805
Oktavianus Supardi, Septian Yahya Lopuo, Vickyanto Mbuinga, Hamdan
Pulumuduyo, Triswandi Tute
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 65
TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN DAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN
PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 TAHUN
Oktavianus Supardi
1
, Septian Yahya Lopuo
2
, Vickyanto Mbuinga
3
, Hamdan Pulumuduyo
4
,
Triswandi Tute
5
Balai Pemasyarakatan Kelas II Gorontalo
Email : oktavianus.supardi@gmail.com, vickyantombuinga[email protected],
septian.lopuo.sh@gmail.com.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti tentang pedoman dan pelaksanaan diversi penanganan anak yang
belum berumur 12 tahun. Adapun lingkup atau latar studi yang penulis lakukan yaitu di Balai
Pemasyarakatan Provinsi Gorontalo. Adapun rumusan masalah sendiri tersusun sebagai berikut:
Bagaimanakah pelaksanaan diversi pada tahap penyidikan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun
2015 Tentang Pedoman dan Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 Tahun?
dan Hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi balai pemasyarakatan Gorontalo dalam pelaksanaan
diversi ketika menangani anak yang berhadapan dengan hukum? Dari penelitian ini penulis menemukan
bahwa: pedoman dan penanganan anak yang belum berumur 12 tahun di Balai Pemasyarakatan Provinsi
Gorontalo belum berlangsung optimal dikarenakan ketidaksiapan apparat penegak hukum dalam
menangani perkara pidana dengan tenggat waktu yang singkat, serta kurangnya pemahaman masyarakat
mengenai Undang-Undang ini. Jenis penelitian yang digunakan peneliti adalah jenis penelitian normatif
dan penelitian empiris. Adapun hambatan-hambatan yang dihadapi Balai Pemasyarakatan Gorontalo
dalam menanggulangi anak yang berhadapan dengan hukum yaitu antara lain: Masih rendah dan
kurangnya sumber daya manusia petugas Bapas, Kurangnya sosialisasi tentang Peraturan Pemerintah ini,
minimnya sarana dan prasarana, wilayah kerja yang luas, faktor keluarga klien anak yang tidak mau
terbuka dan alokasi anggaran yang masih minim
Keywords: Diversi, Hukum Pidana Anak, Undang-Undang nomor 11 tahun 2012
Abstract
This study aims to examine the guidelines and implementation of diversion in handling children who are
not yet 12 years old. The scope or background of the study that the author conducted was at the Gorontalo
Provincial Correctional Center. The formulation of the problem itself is arranged as follows: How is the
implementation of diversion at the investigation stage in Government Regulation Number 65 of 2015
concerning Guidelines and Implementation of Diversion and Handling of Children Who Are Not Yet 12
Years Old? and What obstacles does the Gorontalo correctional center face in the implementation of
diversion when dealing with children facing the law? From this study, the authors found that: the
guidelines and handling of children who are not yet 12 years old at the Gorontalo Provincial Correctional
Center have not been optimally carried out due to the unpreparedness of law enforcement apparats in
handling criminal cases with short deadlines, as well as the lack of public understanding of this Law. The
type of research used by researchers is a type of normative research and empirical research. The obstacles
faced by the Gorontalo Correctional Center in overcoming children facing the law include: Low and lack
of human resources for Bapas officers, Lack of socialization about this Government Regulation, lack of
facilities and infrastructure, large work areas, factors of child client families who do not want to open
and budget allocations that are still minimal.
Keywords: Diversion, Children's Criminal Law, Law number 11 of 2012
PENDAHULUAN
Jurnal Sosial dan Teknologi (SOSTECH)
Volume 2, Number 9, September 2022
p-ISSN 2774-5147 ; e-ISSN 2774-5155
806
Oktavianus Supardi, Septian Yahya Lopuo, Vickyanto Mbuinga, Hamdan
Pulumuduyo, Triswandi Tute
Tinjauan Yuridis Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015
Tentang Pedoman Dan Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum
Berumur 12 Tahun
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
Setiap tahun anak yang menjadi pelaku tindak pidana selalu meningkat, dalam kasus-kasus
tertentu, anak yang menjadi pelaku menjadi perhatian khusus bagi aparat penegak hukum (Ananda,
2018). Beberapa tahun terakhir ini masyarakat Gorontalo sering digemparkan oleh beritaberita
kejahatan dimanamana, hal ini banyak diberitakan di media cetak maupun media elektronik antara lain
seorang anak SMP mencuri disebuah toko, seorang pemuda memukul temannya karena cemburu,
seorang pemuda melakukan percobaan pembunuhan karena dendam, sekelompok remaja berpesta miras
disebuah rumah, seorang gadis remaja tertangkap setelah melakukan perbuatan aborsi dan lain-lain
(kumpulan artikel Gorontalo Post Maret-September 2015). Oleh karena itu, berbagai upaya pencegahan
dan penanggulangan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, perlu segera dilakukan. Salah satu
upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum saat ini melalui
penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak (Pramukti, 2015).
Tujuan penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak tidak semata-mata bertujuan untuk
menjatuhkan sanksi pidana bagi anak pelaku tindak pidana, tetapi lebih difokuskan pada
pertanggungjawaban pelaku terhadap korban tindak pidana, demi kesejahteraan anak yang
bersangkutan, tanpa mengurangi perhatian kepentingan masyarakat (Fikri, 2020).
Secara Internasional dikehendaki bahwa tujuan penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak,
mengutamakan pada tujuan untuk kesejahteraan anak (R Wiyono, 2022). Hal ini sebagaimana
ditegaskan dalam peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam United Nations Standard Minimum
Rules for the Adiministration of Juvenile Justice (SMRJJ) atau The Beijing Rules, bahwa tujuan
peradilan anak (Aims of Juvenile Justice), terjemahannya ”Sistem peradilan pidana bagi anak/remaja
akan mengutamakan kesejahteraan remaja dan memastikan bahwa reaksi apapun terhadap pelanggar-
pelanggar hukum berusia remaja akan selalu sepadan dengan keadaan-keadaan baik pada pelanggar-
pelanggar hukumnya maupun pelanggaran hukumnya” (Cunneen & White, 2011).
Demikian pula secara Nasional bahwa pada bulan Juli tahun 2014 Undang- Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Ariani et al., 2019) telah mempunyai kekuatan
hukum tetap untuk dilaksanakan setelah disahkan pada bulan Juli tahun 2012 silam. Di dalam Undang-
Undang tersebut yakni pada Pasal 6 sampai dengan Pasal 15 terdapat diversi. Namun karena Undang-
Undang ini belum begitu jelas mengatur tentang pelaksanaan diversi, maka pada tahun 2015 pemerintah
telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman dan Pelaksanaan
Diversi dan Penerapan Anak Yang Belum Berumur 12 Tahun. Peraturan Pemerintah ini merupakan
kelanjutan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang
secara khusus mengatur tentang tata cara penerapan diversi.
