1387
Tugiah, Ridwan Trisoni
KURANGNYA PERHATIAN ORANG TUA TERHADAP PENDIDIKAN
ANAK-ANAK INKLUSIF DI KAMANG BARU
Kurangnya Perhatian Orang Tua Terhadap Pendidikan Anak-Anak Inklusif Di
Kamang Baru
Tugiah, Ridwal Trisoni
Manajemen Pendidikan Islam, UIN Muhammad Yunus Batusangkar
Email : tugiahtugiah4@gmail.com, ridwal.trisoni@iainbatusangkar.ac.id
Abstrak
Dunia pendidikan sudah berkembang dengan pesat, sehingga memudahkan anak untuk mendapatkan
pendidikan yang layak dan menjamin masa depan lebih baik. Dalam perkembangannya dunia
pendidiakan juga sudah menjamin kualitas pendidikan yang lebih maju dan berwawasan. Selain
pendidikan untuk anak-anak multikultural negara juga sudah mendirikan sekolah dengan metode
inklusi, sekolah ini didirikan untuk membangun lingkunagn yang terbuka untuk siapa saja dengan latar
belakang dan kondisi yang berbeda-beda. Sekolah dengan metode inklusi melupti karakter, kondisi
fisik, kepribadian, status, suku, dan budaya yang tumbuh di masyarakat. Sekolah Inklusi merupakan
sekolah regular (biasa) yang menerima anak berkebutuhan khusus dan menyediakan sistem layanan
pendidikan. Melalui adaptasi kurikulum, pembelajaran, penilaian, dan sarana prasarananya.
Kata kunci: Inklusi, Multikultural, Pendidikan
Abstract
The world of education has developed rapidly, making it easier for children to get a proper education
and guarantee a better future. In its development, the world of education has also ensured the quality of
education that is more advanced and insightful. In addition to education for multicultural children, the
country has also established schools with inclusive methods, this school was established to build an
environment that is open to anyone with different backgrounds and conditions. Schools with inclusive
methods include character, physical condition, personality, status, ethnicity, and culture that grows in
society. Inclusive schools are regular schools that accept children with special needs and provide an
education service system. Through adaptation of the curriculum, learning, assessment, and
infrastructure.
Keywords: Inclusion, Multicultural, Education
Jurnal Sosial dan Teknologi (SOSTECH)
Volume 2 -, Number 12 -, Desember 2022
p-ISSN 2774-5147 ; e-ISSN 2774-5155
Tugiah, Ridwan Trisoni
KURANGNYA PERHATIAN ORANG TUA TERHADAP PENDIDIKAN ANAK-ANAK
INKLUSIF DI KAMANG BARU
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
PENDAHULUAN
Sebagai bangasa indonesia kita mengenal kalimat “tut wuru handayani” sebuah kalimat panjang
yang diucapkan oleh Ki Hajar Dewan Toro sebagai bapak pendidikan (Mulyani, 2009). Kalimat
tersebut sering kali menjadi rujukan bagi semua orang untuk mencerminkan konsep kepemimpinan
yang baik. Jika dicermati setiap kalimat yang diucapkan menuntun bagi setiap pemimpin untuk
bertindak agar setiap tindakan menjadi langkah yang baik dan bermanfaat bagi sekitar. Setiap ucapan
dalam tut wuri handayani yang berbunyi secara keseluruhannya adalah ing ngarso sung tulodo ing
madya mangun karso tut wuru handayani” lebih kurang yang memiliki makna “dari depan memberi
teladan, dari tengah memberi bimbingan (motivasi, semangat, serta keadaan yang kondusif) dan dari
belakang memberikan dorongan (dukungan moral).
Negara dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 pada Pasal 5 Ayat 1, bahwa setiap warga
negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu (Hakim, 2016).
Berpedoman pada perundang-undangan tersebut setiap anak yang ada dinegara indonesia berhak dan
memiliki kewajiban untuk mengenyam pendidikan, tidak terkecuali anak-anak istimewa yang
berkebutuhan kusus. Karena sebagai negara yang berkemanusiaan adil dan beradab, mampu
mengayomi seluruh kalangan masyarakat mampu atau tidak mampu harus merasakan indahnya
pendidikan dan pengetahuan. Bagi anak-anak yang kurang mampu mengenyam pendidikan dengan
mendapatkan beasiswa atau bantuan dari donatur.
Masalah yang ingin penulis angkat adalah kurangnya pemahaman orang tua yang memiliki
anak-anak berkebutuhan kusus di Kamang Baru. Di kota besar sudah umum dengan sekolah inklusif
tetapi di Kamang Baru sekolah ini tidak begitu populer dikalangan ibu-ibu yang memiliki anak-anak
berkebutuhan khusus. Masalah ini terbukti dari kehidupan masyarakat yang masig berfikir bahwa
anak yang kurang pandai cukup dirumah saja dan cukup ayah, ibu yang memberikan pendidikan.
