Mohamad Fajar
406
Jurnal Sosial dan Teknologi (SOSTECH)
Volume 2, Number 5, Mei 2022
p-ISSN 2774-5147; e-ISSN 2774-5155
PENERAPAN REHABILITASI MEDIS DAN REHABILITASI SOSIAL ATAS
PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA BAGI DIRI SENDIRI
Mohamad Fajar
Program Studi Magister Hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jakarta, Indonesia
Email: mohfajar34@gmail.com
Diterima:
7 April 2022
Direvisi:
10 Mei 2022
Disetujui:
15 Mei 2022
Abstrak
Pengguna narkotika dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, antara lain sebagai
pecandu narkotika dan korban kecanduan narkotika. Pengguna dan penyalahguna
naltrexone didefinisikan sebagai mereka yang menggunakan atau menyalahgunakan
narkotika sampai-sampai menjadi tergantung secara fisik dan psikis pada obat-obatan
yang digunakannya. Metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode yuridis
normatif, yaitu dengan melakukan sumber data sekunder, yaitu data yang berkaitan
langsung dengan masalah yang diteliti, dan yang terdiri dari sejumlah data yang
diperoleh dari buku-buku kepustakaan, peraturan perundang-undangan, dan lain-lain
yang berkaitan dengan pelaksanaan program rehabilitasi penyalahgunaan narkoba.
Menindaklanjuti temuan penelitian, penulis sampai pada kesimpulan bahwa
pertimbangan hukum adalah penyalahguna narkoba harus menjalani rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial selain hukuman penjara. Untuk berintegrasi kembali ke
masyarakat, karakter dan moral seseorang harus diperiksa. Bagi pecandu narkoba,
rehabilitasi sosial adalah proses memperkenalkan kembali mereka ke masyarakat agar
tidak mengulangi perbuatannya. Rehabilitasi sosial juga bertujuan untuk
mengintegrasikan kembali pecandu dan/atau penyalahguna narkoba ke dalam
masyarakat dengan memulihkan proses berpikir, emosi, dan perilaku yang menjadi
indikator perubahan. memiliki ciri-ciri kepribadian yang normal dan mampu
berinteraksi dengan orang lain di lingkungan sosialnya (dalam lingkungan
rehabilitasi).
Kata kunci: Rehabilitasi Medis, Rehabilitasi Sosial, Narkotika
Abstract
Narcotics users can be classified in various ways, including as narcotics addicts or
victims of narcotics addiction. Naltrexone users and abusers are defined as those who
use or abuse narcotics to the point of becoming physically and psychologically
dependent on the drugs they use. In accordance with Article 54 of the Narcotics Law,
the following things occur: It is specifically stated that "narcotics addicts and victims
of narcotics abuse are required to undergo medical rehabilitation and social
rehabilitation" and this refers to the provisions of SEMA No. 4 of 2010. Based on the
Decision of the District Court of Semarang Number 407/Pid.SUS/2016/PN.Smg, the
author gives examples of narcotics abusers who were ordered to undergo
rehabilitation for 6 (six) months. The research method that the author uses is a
normative juridical method, namely by conducting secondary data sources, namely
data that are directly related to the problem being studied, and which consists of a
number of data obtained from library books, laws and regulations, and others. related
to the implementation of drug abuse rehabilitation programs. Following up on the
research findings, the authors came to the conclusion that the legal considerations
are that drug abusers must undergo medical rehabilitation and social rehabilitation
in addition to imprisonment. In order to reintegrate into society, one's character and
morals must be examined. For drug addicts, social rehabilitation is the process of
reintroducing them to society, so they don't repeat their actions. Social rehabilitation
also aims to reintegrate addicts and/or drug abusers into society by restoring thought
processes, emotions, and behavios that are indicators of change. They have normal
personality traits and are able to interact with others in their social environment (in
a rehabilitation environment).
Keywords: Medical Rehabilitation, Social Rehabilitation, Narcotics
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN 2774-5147
PENERAPAN REHABILITASI MEDIS DAN REHABILITASI SOSIAL ATAS
PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA BAGI DIRI SENDIRI
Mohamad Fajar
407
PENDAHULUAN
Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut
Undang-Undang Narkotika), narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tumbuhan atau bukan
tumbuhan, baik sintetik maupun semi sintetik, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
dalam kesadaran, hilangnya rasa, pengurangan hingga penghilangan rasa, rasa sakit, dan
ketergantungan, dan yang diklasifikasikan ke dalam kelompok-kelompok sebagaimana terlampir
dalam Undang-Undang Narkotika (Novitasari, 2017).
Pengguna narkotika dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, antara lain sebagai pecandu
narkotika dan korban kecanduan narkotika (Simanungkalit, 2012). Pengguna dan penyalahguna
naltrexone didefinisikan sebagai mereka yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika
sampai-sampai menjadi tergantung secara fisik dan psikis pada obat-obatan yang digunakannya.
Atau, korban penyalahgunaan narkotika adalah seseorang yang secara tidak sengaja menggunakan
narkotika karena dibujuk, dipaksa dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika oleh orang lain.
Penyalahgunaan narkoba tidak hanya berdampak pada mereka yang tidak berpendidikan;
melainkan telah menyebar ke orang-orang dari semua lapisan masyarakat, termasuk mereka yang
telah mengenyam pendidikan formal (Triyono, 2018). Kelas terpelajar diwakili oleh anak-anak
sekolah dari kelas terpelajar, serta pengusaha dan pejabat pemerintah negara bagian dan local
(Amini, 2021). Dalam hal penyalahgunaan narkoba, petugas penegak hukum sering dipanggil untuk
membantu. Menurut pengetahuan saat ini, narkotika seharusnya memberikan manfaat yang sangat
besar dan positif bila digunakan untuk tujuan medis atau lainnya; Namun, narkotika disalahgunakan
untuk berbagai alasan oleh generasi saat ini.
Dijelaskan dalam UU Narkotika bahwa pecandu yang menggunakan narkoba atau yang pernah
menjadi korban penyalahgunaan narkoba harus direhabilitasi. Hal ini sesuai dengan Pasal 54 UU
Narkotika yang menyatakan bahwa pecandu yang menggunakan narkoba atau yang pernah menjadi
korban penyalahgunaan narkoba harus menjalani rehabilitasi medik maupun rehabilitasi sosial, dan
dalam penerapannya mengacu pada ketentuan UU Narkotika (Prasetyo, 2020). Nomor 4 Tahun 2010
tentang Penempatan Anak, Korban Penyalahgunaan, dan Penyalahgunaan Narkoba di Lembaga
Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial Agar Dapat Direhabilitasi disebut SEMA 04/2010
(SEMA 04/2010 mengacu pada SEMA 04/ 2010 dalam dokumen ini). Dalam hal memperlakukan
atau mengkriminalisasi pecandu narkotika, terdapat pertentangan antara norma merehabilitasi
pecandu dan mengkriminalisasi korban penyalahgunaan narkotika.
Benturan atau pertentangan norma terjadi dalam Pasal 127 ayat (1) dan (2), serta Pasal 127 ayat
(3). (3). Secara khusus, Pasal 127 ayat (1) menyatakan bahwa hakim berwenang untuk menghukum
penyalahguna narkoba, sedangkan ayat (2) dan (3) menyatakan bahwa hakim berkewajiban
membantu pecandu dan korban penyalahgunaan narkoba dalam pemulihannya. Surat Edaran
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 juncto Surat Edaran Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa pecandu dapat ditempatkan di
lembaga rehabilitasi, berfungsi sebagai tolok ukur jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada
pecandu narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 juncto Pasal 54 jo Pasal 103 UU
Narkotika, dan merupakan tolak ukur jenis pidana yang dijatuhkan kepada pecandu narkotika
(Hutapea, 2018).
