2774-5147
pendanaan internal, hak-hak konstitusional masyarakat yang dijamin APBN semisal subsidi energi
direduksi (Mustapa et al., 2018).
Namun semua upaya pemerinta tampaknya kurang efektif. Biaya logistik pangan dalam negeri
tetap tinggi. Tercermin dari besarnya biaya Margin Perdagangan dan Pengangkutan Total (MPPT)
nasional Tahun 2020 yang tetap tinggi. Misalnya untuk komoditas beras, MMPT mencapai 21.47%.
Hal ini menunjukan, kenaikan harga beras dari produsen sampai ke konsumen akhir sangat tinggi
mencapai 21.47% (Statistik MMPT 2020, BPS)
Menurut hemat kami, salah satu penyebab utama kurang efektifnya penurunan biaya logistik
adalah akibat model pembiayaan pembangunan infrastruktur dibuat bergantung terhadap mekanisme
privatisasi yang berlebihan. Misalnya, untuk kasus pembangunan jalan tol. Akibat diprivatisasi,
pemerintah harus berhadapan dengan tekanan kekuatan modal swasta, termasuk dalam pembentukan
end user price. Prinsip yang digunakan pemodal adalah komersialisasi sehingga harga tol jadi
kontraproduktif karena cenderung mahal harganya.
Selain itu, menurut hemat kami, kapasitas infrastruktur bukan satu-satunya hal untuk
menjamin terkendalinya harga pangan. Meskipun untuk proses integrasi pasar dalam negeri,
pembangunan infrastruktur tidak bisa dinafikan. Namun ada hal lain yang lebih penting untuk
diupayakan, yakni pembenahan managemen dan pola distribusi bahan pangan dari produsen ke
konsumen. Sampai hari ini, meskipun infrastruktur terus diperkuat, tapi pembenahan pola distribusi
pangan masih terabaikan.
Hal ini menjadi sumber utama tetap terpeliharanya bentukan pasar pangan Indonesia yang
cenderung berbasis oligopoly dan bahkan monopoli (Jaelani, 2013). Dalam struktur pasar seperti ini,
hubungan konsumen dan produsen menjadi sangat random. Keduanya mudah didikte pemilik modal
(pelaku usaha besar). Dalam artian, arus utama distribusi bahan pangan masih tetap berputar pada
pusaran pemodal besar. Mulai dari rantai distribusi panjang (dari tengkulak desa, pedagang kecil,
pedagang besar, grosir dan eceran), pungutan liar di sepanjang rantai distribusi serta tengkulak di
tingkat petani dan pemasok di pasar. Implikasinya, masih sulit tercapai harga pangan yang efisien.
Selain itu, keberadaaan spekulan dan kartel pada komoditas tertentu juga merupakan pemicu
pergerakan liar inflasi pangan yang tidak pernah ditemukan solusinya.
Dalam kaitan ini, gambarannya menjadi jelas, bahwa problem logistik pertama- tama adalah
problem manajemen, bukan sarana fisiknya. Jika dipulihkan manajemen distribusi dengan
mengupayakan koneksi langsung antara produsen dan konsumen, sesungguhnya akan memangkas
biaya logistik dan distribusi bahkan jika sarana jalannya kurang baik.
3. Impor Pangan Dan Lemahnya Ketahanan Pangan
Mimpi stabilisasi harga di era liberalisasi perdagangan sangat sulit dicapai (Ika et al., 2015).
Meknaisme pasar menjatuhkan daya tawar negara sehingga tidak berdaulat dalam mengendalikan
harga. Hal ini dikarenakan liberalisasi perdagangan menuntut pemerintah untuk patuh terhadap
sejumlah perjanjian kerjasama internasional, misalnya dengan World Trade Organization (WTO).
Salah satunya terkait efek pengurangan tariff impor. Hal ini, di satu sisi akan berdampak positif
karena berpotensi meningkatkan kesejahteraan sosial secara agregat (Improvement in social
welafera) (Manullang et al., 2021). Namun pada sisi lain, insentif bagi produsen seperti harga
produsen akan menurun dan berdampak pada pengurangan produksi pangan lokal.
Produksi pangan lokal yang terus menurun, terus membuka kesempatan bertambahnya
kapasitas pangan impor untuk memenuhi pasokan dalam negeri. Keadaan seperti tentu saja terus
mendorong peningkatan ketergantungan pemenuhan pangan nasional terhadap pasokan pangan
impor. Dalam keadaan krisis, ketergantungan tinggi terhadap pangan impor memiliki risiko
volatilitas nilai tukar rupiah sebagai imbas dari krisis global. Hal ini berpotensi memunculkan
imported inflation atau kenaikan harga bahan pangan akibat impor. Dalam tahap krisis global yang
semakin parah, kelangkaan bahan pangan akan memicu inflasi yang sulit dikendalikan.
Pengalaman negara berkembang yang membuka pasar dan mengurangi bantuan terhadap
petani sejak 1995 menyebabkan tingkat kemiskinan tidak membaik, pembangunan pedesaan
merosot, impor pangan meningkat pesat, dan mengancam ketahanan pangan, serta arus urbanisasi
tidak bisa terkontrol sehingga menimbulkan persoalan baru di perkotaan. Liberalisasi perdagangan
adalah melapataka yang nyata. Terlihat dari krisis keuangan berulang, jurang pemisah yang kian