660
Umar Shofi, Rina Septiani
EKSISTENSI DAN PENERAPAN HUKUM ISLAM DALAM HUKUM POSITIF
INDONESIA
Umar Shofi
1
, Rina Septiani
2
12
Universitas Nahdlatul Ulama, Indonesia
umarshofi197@gmail.com
1
, rinaseptiani@unusia.ac.id
2
Abstrak
Penelitian ini membahas tentang eksisnya hukum Islam dalam hukum nasional penelitian ini akan
fokus pada keberadaan hukum Islam dalam hukum nasional di Indonesia. Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis eksistensi dan penerapan hukum islam dalam hukum positif indonesia. Metode
yang digunakan adalah studi pustaka dengan pendekatan analisis normatif-komparatif, analisis data
yang digunakan adalah mulai dari data kualitatif sampai dengan data skunder. Hasil penelitian
menemukan bahwa hukum Islam dalam keberadaannya dihukum positif memiliki kekuatan dan
kelemahan tersendiri yang datang dari dalam masyarakat Islam di Indonesia pada umumnya.
Kekuatan hukum Islam dan peluang yang dimilikinya di Indonesia sangat signifikan dalam
menentukan prospek hukum Islam karena kekuatan dan peluang itu berbasis dukungan umat Islam
yang secara kuantitatif mayoritas, dan landasan ideologiskonstitusional yang sangat fundamental.
Kelemahan dan tantangan/ancaman yang dihadapi hukum Islam di Indonesia hanyalah bersifat
persepsional bukan fundamental. Persepsi masyarakat tentang hukum Islam akan selalu dinamis
sejalan tingkat pengetahuan, kesadaran beragama dan perkembangan budaya bangsa.
Kata kunci: Eksistensi, Hukum Islam, Indonesia
Abstract
This study discusses the existence of Islamic law in national law. This research will focus on the
existence of Islamic law in national law in Indonesia. This study aims to analyze the existence and
application of Islamic law in Indonesian positive law. The method used is a literature study with a
normative-comparative analysis approach, the data analysis used is starting from qualitative data
to secondary data. The results of the study found that Islamic law in its existence is punished
positively has its own strengths and weaknesses that come from within Islamic society in Indonesia
in general. The power of Islamic law and the opportunities it has in Indonesia are very significant in
determining the prospects of Islamic law because these strengths and opportunities are based on the
quantitative majority of Muslims, and a very fundamental constitutional ideological basis.
Weaknesses and challenges/threats faced by Islamic law in Indonesia are only perceptual, not
fundamental. Public perception of Islamic law will always be dynamic in line with the level of
knowledge, religious awareness and the development of the nation's culture.
Keywords: Existence, Islamic Law, Indonesia
PENDAHULUAN
Negara Indonesia sebagai negara hukum yang mayoritas penduduknya beragama Islam adalah
merupakan realitas sosial, karena itu sangat relevan apabila hukum Islam dijadikan sumber rujukan
dalam pembentukan hukum-hukum nasional, maka peranan ulama dan ilmuan terhadap Islam sangat
diperlukan (Irawan & Selviana, 2020). Strategi perkembangan hukum Islam secara komulatif tidak
dapat dilepaskan dari kerangka ijtihad sebagai suatu metode, di antaranya dengan strategi asimilasi
imitatif dan inovatif terhadap segala norma yang berharga yang hidup dalam masyarakat Indonesia
dan bermanfaat dalam ukuran yang dibolehkan dalam kultur Islam, sehingga Islam mudah diterima
dalam segala keadaan (Hidayat, 2017).
Dalam Islam terdapat tiga substansi hukum yang dapat dipedomani yaitu, pertama hukum-
hukum yang ketentuannya secara detail diatur oleh Alquran dan Sunnah (Assegaf, 2013). Kedua,
hukum-hukum yang ada dalam Alquran dan Sunnah tetapi ketentuan detailnya diserahkan kepada
Jurnal Sosial dan Teknologi (SOSTECH)
Volume 2, Number 8, Agustus 2022
p-ISSN 2774-5147 ; e-ISSN 2774-5155
661
Umar Shofi, Rina Septiani
Eksistensi dan Penerapan Hukum Islam Dalam Hukum Positif Indonesia
negara. Ketiga, hukum-hukum yang tidak tersurat dalam Alquran dan Sunnah tetapi tersirat dalam
sunnatullah dan inilah yang merupakan kewajiban negara untuk mengaturnya. Keadaan tersebut
memungkinkan terjadinya hukum-hukum baru yang mengecualikan atau membatasi dalil umum dan
kadang kala mensyaratkan dalil mutlak dalam Alquran (Manan, 2014).
Indonesia dewasa ini sedang melaksanakan pembangunan di segala bidang, termasuk
pembangunan di bidang hukum (Tono, 2005). Umat Islam merupakan bagian dari perjalanan sejarah
bangsa Indonesia yang tidak bisa dipisahkan dengan negara, pemerintah dan hukumnya, ia terjalin
secara relegius yang diperselisihkan dan diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari (Muin &
Umam, 2016). Oleh karena itu negara sudah semestinya memberikan peluang konstitusional
berlakunya hukum Islam dalam tata hukum nasional Indonesia. Sebab Islam datang ke Indonesia jauh
sebelum masa penjajahan dan hukum Islam telah diikuti dan dilaksanakan para pemeluk agama Islam
dalam kehidupan sehari-hari (Nuruddin & Tarigan, 2019).
Tujuan hukum Islam pada dasarnya adalah kemaslahatan manusia, sehingga hukum Islam
mencoba menegakkan maslahat dan mencegah mafsadat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih
baik di dunia dan di akhirat. Karena itu, memahami hukum Islam tidak hanya didasarkan pada makna
literalnya saja tapi pengkajian dan pengembangan hukum secara normatif sebagai cara mewujudkan
keadilan hukum yang dapat diterapkan di tengah-tengah masyarakat merupakan hal yang sangat
penting sebagai wahana pembinaan dan pengembangan hukum nasional di Indonesia.
Penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Abd Muin dengan judul “Eksistensi Kompilasi
Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Positif” Pada tahun 2016 dalam penelitiannya mengatakan
bahwa Kompilasi Hukum Islam menunjukkan adanya hukum tidak tertulis dalam kehidupan rakyat
Indonesia yang beragama Islam, karena sistem hukum nasional Indonesia mengakui hukum tertulis
dan hukum tidak tertulis. Penelitian terdahulu membahas secara gelobal mengenai eksistensi
sedangkan dalam penelitian ini selain membahas mengenai eksistensi hukum islam objek penelitian
lebih spesifik pada penerapan hukum islam dalam sistem hukum positif.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yang dikategorikan menjadi dua
jenis, yaitu data primer dan data sekunder. Sumber data diperoleh melalui teknik penelitian
kepustakaan (library study) yang mengacu pada sumber yang tersedia baik online maupun offline
seperti: jurnal ilmiah, buku dan berita yang bersumber dari sumber terpercaya. Sumber-sumber ini
dikumpulkan berdasarkan diskusi dan dihubungkan dari satu informasi ke informasi lainnya. Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara dan penelitian.
Data ini dianalisis dan kemudian ditarik kesimpulan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah
perkembangan Islam itu sendiri. Hukum Islam merupakan bagian yang penting, jika tidak disebut
yang terpenting, dalam Islam (Siroj, 2018). Hukum Islam adalah representasi pemikiran Islam,
manifestasi yang paling khas dari pandangan hidup Islam dan intisari dari Islam itu sendiri. Hukum
Islam masuk di Indonesia bersamaan dengan masuknya agama Islam di negara ini. Terdapat tiga teori
tentang masuknya Islam ke Nusantara, yaitu teori Gujarat (India), teori Mekkah (Arab), dan teori
Persia. Ketiga teori ini mencoba memberikan jawaban tentang permasalahan masuknya Islam ke
Nusantara berkenaan dengan waktu masuknya, asal negara yang menjadi perantara, atau sumber
pengambilan ajaran Islam dan pelaku penyebarannya (Burhanudin, 2012).
Teori pertama mengatakan bahwa awal penyebaran Islam di Indonesia pada abad ke-13 M.
Tempat asalnya Gujarat dan pelakunya adalah para pedagang India yang telah memeluk agama Islam.
Teori kedua lebih cenderung mengatakan bahwa penyebarannya terjadi pada abad ke-7 M. Dalam
teori ini terdapat dua pendapat tentang asal negara dari mana Islam masuk. Satu pendapat
mengatakan, berasal dari Gujarat, dan yang lain mengatakan, berasal dari Timur Tengah, yaitu Mesir
dan Mekkah, dan pelaku penyebarannya adalah pedagang Arab. Teori ketiga berpendapat bahwa
Islam yang masuk ke Nusantara berasal dari Persia, singgah di Gujarat, dan terjadi pada abad ke-13
662
Umar Shofi, Rina Septiani
Eksistensi dan Penerapan Hukum Islam Dalam Hukum Positif Indonesia
(Zaelani, 2019).
Pemaparan teori-teori masuknya Islam ke Indonesia sebagaimana tersebut di atas tidak
dimaksudkan untuk mengulang polemik tentang persoalan tersebut, tetapi sekadar ingin
menggambarkan bahwa hukum Islam yang merupakan bagian terpenting dari agama Islam telah lama
dikenal oleh masyarakat Indonesia dan telah menjadi sebuah norma yang mengatur kehidupan
mereka. Pada masa kesultanan Islam, hukum Islam menjadi acuan penting dalam menyelesaikan
kasus-kasus hukum yang timbul di tengah-tengah masyarakat. Karya Nuruddin Ar-Raniri yang hidup
pada abad ke-17 di Aceh dengan judul Shirathul Mustaqim (Jalan Lurus) merupakan kitab hukum
Islam yang pertama yang disebarkan ke seluruh Indonesia untuk menjadi acuan hukum umat Islam.
Oleh Syekh Arsyad Banjar yang menjadi mufti di Banjarmasin, kitab ini diperluas dan diperpanjang
uraiannya dan dijadikan acuan dalam menyelesaikan sengketa antarorang Islam di daerah kesultanan
Banjar. Di daerah kesultanan Palembang dan Banten diterbitkan pula beberapa kitab hukum Islam
sebagai acuan normatif dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum yang terjadi. Hukum Islam juga
diberlakukan di kerajaan-kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gersik, Ampel, dan Mataram. Dengan
demikian, dapatlah dipahami bahwa sebelum Belanda mengukuhkan kekuasaannya di Indonesia,
hukum Islam telah mempunyai kedudukan tersendiri dalam masyarakat. Sebagai hukum yang berdiri
sendiri, hukum Islam telah ada dan berlaku di dalam kehidupan masyarakat Indonesia, tumbuh dan
berkembang di samping hukum adat. Pada masa penjajahan Belanda, perkembangan hukum Islam di
Indonesia dapat dilihat dalam dua bentuk. Pertama, adanya toleransi pihak Belanda melalui VOC
yang memberikan ruang agak luas bagi perkembangan hukum Islam; bahkan dapat dikatakan bahwa
VOC turut membantu menyusun suatu Compendium yang memuat hukum perkawinan dan hukum
kewarisan Islam dan berlaku di kalangan umat Islam. Kedua, adanya upaya intervensi Belanda
terhadap hukum Islam dengan menghadapkannya pada hukum adat (Aseri, 2020).