Penelitian ini penulis memberikan contoh kasus tentang penyalahgunaan narkotika yang
digunakan untuk diri sendiri yang kasusnya telah diputus oleh pengadilan Negeri Semarang dengan
putusannya Nomor 407/Pid.SUS/2016/PN.Smg, dalam kasus ini terdakwanya adalah Muhammad
Abdul Khayyi Bin Sarmin (27 tahun) yang oleh jaksa Penuntut Umum didakwa bersalah melakukan
tindak pidana "Menjadi Penyalah Guna Narkotika bagi diri sendiri wajib menjalani rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial" sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 127 ayat (1) huruf
a jo Pasal 54 UURI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sehingga dituntut pidana berupa
menjalankan rehabilitasi sosial selama 6 (enam) bulan dengan ketentuan masih rehabilitasi yang
telah dijalani terdakwa sebelumnya dikurangkan dari rehabilitasi yang dijatuhkan. Berdasarkan
bukti-bukti dan fakta-fakta di persidangan akhirnya majelis hakim menjatuhkan putusan terdakwa
Muhammad Abdul Khayyi Bin Sarmin tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN 2774-5147
PENERAPAN REHABILITASI MEDIS DAN REHABILITASI SOSIAL ATAS
PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA BAGI DIRI SENDIRI
Mohamad Fajar
408
melakukan tindak pidana "Menjadi Penyalahgunaan Narkotika bagi diri sendiri wajib menjalani
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial"; dan 2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa
Muhammad Abdul Khayyi bin Sarmin dengan pidana berupa menjalankan rehabilitasi sosial selama
6 (enam) bulan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan memahami tentang pertimbangan
yuridis bahwa penyalahguna narkotika harus menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi social;
Menganalisis dan memahami tentang kesesuaian pemidanaan tindakan rehabilitasi dengan tingkat,
kejahatan Narkotika, sebagaimana dalam Putusan Pengadilan Nomor 407/Pid.SUS/2016/PN.Smg.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dalam penelitian hukum ini karena
lebih efisien (Johan & Ariawan, 2021). Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang
mengutamakan data kepustakaan, khususnya penelitian yang didasarkan pada data sekunder (Setiadi
& Afrizal, 2019). Tergantung pada jenis data sekundernya, data tersebut dapat berbentuk dokumen
hukum primer, sekunder, atau tersier. Diantara topik yang dibahas dalam penelitian ini adalah
ketentuan hukum positif yang berlaku di Indonesia terkait dengan penerapan rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial bagi penyalahgunaan narkoba untuk diri sendiri, serta ketentuan hukum yang
berlaku di negara lain. Dalam hal ini informasi berasal dari hasil penelitian yang diperoleh secara
langsung mengenai subjek penelitian, yaitu melalui penggunaan studi kepustakaan. Adapun lokasi
penelitian adalah di wilayah hukum Provinsi DKI Jakarta, dan Pengadilan Negeri Semarang, saat
penulis mendapatkan Surat keputusan Nomor 407/Pid.SUS/2016/PN.Smg. Jadwal penelitian
dilakukan penulis selam 4 bulan terhitung mulai bulan Agustus sampai dengan bulan November-
2021.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pertimbangan yuridis bahwa penyalahguna narkotika harus menjalani rehabilitasi medis
dan rehabilitasi sosial
1. Rehabilitasi Sebagai Upaya Depenalisasi Bagi Pecandu Narkotika Konsep Penjatuhan
Sanksi Tindakan Berupa Rehabilitasi Pada Tindak Pidana Narkotika
Konsep sanksi tindakan (maatregel) sebagai jenis sanksi yang termasuk dalam undang-undang
narkotika berupa rehabilitasi, sanksi tindakan yang ditujukan untuk melindungi masyarakat dan
mencapai efektivitas dalam upaya pencegahan dan penyalahgunaan narkotika, dan sebagai bentuk
kesetaraan antara tindakan sanksi dan sanksi pidana menjadi dasar pemikiran konsep double track
system yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan narkotika.
2. Rehabilitasi Medis Bagi Pecandu Narkotika
Dalam hal pecandu narkotika, rehabilitasi medis dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh
menteri kesehatan, sedangkan rehabilitasi sosial bagi mereka dilakukan di fasilitas rehabilitasi sosial
yang ditunjuk oleh menteri social (Maysarah, 2020). Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial saat
ini sedang ditekankan oleh pemerintah pusat melalui Kepala Badan Narkotika Nasional, yang
menekankan bahwa pemerintah daerah diharapkan memiliki pusat rehabilitasi sendiri untuk
membantu pecandu narkotika yang berada di bawah yurisdiksi BNNK Kota/Kabupaten (Sollu et al.,
2020).
Salah satu proses yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional adalah Treatment of Terrapine
Methadone Maintenance (PTRM), yaitu proses penyembuhan yang melibatkan penggunaan zat
substitusi atau pengganti, khususnya zat subutek. Karena efek ketergantungan zat subutek
sedemikian rupa sehingga zat subutek diganti dengan metadon yang juga memiliki efek
ketergantungan dalam proses rehabilitasi medik (Sari, 2019). Zat-zat tersebut hanya diperuntukan
bagi pecandu narkotika “yang mengonsumsi heroin” dan pengguna narkotika “yang menyuntikkan
heroin”, dan bukan golongan orang lain. Dalam proses resosialisasi pelaku, rehabilitasi sebagai
tujuan utama dari jenis sanksi tindakan ini bersifat unik, dan diharapkan dapat memulihkan kualitas
sosial dan moral seseorang, memungkinkan mereka untuk berintegrasi kembali ke masyarakat
(Umar, 2017). Dalam rangka memaksimalkan penggunaan kedua jenis sanksi ini secara
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN 2774-5147
PENERAPAN REHABILITASI MEDIS DAN REHABILITASI SOSIAL ATAS
PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA BAGI DIRI SENDIRI
Mohamad Fajar
409
proporsional, menempatkan sanksi pidana dan sanksi tindakan pada posisi yang sama sangatlah
menguntungkan.
3. Rehabilitasi Sosial Bagi Pecandu Narkotika
Rehabilitasi sosial adalah proses memasukkan kembali kebiasaan pecandu narkotika ke dalam
kehidupannya untuk mencegah pecandu mengulangi perbuatannya. Hal ini juga bertujuan untuk
mengintegrasikan kembali pecandu dan/atau penyalahguna narkotika ke dalam masyarakat dengan
memulihkan proses berpikir, emosi, dan perilaku sebagai indikator perubahan untuk memenuhi
komponen kepribadian normal dan untuk dapat berinteraksi di lingkungan sosialnya (dalam
lingkungan rehabilitasi).
Karena pentingnya rehabilitasi pada aspek sosial dari segi hak asasi manusia, di mana hak untuk
hidup dan bebas dari ancaman bahaya narkotika diakui pada tingkat efektivitas dalam upaya untuk
mencegah pecandu menyalahgunakan narkotika, peneliti percaya bahwa dalam hal ini hakim harus
mempertimbangkan seseorang yang pernah terjerat kasus narkoba, yang dalam putusannya juga
harus mempertimbangkan upaya rehabilitasi bagi orang yang telah menyalahgunakan narkoba.
4. Perbuatan Yang Memenuhi Unsur Dalam Pasal 103 ayat Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Sehingga Berhak Memperoleh
Rehabilitasi
Menggunakan narkotika untuk kepentingan diri sendiri merupakan suatu tindak pidana, namun
untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka dalam kasus penyalahgunaan narkotika diperlukan
pemeriksaan tambahan. Merujuk pada pembahasan sebelumnya, perlu diketahui bahwa
penyalahguna juga dapat dianggap sebagai korban tindak pidana peredaran gelap narkotika, dalam
hal ini korban tidak boleh dikenakan sanksi pidana yang menurut peneliti sudah tidak berlaku lagi.
dalam memerangi penyalahgunaan narkoba saat ini. Memberikan sanksi tindakan berupa rehabilitasi
bagi pecandu narkotika, serta tempat atau fasilitas pengobatan dan rehabilitasi medis dan sosial bagi
pecandu narkotika, sebagai upaya lain pemberantasan penyalahgunaan narkotika yang bersifat
preventif. Hal ini akan memungkinkan pecandu narkotika untuk pulih dari ketergantungan dan
kembali ke kehidupan normal mereka di masyarakat.