Padahal pemahaman orang tua tentang anak-anak ini tidak ada.
Banyaknya orang tua yang kurang mampu secara materi dan pengetahuan membuat anak-anak
yang butuh perhatian khusus menjadi tertinggal dengan anak yang lain padahal merekapun mampu
untuk mengikuti pendidikan dengan pendekatan inklusif.
Sejauh ini, pendidikan segregasi untuk anak berkebutuhan khusus tidak banyak menjanjikan
dalam melayani mereka. Sebenarnya, ada banyak hal yang masih menjadi masalah bagi saya. Yang
pertama menyangkut ekuitas. Sebagian besar pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus berlangsung
di kota-kota besar, Kamang Baru Kec. Sijunjung berbeda dengan jauh dari jangkauan penduduk
pedesaan. Hal ini menyebabkan lebih dari 40% jumlah penyandang disabilitas tidak memiliki akses
pendidikan. Kedua, pendidikan segregasi mengandung nilai-nilai filosofis yang sedikit manfaatnya.
Perbedaan antara anak normal dan normal yang membatasi mereka semakin terlihat. Hal ini membuat
perbedaan semakin terlihat dan menimbulkan kecanggungan, seperti anak menjadi lebih tertutup
terhadap masyarakat di sekitarnya. Hal ini menyebabkan di masa depan anak-anak akan semakin
canggung dan takut bertemu dengan teman sebayanya ketika harus kembali dan beradaptasi dengan
lingkungannya. .
Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) merupakan perwakilan tertua
dari pendidikan segregasi di Indonesia (Anshory, 2012). Faktanya, pemerintah dan organisasi non-
pemerintah percaya ada kesetaraan dalam hal penyediaan layanan pendidikan khusus. Hal ini karena
pemahaman bahwa layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus saat ini sangat dibutuhkan
untuk membangun rasa percaya diri dan tanggung jawab sosial orang tua yang memiliki anak
berkebutuhan kusu.
Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) sebagai representasi dari
pendidikan segregasi tertua di Indonesia. Sebenarnya diselenggarakannya oleh pemerintah dan
swadaya masyarakat agar terjadinya pemerataan dalam rangka memberikan layanan pendidikan
khusus, karena pada saat ini terdapat pemahaman bahwa layanan pendidikan bagi anak yang
berkebutuhan kusus sangat dibutuhkan untuk mengembangkan kepercayaan dirinya dan sesuai dengan
pola pikir adalah sekolah segregasi.
Dalam Pasal 32 (UUSPN No. 20 Tahun 2003 Bab IV) menyebutkan bahwa pendidikan luar
biasa atau pendidikan berkebutuhan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki
Tugiah, Ridwan Trisoni
KURANGNYA PERHATIAN ORANG TUA TERHADAP PENDIDIKAN ANAK-ANAK
INKLUSIF DI KAMANG BARU
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan kecerdasan dan bakat
istimewa.
Berdasarkan Pasal 32 UUSPN, maka dalam layanan khusus anak tuna netra, tuna rungu, tuna
grahita, tuna daksa, tuna laras, tuna ganda, serta anak berbakat yang masing-masing terpisah satu
sama lain. Jumlah sekolah inklusi atau sekolah yang juga memberikan pendidikan untuk anak
berkebutuhan khusus (ABK) di Kota Padang, Sumatera Barat, terus meningkat setiap tahunnya hingga
saat ini tercatat 243. Kepala Tata Usaha UPTD Layanan Disabilitas dan Pendidikan Inklusif (LDPI)
Dinas Pendidikan Kota Padang Gama Hartadini di Padang, Rabu mengatakan dari 243 sekolah inklusi
itu, terdapat 44 sekolah di jenjang PAUD/TK, 161 sekolah di jenjang SD dan 38 sekolah di jenjang
SMP. Seterusnya Hartadini menyebutkan jumlah sekolah inklusi terus meningkat setiap tahun, pada
2013 ada 67 sekolah, 2014 ada 75 sekolah, 2015 ada 109 sekolah, 2016 ada 133 sekolah, 2017 ada
154 sekolah, 2018 ada 191 sekolah, 2019 ada 216 sekolah dan data terakhir per September 2020 ada
243 sekolah.
Angka tersebut tersebar di tiga tingkat sekolah yakni 25 siswa di TK/PAUD terdiri dari 6
perempuan dan 19 laki-laki (Ervita, 2011).1020 siswa SD terdiri dari perempuan 336 dan laki-laki 684
dan 230 orang siswa SMP terdiri dari perempuan 78 dan laki-laki 152 orang. Lebih lanjut ia
mengatakan di sekolah inklusi juga ada guru pendamping khusus (GPK) yang ber¬tu¬gas
mendampingi anak berkebutuhan khusus dalam proses belajar mengajar di kelas reguler. Lebih lanjut,
Hartadini mengatakan, jumlah siswa ABK yang mengikuti pendidikan inklusi di sekolah reguler
sebanyak 1.275 orang. Meskipun jumlah sekolah luar biasa meningkat secara kuantitatif setiap tahun,
peningkatan ini belum sebanding dengan jumlah anak berkebutuhan khusus yang membutuhkan
layanan pendidikan SLBN 1 KAMANG Baru Kuota guru: Laki-laki 12 siswa: 3 perempuan: 26.
