950
Abustan, Rusmulyadi
MEMPERKOKOH EKSISTENSI KONSTITUSI MELALUI KETAHANAN
PANGAN
Abustan
1
, Rusmulyadi
2
1
Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta
2
Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo
cakbus.community@gmai.com, community@gmail.com
Abstrak
Anomali harga bahan pangan baik di tingkat produsen dan konsumen terjadi secara ekstrim dari tahun ke
tahun. Jalur utama terjadinya anomali harga pangan ini lebih disebabkan factor politik-ekonomi pangan
nasional yang cenderung berpatron pada mekanisme pasar. Signifikansi dan relevansinya mendorong
bentukan pasar pangan menjadi cendeurng oligopoly bahkan monopoli. Bentukan pasar seperti ini
menjadi penyebab utama panjangnya mata rantai distribusi, mahalnya biaya logistik serta hubungan
konsumen dan produsen yang sangat random. Produsen dan konsumen mudah didikte pemilik modal
(pelaku usaha besar). Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yang menggunakan metode
doctrinal dalam menganalisis eksistensi konstitusi melalui ketahanan pangan prinsip-prinsip dan
normanorma perundang-undangan yang berkaitan dengan Urgensi Pengaturan Hak Atas Pangan Warga
Negara dalam Amandemen Kelima UUD 1945. Tujuan penelitian ini guna menganalisi Upaya penguatan
pasokan dan perdagangan harus dibuat efisien dan didukung sistem serta kelembagaan negara yang kuat.
Hal ini bisa dimulai dengan merubah paradigma berfikir dari pendekatan ketahanan pangan ke kedaulatan
pangan. Sebagaimana amanat konstitusi pasal 33 UUD 1945, dalam kaitan ini, untuk mencapai setabilitas
harga pangan maka harus digalakan upaya pemulihan berbasis integrasi pangan dari hulu ke hilir di bawah
kendali negara lewat peran BUMN pangan (Bulog) dan Koperasi Pangan baik di tingkat petani dan
konsumen. Lantaran itu, perlu difikirkan amandemen ke-5 UUD 1945 untuk memperkuat pasal 33 dalam
mewujudkan kedaulatan dan ketahanan pangan yang lebih berpihak pada petani dan masyarakat
Kata kunci: Ketahanan Pangan, BUMN & Koperasi Pangan
Abstract
Food price anomalies at both the producer and consumer levels occur in extremes from year to year. The
main route of the food price anomaly is more due to national food political-economic factors that tend to
be based on market mechanisms. Its significance and relevance push the formation of the food market into
an oligopoly cendeurng and even a monopoly. The formation of a market like this is the main cause of the
length of the distribution chain, the high cost of logistics and the very random relationship between
consumers and producers. Producers and consumers are easily dictated to the owners of capital (large
business actors). This research is normative legal research, which uses the doctrinal method in analyzing
the existence of the constitution through food security the principles and norms of legislation relating to
the Urgency of Regulating the Right to Food of Citizens in the Fifth Amendment to the 1945 Constitution.
The purpose of this study is to realize Efforts to strengthen supply and trade must be made efficient and
supported by strong state systems and institutions. This can be started by changing the paradigm of
thinking from a food security approach to food sovereignty. As mandated by article 33 of the 1945
Constitution, in this connection, to achieve food price setability, efforts must be made to restore food
integration from upstream to downstream under state control through the role of food SOEs (Bulog) and
Food Cooperatives both at the farmer and consumer levels. Therefore, it is necessary to think of the 5th
amendment to the 1945 Constitution to strengthen article 33 in realizing sovereignty and food security
that is more in favor of farmers and the community.
Keywords : Food Security, BUMN & Food Cooperatives
PENDAHULUAN
Pangan merupakan merupakan produk pertanian terpenting. Sejak awal mula manusia melakukan
usaha tani guna memenuhi kebutuhan pokoknya yang paling primer itu. Bahkan pada tingkat
ketatanegaraan urusan pangan ini dapat menentukan hidup matinya suatu negara (Belly, 2022). Contoh
Jurnal Sosial dan Teknologi (SOSTECH)
Volume 2, Number 11, November 2022
p-ISSN 2774-5147 ; e-ISSN 2774-5155
951
Abustan, Rusmulyadi
Memperkokoh Eksistensi Konstitusi Melalui Ketahanan Pangan
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
klasik adalah nasib Uni Soviet. Sejarah mencatat negara tersebut bubar karena embargo pangan yang
dilakukan oleh Amerika Serikat.