Banyak kasus narkotika yang telah dibawa ke pengadilan dan telah diberikan kekuatan hukum
tetap dalam putusannya, dan banyak penyalahguna narkotika yang dijatuhi sanksi pidana karena
menggunakan dan memiliki narkotika. Besar kemungkinan penyalahguna narkotika mayoritas
merupakan pecandu yang sudah ketergantungan narkotika, namun pasal rehabilitasi jarang
digunakan baik oleh jaksa maupun hakim dalam mengadili penyalahguna narkotika dan mengambil
keputusan, padahal Pasal 103 UU Narkotika menyatakan sebagai berikut :
a. Dalam hal pecandu narkotika dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana, hakim
yang mengadili perkara tersebut dapat memilih untuk memerintahkan yang
bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau terapi melalui rehabilitasi,
tergantung pada keadaan dan Dalam hal pecandu narkotika tidak terbukti bersalah
melakukan tindak pidana narkotika, pengadilan dapat memerintahkan agar yang
bersangkutan melakukan pengobatan dan/atau rehabilitasi.
b. Jangka waktu menjalani pengobatan dan/atau pengobatan bagi pengguna narkotika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan sebagai jangka waktu
menjalani pidananya.
Penulis berpendapat apabila hakim tidak memberikan rehabilitasi sosial atau medis kepada
terdakwa, penulis berpendapat bahwa upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan
narkotika dalam konsep rehabilitasi sebagai upaya depenalisasi tidak akan dapat dilakukan dengan
baik karena hakim sebagai corong undang-undang, tidak akan mempertimbangkan peraturan
bersama tujuh menteri yang sebelumnya telah dibahas peneliti, serta SEMA nomor 4 tahun 2010
tentang kategorisasi narkotika.
Setiap orang yang memiliki kecanduan opioid secara fisik tidak sehat dan sakit mental akibat
ketergantungannya pada opioid. Ia harus mewaspadai segala cara untuk memenuhi kebutuhan
narkoba, dan penyalahguna narkotika harus direhabilitasi dan diobati bukan dilembagakan
(LAPAS). Hal ini antara lain karena diyakini akan terus melakukan kejahatan baru selama di penjara,
seperti praktik menyuap dengan oknum yang tidak bertanggung jawab, terlibat dalam kekerasan dan
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN 2774-5147
PENERAPAN REHABILITASI MEDIS DAN REHABILITASI SOSIAL ATAS
PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA BAGI DIRI SENDIRI
Mohamad Fajar
410
menjadi pembunuh, atau bahkan terlibat dalam sindikat perdagangan narkoba yang terorganisir
dalam suatu jaringan. lembaga pemasyarakatan, sebagaimana diberitakan dalam berbagai
kesempatan akhir-akhir ini. Oleh karena itu, diharapkan mereka yang kecanduan narkoba dirujuk ke
Balai Besar Rehabilitasi untuk pengobatan. Rehabilitasi sebagai upaya depenalisasi bagi pecandu
narkotika memiliki banyak keuntungan, selain itu terutama difokuskan pada tujuan pemidanaan bagi
mereka yang melakukan tindak pidana narkotika. Rehabilitasi juga dapat dijadikan sebagai sarana
alternatif penampung narapidana di lembaga pemasyarakatan yang dianggap sudah tidak mampu
lagi menampung narapidana dapat dimasukkan ke dalam lembaga rehabilitasi.
Tujuan utama rehabilitasi sebagai bagian dari upaya dekriminalisasi adalah agar pecandu
narkotika yang telah ketergantungan narkotika dapat pulih kembali dan mengurangi angka
kekambuhan. Sebab, menurut survei yang ada, ketika konsep sanksi pidana terhadap pecandu
narkotika diterapkan, sebagian besar pecandu yang keluar dari Lembaga Pemasyarakatan berpeluang
menyalahgunakan narkotika lagi setelah dibebaskan. Detoksifikasi tidak dilakukan di Lembaga
Pemasyarakatan karena tidak ada sarana yang optimal dalam menangani pengguna narkotika, seperti
di lembaga rehabilitasi, misalnya. Berdasarkan analisis penulis pada penjelasan sebelumnya, yang
didasarkan pada undang-undang yang berkaitan dengan sanksi bagi pecandu narkotika dan bahan
hukum lainnya, serta hasil wawancara dengan pihak terkait yang mendukung penelitian penulis, di
mana penulis melihat di dilihat dari banyaknya manfaat yang diperoleh dan efektifitas pemberian
sanksi tindakan berupa rehabilitasi dalam penanggulangan masalah peredaran dan penyalahgunaan
narkoba, dimana penulis berpendapat bahwa pemberian sanksi tindakan berupa rehabilitasi dalam
pengentasan masalah peredaran narkoba itu dapat disimpulkan bahwa rehabilitasi dapat digunakan
sebagai sarana dekriminalisasi pecandu narkoba merupakan pencapaian yang signifikan. Kesesuaian
Pertimbangan Hakim Dalam Memberikan Putusan Rehabilitasi Terhadap Terdakwa Ditinjau Dari
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika.
B. Kesesuaian pemidanaan tindakan rehabilitasi dengan tingkat, kejahatan Narkotika,
sebagaimana dalam Putusan Pengadilan Nomor 407/Pid.SUS/2016/PN.Smg
Narkotika adalah zat atau obat yang sangat berharga dan penting dalam pengobatan gangguan
tertentu, seperti kanker. Individu atau masyarakat, khususnya generasi muda, mungkin menderita
akibat yang parah jika ganja disalahgunakan atau digunakan dengan cara yang tidak sesuai dengan
pedoman terapi yang diterima, seperti yang terjadi dalam beberapa kasus. Apabila digabung dengan
penyalahgunaan narkoba dan peredaran gelap dapat mengakibatkan meningkatnya ancaman
terhadap nilai-nilai kehidupan dan budaya bangsa, yang pada akhirnya dapat mengikis ketahanan
nasional dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, yang akan khususnya negatif.
Oleh karena itu, perlu ditingkatkan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
narkotika sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
agar tidak terjadi kecenderungan peningkatan baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan
jumlah korban yang besar, terutama di kalangan anak-anak. pemuda, dan generasi muda secara
keseluruhan. Untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika dan zat atau bahan pembuat narkotika, diatur mengenai bobot sanksi pidana yang dapat
berupa pidana minimum khusus, pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun. dua puluh) tahun,
pidana penjara seumur hidup, pidana denda, atau pidana mati, antara lain. Perlu dilakukan
pembobotan secara tidak sah berdasarkan jenis, ukuran, dan jumlah Narkotika yang digunakan oleh
bersangkutan.
Menurut aturan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang mengatur tentang
Narkotika, pecandu dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib melakukan rehabilitasi medis
maupun rehabilitasi sosial setelah kecanduan narkoba. Tujuan rehabilitasi, baik secara medis
maupun sosial, adalah upaya untuk memulihkan dan/atau mengembangkan kemampuan fisik,
mental, dan sosial pengguna narkotika yang menjadi subjek program rehabilitasi. Diperlukan
penerapan ancaman pidana yang lebih berat kepada masyarakat agar berdampak psikologis bagi
mereka agar tidak melakukan tindak pidana narkoba. Sebab, bahaya yang ditimbulkan oleh
penyalahgunaan narkotika merupakan ancaman yang cukup besar bagi ketahanan dan ketahanan
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN 2774-5147
PENERAPAN REHABILITASI MEDIS DAN REHABILITASI SOSIAL ATAS
PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA BAGI DIRI SENDIRI
Mohamad Fajar
411
nasional. Namun, penting juga untuk mengenali peran fasilitas perawatan narkoba bagi mereka yang
telah kecanduan narkoba.