Padahal anak yang membutuhkan perhatian khusus lebih dari yang terdaftar di sekolah. Ini semua
dikarenakan minimnya pengetahuan masyarakat tentang sekolah SLB sangat sedikit bahkan banyak
diantaranya malu memiliki anak-anak ABK.
METODE PENELITIAN
Pendidikan dari orang tua merupakan pondasi dasar bagi pendidikan anak, karena itu orang tua
harus benar-benar berperan dalam proses tumbuh kembang anak. Dengan kata lain keberhasilan anak
khususnya dalam bidang pendidikan, sangat bergantung pada pendidikan yang diberikan oleh orang
tuanya dalam lingkungan keluarga maupun ruang lingkup sekolah. Secara umum, disebutkan bahwa
peran orang tua dalam keluarga adalah sebagai pengasuh dan pendidik, pembimbing spark, dan
sebagai fasilitator. Betapa pentingnya peranan orang tua dalam pendidikan anak sehingga
mengharuskan mereka untuk menjaga hubungan baik kepada pihak sekolah sebagai bentuk perhatian
orang tua terhadap anak mereka.
Bahkan perhatian yang ekstra harus diberikan oleh orang tua yang memiliki anak berkebutuhan
khusus baik yang sekolah di sekolah khusus ataupun dalam konteks sekolah inklusi (Amin, 2015).
Dalam konteks sekolah inklusi penting kiranya untuk orang tua dan pihak sekolah untuk membuat
kemitraan yang baik satu sama lain. Beberapa sekolah inklusi di Barat memiliki contact instructors
antara sekolah dan rumah, pendidikan inklusi telah mendorong keterlibatan orang tua, dengan
menekankan pentingnya exchange dan konsultasi antara guru dan orang tua mengenai masalah
pendidikan anak mereka. Demikian pula, isu pernyataan tentang anak berkebutuhn khusus juga
mendorong lebih banyak kemitraan antara orang tua dan sekolah.
Penelitian ini adalah penelitian survei yang ber- tujuan menjelaskan suatu fenomena sosial.
Pene- litian survei digunakan untuk menilai pikiran, opini, dan perasaan dari orang-orang yang
menjadi subyek penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sekolah Inklusi
Sekolah inklusi merupakan salah satu bentuk pemerataan dan bentuk perwujudan pendidikan
Tugiah, Ridwan Trisoni
KURANGNYA PERHATIAN ORANG TUA TERHADAP PENDIDIKAN ANAK-ANAK
INKLUSIF DI KAMANG BARU
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
tanpa diskriminasi antara anak-anak berkebutuhan khusus dan anak-anak pada umumnya dapat
memperoleh pendidikan yang sama. Sekolah inklusi merupakan sekolah reguler (biasa) yang
menerima anak berkebutuhan khusus dan menyediakan sistem layanan pendidikan yang disesuaikan
dengan kebutuhan anak tanpa kebutuhan khusus (ATBK) yang sering disebut anak pada umunya dan
anak berkebutuhan khusus melalui adaptasi kurikulum, pembelajaran, penilaian, dan sarana
prasarananya.
Ada model sekolah inklusi yang dapat diterapkan di Indonesia sebagai berikut (Darma &
Rusyidi, 2015).
1. Mainstream (Inklusi Penuh) Anak berkebutuhan khusus mengikuti kurikulum yang sama
dengan anak mainstream dan belajar penuh waktu di kelas mainstream.
2. Kelas dan Gugus Sekolah Dasar Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak reguler di
kelas umum dalam kelompok khusus.
3. Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak reguler di kelas utama, tetapi dipisahkan
dari kelas utama pada waktu tertentu dan belajar dengan guru khusus yang ditarik ke dalam
ruangan.
4. Kelompok Kelas Utama dan Terminasi Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak
reguler dalam kelas kelompok khusus khusus dan dipindahkan dari kelas utama ke kelas lain
pada titik-titik tertentu.
5. Kelas khusus dengan integrasi yang berbeda Anak berkebutuhan khusus belajar di kelas
khusus di sekolah reguler, tetapi di daerah tertentu mereka dapat belajar di kelas reguler
bersama anak-anak biasa.
6. Penyelesaian kelas khusus bagi anak berkebutuhan khusus yang belajar di kelas khusus di
sekolah umum.