Sebaliknya Kuba berhasil bertahan karena mampu memberi makan yang higienis bagi rakyatnya
tanpa perlu impor pangan. Untuk itu permasalahan pangan sangat bermakna bagi kehidupan manusia.
Atas dasar itu, tidak berlebihan apabila hak atas pangan merupakan bagian dari hak asasi manusia
(HAM). Eksistensi manusia sangat ditentukan oleh pasokan pangan bagi manusia. Pasokan pangan
sangat menentukan hidup matinya manusia itu sendiri. Dengan demikian, pangan bukanlah merupakan
suatu komoditas dagang semata. Pangan merupakan bagian dari HAM. Oleh karena itu bagi manusia
adalah hak dan menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhi, menjamin dan melindungi (Saifulloh,
2021).
Dalam rezim HAM, hak atas pangan ditempatkan dalam rezim hak ekonomi, sosial, dan budaya
(Ekosob) yang disebut juga positive rights, mengingat hak ekosob tidak dapat berdiri sendiri dan
membutuhkan campur tangan pemerintah untuk terlibat aktif dalam pemenuhannya (Maulana & Janur,
2020). Sejalan dengan tujuan berdirinya negara sebagaimana dikatakan John Locke, yaitu memberikan
perlindungan perlindungan HAM bagi rakyatnya.
Problem pangan kiriman 2021 masih terasa hingga awal pekan kedua di tahun 2022. Beberapa
bulan lalu, petani mengeluhkan jatuhnya harga komoditas pertanian. Belakangan ini, giliran konsumen
mengeluhkan naiknya harga cabai, tomat, telur dan minyak goreng. Anomali harga bahan pangan baik
di tingkat produsen dan konsumen terjadi secara ekstrim dari tahun ke tahun. Jalur utama terjadinya
anomali harga pangan ini lebih disebabkan factor politik-ekonomi pangan nasional yang cenderung
berpatron pada mekanisme pasar. Signifikansi dan relevansinya mendorong bentukan pasar pangan
menjadi cendeurng oligopoly bahkan monopoli (Satya, 2016). Di satu sisi, upaya perlindungan negara
terhadap produsen (petani) dan konsumen juga masih sangat lemah. Di tingkat konsumen, harga pangan
lokal sangat tidak kompetitif. Anomali harga seringkali mengakselerasi laju inflasi dengan dampak yang
cenderung memiskinkan masyarakat. Tercermin dari besarnyanya biaya akses pangan yang menguras
65% pengeluaran rumah tangga dengan kontribusi rata-rata terhadap kemiskinan mencapai 73,86%.
(Statistik Penduduk Miskin Maret 2021, BPS)
Menurut teori hukum klasik, secara umum, harga barang ditentukan oleh besarnya pengorbanan
untuk menghasilkan barang tersebut. Dalam kaitan ini, harga ditentukan dari sisi penawaran atau sisi
produksi. Namun teori ini ditentang tokoh-tokoh neoklasik yang berpendapat bahwa harga adalah
kondisi permintaan atau sisi konsumen yang didasarkan kepada kepuasaan marginal (marginal utility)
konsumen terhadap satu unit barang (Alfred Marshal, 2002) (Rosyidin, 2010).
Untuk komoditas pangan, pembentukan harga lebih dipengaruhi sisi penawaran karena sisi
permintaan cenderung stabil mengikuti perkembangan trennya. Pada dasarnya ada tiga factor yang
sangat berpengaruh terhadap pembentukan harga pangan. Diantaranya factor produksi/panen (hafvest
disturbance), perilaku penyimpanan (storage/inventory behavior) serta distribusi (Satya, 2016).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yang menggunakan metode doctrinal dalam
menganalisis prinsip-prinsip dan normanorma perundang-undangan yang berkaitan dengan Urgensi
Pengaturan Hak Atas Pangan Warga Negara dalam Amandemen Kelima UUD 1945. Ada dua
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: pendekatan peraturan perundang-undangan, dan
pendekatan konseptual.
Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah: (1) UUD 1945; (2) UU No.18 Tahun 2012
Tentang Pangan; (3); UU No.41 Tahun 2009 Tentang Lahan Pertanian Berkelanjutan; (4) UU No.12
Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 15 tahun 2019 Tentang P3; (5) Peraturan
Presiden No.42 Tahun 2013. Sedangkan Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini: Risalah
Pembentukan UUD 1945, Risalah Pembentukan UU, Putusan Mahkamah Konstitusi, makalah, jurnal
hukum, buku dan karya ilmiah lainnya.20
Dari segi sifat, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif melukiskan
tentang sesuatu hal dalam ruang dan waktu tertentu. Dalam penelitian hukum, Penelitian deskriptif ini
sangat penting untuk menyajikan bahan-bahan hukum yang ada secara tepat, dimana sesuai bahan-
952
Abustan, Rusmulyadi
Memperkokoh Eksistensi Konstitusi Melalui Ketahanan Pangan
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
bahan itulah preskripsi hukum disusunkan. Sedangkan dari sudut pandang bentuk, tipe penelitian ini
adalah penelitian preskriptif, penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran atau merumuskan
masalah sesuai dengan keadaan/fakta yang ada. Sifat preskriptif ini akan digunakan untuk menganalisis
dan menguji nilai-nilai yang terdapat dalam hukum. Tidak hanya terbatas pada nilai-nilai dalam wilayah
hukum positif semata, melainkan juiga nilai-nilai yang melatarbelakangi dan menyemangati lahirnya
hukum tersebut. Dengan sifat deskriptif dan bentuknya yang preskriptif, penelitian ini dapat
mengungkap21 Urgensi Pengaturan Hak Atas Pangan Warga Negara dalam Amandemen Kelima UUD
1945
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Lemahnya Perlindungan Terhadap Produsen (Petani) Dan Konsumen
Sangat sulit bagi pemerintah untuk mengendalikan harga hanya dengan mengandalkan harga
referensi. Hal ini dikarenakan penguasaan pemerintah terhadap pasokan pangan nasional masih di
bawah 10%. Sisanya, sekitar 90% dikuasai oleh kekuatan pasar. Secara teoritikal, eskalasi harga
sangat ditentukan oleh jumlah pasokan. Dari perspektif ini, maka pemegang kendali atas mayoritas
pasokan yang punya kuasa dominan dalam menentukan harga. Lantaran itu, sejauh ini, dengan hanya
mengendalkan kebijakan harga referensi, pemerintah tidak pernah berhasil mengendalikan inflasi
pangan. Misalnya, inflasi sepanjang tahun 2021 tercatat naik menjadi 1.86% year on year dibanding
tahun 2020 sebesar 1.68%. di saat yang sama, kenaikan inflasi pangan terus menambah beban
pengeluaran akses pangan dengan dampak yang cenderung memiskinkan konsumen. Tercermin dari
besarnyanya biaya akses pangan yang menguras 65% pengeluaran rumah tangga. Besarnya
pengeluaran tersebut, kontribusi rata-rata harga pangan terhadap kemiskinan mencapai 73,86%
(Statistik Inflasi IHK 2021 terhadap IHK 2020, BPS)
Selain masih kurangnya jaminan terhadap konsumen, pemerintah juga dinilai kurang berpihak
terhadap produsen. Dalam kebijakan yang katanya “pro produsen”, pemerintah lewat kementrian
perdagangan bersama Bulog terus memantau pengadaan cadangan beras milik pemerintah melalui
kebijakan Harga Pembelian Pemerintah. Selain itu, pada komoditas gula sudah ditetapkan pula
Harga Patokan Petani (HPP) dan Harga Beli Petani (HPBP) untuk kedelai. Sejumlah kebijakan harga
dasar tersebut dutujukan untuk menghindari kejatuhan harga di tingkat produsen.
Model kebijakan penentuan harga dasar ini juga dinilai tidak efektif lantara tidak memiliki
instrument yang memadai. Sudah diuraikan sebelumnya, bahwa instrument yang dimaksud adalah
sebuah lembaga milik pemerintah yang ditugaskan untuk membeli bahan pangan dari produsen
(petani). Dalam kaitan ini, lembaga milik pemerintah tersebut sangat diperlukan untuk menjamin
perlindungan terhadap petani kecil, terutama di saat harga rendah.
Selain itu, terkait penetapan harga pembelian pemerintah di tingkat produsen, kenyataannya
masih terlampau kecil jika dibandingkan dengan laju inflasi sehingga produsen seringkali
mengalami mines pendapatan. Tercermin dari masih rendahnya Nilai Tukar Petani (NTP). NTP
merupakan rasio yang menggambarkan perbandingan pengeluaran dan pendapatan petani. Nilai
NTP pada Desember 2021 hanya mencapai 108,3, terbilang rendah karena dibawah nilai ideal 120.