Jadi, kewajiban bagi aparat penegak hukum untuk mengupayakan diversi tanpa terkecuali bagi
pihak Balai Pemasyarakatan Gorontalo. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari
proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, bila dilihat dari pasal-pasal yang mengatur
tentang diversi yakni mulai dari Pasal 6 sampai dengan Pasal 15 di dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, tidak ada satupun pasal yang secara tegas mengatur
tentang perlindungan terhadap korban, hak-hak korban, maupun kepentingan korban (Cynthya, 2016).
Balai Pemasyrakatan Gorontalo menjaga harkat dan martabat pelaku dengan memberikan
perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan pidana anak, yang mana
anak yang menjadi pelakupun tak luput dari lemahnya pengawasan orangtua atau dulunya si anak
pernah melihat dan/ atau mendapatkan perilaku kekerasan dari lingkungannya . Dalam Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 (Nomor, 23
C.E.) tentang Perlindungan Anak memberikan pengaturan yang jelas dan komprehensif tentang
perlindungan anak yang pada pokoknya bertujuan untuk memberikan jaminan dan melindungi hak-
haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal, serta memperoleh
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Upaya perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum perlu secara terus
menerus diupayakan demi tetap terpeliharanya kesejahteraan anak mengingat anak merupakan salah
satu aset berharga bagi kemajuan suatu bangsa di kemudian hari (Fadilla, 2016). Perlindungan hukum
807
Oktavianus Supardi, Septian Yahya Lopuo, Vickyanto Mbuinga, Hamdan
Pulumuduyo, Triswandi Tute
Tinjauan Yuridis Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015
Tentang Pedoman Dan Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum
Berumur 12 Tahun
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
bagi anak yang berhadapan dengan hukum dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap
berbagai kebebasan dan hak asasi anak. Jadi masalah perlindungan hukum bagi anak mencakup lingkup
yang sangat luas. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak serta
Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman dan Pelaksanaan Diversi dan Penerapan
Anak Yang Belum Berumur 12 Tahun menegaskan bahwa kasus anak yang berhadapan dengan hukum
wajib diupayakan diversi apabila kasus tersebut memenuhi syarat-syarat untuk dilakukannya diversi.
Terlepas apakah sudah sesuai antara pasal-pasal yang mengatur tentang diversi di dalam Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Peraturan Pemerintah Nomor
65 Tahun 2015 Tentang Pedoman dan Pelaksanaan Diversi dan Penerapan Anak Yang Belum Berumur
12 Tahun dengan penerapannya selama ini, pihak Balai Pemasyarakan Gorontalo menganggap
pentingnya untuk menerapkan diversi dalam penyelesaian kasus tindak pidana yang melibatkan anak
(Tuarita, 2020).
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka penulis ingin mengkaji
permasalahan tersebut dalam sebuah karya ilmiah/skripsi dengan judul: “Tinjauan Yuridis Terhadap
Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman dan Pelaksanaan Diversi dan
Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 Tahun (Studi Kasus Di Balai Pemasyarakatan Provinsi
Gorontalo)”.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan peneliti adalah jenis penelitian normatif dan penelitian empiris
(Diantha & SH, 2016). Rumusan masalah pertama menggunakan penelitian yuridis normatif, yaitu cara
pengumpulan bahan hukum dengan bersumber pada bahan-bahan pustaka. sedangkan pada rumusan
masalah kedua menggunakan jenis penelitian empiris yaitu penelitian hukum yang didasarkan pada
kenyataan yang peneliti dapatkan sesuai dengan data yang ada di lapangan (Adiyanta, 2019). Setelah
melakukan penelitian kemudian peneliti mengola data dengan menggunakan pendekatan analisis
kualitatif deskritif yaitu mendeskripsikan data temuan penelitian dalam bentuk kalimat-kalimat berupa
keterangan atau pernyataan-pernyataan dari responden sesuai dengan realitas yang ditemukan di
lapangan. Untuk memperoleh data-data yang diperlukan, maka penulis melakukan penelitian dengan
mengambil lokasi di Balai Pemasyarakatan Gorontalo
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Data Anak Yang Berkonflik
Tabel 1
Data Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum dan Jenis Tindak Pidana Pelaku Anak yang
dilaporkan di Bapas Gorontalo
Jenis Tindak Pidana
Tahun
Jumlah
Total
2011
2012
2013
2014
2015
L
P
L
P
L
P
L
P
L
P
L
P
Pembunuhan
1
0
2
0
3
0
0
0
1
0
7
0
7
Pengeroyokan
2
0
5
0
6
0
4
0
0
0
17
0
17
Penganiayaan
12
1
21
0
19
0
21
6
0
76
7
83
Pengancaman
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
Kejahatan Terhadap
Ketertiban Umum
0
0
0
0
1
0
2
0
0
0
3
0
3
Pengrusakan
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
1
Pencurian
14
2
17
1
17
1
20
0
7
0
75
4
79
Pemerasan
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
1
Pemerkosaan
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
1
1
2
Pencabulan
6
0
6
5
12
0
11
0
1
0
36
5
41
808
Oktavianus Supardi, Septian Yahya Lopuo, Vickyanto Mbuinga, Hamdan
Pulumuduyo, Triswandi Tute
Tinjauan Yuridis Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015
Tentang Pedoman Dan Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum
Berumur 12 Tahun
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
Jenis Tindak Pidana
Tahun
Jumlah
Total
2011
2012
2013
2014
2015
L
P
L
P
L
P
L
P
L
P
L
P
Persetubuhan
0
0
0
1
1
0
1
0
4
0
6
1
7
Kesusilaan
6
0
6
0
2
0
3
0
0
0
17
0
17
Kejahatan Terhadap
Kesopanan
2
0
0
0
4
0
1
0
0
0
7
0
7
Membawa Lari Anak
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
1
0
1
Perdagangan Anak
0
1
0
2
0
0
0
0
0
0
0
3
3
Perlindungan Anak
1
0
3
0
1
1
0
2
0
0
5
3
8
Kekerasan Terhadap Anak
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
1
0
1
Lakalantas / Kelalaian
10
2
5
0
6
0
2
1
1
0
24
3
27
Pencurian disertai
Pembunuhan
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
Pencurian dan
Pertolongan Jahat
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
2
0
2
Perjudian
0
0
1
0
1
0
1
0
1
0
4
0
4
JUMLAH
57
6
67
9
74
3
68
9
20
0
286
27
313
Berdasarkan data yang telah penulis dapatkan menujukkan bahwa total jenis tindak pidana
yang dilakukan oleh anak yang berhadapan dengan hukum di wilayah hukum Gorontalo yang masuk
di Bapas Gorontalo berdasarkan laporan berjumlah 21 jenis tindak pidana. Sedangkan jumlah total
tindak pidana dari 2011 sampai dengan tahun 2015 sebanyak 313 kasus. Adapun kasus tindak pidana
terbanyak yang dilakukan oleh anak yaitu tindak pidana penganiayaan sebanyak 83 kasus, diikuti
tindak pidana pencurian 79 kasus. Sedangkan jenis tindak pidana yang sedikit dilakukan adalah
pengancaman, pengrusakan, pemerasan, membawa lari anak dan pencurian yang disertai
pembunuhan masing-masing 1 kasus.