B. Pendidikan Inklusi
1. Pengertian pendidikan inklusi
Dalam pendidikan, istilah inklusif dikaitkan dengan model pendidikan yang tidak
mendiskriminasi individu berdasarkan kemampuan atau kecacatannya (Saputra, 2016). Pendidikan
inklusif didasarkan pada prinsip-prinsip kesetaraan, keadilan dan hak-hak individu. Istilah pendidikan
inklusif digunakan untuk menggambarkan pengintegrasian anak berkebutuhan khusus
(disability/disability) ke dalam program sekolah.
Konsep inklusi membantu kita memahami pentingnya mengikutsertakan anak-anak penyandang
disabilitas dalam kurikulum sekolah, lingkungan dan interaksi sosial. Baihaqi dan M. Sugiarmin
menjelaskan bahwa hakikat inklusi adalah tentang hak setiap siswa atas perkembangan pribadi, sosial
dan intelektualnya. Siswa harus diberi kesempatan untuk menyadari potensi mereka. Untuk
mewujudkan potensi ini, sistem pendidikan harus dirancang dengan memperhatikan perbedaan siswa.
Penyandang disabilitas khusus dan/atau kebutuhan belajar khusus harus memiliki akses ke
pendidikan yang berkualitas dan sesuai. Baihaqi dan Sugiarmin menekankan bahwa siswa memiliki
hak yang sama tanpa diskriminasi berdasarkan perkembangan pribadi, sosial dan intelektual mereka.
Perbedaan yang ada antar individu harus disikapi oleh komunitas pendidikan dengan mengembangkan
model pendidikan yang mengakomodir perbedaan individu tersebut. Perbedaan tidak serta merta
menimbulkan diskriminasi dalam pendidikan, tetapi pendidikan harus tanggap dalam menghadapi
perbedaan. (Alhaddad, 2020).
2. Landasan Pendidikan Inklusif
a. Landasan filosofis
Landasan filosofis penyelenggaraan pendidikan inklusi di Indonesia adalah cita-cita yang
berlandaskan pada lima rukun Pancasila dan landasan yang lebih mendasar yang disebut Bineka
Tungaku Ika. Filosofi ini merupakan bentuk pengakuan terhadap keragaman manusia baik vertikal
maupun horizontal. Ciri-ciri keragaman vertikal adalah perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik,
kekuatan ekonomi, kelas, pengendalian diri, dan sebagainya. Keanekaragaman horizontal ditandai
dengan adanya perbedaan seperti suku, ras, dan bahasa. Disabled dan gifted hanyalah salah satu
bentuk keragaman. Penyandang disabilitas memiliki kelebihan tertentu, seperti: B. Perbedaan suku,
bahasa, agama, dll. Hal ini harus diwujudkan dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan harus
memungkinkan asosiasi dan interaksi antara siswa yang berbeda untuk mendorong sikap satu per satu,
Tugiah, Ridwan Trisoni
KURANGNYA PERHATIAN ORANG TUA TERHADAP PENDIDIKAN ANAK-ANAK
INKLUSIF DI KAMANG BARU
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
satu per satu dalam semangat toleransi.
b. Landasan Yuridis
Landasan yuridis memiliki hierarki dasar hukum, mulai dari konstitusi, anggaran dasar,
peraturan pemerintah, perintah umum, peraturan daerah, perintah kepala sekolah hingga peraturan
sekolah (Nasution, n.d.). Termasuk juga perjanjian internasional di bidang pendidikan. Pada tahun
1994, Konvensi UNESCO yang diselenggarakan di Salamanca, Spanyol, menetapkan bahwa
pendidikan harus bersifat inklusif di seluruh dunia (Handayani & Rahadian, 2013). Fakta tersebut juga
menyatakan bahwa pendidikan adalah hak untuk semua orang (education is for everyone), dan
terlepas dari apakah seseorang memiliki hambatan atau kaya, pendidikan harus, juga menyatakan
bahwa mereka tidak akan didiskriminasi atas dasar agama.
Pendidikan anak berkebutuhan khusus sedapat mungkin diintegrasikan ke dalam pendidikan
regulernya, dan pemisahan dalam bentuk pemisahan tidak boleh untuk tujuan pendidikan, melainkan
untuk tujuan pendidikan saja (Nurfadillah, 2021). Untuk tujuan pendidikan, anak berkebutuhan
khusus umumnya perlu disosialisasikan di dunia nyata dengan anak lain. Dasar hukum pendidikan
inklusif adalah:
Instrumen Internasional
a. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Tahun 1948
b. Konvensi PBB tentang Hak Anak Tahun 1989
c. Deklarasi Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua (Jomtien) Tahun 1990
d. Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi para Penyandang Cacat Tahun
1990
e. Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus Tahun
1994
f. Tinjauan 5 tahun Salamanca Tahun 1999
g. Kerangka Aksi Forum Pendidikan Dunia (Dakar) Tahun 2000
h. Tujuan Pembangunan Millenium yang berfokus pada Penurunan Angka Kemiskinan dan
Pembangunan Tahun 2000
i. Flagship PUS tentang Pendidikan dan Kecacatan Tahun 2001
Instrumen Nasional
a. UUD 1945 (amandemen) pasal 31
b. UU Nomor 20 Tahun 2003 pasal 3, 5, 32, 36 ayat (3), 45 ayat (1), 51, 52, 53
c. UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pasal 5
d. Deklarasi Bandung (Nasional)” Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif” 8-14 Agustus
2004
e. Deklarasi Bukit Tinggi (Internasional) Tahun 2005
f. Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Nomor 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003
tentang pendidikan inklusif
g. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan
inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan
dan/atau bakat istimewa.