Terlebih lagi, untuk subsektor tanaman pangan, NTP hanya mencapai 99.48. Nilai NTP yang rendah,
(Statistik Nilai Tukar Petani/NTP Desember 2021, BPS)
2. Mahalnya Biaya Logistik Dan Panjangnya Rantai Distribusi Pangan
Selain persolan kelangkaan akibat melemahnya produksi, lonjakan harga pangan juga
dipengaruhi tidak meratanya distribusi pangan ke seluruh wilayah. Apalagi Indonesia berbasis gugus
pulau. Maka penguatan konektivitas atau infrasktruktur menjadi kebutuhan utama. Dalam kaitan ini,
sikap pemerintah sejak periode Pertama presiden Joko Widodo menggalakan pembangunan
infrastruktur, menurut sebgaian besar kalangan merupakan langkah tepat. Diyakini, Kapasitas
infrastruktur memadai mampu menekan biaya logistik. Dengannya, mampu menekan produced price
indeks (harga di tingkat produsen) yang selanjutnya akan mempengaruhi harga di tinggkat
konsumen.
Dengan keyakinan kuat, pemerintah massif membangun infrastruktur. Program ambisius dan
anggaran melampui kesanggupan internal ditetapkan. Sehingga berujung pada pembengkakan utang,
privatisasi serta liberalasi proyek lewat pendanaan investasi asing. Bahkan, untuk memaksimalkan
953
Abustan, Rusmulyadi
Memperkokoh Eksistensi Konstitusi Melalui Ketahanan Pangan
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
pendanaan internal, hak-hak konstitusional masyarakat yang dijamin APBN semisal subsidi energi
direduksi (Mustapa et al., 2018).
Namun semua upaya pemerinta tampaknya kurang efektif. Biaya logistik pangan dalam negeri
tetap tinggi. Tercermin dari besarnya biaya Margin Perdagangan dan Pengangkutan Total (MPPT)
nasional Tahun 2020 yang tetap tinggi. Misalnya untuk komoditas beras, MMPT mencapai 21.47%.
Hal ini menunjukan, kenaikan harga beras dari produsen sampai ke konsumen akhir sangat tinggi
mencapai 21.47% (Statistik MMPT 2020, BPS)
Menurut hemat kami, salah satu penyebab utama kurang efektifnya penurunan biaya logistik
adalah akibat model pembiayaan pembangunan infrastruktur dibuat bergantung terhadap mekanisme
privatisasi yang berlebihan. Misalnya, untuk kasus pembangunan jalan tol. Akibat diprivatisasi,
pemerintah harus berhadapan dengan tekanan kekuatan modal swasta, termasuk dalam pembentukan
end user price. Prinsip yang digunakan pemodal adalah komersialisasi sehingga harga tol jadi
kontraproduktif karena cenderung mahal harganya.
Selain itu, menurut hemat kami, kapasitas infrastruktur bukan satu-satunya hal untuk
menjamin terkendalinya harga pangan. Meskipun untuk proses integrasi pasar dalam negeri,
pembangunan infrastruktur tidak bisa dinafikan. Namun ada hal lain yang lebih penting untuk
diupayakan, yakni pembenahan managemen dan pola distribusi bahan pangan dari produsen ke
konsumen. Sampai hari ini, meskipun infrastruktur terus diperkuat, tapi pembenahan pola distribusi
pangan masih terabaikan.
Hal ini menjadi sumber utama tetap terpeliharanya bentukan pasar pangan Indonesia yang
cenderung berbasis oligopoly dan bahkan monopoli (Jaelani, 2013). Dalam struktur pasar seperti ini,
hubungan konsumen dan produsen menjadi sangat random. Keduanya mudah didikte pemilik modal
(pelaku usaha besar). Dalam artian, arus utama distribusi bahan pangan masih tetap berputar pada
pusaran pemodal besar. Mulai dari rantai distribusi panjang (dari tengkulak desa, pedagang kecil,
pedagang besar, grosir dan eceran), pungutan liar di sepanjang rantai distribusi serta tengkulak di
tingkat petani dan pemasok di pasar. Implikasinya, masih sulit tercapai harga pangan yang efisien.
Selain itu, keberadaaan spekulan dan kartel pada komoditas tertentu juga merupakan pemicu
pergerakan liar inflasi pangan yang tidak pernah ditemukan solusinya.
Dalam kaitan ini, gambarannya menjadi jelas, bahwa problem logistik pertama- tama adalah
problem manajemen, bukan sarana fisiknya. Jika dipulihkan manajemen distribusi dengan
mengupayakan koneksi langsung antara produsen dan konsumen, sesungguhnya akan memangkas
biaya logistik dan distribusi bahkan jika sarana jalannya kurang baik.