Berikut ini adalah data tentang anak yang berkonflik dengan hukum ketika menghadapi
pemeriksaan yang tersebar di wilayah hukum provinsi Gorontalo baik itu di tingkat Polres dan
Polsek yang didampingi oleh petugas pembimbing kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan
Gorontalo.
Tabel 2
Pendampingan Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Gorontalo terhadap Klien Anak
Tahun
Pendampingan Pemeriksaan
Ket.
Laki-Laki
Perempuan
Total
2011
7Anak
5 Anak
12 Anak
2012
43 Anak
22 Anak
65 Anak
2013
49 Anak
27Anak
76 Anak
2014
42 Anak
32 Anak
74 Anak
2015
13Anak
6 Anak
19 Anak
Dari data yang telah disajikan diatas menujukkan bahwa setiap tahun Bapas Gorontalo
mengalami peningkatan dalam hal Pendampingan Pembimbing Kemasyarakatan terhadap Klien
Anak, hal ini bisa dilihat pada tahun 2011 berjumlah 12 anak, tahun 2012 berjumlah 65 anak, tahun
2013 berjumlah 76 anak, sedangkan pada tahun 2014 jumlah anak yang didampingi pembimbing
kemasyarakatan kurang sedikit dari tahun 2013 yaitu berjumlah 74 anak, adapun pada tahun 2015
809
Oktavianus Supardi, Septian Yahya Lopuo, Vickyanto Mbuinga, Hamdan
Pulumuduyo, Triswandi Tute
Tinjauan Yuridis Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015
Tentang Pedoman Dan Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum
Berumur 12 Tahun
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
berjumlah 19 anak. Berikut ini adalah data yang diperoleh dari Bapas Gorontalo terkait dengan
Penelitian Kemasyarakatan Klien Anak Untuk Kepentingan Diversi di tingkat penyidikan.
Tabel 3
Penelitian Kemasyarakatan Klien Anak Untuk Kepentingan Diversi
Tahun
Penelitian Kemasyarakatan Untuk Diversi
Ket.
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
2011
-
Anak
-
Anak
0
Anak
2012
-
Anak
-
Anak
0
Anak
2013
-
Anak
-
Anak
0
Anak
2014
14
Anak
8
Anak
22
Anak
Agustus s/d Desember 2014
2015
13
Anak
6
Anak
19
Anak
Tabel 3 adalah data penelitian kemasyarakatan yang dilakukan oleh petugas pembimbing
Balai Kemasyarakatan Gorontalo untuk kepentingan Diversi. Adapun datanya mulai dari bulan
Agustus Tahun 2014 sampai dengan 17 April 2015 ketika penelitian ini dilakukan. Mengapa data
untuk tahun 2011 sampai dengan tahun 2013 tidak ada diversi dan nanti ada pada bulan Agustus
2014, ini dikarenakan pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang
telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku belum ada ketentuan yang mengatur kewajiban tentang
diversi nanti pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak mulai berlaku kewajiban untuk diversi dan undang-undang ini mulai efektif
berlaku mulai 1 Agustus 2014. Hasil laporan penelitian kemasyarakatan tersebut nantinya juga
bermanfaat untuk membantu jaksa dalam membuat tuntutan dan membantu hakim dalam membuat
putusan terhadap anak tersebut.
Berikut ini adalah data yang diperoleh dari Bapas Gorontalo terkait dengan Pendampingan
Anak yang berkonflik dengan hukum dalam droses diversi yang didampingi oleh pembimbing
Kemasyarakatan dari Bapas Gorontalo.
Tabel 4
Pendampingan Anak Dalam Proses Diversi Yang Didampingi Oleh Pembimbing
Kemasyarakatan dari Bapas Gorontalo
Tahun
Pendampingan Proses Diversi
Pendampingan Proses Diversi
Kepolisian
Kepolisian
Kepolisian
2011
-
-
-
2012
-
-
-
2013
-
-
-
2014
11 pria 8 perempuan
-
Agustus s/d December 2014
Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa klien anak yang didampingi oleh pihak Bapas
Gorontalo pada tahun 2014 berjumlah 19 anak, dengan rincian 11 anak pria dan 8 anak perempuan
dan semuanya berhasil di selesaikan di institusi kepolisian jadi tidak perlu sampai proses hukum ke
kejaksaan dan pengadilan. Sedangkan pada tahun 2015 berjumlah 11 anak dimana 9 anak
diselesaikan di tingkat kepolisian sedangkan di tingkat kejaksaan dan pengadilan masing-masing 1
anak.
Berikut ini adalah data yang diperoleh dari Bapas Gorontalo terkait dengan Pendampingan
Anak yang berkonflik dengan hukum dalam hal pendampingan sidang anak yang berkonflik engan
hukum di pengadilan yang ada di provinsi Gorontalo yang didampingi oleh pembimbing
kemasyarakatan dari Bapas Gorontalo.
810
Oktavianus Supardi, Septian Yahya Lopuo, Vickyanto Mbuinga, Hamdan
Pulumuduyo, Triswandi Tute
Tinjauan Yuridis Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015
Tentang Pedoman Dan Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum
Berumur 12 Tahun
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
Tabel 5
Data Pendampingan Sidang Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Di Pengadilan Anak Yang
Ada Di Provinsi Gorontalo Yang Didampingi Pembimbing Kemasyarakatan Dari Bapas
Gorontalo.
Tahun
Pendampingan Sidang Anak
KET.
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
2011
36
Anak
6
Anak
42
Anak
2012
30
Anak
-
Anak
30
Anak
2013
35
Anak
1
Anak
36
Anak
2014
-
Anak
-
Anak
0
Anak
2015
13
Anak
13
Anak
26
Anak
Berdasarkan data tabel 5 dapat diketahui bahwa setiap tahun Bapas Gorontalo mengalami
fluktuasi naik turun dalam hal Pendampingan Sidang Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Di
Pengadilan anak Yang Ada di Provinsi Gorontalo, hal ini bisa dilihat pada tahun 2011 berjumlah 42
anak, tahun 2012 berjumlah 30 anak, tahun 2013 berjumlah 36 anak, sedangkan pada tahun 2014
tidak terdapat anak yang didampingi oleh pihak Bapas Gorontalo. Sedangkan pada tahun 2015
berjumlah 26 anak.
2. Pelaksanaan Diversi Pada Tahap Penyidikan Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun
2015 Tentang Pedoman Dan Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum
Berumur 12 Tahun
Sejak disadari bahwa anak juga melakukan pelanggaran hukum, perdebatan tentang
bagaimana cara yang terbaik untuk menghadapinya, terus menerus berlangsung. Diversi adalah
proses yang telah diakui secara internasional sebagai cara terbaik dan paling efektif dalam
menangani anak yang berkonflik dengan hukum. Intervensi terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum sangat luas dan beragam, tetapi kebanyakan lebih menekankan pada penahanan dan
penghukuman, tanpa peduli betapa ringannya pelanggaran tersebut atau betapa mudanya usia anak
tersebut. Penelitian telah menunjukkan bahwa sekitar 80% dari anak-anak yang diketahui Polisi
melakukan pelanggaran hukum hanya akan melakukannya satu kali itu saja, jadi penggunaan
sumber-sumber sistem peradilan yang “menakutkan” untuk menangani anak-anak ini sesungguhnya
sangat tidak berdasar, kecuali benar-benar diperlukan.
Anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindakan kriminal sangat
dipengaruhi beberapa faktor lain diluar diri anak seperti pergaulan, Pendidikan teman bermain dan
sebagainya. Untuk melakukan perlindungan terhadap anak dari pengaruh proses formal sistem
peradilan pidana maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan kemanusiaan untuk
membuat aturan formal tindakan mengeluarkan (remove) seorang anak yang melakukan pelanggaran
hukum atau melakukan tindak pidana dari proses peradilan pidana dengan memberikan alternative
lain yang dianggap lebih baik untuk anak. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka lahirlah konsep
diversion yang dalam istilah bahasa Indonesia disebut diversi atau pengalihan. Pelaksanaan diversi
dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh
keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana (Tuarita, 2020).
Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap
anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara
wajar baik fisik, mental, dan sosial (Gultom & Sumayyah, 2014). Perlindungan Hukum terhadap
anak dalam system peradilan pidana anak di Indonesia.
Diversi pada hakikatnya juga mempunyai tujuan agar anak terhindar dari efek negatif
811
Oktavianus Supardi, Septian Yahya Lopuo, Vickyanto Mbuinga, Hamdan
Pulumuduyo, Triswandi Tute
Tinjauan Yuridis Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015
Tentang Pedoman Dan Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum
Berumur 12 Tahun
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
penerapan pidana. Diversi juga mempunyai esensi tetap menjamin anak tumbuh dan berkembang.
Dengan demikian, maka juga dapat dikatakan bahwa pada dasarnya diversi mempunyai relevansi
terhadap tujuan pemidanaan bagi anak. Secara umum tujuan pemidanaan terdiri dari upaya untuk
melindungi masyarakat di satu sisi dan melindungi (pelaku) di sisi lain Adi Kusno, Divesrsi sebagai
upaya alternative penanggulangan tindak pidana narkotika oleh anak, (Adi, 2009).
Melalui Mekanisme diversi anak tetap diberikan peluang untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya, tetapi melalui mekanisme yang lebih elegan menurut perspektif anak (Situmorang,
2018). Sebagai proses pengalihan diversi berorientasi pada upaya untuk memberikan pelayanan
sosial kepada pelaku kejahatan, tetapi lebih dipandang sebagai korban yang membutuhkan berbagai
layanan seperti, medis, psikologi, rohani. Oleh karena sifatnya yang demikian maka diversi yang
hakekatnya merupakan upaya untuk menghindarkan anak dari kemungkinan (Adi, 2009).
Permasalahan anak yang berkonflik dengan hukum sangatlah merisaukan. Undang-Undang
Nonor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah tidak memadai lagi dalam memberikan solusi
terhadap tindak pidana oleh anak. Berdasarkan hal tersebut maka DPR RI bersama Pemerintah RI
telah membahas Rancangan Undang- Undang Peradilan Pidana Anak pada tahun 2011 sampai
dengan 2012.
Rancangan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak disampaikan Presiden kepada
Pimpinan DPR-RI dengan Surat No. R-12/Pres/02/2011 tanggal 16 Februari 2011. Presiden
menugaskan Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sosial, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi untuk mewakili Presiden dalam pembahasan RUU SPPA tersebut.
Sementara itu, DPR RI menunjuk Komisi III untuk melakukan pembahasan RUU SPPA tersebut
lebih lanjut melalui Surat Wakil Ketua DPR RI No.TU.4/1895/DPR RI/II/2011.
Rancangan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak ini sendiri secara langsung
diterima dalam Rapat Pleno Komisi III DPR RI pada tanggal 28 Maret 2011, untuk kemudian
dibahas ditingkat Panja (Panitia Kerja) sejak tanggal 3 Oktober 2011.
Rancangan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak ini merupakan penggantian
terhadap UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dengan tujuan agar dapat terwujud
peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan anak, dan pada bulan Agustus tahun 2015
keluarlah Peraturan Pemerintah terkait dengan pelaksanaan diversi
Pengertian diversi telah dijelaskan dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana, Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang
diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formal ke penyelesaian damai antara
tersangka/terdakwa/pelaku tindak pidana dengan korban yang difasilitasi oleh keluarga dan/atau
masyarakat, Pembimbing Kemasyarakatan Anak, Polisi, Jaksa atau Hakim
Hal yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini adalah pengaturan secara tegas
mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi, yang merupakan upaya untuk menghindari dan
menjauhkan Anak dari proses peradilan pidana formal sehingga dapat menghindari stigmatisasi
terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan Anak dapat kembali kedalam
lingkungan sosial secara wajar. Pada akhirnya Undang-Undang ini bertujuan pada terciptanya
Keadilan Restoratif baik bagi Anak maupun bagi Korban. Keadilan Restoratif merupakan suatu
proses Diversi dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama
memecahkan masalah, menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi
lebih baik dengan melibatkan korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk
memperbaiki, rekonsiliasi, dan menentramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan (Penjelasan
UU No. 11 Tahun 2012), dan proses peradilan perkara Anak sejak ditangkap, ditahan, diadili, dan
pembinaan wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami masalah Anak. Namun sebelum
masuk proses peradilan para penegak hukum, keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan proses
penyelesaian di luar jalur pengadilan yakni melalui Keadilan Restoratif dan Diversi (Penjelasan UU
No. 11 Tahun 2012), dan proses pendiversian ini merupakan hal yang wajib dilakukan sebelum anak
masuk dalam peradilan anak (UU No. 11 Tahun 2012 Pasal 7).
812
Oktavianus Supardi, Septian Yahya Lopuo, Vickyanto Mbuinga, Hamdan
Pulumuduyo, Triswandi Tute
Tinjauan Yuridis Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015
Tentang Pedoman Dan Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum
Berumur 12 Tahun
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
Dasar dalam melakukan diversi terdapat dalam pasal 7 Undang-undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana anak dan pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015
Tentang Pedoman dan Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 Tahun
menyatakan bahwa Setiap Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam memeriksa Anak wajib
mengupayakan Diversi (Ayat (1)). Dan Ayat (2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:
1. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
2. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Dalam hal Diversi tidak diupayakan walaupun syarat telah terpenuhi, demi kepentingan
terbaik bagi Anak, maka Pembimbing Kemasyarakatan dapat meminta proses Diversi kepada
penegak hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
Proses Diversi sendiri dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang
tua/Walinya, korban atau Anak Korban dan/atau orang tua/Walinya,
Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan
Keadilan Restoratif dan dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial dan/atau masyarakat.
3. Tata Cara Pelaksanaan Diversi di Tingkat Penyidikan
Ketentuan Diversi pada tahap penyidikan secara khusus diatur dalam pasal 12 sampai dengan
pasal 30 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi
dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (dua belas) Tahun. Bentuk pelaksanaan diversi yang
diatur dalam ketentuan ini yaitu dilakukan melalui musyawarah yang melibatkan Anak dan orang
tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial
profesional, dan dapat juga melibatkan Tenaga Kerja Sosial dan/atau masyarakat.