Pernyataan di atas menggambarkan pasang surut politik hukum Belanda terhadap hukum Islam
sebagai pengaruh teori-teori yang muncul saat itu, seperti teori Receptie in Complexu. Teori ini
digagas oleh Solomon Keyzer yang kemudian dikuatkan oleh Christian Van den Berg (1845-1927).
Menurut teori ini, hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk agama
Islam, maka hukum Islam-lah yang berlaku baginya. Dalam bukunya Muhammadansch Recht, Van
Den Berg menyatakan bahwa hukum Islam diperlukan bagi orang-orang Islam bumiputra walaupun
dengan sedikit penyimpangan-penyimpangan. Teori inilah yang mempengaruhi sikap akomodatif
VOC terhadap hukum Islam sehingga mereka tidak menganggapnya sebagai sebuah ancaman yang
harus ditakuti. Dan berdasarkan teori ini pula Van den Berg mengusulkan agar dibentuk Pengadilan
Agama di Indonesia. Usul ini direspons oleh pemerintah kolonial dengan dikeluarkannya Stbl.1882
No.152 yang diberlakukan di Jawa dan Madura. Hakim yang bekerja di Pengadilan Agama direkrut
dari penghulu yang sekaligus menjadi penasihat Landraad dalam menyelesaikan suatu perkara (Bakry,
2013).
Sikap akomodatif seperti yang tersebut di atas tidak berlangsung lama karena pemerintah
kolonial Belanda dipengaruhi oleh teori Receptie yang dikembangkan oleh Chrestian Snouck
Hurgronje (1857-1936), yang selanjutnya disistemisasikan secara ilmiah oleh Van Vollen Hoven dan
Ter Harr. Teori ini didasarkan kepada hasil penelitian yang dilakukan oleh Hurgronje di Aceh.
Menurutnya, yang berlaku dan berpengaruh bagi orang Aceh yang mayoritas beragama Islam
bukanlah hukum Islam. Dan hukum Islam baru memiliki kekuatan hukum apabila telah benar-benar
diterima oleh hukum adat. Jadi, hukum adat-lah yang menentukan berlaku-tidak berlakunya hukum
Islam. Sebagai akibat teori ini, maka perkembangan hukum Islam mengalami hambatan karena
pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan baru yang membatasi kewenangan Pengadilan
Agama dengan mengeluarkan Stbl. 1937 No. 116 dan 610. Teori Receptie ini cukup berpengaruh di
Indonesia sampai kurun waktu tahun 1970. Tetapi, setelah Indonesia merdeka dan UUD 45 berlaku
sebagai dasar negara, sekalipun tanpa memuat tujuh kata dalam Piagam Jakarta, maka teori Receptie
di atas dinyatakan tidak berlaku lagi dan kehilangan dasar hukumnya. Selanjutnya, hukum Islam
berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan pasal 29 UUD 45
(Nazaruddin, 2017).
Dalam hubungan ini, yang perlu dicatat dari perjuangan mempertahankan eksistensi hukum
Islam pada masa pasca kemerdekaan adalah banyaknya teori yang bermunculan sebagai counter
663
Umar Shofi, Rina Septiani
Eksistensi dan Penerapan Hukum Islam Dalam Hukum Positif Indonesia
theory terhadap teori Receptie. Paling tidak, ada tiga teori yang mncul kemudian. Pertama, teori
Receptie Exit yang dicetuskan oleh Hazairin. Teori ini menyatakan bahwa teori Receptie harus exit
(keluar) dari teori hukum Islam Indonesia karena bertentangan dengan UUD 45, Al-Qur‟an, dan
Hadits. Kedua, teori Receptio a Contrario yang dikemukakan oleh Sayuti Thalib. Teori ini
mengatakan bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat Indonesia adalah hukum agamanya. Hukum adat
hanya berlaku apabila tidak bertentangan dengan hukum agama. Ketiga, teori Eksistensi yang
dikemukakan oleh Ichtijanto. Secara substansial teori ini sebenarnya hanya lebih mempertegas teori-
teori yang muncul sebelumnya, yakni teori Receptie Exit dan teori Receptio a Contrario tentang
hubungan dan posisi hukum Islam dalam sistem hukum nasional. Menurut teori Eksistensi, hukum
Islam “telah ada” dalam sistem hukum nasional dan menjadi kenyataan yang tidak dapat dipungkiri
keberadaannya dalam sistem hukum naasional (Rumahuru, 2018).
Pengertian “telah ada” hukum Islam di atas adalah :
1. Hukum Islam merupakan bagian integral dari hukum nasional;
2. Dengan kemandirian dan kekuatan wibawanya, hukum Islam diakui oleh hukum nasional dan
diberi status sebagai hukum nasional;