3. Impor Pangan Dan Lemahnya Ketahanan Pangan
Mimpi stabilisasi harga di era liberalisasi perdagangan sangat sulit dicapai (Ika et al., 2015).
Meknaisme pasar menjatuhkan daya tawar negara sehingga tidak berdaulat dalam mengendalikan
harga. Hal ini dikarenakan liberalisasi perdagangan menuntut pemerintah untuk patuh terhadap
sejumlah perjanjian kerjasama internasional, misalnya dengan World Trade Organization (WTO).
Salah satunya terkait efek pengurangan tariff impor. Hal ini, di satu sisi akan berdampak positif
karena berpotensi meningkatkan kesejahteraan sosial secara agregat (Improvement in social
welafera) (Manullang et al., 2021). Namun pada sisi lain, insentif bagi produsen seperti harga
produsen akan menurun dan berdampak pada pengurangan produksi pangan lokal.
Produksi pangan lokal yang terus menurun, terus membuka kesempatan bertambahnya
kapasitas pangan impor untuk memenuhi pasokan dalam negeri. Keadaan seperti tentu saja terus
mendorong peningkatan ketergantungan pemenuhan pangan nasional terhadap pasokan pangan
impor. Dalam keadaan krisis, ketergantungan tinggi terhadap pangan impor memiliki risiko
volatilitas nilai tukar rupiah sebagai imbas dari krisis global. Hal ini berpotensi memunculkan
imported inflation atau kenaikan harga bahan pangan akibat impor. Dalam tahap krisis global yang
semakin parah, kelangkaan bahan pangan akan memicu inflasi yang sulit dikendalikan.
Pengalaman negara berkembang yang membuka pasar dan mengurangi bantuan terhadap
petani sejak 1995 menyebabkan tingkat kemiskinan tidak membaik, pembangunan pedesaan
merosot, impor pangan meningkat pesat, dan mengancam ketahanan pangan, serta arus urbanisasi
tidak bisa terkontrol sehingga menimbulkan persoalan baru di perkotaan. Liberalisasi perdagangan
adalah melapataka yang nyata. Terlihat dari krisis keuangan berulang, jurang pemisah yang kian
954
Abustan, Rusmulyadi
Memperkokoh Eksistensi Konstitusi Melalui Ketahanan Pangan
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
lebar antara negara- negara berkembang dan negara-negara industri, masih adanya ketidaksetaraan
besar, dan kemiskinan missal (Bello, 2004).
Seolah tidak peduli dengan risiko tersebut, pemerintah Indonesia cenderung memasifkan
masalah pangan pada mekanisme pasar berbasis impor. Tercermin dari regulasi mutakhir, yakni UU
NO. 11 Tahun 2020 tentnag Cipta Kerja. Kebijakan perluasan impor dimulai dari perubahan pasal
30 ayat 1 UU 19/2013 menjadi “kecukupan kebutuhan konsumsi dan atau cadangan pangan
pemerintah berasal dari produksi dalam negeri dan impor”. Perubahan ini mendudukan impor
sebagai sumber pemenuhan kebutuhan pangan yang setara dengan produksi lokal.
Di saat Indonesia terus memperluas ketergantungan terhadap pangan impor sebaga wujud
konsistensi dalam pelaksanaan liberalisasi pangan, di sisi lain, negara- negara maju yang tergabung
dalam OECD malah bertindak inkonstistensi dengan cukup besar memberi dukungan pada industri
pertaniannya. Padahal isi kesepakatan pertanian WTO dimaksudkan agar semua anggota
meningkatkan akses pasar, mengurangi bantuan domestik, dan mengurangi subsidi ekspor.
Artinya, negara-negara maju mulai merancang politik pangan, pertama-tama, untuk
kepentingan domestic. Mereka menyadari, menjadi sangat riskan menggantungkan pasokan dan
stabilisasi harga pangan pada impor. Dalam konteks saat ini, deglobalisasi mewujud dalam rupa-
rupa proteksionisme, yang sebelum pandemi sudah mulai tampak presedennya, yakni Brexit dan
perang dagang antara AS dan China. sebagian besar negara maju mengadopsi kebijakan proteksionis
untuk melindungi perusahan domestic, petani lokal serta konsumen dari gangguang global (Roubini,
2020).