Penyidik khusus anak, diwajibkan untuk melakukan diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah
penyidikan dimulai (UU No. 11 Tahun 2012 Pasal 29 ayat (1). selama masa 7 (tujuh) hari ini,
penyidik mempertimbangkan apakah kasus anak itu didiversi atau tidak, Sebelum dan sesudah
pelaku anak ditemukan (ketika aduan dan laporan disampaikan), maka penyidik diwajibkan meminta
pertimbangan dari pembimbing kemasyrakatan. Kemudian, masa tahapan dalam diversi dilakukan
paling lama selama 30 (tiga puluh) hari. Selama masa ini, proses Diversi dilakukan melalui
musyawarah yang melibatkan Anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya,
Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional. Jika proses ini gagal, maka Penyidik
wajib menyampaikan berkas perkara ke Penuntut Umum dengan melampirkan berita acara Diversi
(UU No. 11 Tahun 2012 Pasal 29 ayat (4).
4. Penangkapan dan Penahanan Pada Tahap Penyidikian
Tidak setiap kasus anak harus ditahan, melalui UU ini ada kesempatan agar anak tersebut
tidak ditahan, dengan mempertimbangkan: umur anak 14 (empat belas) tahun lebih; diduga
melakukan tindak pidana dengan ancaman maksimal 7 (tujuh) tahun (UU No. 11 Tahun 2012 Pasal
32 ayat (2) huruf a dan b) Persyaratan ini merupakan hal mutlak menjadi pertimbangan apakah
seorang anak dapat ditahan atau tidak. Penahanan pada tahap penyidikan dilakukan paling lama 7
(tujuh) hari, kemudian dapat diperpenjang 8 (delapan) hari lagi (UU No. 11 Tahun 2012 Pasal 33
ayat (1), (2)). Total penahanan ditingkat penyidikan beserta perpanjangan penahanan adalah 15 (lima
belas) hari, sehingga selama 15 (lima belas) hari ini penyidik wajib menyelesaikan pemeriksaan
anak, jika tidak berhasil maka penyidik wajib mengeluarkan anak tersebut dari tahanan (UU No. 11
Tahun 2012 Pasal 33 ayat (3). Yang dapat melakukan penahanan pada tingkat penyidikan bukanlah
polisi, namun ada petugas khusus yaitu Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), dan jika
LPAS belum ada, dapat ditahan oleh Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (UU No. 11
Tahun 2012 Pasal 31 ayat (4), (5).
Untuk mengetahui bahwa telah terjadi tindak pidana polisi dapat memperoleh informasi
melalui beberapa hal diantaranya : adanya laporan, pengaduan, tertangkap tangan dan diketahui
langsung oleh petugas Polisi Republik Indonesia. Mekanisme penyidikannya adalah sebagai berikut
813
Oktavianus Supardi, Septian Yahya Lopuo, Vickyanto Mbuinga, Hamdan
Pulumuduyo, Triswandi Tute
Tinjauan Yuridis Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015
Tentang Pedoman Dan Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum
Berumur 12 Tahun
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
dalam hal adanya laporan atau pengaduan yang diajukan baik secara tertulis maupun tidak tertulis
(lisan), dicatat terlebih dahulu oleh penyidik atau oleh penyidik pembantu. Kemudian kepada
pelapor atau pengadu diberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan. Setelah itu petugas
Polisi Republik Indonesia yang dalam hal ini adalah penyidik segera melakukan penyelidikan untuk
mengetahui bahwa benar-benar telah terjadi suatu peristiwa tindak pidana dan agar tidak salah
tangkap. Apabila suatu tindak pidana diketahui oleh kepolisian berdasarkan hasil pelaporan, hal ini
akan mempermudah pihak berwajib dalam melakukan penyidikan dalam hal pelaku tindak pidana
masih anak-anak maka penyelidikan dilakukan berdasarkan ketentuan. Ketika terjadi tindak pidana
yang pelakunya dilakukan oleh anak maka berdarkan Pasal 12 ayat (1) PP No. 65 Tahun 2015
menyatakan: Dalam jangka waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak surat
perintah penyidikan diterbitkan, Penyidik menyampaikan surat pemberitahuan dimulainya
penyidikan kepada Penuntut Umum. Ayat (2) Dalam melaksanakan penyidikan, Penyidik
berkoordinasi dengan Penuntut Umum dalam jangka waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh
empat) jam terhitung sejak dimulainya penyidikan. Dalam hal dilakukan upaya Diversi, Penyidik
memberitahukan upaya Diversi tersebut kepada Penuntut Umum dalam jangka waktu paling lama 1
x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak dimulainya upaya Diversi.
Ketika dimulainya penyidikan, Penyidik dalam jangka waktu paling lama 1 x 24 (satu kali
dua puluh empat) jam meminta Pembimbing Kemasyarakatan dalam hal ini adalah pihak Bapas
untuk hadir mendampingi Anak dan melakukan penelitian kemasyarakatan atau yang biasa disebut
dengan Litmas dan Pekerja Sosial Profesional untuk membuat laporan sosial terhadap Anak Korban
dan/atau Anak Saksi. Dalam jangka waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam
terhitung sejak tanggal diterimanya surat permintaan dari Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan
wajib menyampaikan hasil penelitian kemasyarakatan dan Pekerja Sosial Profesional wajib
menyampaikan hasil laporan sosial kepada penyidik.
Dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak dimulainya penyidikan,
Penyidik yang berkepentingan wajib memberitahukan dan menawarkan kepada Anak dan/atau orang
tua/Wali, serta korban atau Anak Korban dan/atau orang tua/Wali untuk menyelesaikan perkara
melalui Diversi. Dan ketika telah terjadi kesepakatan diversi segera Penyidik menentukan tanggal
dimulainya musyawarah diversi kemudian menyampaikan berkas perkara dan berita acara upaya
Diversi kepada Penuntut Umum.
Proses diversi sendiri dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak tanggal dimulainya Diversi. Pelaksanaan musyawarah Diversi melibatkan: (Pasal 15
ayat (3) PP Nomor 65 tahun 2015):
1. Penyidik;
2. Anak dan/atau orang tua/Walinya;
3. korban atau Anak Korban dan/atau orang tua/Walinya;
4. Pembimbing Kemasyarakatan; dan
5. Pekerja Sosial Profesional.
Musyawarah diversi dilaksanakan di suatu ruangan yang representatif untuk semua peserta
musyawarah. Musyawarah diversi sendiri dipimpin oleh penyidik yang menanangi kasus anak yang
berhadapan dengan hukum yang bertindak sebagai fasilitator dan pembimbing kemasyarakatan yaitu
perwakilan dari bapas sebagai wakil fasilitator. Musyawarah Diversi dapat juga melibatkan
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) PP 65 tahun 2015. Dalam hal proses
musyawarah diversi tidak mencapai kesepakatan, penyidik membuat laporan dan berita acara proses
diversi dan tugas Penyidik selanjutnya adalah mengirimkan berkas perkara kepada penuntut umum
untuk dilanjutkan ke proses peradilan pidana selanjutnya.