Tujuan pengobatan kecanduan narkotika adalah untuk membantu pasien mendapatkan kembali
atau meningkatkan kemampuan fisik, mental, dan sosial mereka. Sebelumnya telah disebutkan
bahwa ada dua jenis pengobatan utama bagi pengguna narkoba: rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial. Pasal 54 UU Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 membagi rehabilitasi menjadi dua (dua) jenis,
yang meliputi:
a. Kegiatan terapi terpadu digunakan dalam rehabilitasi medik untuk membantu
pecandu mengatasi ketergantungan obatnya.
b. Agar mantan pecandu Narkotika dapat kembali ke peran sosialnya di masyarakat,
rehabilitasi sosial adalah suatu prosedur yang meliputi pemilihan kegiatan fisik,
mental, dan sosial secara terpadu. atau fasilitas rehabilitasi medik dan rehabilitasi
sosial yang telah ditetapkan oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan
dan/atau terapi melalui lembaga rehabilitasi medik dan rehabilitasi sosial.
Semua Pecandu Narkoba yang cukup umur untuk melapor ke Puskesmas, Rumah Sakit,
dan/atau Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial yang ditunjuk oleh pemerintah wajib
datang atau dilaporkan ke fasilitas tersebut oleh keluarganya untuk mendapatkan pengobatan dan/
atau pengobatan melalui rehabilitasi medik dan rehabilitasi sosial. Pengobatan kecanduan narkotika
diberikan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan dan Pelayanan Sosial. Setelah
mendapat izin dari Menteri, pusat rehabilitasi tertentu yang dibentuk oleh instansi pemerintah atau
masyarakat umum dapat menyelenggarakan rehabilitasi medis bagi pecandu narkoba. Sebagaimana
tertuang dalam Pasal 57 Undang-Undang Pengendalian Narkotika Nomor 35 Tahun 2009, selain
pengobatan dan/atau rehabilitasi, penyembuhan Penyalahguna Narkotika dapat dilakukan oleh
instansi pemerintah atau masyarakat melalui jalur agama dan adat. Baik instansi pemerintah maupun
masyarakat bekerja sama memfasilitasi rehabilitasi sosial mantan pecandu narkoba.
Rehabilitasi sosial juga tersedia sebagai alternatif rehabilitasi medis. Rehabilitasi sosial mantan
pecandu narkoba dilakukan di balai rehabilitasi sosial yang telah disetujui oleh Kementerian Sosial.
Tinjauan Situasi Ketika kita berbicara tentang mantan pecandu narkotika, kita mengacu pada orang-
orang yang telah berhasil pulih dari ketergantungan fisik dan psikologis mereka pada narkotika.
Lembaga rehabilitasi sosial adalah fasilitas yang diselenggarakan oleh pemerintah bersama-sama
dengan anggota masyarakat untuk memberikan pelayanan rehabilitasi.
Untuk pecandu narkoba, rehabilitasi dapat dibagi menjadi dua tahap yang berbeda, medis dan
sosial, menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Tahap pertama adalah
rehabilitasi medis, dan tahap kedua adalah rehabilitasi sosial. Karena rehabilitasi medik merupakan
upaya penyembuhan berdasarkan penelitian kesehatan, maka manfaatnya sangat penting. Narkoba,
seperti yang kita semua tahu, adalah bentuk zat yang dapat menyebabkan kecanduan jika tertelan
secara teratur. Karena itu, rehabilitasi medis dapat membantunya kembali ke kehidupan normal
dengan mengobati efek kecanduan narkoba. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 996/MENKES/SK/VIII/2002 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sarana
Pelayanan Rehabilitasi Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAPZA. Pendekatan non-medis,
psikologis, sosial, dan agama digunakan untuk membantu pengguna narkoba yang menderita
sindrom ketergantungan mencapai kemampuan fungsional yang maksimal. Rehabilitasi adalah
upaya kesehatan yang menyeluruh dan terpadu yang dilakukan secara menyeluruh dan terpadu.
Selanjutnya menurut KEPMENKES 996/MENKES/SK/VIII/2002, Pedoman Penyelenggaraan
Fasilitas Pelayanan Rehabilitasi Penyalahgunaan dan Ketergantungan Narkoba, Fasilitas Pelayanan
Rehabilitasi adalah “tempat yang digunakan untuk memberikan pelayanan rehabilitasi
penyalahgunaan dan ketergantungan Narkoba, berupa Pemulihan dan Kegiatan Pembangunan secara
terpadu, baik fisik, mental, sosial, dan keagamaan”, serta merupakan “tempat yang digunakan untuk
memberikan pelayanan rehabilitasi penyalahgunaan dan ketergantungan narkoba, dalam bentuk
Kegiatan Pemulihan dan Pengembangan secara terpadu, baik secara fisik”.
Oleh karena itu dimungkinkan untuk memprioritaskan pelaksanaan rehabilitasi dalam upaya
pemberantasan tindak pidana narkotika, khususnya dalam perumusan putusan hakim dalam perkara
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN 2774-5147
PENERAPAN REHABILITASI MEDIS DAN REHABILITASI SOSIAL ATAS
PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA BAGI DIRI SENDIRI
Mohamad Fajar
412
tindak pidana narkotika. Kepastian hukum berguna untuk menunjukkan kualitas sistem hukum suatu
negara. Disparitas hakim dianggap sebagai hak hukum yang dimiliki hakim dalam
mempertimbangkan suatu putusan dan menjatuhkan hukuman kepada terdakwa pidana. Kemampuan
hakim untuk mengambil keputusan menurut caranya sendiri dapat mengakibatkan hakim bertindak
sewenang-wenang dalam mengambil keputusan. Selanjutnya, dalam sosiologi hukum, pengadilan
dipandang sebagai lembaga dengan tanggung jawab tertentu yang dijalankan oleh manusia yang
merupakan pelaku pengadilan, seperti hakim, jaksa, dan advokat, tetapi juga pencari keadilan,
terdakwa, dan masyarakat umum.
Suatu aturan yang ada harus mampu secara aktif mengungkapkan keadilan dan kebenaran
sekaligus memberikan manfaat, itulah yang diharapkan dapat dilakukan oleh kepastian hukum.
Kepastian hukum sangat berguna dalam menentukan sejauh mana kualitas hukum dapat
dipertahankan dan sejauh mana kebenaran dapat diungkapkan di pengadilan. Karena sudah berjalan
sesuai dengan citra bangsa, kepastian hukum dinilai berhasil jika diimplementasikan dengan baik di
lapangan, seperti yang terjadi beberapa tahun terakhir. Dalam tindak pidana narkotika, upaya hukum
harus dipertimbangkan dalam konteks kebutuhan korban. Dalam hal ini, rehabilitasi medis adalah
pilihan terbaik. Hal-hal yang harus dipertimbangkan hakim ketika memutuskan apakah akan
menghukum seseorang karena kejahatan narkotika sebagai pengguna atau sebagai pengedar
tercantum di bawah ini.
Keputusan tentang korban penyalahgunaan narkotika, penting untuk mempertimbangkan
keadilan serta manfaat bagi korban. Hasil keputusan hakim akan menjadi pertimbangan dalam
menentukan alasan korban menggunakan narkoba. Seseorang yang menderita kecanduan narkoba
bukanlah penjahat, melainkan seseorang yang menderita penyakit yang harus dirawat, dipelihara,
dan akhirnya disembuhkan. Korban lebih merusak diri sendiri daripada pengedar dan pengedar
narkoba, menurut penelitian. Sementara itu, pengedar dan pengedar mengedarkan zat adiktif ke
seluruh masyarakat, suatu praktik yang dilarang oleh undang-undang dan dilakukan secara rahasia.
Dalam jangka panjang, dealer dan dealer menghancurkan masa depan suatu negara serta cita-cita
suatu negara. Narkotika bukanlah sesuatu yang bisa dianggap enteng; sebaliknya, mereka adalah
masalah utama yang harus segera diatasi.