c. Landasan Religius
Sebagai bangsa yang religius, praktik pendidikan tidak dapat dipisahkan dari agama. Al-Qur'an
menyatakan bahwa fitrah manusia itu berbeda (individual difference). Tuhan menciptakan manusia
dengan cara yang berbeda-beda dengan maksud agar mereka dapat berhubungan satu sama lain dalam
konteks saling membutuhkan. Abasa ayat 1-10 yang menggambarkan sikap Nabi terhadap Ibn Um
Maktum yang buta, melalui ayat Asbabun Nuzur. Ibn Kathir menjelaskan bahwa Rasulullah telah
berbicara dengan beberapa pemimpin Quraisy dan ingin mereka menerima Islam. Saat dia berbicara
dan mengundang mereka, tiba-tiba Ibnu Unmi Maktum muncul dan dia adalah salah satu yang
pertama menerima Islam. Maka Ibn Ummi Maktum seraya berpaling darinya dan menghadap orang
lain. Padahal kedatangan Ummi Maktum pada saat itu meminta diajarkan kepada Rasulullah (Basri,
2022).
Surah 'Abasa ayat 1-11 merupakan peringatan dari Allah kepada Muhammad SAW, yang
memandang tidak senang pada seorang buta yang memintanya untuk mengajarinya agama Islam.
Tugiah, Ridwan Trisoni
KURANGNYA PERHATIAN ORANG TUA TERHADAP PENDIDIKAN ANAK-ANAK
INKLUSIF DI KAMANG BARU
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
Keberadaan peserta didik berkebutuhan pendidikan khusus pada hakekatnya merupakan manifestasi
kemanusiaan sebagai perbedaan individu. Interaksi manusia harus terikat dengan pengejaran
kebajikan. Ada dua jenis interaksi antara manusia: kooperatif dan kompetitif (Marzuki & Hakim,
2018). Hal yang sama berlaku untuk pendidikan, dan keduanya harus digunakan untuk mencapai
tujuan belajar mengajar.
Berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an sebagaimana tertulis, menunjukkan adanya kesejajaran antara
pandangan filosofis dan religius tentang hakikat manusia (Afendi, 2016). Keduanya adalah upaya
untuk menemukan kebenaran hakiki. Filsafat hanya menggunakan akal, sedangkan agama
menggunakan wahyu. Keduanya akan bertemu karena hanya ada satu sumber kebenaran yang hakiki
dan itu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Landasan filosofis dan religi inilah yang kemudian menjadi
landasan bagi pemanfaatan hasil penelitian sebagai produk tindakan ilmiah, dan juga memenuhi
implementasi para pendidik.
d. Landasan Pedagogik
Tujuan pendidikan umum adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik. Siswa menjadi
warga negara yang setia, saleh, kreatif dan bertanggung jawab. Melalui pendidikan, anak
berkebutuhan khusus diasuh untuk bertanggung jawab dan mencapai potensi penuh mereka.
Konsekuensi dari hak warga negara atas Pendidikan.
Negara mewajibkan semua warga negara untuk mendapatkan pendidikan dasar sembilan tahun
(9 tahun wajib belajar). Hak dan kewajiban warga negara harus dihormati tanpa tebang pilih.
Aris Armeth Daud Al Kahar Pendidikan Inklusif sebagai Solusi Pendidikan untuk Semua.
Tidak ada diskriminasi Sebagaimana dideklarasikan di Bangkok pada tahun 1991 atas nama
persamaan hak, derajat, harkat, martabat sebagai warga negara Indonesia dan sebagai warga dunia
penyandang disabilitas di mana saja. untuk menyediakan pendidikan bagi jutaan orang bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan implementasi sekolah inklusi sangat relevan.
C. Profil pembelajaran inklusi
Salah satu ciri terpenting sekolah inklusi adalah komunitas yang kohesif, menerima dan
tanggap terhadap kebutuhan individu siswa. Sebagai gambaran, Sopon-Sevin mengatakan bahwa
sekolah inklusi memiliki lima profil pembelajaran.