Dalam hal musyawarah Diversi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 mencapai
kesepakatan, Surat Kesepakatan Diversi ditandatangani oleh Anak dan/atau orang tua/Wali, korban,
Anak Korban dan/atau orang tua/Wali, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial
Profesional dan Seluruh proses pelaksanaan Diversi dicatat dalam berita acara Diversi.
814
Oktavianus Supardi, Septian Yahya Lopuo, Vickyanto Mbuinga, Hamdan
Pulumuduyo, Triswandi Tute
Tinjauan Yuridis Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015
Tentang Pedoman Dan Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum
Berumur 12 Tahun
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
Dalam hal diversi mencapai kesepakatan, penyidik menyampaikan Surat kesepakatan diversi
dan berita acara diversi kepada atasan langsung penyidik dan dalam jangka waktu paling lama 3
(tiga) hari terhitung sejak tanggal dicapainya kesepakatan diversi, atasan langsung penyidik
mengirimkan Surat Kesepakatan diversi dan berita acara diversi kepada ketua pengadilan negeri
setempat untuk memperoleh penetapan Kemudian ketua pengadilan negeri setempat mengeluarkan
penetapan kesepakatan diversi dan sekaligus menetapkan status barang bukti dalam jangka waktu
paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal diterimanya Surat Kesepakatan Diversi dan berita
acara Diversi.
Tahap selanjutnya penyidik berkewajiban untuk meminta para pihak untuk melaksanakan
kesepakatan diversi setelah menerima penetapan dari ketua pengadilan negeri setempat. Atasan
langsung penyidik melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kesepakatan diversi. Pembimbing
kemasyarakatan melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan pelaksanaan
kesepakatan diversi.
Tugas dari pembimbing kemasyarakatan selanjutnya menyusun laporan pelaksanaan
kesepakatan diversi. Dan laporan mengenai pelaksanaan kesepakatan diversi itu disampaikan oleh
Pembimbing Kemasyarakatan kepada atasan langsung Penyidik. Laporan disampaikan secara
ringkas dalam jangka waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak
kesepakatan Diversi selesai dilaksanakan. Laporan disampaikan secara lengkap dalam jangka waktu
paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam terhitung sejak kesepakatan Diversi selesai
dilaksanakan.
Pasal 24 ayat (1) PP 65 tahun 2015 menyatakan Penyidik menerbitkan surat ketetapan
penghentian penyidikan:
a. Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal diterimanya surat penetapan
pengadilan, jika kesepakatan Diversi berbentuk perdamaian tanpa ganti kerugian atau penyerahan
kembali Anak kepada orang tua/Wali;
b. Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal kesepakatan Diversi selesai
dilaksanakan, jika kesepakatan. Diversi berupa pembayaran ganti kerugian, pengembalian pada
keadaan semula, atau pelayanan masyarakat;
c. Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal kesepakatan Diversi selesai
dilaksanakan, jika kesepakatan Diversi berupa keikutsertaan Anak dalam pendidikan atau
pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS; atau
d. Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal seluruh kesepakatan
Diversi selesai dilaksanakan.
Dalam hal kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan dalam jangka waktu yang telah ditentukan,
Pembimbing Kemasyarakatan melaporkan secara tertulis kepada atasan langsung Penyidik untuk
ditindaklanjuti dalam proses peradilan pidana dengan tembusan kepada Ketua Pengadilan Negeri
setempat. Kemudian Penyidik menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal laporan diterima. Penyidik
mengirimkan berkas perkara kepada Penuntut Umum serta melanjutkan proses peradilan pidana.
Dalam hal kesepakatan Diversi tanpa persetujuan korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26 tidak mencapai kesepakatan Diversi, Penyidik mengirimkan berkas perkara kepada Penuntut
Umum serta melanjutkan proses peradilan pidana. Dan Dalam hal kesepakatan Diversi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 tidak dilaksanakan dalam waktu yang telah ditentukan, Pembimbing
Kemasyarakatan melaporkan kepada atasan langsung Penyidik untuk ditindaklanjuti dalam proses
peradilan pidana dengan tembusan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat. Kemudian Penyidik
menindaklanjuti laporan itu dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal
laporan diterima dan Penyidik mengirimkan berkas perkara kepada Penuntut Umum serta
melanjutkan proses peradilan pidana.
5. Hambatan-Hambatan Yang Dihadapi Balai Pemasyarakatan Gorontalo Dalam
Menanggulangi Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Berdasarkan Hasil Wawancara
815
Oktavianus Supardi, Septian Yahya Lopuo, Vickyanto Mbuinga, Hamdan
Pulumuduyo, Triswandi Tute
Tinjauan Yuridis Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015
Tentang Pedoman Dan Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum
Berumur 12 Tahun
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
Dengan Salah Seorang Pembimbingan Klien Anak
di Balai Pemasyarakatan Gorontalo yaitu Bapak Kasmat Usman, S.H. (wawancara tanggal 6
April 2016) maupun dengan pembimbing kemasyarakatan lainnya yang bertugas pada bagian
Bimbingan Klien Anak, dapat diperoleh informasi mengenai kendala-kendala yang dialami
pembimbing kemasyarakatan dalam menjalankan tugasnya, yaitu:
1. Aturan Hukum
Tidak adanya aturan hukum yang tegas serta sanksi yang dijatuhkan apabila dalam
penyelesaian perkara pidana yang dilakukan oleh anak terdapat pelanggaran- pelanggaran
terhadap peraturan perundang-undangan yang ada. Kadang-kadang masih terdapat adanya
perkara pidana anak tanpa adanya laporan penelitian tetapi perkara anak tersebut tetap jalan.
Sidang anak tetap jalan akan tetapi tanpa dihadirkannya pembimbing kemasyarakatan atau
pembimbing kemasyarakatan tidak diberi tempat duduk khusus ataupun tidak diberi ruangan
khusus untuk membimbing Terdakwa anak mengenai tatacara dalam menjalani proses
persidangan di Pengadilan Negeri. Selain itu, Laporan Hasil Penelitian Kemasyarakatan (Litmas)
juga hanya menjadi pelengkap berkas perkara saja dalam proses penyelesaian perkara anak.
Padahal dalam Undang-Undang nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem Peradilan Pidana
Anak secara tegas mengatur mengenai hal-hal tersebut. Dalam Pasal 60 ayat (3) Undang-Undang
itu dengan jelas menyatakan bahwa Hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian
kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan sebelum menjatuhkan putusan perkara.
2. Koordinasi
Dalam menjalankan tugasnya melakukan pembimbingan terhadap anak, Balai
Pemasyarakatan memang hanya bersikap pasif. Hal tersebut mengandung arti bahwa Balai
Pemasyarakatan hanya menunggu jika ada instansi lain, seperti Kepolisian, Kejaksaan, maupun
Pengadilan mengajukan permintaan untuk dibuatkan laporan penelitian kemasyarakatan terhadap
anak berhadapan dengan hukum yang melakukan tindak pidana. Dengan demikian peran Balai
Pemasyarakatan dalam melakukan pembimbingan terhadap anak sangat ditentukan oleh aparat
penegak hukum yang lain yang menangani perkara pidana yang dilakukan oleh anak.