Penggunaan narkotika telah sangat meluas di seluruh dunia, dan penggunaan narkotika itu
sendiri terbatas untuk tujuan pendidikan dan kesehatan, dengan tingkat penggunaan tertentu untuk
memastikan bahwa penggunaannya tidak melebihi apa yang dianggap tepat. Jika narkotika
digunakan secara berlebihan, maka efek sampingnya dapat membahayakan kesehatan tubuh.
Meluasnya penggunaan narkotika telah mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk bergabung
memerangi penyebaran obat-obatan ini di seluruh dunia. Narkotika tersebar luas sehingga
masyarakat umum dapat memperolehnya melalui pertukaran informasi antar pengguna napza dan
pengguna lainnya. Dengan jangkauan distribusi yang semakin luas, menjadi mungkin bagi
masyarakat umum untuk mendapatkannya. Kemudian, sebagai bagian dari tahap selanjutnya, akan
ditetapkan konsekuensi hukum bagi setiap korban penyalahgunaan narkotika yang tegas dan tidak
ambigu.
Dari segi manfaat, rehabilitasi medis merupakan sanksi yang paling tepat karena manfaatnya
dirasakan oleh korban dan tidak merugikan pihak lain dalam prosesnya. Bagi pemerintah Indonesia,
pemberantasan setiap pengguna dan pecandu narkoba adalah sebuah usaha yang monumental.
Sebagai bagian dari upaya sosialisasinya, Badan Narkotika Nasional memanfaatkan media sosial
untuk melaporkan siapa saja yang tampak mencurigakan, termasuk pengguna narkoba dan pengedar
narkoba. Jika dilihat dari perspektif hak asasi manusia, ketika seorang hakim mengambil keputusan,
ia tidak hanya memberikan perlindungan kepada korban dan mengembalikan kepercayaan publik
bahwa tindakan korban dapat dijelaskan, tetapi ia juga membantu untuk menghalangi masa depan.
Aparat penegak hukum juga harus memberikan contoh positif agar dapat diakui sebagai panutan
di masyarakat. Aparat penegak hukum juga harus hadir di lapangan untuk memberikan arahan dan
bimbingan kepada anggota masyarakat agar hukum dapat diterapkan secara efektif di dunia nyata.
Akibatnya, tingkat kejahatan secara keseluruhan akan berkurang. Orang mencuri perbuatan yang
baik secara sadar maupun tidak sadar dilarang oleh undang-undang karena kurangnya komunikasi
dan ketidakmampuan berkomunikasi dengan orang lain sebelum turun ke lapangan.
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN 2774-5147
PENERAPAN REHABILITASI MEDIS DAN REHABILITASI SOSIAL ATAS
PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA BAGI DIRI SENDIRI
Mohamad Fajar
413
Organisasi Internasional United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) melakukan
upaya pemulihan korban penyalahgunaan narkotika dengan merekomendasikan agar korban
penyalahgunaan narkotika menjalani rehabilitasi daripada penjara. Diakui secara luas bahwa korban
penyalahgunaan narkotika bukanlah penjahat yang harus dihukum seberat-beratnya. Korban
penyalahgunaan narkoba, di sisi lain, harus disembuhkan dan dibina.
Untuk mengurangi atau menghentikan peredaran gelap narkotika, sudah menjadi tanggung
jawab bangsa Indonesia untuk menindak tegas para pengedar dan pengedar narkotika ilegal di tanah
air. Dengan disahkannya UU Narkotika diharapkan masyarakat dapat menyadari bahwa
menggunakan narkoba bukanlah hal yang baik. Narkotika, di sisi lain, adalah zat yang sangat adiktif
yang penyalahgunaannya dapat menyebabkan penghancuran diri. UU Narkotika dimaksudkan
sebagai landasan bagi hakim ketika dihadapkan pada tuntutan pidana narkotika. Oleh karena itu,
penetapan keputusan rehabilitasi harus menjadi prioritas utama Undang-Undang Narkotika guna
menekan jumlah penyalahguna narkoba dengan mendorong mereka yang telah dirugikan agar mau
dibebaskan dan pulih dari ketergantungannya.
Hal ini juga berdampak pada Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang mayoritas narapidananya
adalah korban kejahatan narkoba. Efektivitas lembaga pemasyarakatan sangat rendah karena korban
penyalahgunaan narkotika tidak terlalu mementingkan keuntungan dan kesejahteraannya sendiri
selama berada di dalam Lapas. Korban memiliki hak yang sama dengan warga negara Indonesia,
sekalipun perbuatannya melanggar hukum yang berlaku bagi dirinya. Meskipun demikian, dengan
rehabilitasi sebagai prioritas utama, diharapkan Tim Penilai Terpadu mampu memberikan arahan
dan wawasan kepada masyarakat untuk mendorong tumbuh kembangnya.
Ada dua tim: satu untuk dokter dan satu untuk pengacara. Tim Penilai Terpadu terdiri dari tim
dokter yang terdiri dari dokter dan psikolog, dan Tim Hukum terdiri dari unsur Polri, Badan
Narkotika Nasional, Kejaksaan Agung, dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
(Kemenkumham). Tim penilai terpadu kemudian memberikan hasil keputusan yang disengaja untuk
merekomendasikan agar korban dibina dan disembuhkan di fasilitas rehabilitasi medis dan/atau
fasilitas rehabilitasi sosial.
Upaya hukum tidak hanya ditentukan oleh hakim, tetapi juga oleh semua penyidik, penuntut
umum, dan semua aparat penegak hukum, yang berwenang menempatkan korban di fasilitas
rehabilitasi atau memutuskan apakah korban harus menjalani hukuman penjara. Dari segi manfaat,
rehabilitasi medik merupakan sanksi yang paling tepat karena manfaatnya dirasakan oleh korban
dan tidak merugikan pihak atau individu lain. Bagi pemerintah Indonesia, pemberantasan setiap
pengguna dan pecandu narkoba adalah sebuah usaha yang monumental. Sebagai bagian dari upaya
sosialisasinya, BNN memanfaatkan media sosial untuk melaporkan siapa saja yang tampak
mencurigakan, termasuk pengguna narkoba dan pengedar narkoba.
Putusan tindak pidana narkotika cenderung tunduk pada Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika selama proses persidangan. Meskipun Pasal 54 dan Pasal 103 sama-
sama menegaskan bahwa setiap penyalahguna narkotika wajib menjalani rehabilitasi medik dan/atau
rehabilitasi sosial, hal ini dipertimbangkan karena lebih mudah untuk dibuktikan. Secara teori, 2
(dua) pasal tersebut dapat menjadi dasar putusan hakim untuk memerintahkan rehabilitasi korban
atau tidak. Sesuai standar SEMA No. 4 Tahun 2010, korban penyalahgunaan narkotika harus
memiliki sabu kurang dari satu gram saat ditangkap. Putusan hakim dalam perkara tindak pidana
narkotika, di sisi lain, berbeda satu sama lain dalam beberapa hal. Hal ini menunjukkan bahwa
kepastian hukum masih kurang diterapkan di dunia nyata.
Penerapan Pasal 54 dan Pasal 103 tidak akan berhasil jika dalam prakteknya hakim selalu
memutus perkara di pengadilan dengan menggunakan Pasal 112 karena sederhana pembuktiannya.
