. Riset yang demikian tentu
berbeda dengan riset BRC sebagaimana telah kita bahas di atas. Mungkin hingga titik ini, pembaca
Kunci Pertumbuhan Gereja di Indonesia yang Berbasis Data dari Perspektif e-ISSN 2774-5155
Evangelikal dan Tinjauan Kritis Atasnya
Wahyoe Rita Wulandari
304
mulai merasakan bahwa pokok persoalan bagi kaum ekumenikal bukanlah pertumbuhan gereja
tetapi membangun gereja yang kontekstual lintas agama yang berakar dalam kultur setempat
dengan menjadikan persoalan manusia sebagai yang utama. Di sini, gereja tidak menjadi “orang
asing” lagi tetapi teman seperjuangan rakyat setempat (Khoirunisa, n.d.). Apa artinya jika angka
pertumbuhan gereja bertambah sedangkan teman-teman kita yang beragama lain tetap dalam
kemiskinan, ketidakadilan dan penindasan.
Mungkin satu hal yang menggelisahkan bagi orang evangelikal adalah bagaimana
kedudukannya penginjilan, Amanat Agung dan pemuridan Penginjilan bukanlah memindahkan
orang dari agama lain ke agama Kristen tetapi membangkitkan “isi Injil” atau daya keselamatan
yang membebaskan dari agama lain sehingga ada satu visi bersama menuju kemanusiaan yang
penuh. Penginjilan bertujuan menobatkan orang, bukan dari agama lain ke agama Kristen, tetapi
dari sikap egois mengkafirkan orang lain ke sikap mengasihi dan hormat kepada orang beragama
lain. Amanat Agung dalam Matius 28:19-20 tidak dipahami secara terpisah dengan keseluruhan
Injil Matius (Bastin, 2022). Khotbah di bukit, ringkasan Taurat (hukum kasih) dan Penghakiman
Terakhir menjadi isi apa itu memuridkan. Dengan demikian, memuridkan bukanlah
mengkristenkan, tetapi menyaksikan kasih Allah sebagaimana yang Tuhan Yesus nyatakan.
Pelayanan sosial bukanlah alat penginjilan, tetapi hakikat penginjilan itu sendiri, di mana kita
sebagai murid Yesus melakukan kasih yang Dia ajarkan bahwa “sesungguhnya segala sesuatu yang
kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya
untuk Aku” (Legi, 2022).
Apakah menjadi murid berarti seseorang mesti menjadi anggota gereja Atau, dapatkah
seseorang itu adalah murid, tetapi tetap berada dalam agamanya sendiri? Jawabannya, dapat.
Mahatma Gandhi adalah murid Yesus yang dengan konsisten melakukan nilai-nilai Khotbah di
bukit tetapi tetap menganut agama Hindu. Dengan jawaban terakhir ini maka riset yang dibutuhkan
untuk gereja yang kontekstual lintas agama akan sangat lain dengan riset yang dilakukan BRC.
Dari teologi atau eklesiologi yang berbeda, sebuah riset akan dituntun oleh pertanyaan-pertanyaan
yang berbeda yang akhirnya menghasilkan data empiris yang berbeda juga.
KESIMPULAN
Problem pokok kekristenan di Asia, termasuk di Indonesia, dilihat secara berbeda dari
perspektif evangelikal dan ekumenikal. Yang evangelikal melihat masalahnya adalah jumlah orang
Kristen yang kecil atau sedikit, sedangkan yang ekumenikal melihat bahwa orang Kristen tidak
berakar di tanah Asia. Karena “sedikit”, maka solusi yang diusahakan evangelikal adalah
memperbanyak; sedangkan “tidak berakar” dicari solusinya oleh ekumenikal supaya berakar.
Pertumbuhan gereja menjadi isu pokok kaum evangelikal, sedangkan membangun gereja
kontekstual lintas agama atau Komunitas Basis Kontekstual (KBK) menjadi isu pokok kaum
ekumenikal. Yang menarik adalah bahwa keduanya, pada tahun 2017, melihat pentingnya data
empiris hasil penelitian ilmiah sebagai titik tolak membangun gereja yang mereka impikan. Yang
evangelikal menerbitkan buku Kunci Pertumbuhan Gereja di Indonesia, sedangkan yang
ekumenikal menerbitkan buku Gagasan Dasar Pastoral Berbasis Data.