1. Pendidikan inklusif berarti merangkul keragaman, menghormati perbedaan, dan menciptakan
dan memelihara komunitas kelas yang hangat. Guru memiliki tanggung jawab untuk
menciptakan suasana kelas yang adil bagi semua anak dengan menekankan suasana sosial
kelas dan dengan menjadi model perilaku yang menghargai perbedaan. Anak-anak tahu bahwa
teman-temannya terpaksa menggunakan papan komunikasi karena mereka tidak dapat
berbicara, anak-anak membaca dengan kecepatan yang berbeda, dan tidak semua orang di kelas
merayakan Idul Fitri karena berbeda agama.
2. Pendidikan inklusif berarti penyelenggaraan kurikulum multijenjang dan multimoda. Mengajar
di kelas yang heterogen membutuhkan perubahan kurikulum yang mendasar. Guru secara
konsisten beralih dari pembelajaran berbasis buku teks yang kaku ke pembelajaran yang
mencakup pembelajaran kolaboratif, pemikiran kritis tematik, pemecahan masalah, dan
penilaian otentik. Contoh: Seorang guru kelas sedang merencanakan pembelajaran di Jakarta.
Berdasarkan kartu DKI, kami mengembangkan materi pembelajaran seperti membaca dan
menulis, pemecahan masalah kreatif, dan IPS. Kegiatan belajar mengajar dapat berbentuk
permainan peran, penelitian kelompok kolaboratif, dll. Kegiatan yang direncanakan bersifat
multimodal, interaktif, berpusat pada anak, partisipatif, dan menyenangkan.
3. Pendidikan inklusif berarti bahwa guru mempersiapkan dan mendorong pengajaran interaktif.
Model tradisional seorang guru yang bekerja secara individu untuk memenuhi kebutuhan semua
anak di kelas telah digantikan oleh model di mana siswa bekerja sama untuk mengajar satu
sama lain dan secara aktif berpartisipasi dalam pengajaran dan pendidikan mereka sendiri harus
diganti. rekan-rekan mereka bergabung. Antara pembelajaran kolaboratif dan kelas inklusif,
semua anak berada dalam satu kelas dan belajar dari satu sama lain daripada bersaing.
4. Inklusi berarti terus mendorong guru dan kelas mereka dan menghilangkan hambatan yang
terkait dengan isolasi profesional. Guru selalu dikelilingi oleh orang-orang, tetapi pekerjaan
bisa menjadi profesi yang mengasingkan. Aspek kunci dari inklusi termasuk pendampingan
Tugiah, Ridwan Trisoni
KURANGNYA PERHATIAN ORANG TUA TERHADAP PENDIDIKAN ANAK-ANAK
INKLUSIF DI KAMANG BARU
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
oleh tim konsultatif yang suportif dan berbagai cara untuk mengukur keterampilan,
pengetahuan, dan dukungan dari mereka yang bertanggung jawab untuk membesarkan
kelompok anak-anak. Kerjasama guru dan kelompok profesional lainnya dalam tim sangat
penting.
5. Inklusi berarti melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses perencanaan. Keberhasilan
pendidikan inklusif sangat bergantung pada kontribusi orang tua terhadap pendidikan anaknya.
Misalnya, partisipasi dalam penyusunan program pendidikan individu. Anak-anak yang berbeda
yang diasuh di berbagai fasilitas profesional ditempatkan dalam tim untuk memenuhi
kebutuhan masing-masing anak. Guru biasa perlu memiliki pengetahuan dan keterampilan
dasar untuk menghadapi kelas yang heterogen, perlu mengembangkan kerja tim profesional
yang berbeda, sekolah berkebutuhan khusus Semua anak harus diberi fasilitas yang
memungkinkan mereka untuk belajar di sekolah.
D. Model pendidikan inklusi
Melihat keadaan umum dan sistem pendidikan di Indonesia, model pendidikan inklusif dapat
dilaksanakan dengan berbagai cara, seperti:
1. Inklusi penuh (kelas reguler). Dengan kata lain, anak difabel belajar bersama dengan anak lain
(kelas reguler) di kelas reguler dengan kurikulum yang sama sepanjang hari.
2. Kelas arus utama berkelompok, yaitu anak difabel belajar bersama anak reguler dalam
kelompok khusus kelas arus utama.
3. Kelas arus utama dengan ekstraktor, yaitu anak penyandang disabilitas belajar bersama anak
normal dalam kelompok khusus kelas arus utama, dan ditarik dari kelas arus utama ke ruang
sumber pada waktu tertentu untuk Belajar dengan tutor khusus.
4. Kelas khusus dengan keterpaduan yang berbeda, yaitu anak difabel belajar pada kelas khusus di
sekolah reguler, dimana mereka dapat mempelajari mata pelajaran tertentu bersama-sama
dengan anak lainnya (biasa).
5. Menyelesaikan kelas khusus. Dengan kata lain, anak-anak penyandang disabilitas mengikuti
kelas khusus di sekolah reguler.