3. Norma hukum Islam berfungsi sebagai penyaring bahan bahan hukum nasional dan;
4. Hukum Islam sebagai bahan utama dan sumber utama hukum nasional.
Teori-teori berlakunya hukum Islam di atas berpengaruh terhadap pemikiran politik hukum
nasional yang memberikan ruang lebih terbuka bagi pemberlakuan hukum Islam sebagai hukum
positif di Indonesia. Hal ini ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 10 ayat (1) dari Undang-Undang
ini menyatakan bahwa badan peradilan dibagi ke dalam empat lingkungan, yaitu peradilan umum,
peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Selanjutnya, hukum yang
bernuansa Islam resmi menjadi hukum positif (lex positiva/ius constitutum) sejak diundangkannya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang kemudian dijabarkan dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Undang-Undang ini berlaku bagi seluruh rakyat
Indonesia dari berbagai agama tetapi nuansa keislamannya sangat kental, sehingga tidak heran apabila
dalam proses legislasinya terjadi pergumulan politik yang ditandai tarik-menarik antara kelompok
yang pro dan yang kontra terhadap rumusan pasal-pasal yang dinilai krusial dan kontroversial sebagai
pengaruh dari semangat deislamisasi hukum Islam di satu sisi, dan formalisasinya di sisi yang lain
Dalam perkembangan berikutnya, diundangkanlah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Sebenarnya, usaha untuk memantapkan kedudukan Peradilan Agama
sudah lama dirintis oleh Departemen Agama (sekarang disebut Kementerian Agama). Kegiatan
penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Agama sudah dimulai sejak tahun 1961,
namun secara konkret baru terlaksana pada tahun 1971 berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 15
Tahun 1970 Tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan
Peraturan Pemerintah. Setelah melalui pembahasan yang cukup lama, Undang-Undang tentang
Peradilan Agama tersebut baru dapat diundangkan pada tanggal 29 Desember 1989. Di antara pokok
pikiran yang terdapat dalam pertimbangan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
adalah untuk menyeragamkan kompetensi atau kewenangan Pengadilan Agama antara Jawa-Madura
dan luar Jawa-Madura. Dengan berlakunya Undang-Undang ini, maka kompetensi absolut Pengadilan
Agama di seluruh Indonesia menjadi sama dalam kerangka sistem dan tata hukum nasional,
berdasarkan Pancasila dan UUD 45. Kompetensi atau kewenangan Pengadilan Agama dinyatakan
dalam pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989: Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perkara di tingkat pertama antara orang-
orang yang beragama Islam di bidang a). perkawinan b). kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam. c). wakaf dan shadaqah. Selanjutnya, ayat (2) dari UU tersebut di atas
menyebutkan: Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a ialah hal-hal
yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku. Bidang
kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b ialah penentuan siapa-siapa yang
menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli
waris dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.
664
Umar Shofi, Rina Septiani
Eksistensi dan Penerapan Hukum Islam Dalam Hukum Positif Indonesia
Agar dapat melaksanakan kewenangan yurisdiksi di atas, Pengadilan Agama memerlukan
perangkat hukum material berupa hukum tertulis yang menjamin keseragaman putusan hukum. Secara
materiil, memang telah ditetapkan 13 macam kitab untuk dijadikan rujukan dalam memutus perkara
yang semuanya bermazhab Syafi‟i, berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama Nomor B/1/735
tanggal 18 Februari 1958 yang merupakan tindak lanjut Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957
tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iyah di luar Jawa dan Madura.
Tetapi, penetapan kitab standar tersebut belum dapat menjamin keseragaman putusan hukum,
karena kitab-kitab tersebut masih mengandung bermacam pendapat para ahli hukum Islam, sungguh
pun dari kalangan Syafi'iyah sendiri. Dalam kaitan ini, Munawir Syadzali mengatakan bahwa ada
keanehan di Indonesia berkenaan dengan implementasi hukum Islam. Peradilan Agama sudah berusia
sangat lama, namun hakimnya tidak memiliki buku standar yang dapat dijadikan rujukan yang sama
seperti KUHP. Ini berakibat, jika para hakim agama menghadapi kasus yang harus diadili, maka
rujukannya adalah berbagai kitab fiqh tanpa suatu standarisasi atau keseragaman. Akibat lanjutannya,
praktis dalam kasus yang sama dapat lahir keputusan yang berbeda jika ditangani hakim yang
berbeda.
Bertitik tolak dari realitas ini, keinginan untuk menyusun Kitab Hukum Islam dalam bentuk
kompilasi dirasakan semakin mendesak. Ide penyusunan Kompilasi Hukum Islam timbul setelah
berjalan dua setengah tahun Mahkamah Agung (MA) membina bidang teknis yustisial peradilan
agama. Tugas pembinaan ini berdasarkan UU. No 14 Tahun 1970 yang menentukan bahwa
pengaturan personil, keuangan, dan organisasi pengadilan pengadilan yang ada diserahkan kepada
departemen masing-masing, sedangkan pengaturan teknis yustisial ditangani oleh Mahkamah Agung.
Meskipun Undang-Undang tersebut telah ditetapkan pada tahun 1970, pelaksanaannya di lingkungan
peradilan agama baru dapat dilakukan pada tahun 1983 setelah penandatanganan Surat Keputusan
Bersama (SKB) oleh Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama. SKB tersebut merupakan jalan
pintas untuk tidak menunggu lahirnya ketentuan pelaksanaan Undang-Undang No 14 tahun 1970 bagi
peradilan agama. Selama perjalanan dua setengah tahun itu, Mahkamah Agung menemukan beberapa
hal yang perlu dibenahi. Di antaranya berhubungan dengan hukum yang diterapkan di lingkungan
peradilan agama, yakni hukum Islam. Ada beberapa hal yang masih menjadi masalah:
1. Hukum Islam (fiqh) tersebar dalam sejumlah kitab karya para ahli fiqh (fuqaha‟) beberapa abad
yang lalu. Hampir dapat dipastikan bahwa dalam setiap masalah selalu ditemukan lebih dari satu
pendapat (qaul). Adalah wajar apabila seseorang bertanya hukum Islam yang mana? Bagi pribadi
ataupun kelompok tertentu, mungkin hal itu tidak perlu dipertanyakan karena telah jelas,
mengingat masing-masing telah menganut paham tertentu. Ini adalah kenyataan tanpa
mengingkari bahwa terjadinya perbedaan pendapat adalah rahmat bagi umat. Tetapi yang
ditekankan di sini adalah bahwa untuk dapat diberlakukan di pengadilan, suatu peraturan,
termasuk hukum Islam, harus jelas dan sama bagi semua orang. Dengan kata lain, harus ada
kepastian hukum.