Hal ini menjadi paradigma setiap masyarakat di Indonesia, bahwa hukum di Indonesia
membingungkan, dan bahwa hakim memfasilitasi proses pengadilan tanpa melihat atau
mendengarkan hak-hak korban, serta tanpa melihat atau mendengarkan manfaat dan kesejahteraan
korban. Meski ada dua korban dalam kasus ini, namun jika putusan hakim sama, maka akan
meningkatkan kepastian hukum di Indonesia dan kualitas hukum di negara ini. Mereka yang pernah
menjadi korban penyalahgunaan narkotika tetapi bukan pengedar, pengedar atau residivis berhak
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN 2774-5147
PENERAPAN REHABILITASI MEDIS DAN REHABILITASI SOSIAL ATAS
PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA BAGI DIRI SENDIRI
Mohamad Fajar
414
mendapatkan rehabilitasi, yang didasarkan pada keyakinan bahwa meskipun perbuatannya tidak
sesuai dengan aturan, haknya sebagai korban tetap berlaku. Setiap manusia, di sisi lain, terikat untuk
membuat kesalahan yang akan diperbaiki dalam perjalanan waktu. Pengedar gelap dan pengedar
narkotika adalah jenis individu yang harus menerima hukuman penjara maksimal.
Menurut Pasal 54 UU Narkotika, setiap pecandu dan korban wajib mengikuti program
rehabilitasi medis dan sosial. UU Narkotika disusun dalam rangka menata segala aturan yang
mengikat secara hukum dan berlaku di masyarakat luas. Harus dipahami bahwa korban memiliki
hak untuk membuat keputusan yang akan dipertimbangkan oleh pengadilan. Penyelenggaraan
rehabilitasi medik diharapkan dapat diterapkan dan menjadi prioritas bagi seluruh sistem peradilan
Indonesia, dan diyakini bahwa semua hakim akan mempertimbangkan kebutuhan pecandu narkotika
dalam pengambilan keputusannya. Dalam menjalani perkara narkotika, hakim wajib
mempertimbangkan hak dan kewajiban korban tindak pidana narkotika untuk mendapatkan
rehabilitasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan, serta menjalani proses penyembuhan dan
pengobatan selama menjalani pidananya. karena melanggar hukum yang bersangkutan. Ada dua
kelompok yang terlibat dalam proses pelaksanaan rehabilitasi, yaitu sebagai berikut:
a. Proses rehabilitasi dapat dilakukan di Rumah Sakit Pemerintah atau Rumah Sakit
Swasta yang telah ditunjuk oleh pemerintah. Korban penyalahgunaan narkotika
yang ditangkap tanpa bukti narkotika tetapi dinyatakan positif narkotika, atau yang
memiliki sejumlah bukti tertentu, dapat memenuhi syarat untuk mendapatkan
kompensasi. Pemerintah menanggung biaya pelaksanaan program rehabilitasi ini
bagi para korban yang kurang mampu.
b. Di Rutan Negara cabang Rutan Negara di bawah naungan Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia berlangsung rehabilitasi.
Korban yang ditangkap dengan bukti yang melebihi ambang batas tertentu, serta pengguna yang
juga bertindak sebagai dealer, memenuhi syarat. Korban penyalahgunaan narkotika perlu mendapat
hukuman yang sesuai dengan keadaannya, apalagi setiap korban tindak pidana narkotika paling
sering dipidana dengan Pasal 112 UU Narkotika karena lebih mudah pembuktiannya. Karena
mendapat banyak pertimbangan dan perdebatan, keputusan berupa rehabilitasi itu belum juga
dilaksanakan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa proses hukum tindak pidana narkotika sangatlah
rumit jika dibandingkan dengan kasus narkoba yang sebenarnya. Mengingat sebagian besar
pengguna narkotika adalah calon pemimpin masa depan bangsa, maka perlu diajarkan sejak dini
bahwa penggunaan narkoba tidak hanya dilarang tetapi juga tidak terpuji. Apalagi proses penetapan
rehabilitasi itu sendiri tidak mudah, karena mempertimbangkan alasan korban beralih ke narkotika.
Sebaliknya, korban harus bertanggung jawab atas tindakannya. Upaya hukum lain untuk tindak
pidana narkotika adalah pemidanaan yang dapat digabungkan dengan rehabilitasi.
Banyaknya putusan hakim menyebabkan sistem peradilan di Indonesia dipersepsikan
membingungkan, karena tidak jelas apakah setiap korban harus menjalani hukumannya sesuai
dengan kebutuhannya sebagai korban atau harus menjadi korban. seorang pengedar narkoba.
Klarifikasi diperlukan dalam undang-undang narkotika untuk memberikan penjelasan mengenai
pengenaan putusan rehabilitasi bagi korban dan pengenaan sanksi pidana berat terhadap pengedar
dan pengedar narkotika. Menurut Pasal 103 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, pidana rehabilitasi dihitung sebagai masa kerja untuk menentukan perlu atau tidaknya
dilakukan rehabilitasi. Untuk itu perlu adanya penekanan yang kuat pada hakim, sehingga dalam
berunding kasus narkoba dapat memprioritaskan rehabilitasi pidana sebagai prioritas, dengan tetap
memperhatikan hak-hak korban narkoba.
Tolak ukur pecandu narkoba dan korban penyalahgunaan narkoba dari ketergantungan
narkotika yang dapat diuji melalui proses Asesmen diatur secara jelas dan tegas dalam pelaksanaan
program rehabilitasi narkoba di Indonesia. Penilaian tersebut merupakan proses tahap awal dimana
Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika wajib lapor kebadan narkotika nasional
agar dapat dipertimbangkan untuk direhabilitasi. Ketika Tim Penilai Terpadu menetapkan lamanya
masa rehabilitasi bagi korban penyalahgunaan narkotika, proses ini akan menjadi pertimbangan.
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN 2774-5147
PENERAPAN REHABILITASI MEDIS DAN REHABILITASI SOSIAL ATAS
PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA BAGI DIRI SENDIRI
Mohamad Fajar
Padahal terdakwa Muhammad Abdul Khayyi bin Sarmin ditangkap pada Senin, 11 April 2016,
sekitar pukul 18.15 WIB atau paling lambat April 2016 di rumah saksi Eko Jarot Sentiko (terdakwa
dalam berkas yang terpisah) Desa Krasak Rt 01 Rw 04 Kec. Pecangaan Kab. Jepara atau setidak-
tidaknya termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Jepara, namun karena mayoritas saksi
yang dipanggil lebih dekat dengan
Tersangka awalnya mendatangi rumah saksi Eko Jarot Sentiko pada Senin 11 April 2016, sekira
pukul 18.00 WIB untuk menemui adiknya, Ahmad Socliqin, namun Ahmad Socliqin sedang keluar
rumah dan terdakwa menunggu di ruang tamu. kamar; Tak lama kemudian, saksi Ahmad Julianto
alias Donki datang dan langsung masuk ke kamar Eko Jarot. Selanjutnya saksi Donki memanggil
terdakwa dan mempersilahkan masuk ke ruangan dimana saksi Eko Jarot hadir untuk bersaksi.
Setibanya di kamar, saksi Eko Jarot menginstruksikan ketiganya untuk mengkonsumsi sabu secara
bergiliran dengan jumlah sedotan kurang lebih sepuluh (sepuluh) buah. Usai menggunakan sabu,
terdakwa dan saksi Donki keluar ruang sidang bersama-sama. Setelah itu saksi Donki dipulangkan,
terdakwa duduk di ruang tamu antara lain berbincang dengan Ahmad Socliclin dan saksi Eko Jarot.
Sekitar pukul 01.15 WIB, Selasa, 12 April 2016, sekelompok orang datang ke rumah terdakwa dan
saksi Eko Jarot, mengabarkan bahwa polisi dari Polda Jawa Tengah telah menangkap terdakwa dan
saksi Eko Jarot. Seorang petugas melakukan penggeledahan pada tubuh terdakwa, tetapi tidak
menemukan apa pun. Petugas kemudian menggeledah rumah saksi Eko Jarot, dan tersangka
mengumpulkan urine sekitar 25 cc. Terdakwa kemudian diangkut oleh petugas ke Polres Jawa
Tengah.
Sebanyak 2 (dua) kali kejadian dimana terdakwa menggunakan sabu dengan saksi Eko Jarot;
pertama terjadi pada Minggu 10 April 2016 sekitar pukul 19.30 WIB dan terakhir terjadi pada Senin
11 April 2016 sekitar pukul 18.15 WIB. Baik terdakwa maupun saksi Donki saling menggunakan
sabu lebih dari satu kali, pada Senin 11 April 2016, sekira pukul 18.15 WIB. Terdakwa dan saksi
Donki hanya satu kali menggunakan sabu, yaitu pada tanggal 11 April 2016, sekira pukul 18.15
WIB.