Mengingat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
ini masuh baru menggantikan undang- undang yang lama Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, Perbedaan pemahaman mengenai peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai peradilan terhadap anak, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak antara aparat penegak hukum yang satu dengan yang
lainnya, mengakibatkan tidak adanya kesepahaman dalam penanganan perkara pidana yang
melibatkan anak. Perbedaan pemahaman tersebut mengakibatkan tidak adanya koordinasi yang
jelas antara Balai Pemasyarakatan dengan aparat penegak hukum lainnya dalam menangani
perkara anak.
Masih sering dijumpai adanya penanganan perkara anak baik ditingkat Kepolisian,
Kejaksaan maupun ditingkat Pengadilan tanpa adanya peran dari Balai Pemasyarakatan, padahal
peran Balai Pemasyarakatan dalam setiap perkara yang melibatkan anak harus ada sesuai dengan
amanat undang-undang. Lemahnya koordinasi antar sesama penegak hukum yang menangani
perkara anak dapat mengakibatkan penyelesaian perkara anak menjadi terhambat yang
berdampak pula pada lamanya penyelesaian suatu perkara yang melibatkan anak.
3. Sumber Daya Manusia
Keterbatasan sumber daya manusia secara kualitas dari petugas Balai Pemasyarakatan
merupakan salah satu kendala dalam pelaksanaan peran Balai Pemasyarakatan dalam
pembimbingan terhadap anak. Kinerja petugas maupun pegawai dari Balai Pemasyarakatan yang
kurang maksimal dan terjebak dengan adanya rutinitas dalam melaksanakan tugas sehari-harinya
di kantor sehingga bersifat monoton dan tidak berkembang karena perkara anak yang ditangani
oleh Balai pemasyarakatan Gorontalo relatif sedikit. Selain itu, kurangnya pendidikan dan
pelatihan dalam hal penanganan perkara pidana anak terhadap pembimbing kemasyarakatan di
816
Oktavianus Supardi, Septian Yahya Lopuo, Vickyanto Mbuinga, Hamdan
Pulumuduyo, Triswandi Tute
Tinjauan Yuridis Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015
Tentang Pedoman Dan Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum
Berumur 12 Tahun
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
Balai Pemasyarakatan Gorontalo yang berakibat pada tidak berkembangnya pola pikir petugas
Balai Kemasyarakatan. Hal tersebut berakibat pula pada mental para petugas Balai
Pemasyarakatan Gorontalo yang masih sering merasa rendah diri apabila duduk atau
berdampingan dengan jaksa, penasehat hukum, atau hakim karena merasa tidak profesional.
4. Sarana dan Prasarana
Menurut penelitian yang Penulis lakukan sendiri di Balai Pemasyarakatan Gorontalo,
sarana dan prasarana yang ada di sana sangat berbeda jauh dengan ketersediaan sarana dan
prasarana yang ada pada kantor penegak hukum lainnya, seperti pada kantor polisi maupun kantor
kejaksaan. Salah satu contohnya adalah dalam pembuatan laporan penelitian kemasyarakatan
oleh petugas Balai Pemasyarakatan Gorontalo, hanya tersedia satu buah unit komputer tua pada
tiap-tiap ruangan atau tiap- tiap bagian unit kerjanya. Sehingga para pembimbing kemasyarakatan
di Balai Pemasyarakatan Gorontalo sering berebut komputer untuk menjalankan tugasnya.
Keterbatasan jumlah computer tersebut mengakibatkan Pembimbing Kemasyarakatan di Balai
Pemasyarakatan Gorontalo mau tidak mau harus menggunakan komputer pribadi untuk
mengerjakan tugasnya tersebut. Keterbatasan tersebut tentu saja mengakibatkan kurang
maksimalnya kinerja petugas Balai Pemasyarakatan. Padahal petugas Pembimbing
Kemasyarakatan dituntut untuk bertindak cepat karena dipaksakan dengan masa penahanan
tersangka atau terdakwa anak yang relatif singkat waktu penahanannya.
Berdasarkan sebagian kecil gambaran mengenai sarana dan prasarana yang ada di Balai
Pemasyarakatan Gorontalo di atas, tentu saja berbeda jauh keadaannya dengan sarana dan
prasarana yang dimiliki oleh kantor-kantor aparat penegak hukum lainnya.
Adanya perbedaan kondisi tersebut tentu saja dapat mengakibatkan adanya kesenjangan
sosial yang mencolok antara Balai Pemasyarakatan dengan aparat penegak hukum lainnya.
Padahal seperti kita ketahui bersama bahwa Balai Pemasyarakatan juga merupakan salah satu
aparat penegak hukum yang sangat berperan penting dalam proses peradilan pidana khususnya
yang melibatkan anak- anak, sehingga kesenjangan antara Balai Pemasyarakatan dengan aparat
penegak hukum lainnya harusnya dihapuskan demi terciptanya kesetaraan dalam pelaksanaan
fungsi masing-masing aparat penegak hukum.
5. Wilayah Kerja yang Luas
Wilayah hukum Balai Pemasyarakatan Gorontalo terdiri dari Kota Gorontalo, Kabupaten
Gorontalo, Kabupaten Bone Bolango, Kabupaten Boalemo, Kabupaten Pohuwato, dan
Kabupaten Gorontalo Utara. Wilayah hukum tersebut termasuk pula batas-batas paling luar dari
masing-masing kabupaten. Dengan adanya keterbatasan sarana berupa kendaraan dinas dan
jumlah personil terbatas, maka pada saat ada tugas kunjungan ke kediaman klien anak yang
tempat tinggalnya sangat jauh dan terpencil, untuk menjangkau daerah-daerah yang terpencil
tersebut sangat sulit untuk dilakukan, apalagi bagi petugas Balai Pemasyarakatan perempuan.
6. Faktor Keluarga Klien
Setiap anak merupakan tanggung jawab orang tuanya masing-masing. Akan tetapi tidak
semua orang tua mau bertanggung jawab terhadap anaknya yang telah menjadi tersangka suatu
tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Bagi orang tua yang mempunyai anak yang susah diatur
dan sudah berulang kali melakukan tindak pidana, seringkali orang tua atau keluarga sudah tidak
mau bertanggung jawab lagi terhadap anaknya tersebut. Hal ini tentu saja menyulitkan petugas
Balai Pemasyarakatan dalam melakukan pendampingan terhadap anak tersebut, karena
bagaimanapun juga orang tua tetap berperan dalam penyelesaian perkara yang melibatkan
anaknya, misalnya: ketersediaan orang tua untuk memberikan informasi yang berkaitan dengan
anaknya, dan sebagainya. Apabila orang tua sudah tidak mau tahu lagi dengan perkara yang
sedang dialami anaknya, tentu saja orang tua tersebut tidak mau memberikan keterangan sama
sekali. Hal tersebut dapat menyulitkan petugas pembimbing kemasyarakatan dari Balai
pemasyarakatan dalam membuat laporan penelitian kemasyarakatan (Litmas). Padahal laporan
penelitian kemasyarakatan merupakan suatu unsur yang harus ada dalam setiap proses perkara
817
Oktavianus Supardi, Septian Yahya Lopuo, Vickyanto Mbuinga, Hamdan
Pulumuduyo, Triswandi Tute
Tinjauan Yuridis Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015
Tentang Pedoman Dan Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum
Berumur 12 Tahun
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
yang melibatkan anak.