Langkah prteksionsime didasarkan pada pengalaman, dalam keadaan krisis, misalnya dalam
mengahadapi pandemi Covid-19, negara importer menerima pukulan ganda dikarenakan sulitnya
jaminan pasokan akibar rantai distribusi global terganggu. Selain itu, melemahnya nilai tukar juga
mengakibatkan lonjakan harga pangan. Sebagai negara importer pangan yang cukup besar, anomali
harga pangan menjadi realita yang sulit dipecahkan. Maka benarlah amanat konstitusi pasal 33 dan
UU No. 18 Tahun 2012 Tentang pangan, bahwa kita wajib berdaulat di bidang pangan. Pandemi dan
krisis ekonomi global memberi jawaban baru, sangat berisiko menganntungkan pemenuhan pangan
terhadap barang impor.
4. Amandemen Konstitusi Pulihkan Kedaualatan & Ketahanan Pangan
Permasalahan anomali harga pangan selama ini lebih disebabkan factor politik pangan yang
cenderung berpatron pada mekanisme pasar (Rachmatullah, 2021). Relevansi dan signifikansinya
telah mendorong bentukan pasar pangan nasional dari pasar persaingan sempurnah menjadi
cendeurng oligopoly bahkan monopoli.
Bentukan pasar seperti ini menjadi penyebab utama panjangnya mata rantai distribusi serta
hubungan konsumen dan produsen yang sangat random. produsen dan konsumen mudah didikte
pemilik modal (pelaku usaha besar). Dalam artian, arus utama distribusi bahan pangan masih tetap
berputar pada pusaran pemodal besar, tengkulak, permainan spekulan dan kartel serta jaringan
importer dan perdagangan yang notabene dikuasai mafia.
Kompleksitas masalah tersebut harusnya memantik saraf sadar bangsa ini untuk merubah
paradigma berfikir dari pendekatan ketahanan pangan ke kedaulatan pangan. Dalam kaitan ini, untuk
mencapai setabilitas harga pangan maka harus digalakan upaya penguatan berbasis integrasi pangan
dari hulu ke hilir di bawah kendali negara. Hal tersebut bisa dimulai dengan penguatan peran BUMN
pangan, dalam hal ini Bulog bekerja sama dengan koperasi pangan baik ditingkat produsen maupun
konsumen. Bulog dan koperasi pangan ditugaskan untuk memperkuat dan mengelola stok/cadangan
pada sisi hulu untuk disalurkan ke pengecer kemudian dijual ke konsumen akhir. Hal ini sangat
efektif untuk memangkas mata rantai distribusi yang panjang, menutup kesempatan permianan
tengkulak, memtahkan peran spekulan harga serta mafia importer.
Secara paradigmatik, model pengelolaan pangan berbasis kedaualatan sejalan dengan norma
dasar yang dituangkan dalam BAB XIV pasal 33 UUD 1945. Pada ayat (1) disebutkan, perekonoian
disusun berdasarkan usaha bersama berdasar pada asas kekeluargaan (Ruslina, 2016) . Dalam
penjelasannya, Moh. Hatta menyebut, bangunan perekonomian yang sesuai dengan asas
kekeluargaan adalah koperasi.
Lebih lanjut, terkait konsep koperasi pangan, Moh. Hatta menyatakan, koperasi bisa menempa
955
Abustan, Rusmulyadi
Memperkokoh Eksistensi Konstitusi Melalui Ketahanan Pangan
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
ekonomi rakyat yang lemah agar menjadi kuat serta merasionalkan perekonomian, yakni dengan
mempersingkat jalan produksi ke konsumsi. Koperasi merupakan senjata persekutuan kaum lemah
untuk mempertahankan hidupnya (Rezha Hendar, 2010).
Menurut penulis, koperasi pangan harus dibangun dari komunitas yang memiliki kesadaran
bersama terkait perjuangan ekonomi di bidang pertanian dan pangan. Basis komunitas untuk
membangun koperasi dapat dimulai dari lingkungan rukun tetangga dengan melibatkan minimal satu
perwakilan keluarga menjadi anggota. Selanjutnya, koperasi primer ini dapat dikolaborasikan
dengan koperasi primer lain untuk membentuk badan usaha milik desa.
Selain koperasi pangan, konstititusi pasal 33 ayat (2) juga memprioritaskan badan usaha milik
negara (BUMN) dalam penguasaan sumber daya pangan yang terkategori komoditas strategis karena
berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak. Amanat konstitusional terebut harus ditindak
lanjuti dalam bentuk penguatan pangan kendalikan oleh BUMN pangan (Bulog) dan koperasi
pangan rakyat. Koordinasi antar kementrian terkait sangat diperlukan untuk menguatkan peran
Bulog dan koperasi pangan rakyat. Kedua lembaga tersebut selanjutnya ditugaskan untuk
mengendalikan stabilisasi pasokan demi mewujudkan stabilisasi harga jangka panjang.