2. Bahwa dasar keputusan Pengadilan Agama adalah kitab-kitab fiqh. Hal ini membuka peluang bagi
terjadinya pembangkangan, atau setidaknya keluhan, ketika pihak yang kalah perkara
mempertanyakan penggunaan kitab/pendapat yang tidak menguntungkan baginya dengan
menunjuk kitab/pendapat lain yang menawarkan penyelesaian yang berbeda. Bahkan di antara 13
kitab standar itu, ada yang telah jarang dipergunakan sebagai rujukan dan sering pula terjadi para
hakim berselisih sesama mereka tentang pemilihan kitab rujukan tersebut. Hal demikian tidak
terjadi di Pengadilan Umum, sebab setiap keputusan Pengadilan selalu dinyatakan sebagai
pendapat Pengadilan, sekalipun mungkin seorang hakim setuju dengan pendapat pengarang
sebuah buku yang mungkin pula mempengaruhi putusan yang dijatuhkannya.
3. Hal lain adalah bahwa fiqh yang digunakan zaman sekarang dibentuk jauh sebelum lahirnya
paham kebangsaan. Ketika itu praktik ketatanegaraan Islam masih memakai konsep umat.
Berbeda dengan paham kebangsaan, konsep umat menyatukan berbagai kelompok dalam
masyarakat dengan tali agama. Paham kebangsaan baru lahir sesudah Perang Dunia I dan negara-
negara Islam pun menganutnya, termasuk negara-negara di dunia Arab. Dengan demikian,
sejumlah produk dan peristilahan yang dihasilkan sebelum lahirnya paham kebangsaan tidak bisa
digunakan lagi karena perbedaan konteks.
665
Umar Shofi, Rina Septiani
Eksistensi dan Penerapan Hukum Islam Dalam Hukum Positif Indonesia
Kondisi hukum Islam sebagaimana digambarkan di atas inilah yang kemudian mendorong
Mahkamah Agung menggagas pembentukan Kompilasi Hukum Islam. Maka dibentuklah Tim
Pelaksana Proyek dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung dan Menteri
Agama No 07/KMA/1985 dan No 25 Tahun 1985 Tanggal 25 Maret 1985. Dengan kerja keras
seluruh anggota tim, para ulama, dan cendekiawan yang terlibat di dalamnya maka tersusunlah
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terdiri dari Buku I tentang perkawinan, Buku II tentang
kewarisan, Buku III tentang perwakafan. Kemudian untuk memperoleh bentuk yuridisnya, Menteri
Agama menyampaikan rumusan Kompilasi Hukum Islam tersebut kepada Presiden RI melalui surat
tanggal 14 Maret 1988 Nomor MA/123/1988 Hal: Kompilasi Hukum Islam, dengan maksud
memperoleh bentuk yuridis untuk digunakan dalam praktik di lingkungan Pengadilan Agama. Untuk
itu, dikeluarkanlah Instruksi Presiden Nomor 01 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991 yang dalam
diktumnya menyatakan: menginstruksikan kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi
Hukum Islam yang terdiri dari Buku I tentang perkawinan, Buku II tentang kewarisan, dan Buku III
tentang perwakafan sebagaimana telah diterima baik oleh para alim ulama Indonesia dalam lokakarya
di Jakarta pada tanggal 25 Februari 1988 untuk digunakan oleh instansi pemerintahan dan oleh
masyarakat yang memerlukannya. Dan untuk melaksanakan Instruksi Presiden tersebut, Menteri
Agama mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 154 Tahun 1991 Tanggal 22 Juni 1991.
Dari beberapa pokok pikiran yang melatarbelakangi lahirnya Kompilasi Hukum Islam
sebagaimana tersebut di atas, dapatlah dipahami bahwa perumusan Kompilasi Hukum Islam itu
dimaksudkan sebagai upaya pembaruan hukum Islam di Indonesia demi terwujudnya kepastian
hukum Islam dan agar hukum Islam itu relevan dengan perkembangan zaman dalam konteks
keindonesiaan, karena kitab-kitab fiqh yang disusun para ahli hukum Islam beberapa abad lalu yang
menjadi rujukan para hakim di Pengadilan Agama diyakini tidak dapat menjamin terwujudnya dua hal
di atas, sebab, sebagaimana telah disebutkan, kitab-kitab Fiqh itu berbentuk uraian-uraian yang
mengandung pendapat-pendapat para ahli hukum Islam dengan segala perbedaannya, dan pada
umumnya kitab-kitab tersebut disusun pada zaman di mana hukum Islam sedang mengalami stagnasi
karena lemahnya semangat ijtihad di kalangan umat Islam. Begitu juga, ilmu pengetahuan yang
berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat masa itu belum semaju sekarang, sehingga
relevansi kitab-kitab fiqh tersebut dengan kehidupan kontemporer masih perlu dipertanyakan. Dalam
perkembangan berikutnya, sejalan dengan tuntutan reformasi dan otonomi daerah, politik hukum yang
dimainkan pemerintah Orde Reformasi semakin membuka peluang bagi legislasi hukum Islam baik di
tingkat nasional maupun daerah yang tentu akan semakin memperkuat eksistensi hukum Islam di
Indonesia. Dengan demikian hukum Islam di samping eksis sebagai ketentuan perundang-undangan
juga eksis dalam bentuk norma yang mengatur prilaku umat Islam Indonesia dalam kehidupan sehari-
hari baik individual maupun sosial sekaligus sebagai bentuk pengamalan ajaran agama Islam yang
diyakini kebenarannya.
Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang penduduknya sangat plural dari segi etnik,
budaya, dan agama. Mayoritas penduduknya beragama Islam. Indonesia pernah dijajah oleh Belanda
selama kurang lebih 350 tahun, masa yang cukup lama. Di samping itu Indonesia juga pernah dijajah
oleh Spanyol, Portugis, Inggris, dan Jepang dalam waktu yang tidak terlalu lama dibandingkan
dengan masa penjajahan Belanda. Dilihat dari pluralitas penduduk dan pengalaman sejarahnya
sebagai negara jajahan, maka amat wajar apabila di Indonesia juga terdapat pluralitas sistem hukum.
Di negara kita terdapat tiga sistem hukum, yaitu hukum adat, hukum Islam, dan hukum Barat.
Penyebutan secara berturut-turut ini adalah berdasarkan usia masa berlakunya di Indonesia. Hukum
adat merupakan hukum yang usianya paling tua di negara kita dibandingkan hukum-hukum yang lain.
Sejak tahun 1927, hukum adat mulai dipelajari dan diperhatikan secara saksama dalam rangka
pelaksanaan politik hukum pemerintah Belanda setelah dikukuhkannya teori receptie dalam peraturan
yang berlaku saat itu.
Hukum Islam baru dikenal di Indonesia sejak agama Islam disebarkan di negara ini. Sejalan
dengan pesatnya penyebaran agama Islam maka hukum Islampun semakin dikenal dan mengakar
dalam kehidupan umat Islam Indonesia. Sebagai hukum yang bersumber dari agama, hukum Islam
akan mengalami problem politik ketika diformalisasikan pengamalannya dalam negara Indonesia
yang sangat pluralistik ini, karena hukum Islam tidak dapat dilepaskan dari agama Islam itu sendiri.
666
Umar Shofi, Rina Septiani
Eksistensi dan Penerapan Hukum Islam Dalam Hukum Positif Indonesia
Dan apabila masuk dalam tataran ideologi negara maka akan timbul problem politik. Lebih- lebih
agama Islam dengan ajarannya yang sangat komprehensif dapat dipahami sebagai agama dan
negara/politik(al- Islam din wa daulah). Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa tarik menarik
kepentingan antar kelompok agama telah mencapai titik klimaksnya dalam perdebatan perumusan
dasar dan konstitusi negara Republik Indonesia yang pada akhirnya bermuara kepada suatu kompromi
politik untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Indonesia secara konstitusional
bukanlah negara Islam tetapi bukan juga negara sekuler yang memandang agama sebagai persoalan
pribadi dan sama sekali terlepas dari negara. Suatu jalan tengah telah dicapai bangsa Indonesia untuk
mengatasi kemelut ideologis dari gagasan menegenai suatu negara yang ingin mengakui suatu agama
tertentu dan bersikap positif dan akomodatif terhadap agama lain. Jalan tengah itu adalah penerimaan
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara yang dapat mempertemukan agama dan kepercayaan
yang pluralistik, suku dan bahasa yang pluralistik pula dalam suatu kebersamaan, yang menurut
Yunan Nasution merupakan hidayah Tuhan kepada bangsa Indonesia. Franz Magnis Suseno dalam
kaitan ini menulis bahwa Pancasila begitu tinggi dan mutlak nilainya bagi kelestarian bangsa dan
negara Indonesia karena merupakan wahana dimana pelbagai suku, golongan, agama, kelompok
budaya dan ras dapat hidup dan bekerjasama dalam usaha membangun kehidupan bersama tanpa
adanya alienasi dari identitas mereka sendiri
Tentang relasi agama dan negara para teoretisi fiqh siyasi (politik Islam) merumuskan beberapa
teori. Teori tersebut dapat dibedakan dalam tiga paradigma:
1. Paradigma integralistik, menyatakan bahwa agama dan negara itu menyatu (integral). Wilayah
agama meliputi politik atau negara. Negara merupakan institusi politik dan keagamaan sekaligus,
karenanya seorang kepala negara adalah pemegang kekuasaan politik dan agama sekaligus.
Menurut paradigma ini pemerintahan diselenggarakan atas dasar kedaulatan Tuhan karena
sesungguhnya kedaulatan itu berasal dari Tuhan itu sendiri.
2. Paradigma Sekularistik, paradigma ini menekankan pemisahan antara agama dan negara.
Keduanya memiliki wilayah kerja masing masing yang tidak perlu saling mengintervensi. Agama
adalah agama dan negara adalah negara.
3. Paradigma Mutual Simbiotik. Menurut paradigma ini relasi antara agama dan negara bersifat
mutual simbiotik, artinya saling membutuhkan satu sama lain. Dalam hal ini agama membutuhkan
negara, karena dengan kekuatan negara agama bisa berkembang. Demikian juga negara
membutuhkan agama, karena dengan agama, negara dapat berkembang dengan bimbingan etika
dan moral agama.
Paradigma tentang relasi agama dan negara yang dianut di Indonesia adalah yang terakhir yaitu
paradigma mutual simbiotik. Negara memiliki dasar negara Pancasila. Sila pertama adalah Ketuhanan
yang Maha Esa. Sila ini menunjukkan bahwa agama di Indonesia mempunyai posisi strategis dan
amat penting yang berarti bahwa seluruh warga negara Indonesia haruslah memeluk suatu agama
tertentu dan dijamin kebebasannya dalam memilih dan mengamalkan ajaran agamanya.Kendatipun
Indonesia bukan negara agama tapi posisi agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi
acuan moral yang sangat fundamental, dan bahkan sila yang pertama dari Pancasila itu melandasi sila-
sila yang lain yaitu Kemanusian yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan dan Keadilan bagi
Seluruh Rakyat Indonesia. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 45 tentang Agama menegaskan bahwa
negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu. Hukum Islam merupakan bagian yang penting dari
agama Islam, karenanya pengamalan hukum Islam oleh orang Islam merupakan bentuk pengamalan
ajaran agama sekaligus yang juga merupakan hak-hak rakyat yang harus memperoleh perlindungan
dari negara sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J UUD 45.