Keputusan tersebut diambil berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Laboratorium
Kriminalistik No.Lab. 597/NNF/2016 tanggal 21 April 2016 yang ditandatangani oleh AKBP Ir.
Sapto Sri Suhartomo terhadap barang bukti berupa 1 (satu) tabung urine positif mengandung
Metamfetamin yang terdaftar dalam Narkotika golongan I (satu) nomor urut 61 (enam puluh satu)
lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Terdakwa dinyatakan sebagai korban penyalahgunaan narkotika, sesuai dengan temuan
Rekomendasi Penilaian yang dikeluarkan oleh BNN Prop. Jawa Tengah No.R/185/IV/Ka/TAT
.00/2016/BNNP-JTG tanggal 14 April 2016. Terdakwa diperintahkan untuk menjalani rehabilitasi
selama tiga (tiga) bulan yang saat ini sedang di Pusat Rehabilitasi Jamsostek Penyalahguna Narkoba
“Mandiri” Semarang.
Terdakwa tidak memiliki izin dari instansi yang berwenang untuk melakukan praktik
Penyalahgunaan Narkotika Golongan I, juga tidak memiliki izin praktik sebagai tanaman dalam
bentuk serbuk kristal. Jika dibacakan juncto Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika, perbuatan terdakwa diatur dan diancam dengan pidana berdasarkan Pasal 127
ayat (1) huruf a undang-undang yang sama.
Sesuai dengan tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum berharap Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Semarang yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan sebagai berikut:
1) bahwa terdakwa Muhammad Abdul Khayyi bin Sarmin bersalah karena melakukan
tindak pidana “Menjadi Penyalahguna Narkotika bagi diri sendiri wajib menjalani
rehabilitasi medis dan sosial” sebagaimana dimaksud dan diancam dengan sanksi
pidana dalam Pasal 127 ayat (1) huruf an jo Pasal 54 UURI Nomor 35; 2) bahwa
terdakwa
2) Memidana terdakwa Muhammad Abdul Khayyi bin Sarmin dengan pidana kurungan
rehabilitasi sosial enam (enam) bulan, dengan ketentuan rehabilitasi masal terdakwa
sebelumnya akan dikurangi dari jumlah rehabilitasi sosial yang dijatuhkan kepadanya.
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN 2774-5147
PENERAPAN REHABILITASI MEDIS DAN REHABILITASI SOSIAL ATAS
PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA BAGI DIRI SENDIRI
Mohamad Fajar
3) Memberikan barang bukti berupa: 1 (satu) tabung urine yang digunakan telah disita
dan akan dimusnahkan.
4) Menetapkan bahwa terdakwa wajib membayar Rp. 2500.00 biaya perkara sebagai
syarat dinyatakan tidak bersalah (Dua ribu lima ratus rupiah).
Oleh karena itu, agar uraian putusan ini sesingkat mungkin, segala sesuatu yang dicatat dalam
berita acara pemeriksaan perkara ini dianggap sudah termasuk dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari uraian putusan ini, dan Penuntut Umum telah mengajukan dakwaannya dalam hal
ini. Kami telah mencapai suatu kesimpulan berdasarkan fakta-fakta yang disajikan selama
persidangan tentang unsur-unsur tindak pidana yang dituduhkan. yaitu melanggar Pasal 127 ayat (1)
huruf a jo Pasal 54 UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan unsur-unsur sebagai berikut:
1) Unsur "Barang siapa"
2) Unsur "Menjadi PenyalahGuna Narkotika bagi diri sendiri"
3) Unsur "wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial"
Ad. 1. Unsur "Barang siapa" Menurut dakwaan dan surat dakwaan ini, unsur barang siapa dalam
perkara ini adalah orang atau manusia yang bernama Muhammad Abdul Khayyi bin Sarmin dengan
segala identitasnya sebagaimana tercantum di dalamnya, dan dalam hal kesanggupan terdakwa untuk
bertanggung jawab, terdakwa adalah sehat jasmani dan rohani. Hasilnya, faktor “barang siapa” telah
puas dan terbukti sesuai dengan hukum.
Ad.2. Unsur "Menjadi Penyalahguna Narkotika bagi diri sendiri" Dari fakta-fakta hukum yang
terungkap di persidangan, termasuk keterangan saksi-saksi dan surat-surat dan petunjuk-petunjuk,
serta keterangan-keterangan terdakwa dan alat-alat bukti yang diajukan sebelum persidangan,
diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Bahwa pada hari sidang terdakwa membenarkan apa yang
didakwakan Jaksa Penuntut Umum dalam surat dakwaan yang dibacakan pada Selasa, 12 Juli 2016,
terdakwa ditangkap oleh petugas Polda Jateng di rumah saksi Eko Jarot yang tinggal di desa tersebut,
sekitar pukul 01. :15 WIB pada Selasa, 12 April 2016, terdakwa diamankan petugas Polres Jawa
Tengah. Saat ditahan, ia berada di ruang tamu rumahnya di Krasak Rt.01 / Rw.04, Kec. Pecangaan,
Kab. Jepara yang baru saja selesai mengkonsumsi sabu dengan saksi Ahmad Yulianto dan Eko Jarot.
Bahwa terdakwa menggunakan sepuluh (sepuluh) sedotan dengan sabu dan alat untuk menyedot
barang milik saksi Eko Jarot, bahwa terdakwa pernah menggunakan sabu dengan saksi Eko Jarot,
bahwa terdakwa tidak pernah membeli sabu tetapi selalu diberikan atau diajak untuk
menggunakannya oleh Eko Jarot, dan bahwa terdakwa menggunakan sabu dengan saksi Eko Jarot
Penyalahgunaan atau makan sabu tanpa izin yang sah dari pihak yang berwenang.
AD.3. Unsur "Wajib menjalani rehabilitasi sosial dan rehabilitasi medis" Sesuai Rekomendasi
Hasil Kajian Proses Hukum BNNP Jawa Tengah Nomor: R/185/IV/Ka/TAT.00/2016/BNNPJTG
tanggal 14 April 2016, ditandatangani oleh dr. Raditya diketahui oleh Kepala Badan Narkotika
Nasional Provinsi Jawa Tengah, Drs. Amrin Remico, MM menyimpulkan bahwa terdakwa
merupakan korban penyalahgunaan narkotika dan memerlukan rehabilitasi sosial selama 3 (tiga)
bulan. Terdakwa Dengan demikian, unsur “pecandu dan korban penyalahguna narkotika wajib
mencari rehabilitasi sosial dan medis” telah terpenuhi dan ditetapkan sesuai dengan undang-undang.
Dalam Surat dakwaan tersebut terdapat pelanggaran Pasal 127 ayat (1) huruf a jo Pasal 54 UURI
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang dibuktikan dengan uraian alat bukti yang didukung
oleh keterangan saksi, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa, sebagai serta bukti-bukti yang
dihadirkan di depan persidangan. Karena perbuatan terdakwa telah dibuktikan secara sah dan
meyakinkan menurut hukum, maka ia harus dinyatakan bersalah. Terdakwa dinilai dalam kesehatan
fisik dan mental yang baik, dan tidak ada pembenaran atau alasan yang ditemukan, sehingga
dibebaskan dari semua tuntutan hukum yang timbul dari kegiatannya (Pratama, 2018).