Pada sisi hulu, Bulog dan koperasi pangan rakyat harus mendapat intensif penuh untuk
meningkatkan, mengendlaikan serta mengelola pasokan. Peran keduanya juga harus diperkuat untuk
memperpendek rantai perdagangan dengan memangkas jaringan importir serta pedagang besar
(oligarki) yang notabene dikuasai mafia. Mata rantai distrbusi cukup dari produsen langsung ke
Bulog yang kemudian mendistribusikan barang ke pengecer (Mar’ah, 2020). Selanjutnya, pengecer
yang dikoordinasi dalam wadah koperasi akan menjual barang ke konsumen dengan harga wajar.
Terkait peranan Bulog, di masa lalu, Bulog sebenarnya sudah terbukti mampu membangun
jaringan pemasaran yang efisien dan efektif. Tanpa menutup mata adanya sejumlah kasus
penyelewengan lebih oleh oknum pejabatnya. Pada bagian ini Bulog harus dibenahi. Tidak boleh
lagi menjadi sapi perahan kepentingan politik kekuasaan atau kepentingan mana pun. Fungsi Bulog
harus diperluas. Tidak lagi dibatasi hanya mengelola manajemen stok dan stabilisasi beras saja.
Melainkan untuk keseluruhan bahan pangan stratgeis seagaimana dimaksud dalam Perpres No. 66
Tahun 2021.
Dalam menjalankan perannya, Bulog harus dibantu koperasi-koperasi petani di sisi produsen
maupun koperasi pedagang pasar di sisi saluran distribusi. Pada sisi koperasi petani, bulog menyerap
bahan pangan dengan ketentuan jaminan harga dasar yang tidak merugikan petani. Sementara
pembelian di sisi koperasi pedagang, para pengecer diberi kesempatan untuk mendapatkan dana dari
wadah koperasinya untuk membeli bahan pangan dari Bulog.
Pola seperti ini secara perlahan akan merombak bentukan pasar pangan indonesia yang saat
ini cenderung oligopoli bahkan monopoli ke bentukan pasar persaingan sempurnah. Selain itu,
perkembangan pasokan dan harga di seluruh Indonesia juga bisa dengan mudah dikendalikan
sepenuhnya oleh negara dan masyarakat.
Selanjutnya, penguatan infrastruktur yang saat ini digalakan dapat diarahkan untuk menjamin
penghasil pangan di daerah berlebihan menyalurkan hasil panennya ke wilayah yang kekurangan.
Hal ini dapat meningkatkan volume penguasaan stok oleh negara dan masyarakat petani. Dengan
stok cadangan yang cukup, negara lewat Bulog bisa dengan mudah mengendalikan harga lewat
operasi pasar saat inflasi barang tinggi. Demikian pula sebaliknya, Bulog mampu membeli hasil
panen dari koperasi petani dengan harga yang lebih pantas.
Oleh sebab itu, mandemen ke-5 UUD 1945 harus dilakukan untuk menguatkan pasal 33 dalam
rangka memperkuat ketahanan dan kedaulatan pangan nasional (Suryokumoro & Ula, 2020). Meski
pemerintahan nantinya datang silih berganti, hasil amandemen sasaran akan menjadi sandaran
pembentukan visi jangka panjang, yakni terciptanya stabilitas pasokan dan harga pangan yang wajar.
KESIMPULAN
Anomali harga bahan pangan baik di tingkat produsen dan konsumen terjadi secara ekstrim dari
tahun ke tahun. Jalur utama terjadinya anomali harga pangan ini lebih disebabkan factor politik-
ekonomi pangan nasional yang cenderung berpatron pada mekanisme pasar. Signifikansi dan
956
Abustan, Rusmulyadi
Memperkokoh Eksistensi Konstitusi Melalui Ketahanan Pangan
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
relevansinya mendorong bentukan pasar pangan menjadi cendeurng oligopoly bahkan monopoli.
Bentukan pasar seperti ini menjadi penyebab utama panjangnya mata rantai distribusi, mahalnya biaya
logistik serta hubungan konsumen dan produsen yang sangat random. Produsen dan konsumen mudah
didikte pemilik modal (pelaku usaha besar). Dalam artian, kendali pasokan dan arus utama distribusi
bahan pangan berputar pada pusaran pemodal besar, tengkulak, permainan spekulan dan kartel serta
jaringan importer dan perdagangan yang sebagian besarnya dikuasai mafia.