7. Keterbatasan Alokasi Anggaran atau Dana
Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Kasmat Usman, SH. (wawancara tanggal 6
April 2016) sebagai staf Sub Seksi Bimbingan Klien Anak, diperoleh informasi bahwa
kesenjangan anggaran antara Balai Pemasyarakatan dengan aparat penegak hukum yang lain
sangat jauh, baik alokasi anggaran operasional, administrasi, maupun perjalanan dinas. Dari hasil
wawancara dapat diketahui bahwa alokasi dana untuk operasional pelaksanaan tugas
pembimbing kemasyarakatan sangatlah minim, yakni sebagai berikut:
a. Pendampingan Pemeriksaan, Diversi, Sidang Anak dan Kunjungan Rumah
1) Untuk Wilayah Kota Gorontalo, Kabupaten Bone Bolango dan Kabupaten Gorontalo
sebesar Rp.100.000, - (seratus ribu rupiah)
2) Untuk wilayah Kabupaten Gorontalo Utara sebesar Rp.150.000, - (seratus lima puluh ribu
rupiah);
3) Untuk wilayah Kabupaten Boalemo sebesar Rp.200.000, - (dua ratus ribu rupiah);
4) Untuk wilayah Kabupaten Pohuwato sebesar Rp.300.000, - (tiga ratus ribu rupiah).
b. Pelaksanaan Penelitian Kemasyarakatan
1) Untuk Wilayah Kota Gorontalo, Kabupaten Bone Bolango, Kabupaten Gorontalo dan
Kabupaten Gorontalo Utara sebesar Rp.150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah);
2) Untuk wilayah Kabupaten Boalemo sebesar Rp.250.000,- (dua ratus lima puluh ribu
rupiah);
3) Untuk wilayah Kabupaten Pohuwato sebesar Rp.300.000,- (tiga ratus ribu rupiah).
Semua biaya tersebut diatas belum merupakan jumlah bersih karena masih harus dipotong
sebesar Rp.30.000,- (tiga puluh ribu rupiah) untuk Pegawai Golongan II dan sebesar Rp.35.000,-
(tiga puluh lima ribu rupiah) untuk Pegawai Golongan III serta pemotongan pajak sebesar 10%
(sepuluh persen) untuk Pegawai Golongan III (khusus pelaksanaan tugas pendampingan
pemeriksaan, diversi dan sidang anak serta kunjungan rumah
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dari penelitian dan pembahasan serta merujuk pada rumusan masalah maka
dapat diambil kesimpulan bahwa Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 Tentang
Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 Tahun di Wilayah
Propinsi Gorontalo hingga saat ini belum berjalan optimal, hal ini dikarenakan tidak siapnya aparat
penegak hukum menangani perkara pidana dengan batas waktu yang singkat, kurangnya pemahaman
masyarakat mengenai Peraturan Pemeritah ini, serta tingginya angka kriminalitas yang dilakukan oleh
anak dibawah umur.
Ketentuan Diversi pada tahap Penyidikan secara khusus diatur dalam pasal 12 sampai dengan
pasal 30 dalam Peraturan Pemerintah ini Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi
dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (dua belas) Tahun. Bentuk pelaksanaan diversi yang
diatur dalam ketentuan ini yaitu dilakukan melalui musyawarah yang melibatkan Anak dan orang
tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial
profesional, dan dapat juga melibatkan Tenaga Kerja Sosial dan/atau masyarakat. Masa tahapan diversi
dilakukan paling lama 30 hari. Adapun hambatan-hambatan yang dihadapi Balai Pemasyarakatan
Gorontalo dalam menanggulangi anak yang berhadapan dengan hukum yaitu antara lain: Masih rendah
dan kurangnya sumber daya manusia petugas Bapas, Kurangnya sosialisasi tentang Peraturan
Pemerintah ini, minimnya sarana dan prasarana, wilayah kerja yang luas, faktor keluarga klien anak
yang tidak mau terbuka dan alokasi anggaran yang masih minim.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, K. (2009). Diversi Sebagai Upaya Alternative Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh
818
Oktavianus Supardi, Septian Yahya Lopuo, Vickyanto Mbuinga, Hamdan
Pulumuduyo, Triswandi Tute
Tinjauan Yuridis Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015
Tentang Pedoman Dan Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum
Berumur 12 Tahun
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
Anak. Malang. Umm Press. Hal.
Adiyanta, F. C. S. (2019). Hukum Dan Studi Penelitian Empiris: Penggunaan Metode Survey Sebagai
Instrumen Penelitian Hukum Empiris. Administrative Law And Governance Journal, 2(4), 697
709.
Ananda, F. (2018). Penerapan Diversi Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku
Tindak Pidana. Jurnal Daulat Hukum, 1(1).
Ariani, N. M. I., Yuliartini, N. P. R., & Mangku, D. G. S. (2019). Implementasi Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Terhadap Curanmor Yang Dilakukan
Oleh Anak Di Kabupaten Buleleng (Studi Kasus Perkara Nomor: B/346/2016/Reskrim). Jurnal
Komunitas Yustisia, 2(2), 100112.
Cunneen, C., & White, R. (2011). Juvenile Justice: Youth And Crime In Australia. Oxford University
Press.
Cynthya, R. A. (2016). Diversi (Pengalihan Penyelesaian Perkara Anak Dari Proses Peradilan Pidana
Ke Proses Diluar Peradilan Pidana) Dalam Perkara Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Di
Polres Kuala Kapuas.
Diantha, I. M. P., & Sh, M. S. (2016). Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori
Hukum. Prenada Media.
Fadilla, N. (2016). Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana
Perdagangan Orang. Jurnal Hukum Dan Peradilan, 5(2), 181194.
Fikri, R. A. (2020). Implementasi Diversi Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Ditinjau
Dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Jurnal Abdi
Ilmu, 13(2), 7281.
Gultom, M., & Sumayyah, D. (2014). Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak Di Indonesia.
Nomor, U.-U. (23 C.E.). Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah Jo. Undang-Undang Nomor, 5.
Pramukti, A. S. (2015). Sistem Peradilan Pidana Anak.
R Wiyono, S. H. (2022). Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia. Sinar Grafika.
Situmorang, D. S. B. (2018). Pelaksanaan Diversi Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana (Di
Kepolisian Sektor Tampan Pekanbaru Tahun 2016). Universitas Islam Riau.
Tuarita, L. (2020). Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman
Pelakasnaan Diversi Kepada Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum (Studi Di Polres Batu).
Universitas Islam Malang.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International
License