Setiap sekolah inklusif dapat memilih model mana yang akan digunakan terutama berdasarkan
kriteria: (1) Jumlah anak penyandang disabilitas yang diasuh. (2) sifat kelainan setiap anak; (3)
gradasi (tingkat) kelainan anak. (4) ketersediaan dan kesiapan tenaga kependidikan; (5) sarana dan
prasarana yang tersedia.
Berbagai faktor yang menentukan proses pembelajaran sebenarnya relevan ketika kualitas
lulusan dipengaruhi oleh kualitas proses pembelajaran. Masukan siswa, kurikulum (bahan ajar),
tenaga pengajar, infrastruktur, keuangan, administrasi dan lingkungan (sekolah, masyarakat, keluarga)
juga perlu diperhatikan. Komponen ini merupakan subsistem dari suatu sistem pengajaran (learning
system) dan mengubah salah satu subsistem memerlukan perubahan atau penyesuaian komponen
lainnya. Ini dapat diilustrasikan dengan instalasi berikut:
Gambar 1. Pembelajaran dikelas
Dalam hal ini, perubahan pembelajaran di kelas mengakibatkan perubahan input siswa
terhadap kurikulum (materi), keterlibatan guru, sarana prasarana, sumber daya, administrasi
(pengelolaan kelas), lingkungan, dan kegiatan belajar mengajar.
E. Manfaat pendidikan inklusi
Penulis menyajikan manfaat pendidikan inklusi berdasarkan penelitian dari banyak ahli.
Pendidikan inklusif memiliki banyak manfaat bagi semua siswa dan staf sekolah karena menjadi
contoh atau model bagi masyarakat inklusif.
Manfaat pelaksanaan pendidikan inklusi adalah :
Tugiah, Ridwan Trisoni
KURANGNYA PERHATIAN ORANG TUA TERHADAP PENDIDIKAN ANAK-ANAK
INKLUSIF DI KAMANG BARU
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
1. Baik di sekolah dasar maupun menengah, siswa di sekolah inklusi memiliki kinerja yang baik
atau lebih baik daripada siswa di sekolah non-inklusif (Dakir, 2014).
2. Dalam pendidikan di sekolah dasar maupun menengah, siswa di sekolah inklusi memiliki
kinerja yang baik atau lebih baik daripada siswa di sekolah non-inklusif (Zuniar & Chamdani,
2017).
3. Melalui penggunaan pembelajaran pendidikan kolaboratif, siswa penyandang disabilitas khusus
dan asimilasi informasi, yang lambat mengalami peningkatan keterampilan sosial, dan semua
siswa mengalami peningkatan kepercayaan diri terkait dengan kemampuan dan kecerdasan
mereka.
4. Siswa penyandang disabilitas tertentu mengalami peningkatan harga diri dan kepercayaan diri
hanya karena mereka belajar di sekolah umum daripada di sekolah luar biasa.
5. Siswa yang tidak memiliki kecacatan khusus mengalami program inklusif, menghasilkan
peningkatan pemahaman sosial dan pemahaman yang lebih besar dan penerimaan siswa yang
memiliki ketidakmampuan tertentu karena mereka mengalami kekurangan tertentu (Freeman &
Alkin, 2000).
Terdapat 25 subyek yang memberikan jawaban beragam dari pertanyaan apa yang dipahami
tentang pendidikan inklusi (pertanyaan 1), namun secara umum jawaban-jawaban mengenai
pemahaman ten- tang inklusi tidak sesuai dengan definisi inklusi yang seharusnya. Adapun beberapa
contoh jawaban subyek terhadap pertanyaan apa yang diketahui tentang in- klusi misalnya
menyatakan bahwa inklusi adalah pen- didikan yang dilakukan dalam keluarga, sebagai pendi- dikan
awal pada anak (SWS, orangtua); inklusi me- rupakan sekolah yang bisa menerima ABK dan non
ABK (WS, guru); inklusi juga diartikan oleh beberapa subyek sebagai pendidikan untuk anak
berkebutuhan khusus yang tidak hanya orang tua/guru, tapi dengan didampingi dokter anak dan
psikolog (OES, orangtua); inklusi sebagai pendidikan tanpa memandang perbedaan baik agama,
budaya, ras maupun anak didik yang normal dan yang gangguana perkemabangan, bahkan terdapat
pula subyek yang memahami inklusi sebagai pendidikan yang memaksa (LN, guru).