Umat Islam di Indonesia secara kuantitatif adalah mayoritas yang berarti bahwa komposisi
penduduk negara ini kebanyakan beragama Islam. Konsekuensi logis dari realitas sosial ini adalah
bahwa aspirasi mayoritas penduduk Indonensia adalah menghendaki berlakunya hukum Islam dalam
kehidupan mereka sebagai hukum yang bersumber dari agama yang kebenarannya tidak diragukan
lagi, maka wajar apabila hukum Islam menjadi rujukan sebagai bahan hukum nasional yang sangat
penting yang harus diacu dalam legislasi hukum nasional, karena menurut teori sosiological
667
Umar Shofi, Rina Septiani
Eksistensi dan Penerapan Hukum Islam Dalam Hukum Positif Indonesia
yurisprudence yang dikemukakan oleh Eugen Ehrlich bahwa hukum yang baik (ideal) itu adalah
hukum yang dasar pembentukannya berasal dari dan sesuai dengan kenyataan hukum dalam
masyarakat. Kenyataan hukum ini disebut dengan living law dan Just law yang merupakan kata
kunci dalam teorinya. Suatu hukum dapat disebut sebagai living law(hukum yang hidup) dalam
masyarakat apabila hukum itu berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofis.
Sungguhpun hukum Islam telah menjadi hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat
Indonesia tetapi formalisasinya sebagai sebuah Undang-undang membutuhkan dukungan politik lebih
lanjut. Sejak bergulirnya Orde Reformasi, konstelasi politik hukum pemerintah telah mengalami
perubahan yang sangat signifikan dari sebelumnya di zaman Orde Baru yang cenderung mengebiri
hak-hak rakyat. Momentum baru itu memungkinkan aspirasi umat Islam yang menginginkan
formalisasi hukum Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara semakin mendapat ruang terbuka.
Realitas ini tidak hanya terjadi di Indonesia dan dalam era kontemporer ini saja, tapi telah menjadi
sebuah realitas di berbagai belahan dunia dan telah sejak lama terjadi. Dalam konteks ini, Muhammad
Khalid Masud menyatakan bahwa tuntutan untuk menerapkan hukum Islam (syari‟ah) sebagai hukum
negara telah menjadi subjek perdebatan selama hampir dua abad. Intensitas perdebatan itu meningkat
dalam abad kedua puluh selama proses pembentukan negara di dunia Islam. Lebih-lebih belakangan
ini migrasi masyarakat muslim telah membawa perdebatan perdebatan ini ke benua Eropa, Amerika
Utara dan Amerika Selatan. Politik hukum pemerintah Orde Reformasi terlihat lebih akomodatif
terhadap aspirasi umat Islam, sejalan dengan semangat reformasi yang menuntut kebebasan dan
jaminan hak-kak rakyat secara umum. Indikator yang meunjukkan bahwa politik hukum pemerintah
lebih akomodatif adalah semakin banyaknya legislasi peraturan perundang-undangan yang bernuansa
Islami dalam era reformasi, misalnya diundangkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah
Istimewa Aceh, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syari'ah Negara, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syari'ah, Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum
Ekonomi Syari'ah dan lain-lain.
Pemberlakuan peraturan perundang-undangan yang bernuansa Islam di atas menunjukkan
bahwa hukum Islam telah menjadi bagian integral dari hukum Nasional. Dengan kemandirian dan
kekuatan wibawanya, hukum Islam diakui eksistensinya oleh sistem hukum Nasional dan diberi status
sebagai hukum Nasional. Norma hukum Islam berfungsi sebagai penyaring bahan hukum Nasional
bahkan hukum Islam diakui sebagai bahan utama dan sumber utama hukum Nasional. Dalam era
reformasi sekarang ini eksistensi hukum Islam diakui memiliki kekuatan tersendiri yang wujudnya
bisa diaktualisasikan dalam bentuk legislasi, yurisprudensi dan kesadaran hukum masyarakat
Indonesia (teori eksistensi komprehensif) (Sirajuddin, 2015).
Selain sistem hukum adat dan hukum Islam sebagaimana telah dijelaskan di atas, di Indonesia
juga berlaku hukum Barat. Indonesia sebagai negara jajahan Belanda dalam kurun waktu yang cukup
lama wajar apabila sistem hukumnya juga dipengaruhi oleh sistem hukum Belanda (civil law). Hingga
sekarang, masih banyak hukum Belanda yang berlaku di Indonesia. Upaya untuk mewujudkan hukum
nasional yang meng-Indonesia sampai sekarang masih sangat minim hasilnya, dan masih lebih
sebagai sebuah retorika politik. Ini berarti bahwa bangsa Indonesia yang sudah merdeka lebih
setengah abad belum mampu membangun jati dirinya dari aspek hukum. Hal ini menjadi tugas berat
para ahli hukum kita untuk dapat mereformasi hukum-hukum peninggalan penjajah yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai dan karakter serta budaya bangsa Indonesia.