Karena perbuatan terdakwa secara keseluruhan telah memenuhi semua unsur-unsur tindak
pidana yang didakwakan kepadanya, dan karena tidak ada alasan atau pembenaran yang masuk akal
yang dapat digunakan untuk memaafkan perbuatan pidana terdakwa, maka sudah sepatutnya
terdakwa dipidana (Meliala, 2019). sesuai dengan perbuatannya, dan karena barang bukti berupa 1
(satu) tabung urine bekas dan barang yang berkaitan dengan narkotika harus disita dan dimusnahkan,
maka sudah sepatutnya terdakwa dipidana sesuai dengan perbuatannya. Mengenai biaya perkara,
karena terdakwa dinyatakan bersalah, maka biaya itu dinilai terhadap dirinya sesuai dengan Pasal
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN 2774-5147
PENERAPAN REHABILITASI MEDIS DAN REHABILITASI SOSIAL ATAS
PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA BAGI DIRI SENDIRI
Mohamad Fajar
416
222 KUHAP. Sebelum melakukan hal itu, perlu untuk menganalisis hal-hal yang memberatkan dan
meringankan yang berlaku untuk situasi terdakwa.
Hal yang lebih memberatkan adalah perbuatan terdakwa bertentangan langsung dengan upaya
pemerintah untuk menghapus peredaran dan penggunaan narkotika secara tidak sah yang saat ini
sedang berlangsung (Dewi, 2019). Dan salah satu hal yang meringankan adalah Terdakwa bersikap
sopan selama persidangan dan menerima perbuatannya dengan lapang dada. Meskipun pelaku tidak
pernah dihukum, terdakwa menyatakan penyesalan atas perbuatannya. Mengingat pada Pasal 127
ayat (1) jo. Pasal 54 UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika; Mengingat pula pada pasal
22 ayat ( 4 ), 93 ayat (1) dan (2) serta pasal 222 KUHP.
Secara sah dan meyakinkan, terdakwa MUHAMMAD ABDUL KHAYYI BIN SARMIN
dinyatakan bersalah atas delik "Menjadi Penyalahguna Narkotika bagi diri sendiri wajib
menyelesaikan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial selama 6 bulan”, Memotong masa
rehabilitasi masa lalu terdakwa dari masa rehabilitasi yang baru diberlakukan dan memerintahkan
agar terdakwa tetap menjalani rehabilitasi.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis dan pembahasan maka disimpulkan bahwa sesuai dengan pertimbangan
hukum, pecandu narkoba wajib menjalani rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial. Sebagai
upaya dekriminalisasi bagi pecandu narkoba, rehabilitasi sebagai tujuan utama dari jenis sanksi
tindakan ini mendapat keistimewaan khusus dalam hal proses resosialisasi pelaku, karena
diharapkan dapat memulihkan kualitas sosial dan moral seseorang, memungkinkan mereka untuk
berintegrasi kembali ke masyarakat lagi. Bagi pecandu narkoba, rehabilitasi sosial adalah proses
mengintegrasikan mereka kembali ke masyarakat agar tidak mengulangi perbuatannya. Rehabilitasi
sosial juga bertujuan untuk mengintegrasikan kembali pecandu dan/atau penyalahguna narkoba
kembali ke masyarakat dengan mengembalikan proses berpikir, emosi, dan perilaku sebagai
indikator tindakan kepada pecandu dan/atau penyalahguna narkotika. memiliki ciri-ciri kepribadian
yang normal dan mampu berinteraksi dengan orang lain di lingkungan sosialnya (dalam lingkungan
rehabilitasi). Kesesuaian atau kesetaraan pemidanaan tindakan rehabilitasi dengan tingkat,
kejahatan Narkotika sangat bermanfaat untuk memaksimalkan penggunaan kedua jenis sanksi
tersebut secara proporsional, artinya Rehabilitasi bagi pecandu narkotika dilakukan dengan maksud
untuk memulihkan dan/atau mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penderita yang
bersangkutan. Sebagaimana disebutkan, bentuk rehabilitasi pengguna narkoba dapat dibagi menjadi
2 (dua) yaitu rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Ketentuan Pasal 54 Undang-Undang No.35
Tahun 2009 tentang Narkotika membagi rehabilitasi menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu : 1) Rehabilitasi
medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari
ketergantungan narkotika, dan 2) Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemilihan secara
terpadu baik fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan
fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum
cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Dalam Putusan
Pengadilan Nomor 407/Pid.SUS/2016/PN.Smg, terhadap Terdakwa Muhammad Abdul Khayyi bin
Sarmin, majelis hakim menjatuhkan sanksi pidana berupa menjalankan rehabilitasi sosial selama 6
(enam) bulan.
DAFTAR PUSTAKA
Amini, M. (2021). Sejarah Organisasi Perempuan Indonesia: 1928-1998. UGM PRESS.
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN 2774-5147
PENERAPAN REHABILITASI MEDIS DAN REHABILITASI SOSIAL ATAS
PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA BAGI DIRI SENDIRI
Mohamad Fajar
417
Dewi, W. P. (2019). Penjatuhan Pidana Penjara Atas Tindak Pidana Narkotika Oleh Hakim di Bawah
Ketentuan Minimum Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika. Jurnal Hukum Magnum Opus, 2(1), 5573.
Hutapea, T. P. D. (2018). Penerapan Rehabilitasi Medis Dan Sosial Bagi Prajurit Tni Dalam Putusan
Pengadilan/The Implementation Of Medical And Social Rehabilitation For Indonesian
National Armed Forces Personnel In Court Decision. Jurnal Hukum Dan Peradilan, 7(1), 67
86.
Johan, S., & Ariawan, A. (2021). Keterbukaan Informasi Uu Pasar Modal Menciptakan Asymmetric
Information Dan Semi Strong Form. Masalah-Masalah Hukum, 50(1), 106118.
Maysarah, M. (2020). Pemenuhan Hak Asasi Manusia Dalam Pelaksanaan Rehabilitasi Berdasarkan
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. SOSEK: Jurnal Sosial Dan Ekonomi,
1(1), 5261.
Meliala, H. (2019). Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan. Universitas
Quality.
Novitasari, D. (2017). Rehabilitasi Terhadap Terhadap Anak Korban Penyalahgunaan Narkoba.
Jurnal Hukum Khaira Ummah, 12(4), 917926.
Prasetyo, A. (2020). Penerapan Rehabilitasi Anak Penyalahgunaan Narkoba (Studi Kasus di
Wilayah Hukum Polres Kediri Kota). Mizan: Jurnal Ilmu Hukum, 9(2), 191195.
Pratama, A. (2018). Tinjauan Yuridis Viktimologis Terhadap Anak Yang Menjadi Korban
Stigmatisasi Karena Orang Tua Yang Menjadi Terdakwa Tindak Pidana Korupsi
Dihubungkan Undang-Undang No 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak. Fakultas
Hukum Universitas Pasundan.
Sari, N. (2019). Tinjauan Yuridis Terhadap Upaya Pelajar/Mahasiswa Dalam Memperoleh Narkoba
(Studi pada Survei Penyalahgunaan Narkoba di Kelompok Pelajar dan Mahasiswa Tahun
2016). Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 19(1), 121136.
Setiadi, W., & Afrizal, R. A. (2019). Implikasi Kebijakan Bebas Visa Berdasarkan Peraturan
Presiden Tentang Bebas Visa Kunjungan: Perspektif Ketenagakerjaan. Jurnal Ilmiah
Kebijakan Hukum, 13(3), 311322.
Simanungkalit, P. (2012). Model Pemidanaan yang ideal bagi korban pengguna narkoba di
Indonesia. Yustisia Jurnal Hukum, 1(3).
Sollu, A., Maidin, M. A., Arifin, A., & M Rusdi Maidin, A. (2020). Pelembagaan Nilai Dan Norma
Bagi Pecandu Narkoba Di Balai Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (Bnn) Baddoka
Makassar.
Triyono, U. (2018). Bunga Rampai Pendidikan (Formal, Non Formal, dan Informal). Deepublish.
Umar, N. (2017). Metode Pemulihan Perilaku Menyimpang Anak di Panti Sosial Marsudi Putra
Toddopuli Kecamtan Biringkanaya Kota Makassar. Universitas Islam Negeri Alauddin
Makassar.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International
License