Oleh karena itu, politik-ekonomi pangan nasional harus direformasi total. Upaya penguatan
pasokan dan perdagangan harus dibuat efisien dan didukung system serta kelembagaan negara yang
kuat. Hal ini bisa dimulai dengan merubah paradigma berfikir dari pendekatan ketahanan pangan ke
kedaulatan pangan. Sebagaimana amanat konstitusi pasal 33 UUD 1945, dalam kaitan ini, untuk
mencapai setabilitas harga pangan maka harus digalakan upaya pemulihan berbasis integrasi pangan
dari hulu ke hilir di bawah kendali negara lewat peran BUMN pangan (Bulog) dan Koperasi Pangan
baik di tingkat petani dan konsumen. Lantaran itu, perlu difikrikan amandemen ke-5 UUD 1945 untuk
memperkuat pasal 33 dalam mewujudkan kedaulatan dan ketahanan pangan yang lebih berpihak pada
petani dan masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
bello, W. (2004). Global Civil Society Meets Amidst Crisis Of Empire. Focus On Trade, 96.
Belly, J. (2022). Kebijakan Hukum Pemerintah Daerah Dalam Pemenuhan Hak Pangan Warga Negara
Di Kabupaten Malinau. Universitas Borneo Tarakan.
Ika, S., Setiawan, H., & Damayanty, S. A. (2015). Evaluation Of Indonesian Food Politics And Fiscal
Politics Support. Kajian Ekonomi Dan Keuangan, 19(1), 126.
Jaelani, A. (2013). Institusi Pasar Dan Hisbah: Teori Pasar Dalam Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.
Syariah Nurjati Press, Cirebon. Pp. 1-174.
Manullang, S. O., Nurwanty, I. I., & Rantau, P. (2021). Implikasi Negara Maju Dalam Pembentukan
Kesepakatan Perdagangan Jasa Energi World Trade Organization Dalam Konsepsi Tercapainya
Kesejahteraan Dunia. Hermeneutika: Jurnal Ilmu Hukum, 5(2).
Mar’ah, S. T. S. (2020). Praktek Oligark Lokal Dalam Menolak Program Bumdesa: Studi Kasus Di
Desa Prambontergayang Kabupaten Tuban. Universitas Airlangga.
Maulana, M., & Janur, N. A. (2020). Tanggung Jawab Negara Dalam Pemenuhan Ham Di Bidang
Ekonomi, Social, Dan Budaya. Qisthosia: Jurnal Syariah Dan Hukum, 1(2), 107129.
Mustapa, H. Z., Psi, S., & Maryadi, S. E. (2018). Kepemimpinan Pelayan: Dimensi Baru Dalam
Kepemimpinan. Celebes Media Perkasa.
Rachmatullah, I. H. (2021). Mekanisme Pendataan Harga Komoditas Pangan Pokok Di Kabupaten
Bengkalis Tahun 2020. Politeknik Negeri Bengkalis.
Rezha Hendar, K. (2010). Aplikasi Permainan Seven Spade Dengan Macromedia Adobe Flash. Faculty
Of Industrial Technology.
Rosyidin, M. (2010). Integrasi Struktur Dan Unit: Teori Politik Luar Negeri Dalam Perspektif Realisme
Neoklasik. Global: Jurnal Politik Internasional, 10(2), 150162.
Roubini, N. (2020). Coronavirus Pandemic Has Delivered The Fastest, Deepest Economic Shock In
History. The Guardian, 25(March).
Ruslina, E. (2016). Makna Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 Dalam Pembangunan Hukum
Ekonomi Indonesia. Jurnal Konstitusi, 9(1), 4982.
Saifulloh, P. P. A. (2021). Gagasan Konstitusi Pangan: Urgensi Pengaturan Hak Atas Pangan Warga
Negara Dalam Amandemen Kelima Uud 1945. Jurnal Ham, 12(2), 227.
Satya, V. E. (2016). Anomali Fluktuasi Harga Bahan Pangan Di Indonesia. Info Singk. Ekon. Dan
Kebijak. Publik, 8(3), 1316.
Suryokumoro, H., & Ula, H. (2020). Koperasi Indonesia dalam Era MEA dan Ekonomi Digital.
Universitas Brawijaya Press.
957
Abustan, Rusmulyadi
Memperkokoh Eksistensi Konstitusi Melalui Ketahanan Pangan
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International
License