Ketiga sistem hukum tersebut di atas yaitu sistem hukum adat, sistem hukum Islam dan sistem
hukum Barat sejak awal keberadaannya di Indonesia saling bersaing satu sama lain dalam
mempertahankan eksistensinya di negara kita dan momentum akhir dari persaingan itu sangat
ditentukan oleh kepentingan politik hukum pemerintah yang sedang berkuasa yang tentu berbeda
dalam setiap orde pemerintahan, dan persaingan tersebut masih terus berlansung hingga sekarang dan
mungkin sampai akhir zaman. Sungguhpun ketiga sistem hukum itu saling bersaing tetapi di antara
ketiganya terdapat persinggungan, terutama hukum Islam yang mempunyai karakter inklusif dan
akomodatif misalnya dengan doktrinnya bahwa adat/kebiasaan dapat dijadikan sumber hukum
668
Umar Shofi, Rina Septiani
Eksistensi dan Penerapan Hukum Islam Dalam Hukum Positif Indonesia
sepanjang adat/ kebiasaan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
KESIMPULAN
Kekuatan hukum Islam dan peluang yang dimilikinya di Indonesia sangat signifikan dalam
menentukan prospek hukum Islam karena kekuatan dan peluang itu berbasis dukungan umat Islam
yang secara kuantitatif mayoritas, dan landasan ideologiskonstitusional yang sangat fundamental.
Kelemahan dan tantangan/ancaman yang dihadapi hukum Islam di Indonesia hanyalah bersifat
persepsional bukan fundamental. Persepsi masyarakat tentang hukum Islam akan selalu dinamis
sejalan tingkat pengetahuan, kesadaran beragama dan perkembangan budaya bangsa
Sungguhpun demikian, catatan yang perlu dikemukakan dalam konteks ini adalah bahwa
apabila hukum Islam itu mengenai hukum pidana Islam maka pemberlakuannya di Indonesia masih
membutuhkan perjuangan yang tidak ringan. Ada beberapa kendala yang menghadang antara lain:
1. Kendala kultural atau sosiologis, yaitu adanya sebagian umat Islam yang belum bisa
menerima pemberlakuan hukum pidana Islam karena kesenjangan nilai-nilai kultural dan
sosiologis yang terjadi di Indonesia.
2. Kendala ideologis, yaitu banyaknya pandangan negatif terhadap hukum pidana Islam dan
meragukan efektivitas penerapannya.
3. Kendala filosofis, berupa tuduhan bahwa hukum pidana Islam tidak adil, bahkan kejam,
ketinggalan zaman dan bertentangan dengan cita hukum Nasional.
4. Kendala yuridis, tercermin dari belum adanya ketentuan hukum pidana positif yang
bersumber dari syariat Islam.
5. Kendala akademik, terlihat dari belum meluasnya kajian hukum pidana Islam di sekolah atau
di perguruan tinggi
6. Kendala struktural yang terlihat dari belum adanya struktur hukum yang dapat mendukung
penerapan hukum pidana Islam
7. Kendala referensi ilmiah, tercermin dari kurang banyaknya literatur ilmiah yang mengkaji
hukum pidana Islam secara filosofis.
8. Kendala politis, terlihat dari belum memadainya kekuatan politik umat Islam untuk
meloloskan pemberlakuan hukum pidana Islam melalui proses politik. Kendala-kendala diatas
menggambarkan betapa formalisasi hukum pidana Islam di Indonesia masih memerlukan
perjuangan yang amat berat dan aksi nyata yang terprogram dan sistematik
DAFTAR PUSTAKA
Aseri, M. (2020). Hukum Islam di Indonesia (Politik Hukum Orde Lama hingga Reformasi).
Pascasarjana UIN Antasari Banjarmasin.
Assegaf, A. (2013). Aliran pemikirian pendidikan Islam. PT Rajagrafindo Persada.
Bakry, K. (2013). Teori Keberlakuan Hukum Islam di Indonesia. Nukhbatul’ulum: Jurnal
Bidang Kajian Islam, 1(1), 3954.
Burhanudin, J. (2012). Ulama dan kekuasaan: Pergumulan elite politik muslim dalam
sejarah Indonesia. NouraBooks.
Hidayat, E. (2017). Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Nasional. Asas: Jurnal
Hukum Dan Ekonomi Islam, 9(2), 377116.
Irawan, H., & Selviana, I. (2020). Dinamika Internalisasi Hukum Islam Kedalam Peraturan
Perundang-Undangan Di Indonesia. Istinbath: Jurnal Hukum, 18, 352368.
Manan, A. (2014). Peranan hukum dalam pembangunan ekonomi. Kencana Prenada Media
Group.
Muin, A., & Umam, A. K. (2016). Eksistensi Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Positif. Risâlah, Jurnal Pendidikan Dan Studi Islam, 3(1), 6377.
Nazaruddin, N. (2017). Pembaharuan Hukum Islam di Aceh (Konsep dan Aplikasi Pemikiran
Fikih Abuya Muhammad Wali). Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan.
Nuruddin, A., & Tarigan, A. A. (2019). Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Studi Kritis
669
Umar Shofi, Rina Septiani
Eksistensi dan Penerapan Hukum Islam Dalam Hukum Positif Indonesia
Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sampai
Kompilasi Hukum Islam. Kencana.
Rumahuru, Y. Z. (2018). Kontekstualisasi dalam penyebaran Islam: analisis pola
pembentukan Islam di Nusantara. International Journal of Islamic Thought, 14, 123
129.
Sirajuddin, M. M. (2015). Eksistensi „Urf sebagai Sumber Pelembagaan Hukum Nasional.
Madania: Jurnal Kajian Keislaman, 19(1).
Siroj, A. M. (2018). Eksistensi Hukum Islam Dan Prospeknya Di Indonesia. AT-TURAS:
Jurnal Studi Keislaman, 5(1), 97122.
Tono, S. (2005). Wasiat sebagai Instrumen Perubahan Hukum Keluarga di Indonesia. Unisia,
58, 425437.
Zaelani, Z. (2019). Hukum Islam Di Indonesia Pada Masa Penjajahan Belanda: Kebijakan
Pemerintahan Kolonial, Teori Receptie in Complexu, Teori Receptie Dan Teori Teceptio
a Contrario Atau Teori Receptio Exit. KOMUNIKE: Jurnal Komunikasi Penyiaran
Islam, 11(1), 128163.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International
License