Pertumbuhan gereja membutuhkan data empiris, demikian juga membangun gereja
kontekstual. Sekalipun demikian, yang dilakukan oleh BRC sebagai perwakilan dari kaum
evangelikal lebih lengkap dan bertingkat nasional dibanding dari ekumenikal yang hanya
memberikan contoh kasus lokal dan pentingnya data empiris dalam pelayanan pastoral termasuk
membangun gereja kontekstual. Oleh karena itu, makalah ini lebih memilih apa yang dihasilkan
oleh BRC sebagai bahan kajian. Adapun kritik dari perspektif ekumenikal terhadap hasil temuan
Kunci Pertumbuhan Gereja di Indonesia yang Berbasis Data dari Perspektif e-ISSN 2774-5155
Evangelikal dan Tinjauan Kritis Atasnya
Wahyoe Rita Wulandari
305
BRC bertujuan untuk pengembangan lebih lanjut atas penelitian data empiris yang dilakukan BRC
sehingga bermanfaat baik untuk pertumbuhan gereja atau pembangunan gereja kontekstual. Tentu,
kaum ekumenikal juga perlu belajar banyak atas prestasi yang sudah dicapai oleh BRC sebagai
lembaga riset perwakilan evangelical.
BIBLIOGRAFI
Abbas, I. M. Y. (2016). Studi analisis pemikiran ekonomi Islam IbnuTufail pada kisah “Hayy bin
Yaqzan.” Pascasarjana UIN Sumatera Utara.
Ahdar, A. (2017). Tinjauan Kritis dan Menyeluruh terhadap Fundamentalisme dan Radikalisme
Islam Masa Kini. Kuriositas: Media Komunikasi Sosial Dan Keagamaan, 10(1), 1936.
Ahmad, H. P. (2022). Relasi Ideo-Historis antara Hukum Negara dan Hukum Islam di Indonesia.
IN RIGHT: Jurnal Agama Dan Hak Azazi Manusia, 11(1).
Baskoro, P. K., Dewi, E. Y., & Arifianto, Y. A. (2022). Peranan Pemuridan Memunculkan
Pemimpin Rohani Baru dalam Gereja Masa Kini. Theologia Insani (Jurnal Theologia,
Pendidikan, Dan Misiologia Integratif), 1(1), 4966.
Bastin, N. (2022). Pendidikan Kristen dan Revolusi Industri 4.0. Nahason Bastin Publishing.
Faelasup, F. (2022). Implementasi Nilai-Nilai Pendidikan Islam Multikultural (Fenomena
Kerukunan Antar Umat Beragama Pada Acara Keagamaan Di Dusun Kabo Jaya Swarga Bara
Sangatta Utara Kutai Timur). FIKRUNA, 4(1), 6476.
Hutagalung, S., Sagala, R. W., Pane, E., Nainggolan, B. D., Sianipar, J., Najoan, J. C., Harwanto,
B., Hendriks, A., Hutabarat, R., & Zebedeus, D. (2021). Pertumbuhan Gereja. Yayasan Kita
Menulis.
Jura, D. (2022). Teladan dalam Iman Pengharapan. UKI Press.
Khoirunisa, C. (n.d.). Dinamika Implementasi Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar Di
Kecamatan Pandeglang. Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif HIdayatullah Jakarta.
Legi, H. (2022). Moral, Karakter Dan Disiplin Dalam Pendidikan Agama Kristen. Edu Publisher.
Marpaung, D. D. R., Putri, N. R., Manurung, J., Laga, E. A., Fitriani, F., Hairuddin, K., Romas, A.
N., Sinaga, J., Tanjung, R., & Sinaga, T. R. (2022). Dasar-Dasar Ilmu Kesehatan
Masyarakat. Yayasan Kita Menulis.
Rozak, A. (2022). Teologi kebatinan Sunda: kajian antropologi agama tentang aliran kebatinan
perjalanan. Kiblat Buku Utama.
Sherliza, O. (2022). Modul Suplemen Islam Dan Lingkungan Hidup “Konsep Kesederhanaan Dan
Kelestarian Lingkungan Perspektif IslaM.” UIN Raden Intan Lampung.
Ugak, K. S., & Nafensy, R. C. (2022). “Teologi Sakit Dan Kematian Di Masa Pandemic Covid-19:
Studi Pengaruh Spritualitas, Alkitab, Gereja, Dukungan Sosial, dan Media Sosia. Jurnal
Teologi Pambelum, 2(2), 6886.
Wibowo, A., & Purba, J. L. P. (2022). Implikasi Pandemi Covid 19 terhadap Gereja dan Ekonomi
Masyarakat dari Perspektif Teologi Penderitaan Paulus. Xairete: Jurnal Teologi Dan
Pendidikan Kristiani, 1(2), 7690.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International
License