Respon subyek terhadap pertanyaan ke-2 secara garis besar dibedakan menjadi 2 kelompok
kategori jawaban yaitu setuju atau tidak setuju jika siswa ABK berada di kelas regulardengan siswa
non ABK. Adapun beberapa contoh jawaban beserta alasan subyek yang setuju jika siswa ABK
belajar dalam kelas yang sama dengan siswa non ABK antara lain alasan bahwa setiap anak
mempunyai bakat berbeda meskipun mempunyai gangguan sehingga apabila ABK dan non ABK
belajar dalam satu kelas akan menambah kecerdasan siswa non ABK dan mengu- rangi rasa rendah
diri pada siswa ABK. Alasan lain yang disampaikan atas jawaban setuju dari subyek adalah selama
siswa ABK tidak mengganggu dan perilakunya masih dalam batas kewajaran, siswa ABK harus
dengan guru pendamping, dan ABK dapat langsung belajar dan berinteraksi.
Sebanyak 22 subyek yang menyatakan tidak setuju menyertakan beberapa alasan antara lain:
peri- laku ABK bisa mempengaruhisiswa lain yang non ABK, perhatian guru akan lebih tertuju pada
siswa ABK, ABK membutuhkan framework, sekolah dan guru khusus. Kelebihan atau hal positif
yang diperoleh apa- bila siswa ABK belajar bersama non ABK (pertanyaan 3) berdasarkan jawaban
subyek antara lain: dapat melatih empati anak menerima kelebihan dan kekurangan teman, membuat
ABK merasa tidak rendah diri, memberikan kesempatan yg sama dalam belajar bagi siswa ABK,
siswa ABK dapat berinteraksi dengan teman yang lain dan tidak merasa dibedakan. Beberapa
kekurangan/hal negatif yang diperoleh apabila siswa ABK dan Non ABK berada dalam satu kelas,
antara lain: membuat pembelajaran tidak optimal dan kondusif karena siswa ABK akan mengganggu
siswa lain, perilaku siswa ABK akan menular pada non ABK, guru akan lebih fokus pada siswa ABK.
Tabel 1.
Analisis deskriptif respon subyek (sikap orang tua)
Pertanyaan
Jawaban
Frequency
Percent
1
Permohonan tentang pendidikan
inklusi
Valid menjawab
Total
5
25
30
16,67
83,33
100,0
2
Keberadaan ABK dikelas regular
bersama siswa non ABK
Valid tidak setuju
setuju
22
8
73,3
26,7
Tugiah, Ridwan Trisoni
KURANGNYA PERHATIAN ORANG TUA TERHADAP PENDIDIKAN ANAK-ANAK
INKLUSIF DI KAMANG BARU
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
Total
30
100,0
3
Kelebihan/Kekurangan jika ABK
bersama dengan non ABK dikelas
reguler
Valid tidak ada kelebihan
Total
19
11
30
63,33
36,67
100,0
4
Tempat belajar yang tepat untuk
ABK
Valid sekolah khusus/SLB
sekolah umum
Tidak menjawab
Total
26
2
2
30
86,67
6,67
6,67
100,0
5
Pihak yang berperan dalam proses
pembelaaran ABK
Valid ortu, guru ,
lingkungan, Dokter/psikolog
Orang tua ibu
Tidak menjawab
Total
21
5
2
2
30
70
16,67
6,67
6,67
100,0
Pada pertanyaan ke 4 mengenai tempat belajar yang tepat bagi siswa ABK, respon/ jawaban
subyek dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu jawaban yang menyatakan bahwa siswa ABK lebih
tepat berseko- lah di sekolah khusus dan kelompok jawaban yang menyatakan bahwa siswa ABK
dapat bersekolah di sekolah umu/regular. Namun demikian, masing-ma- sing kelompok jawaban
disertai dengan alasan dan penjelasan oleh subyek penelitian.
Kelompok subyek yang memberikan jawaban bahwa siswa ABK seharusnya bersekolah di
sekolah khusus memberikan alasan antara lain: harus dise- diakan sekolah/kelas khusus bagi ABK
dengan didampingi guru khusus/dokter anak/psikolog, lebih tepat bersekolah di sekolah yang khusus
menangani ABK dan adanya dukungan penuh dari pemerintah dimana guru hanya menangani 1-2
siswa saja, Subyek yang menyatakan ABK dapat berseko- lah di sekolah umum, menyertakan syarat
sebagai alasan dari jawaban mereka, misalnya: bisa di sekolah umum jika di lingkungan sekitarnya
tidak ada SLB, dan siswa ABK dapat bersekolah di sekolah umum jika mereka sudah melampaui
sekolah khusus di usia dini.
Dan pada pertanyaan ke-5 sebanyak 70% su- byek menyatakan bahwa pihak yang berperan
dalam pembelajaran ABK adalah orangtua, guru, dan ling- kungan. Namun demikian ada peran tenaga
ahli/pro- fesional seperti dokter dan psikologi jauh lebih uta- ma sebagaimana respon sebanyak
16.67% subyek.
Berdasarkan hasil analisis information di atas, sikap orangtua dan guru terhadap implementasi
inklusi di PAUD tergolong negatif. Gambaran sikap negatif dari orangtua dan guru dapat dilihat dari
mayoritas jawaban-jawaban subyek terhadap 5 pertanyaan dari kuesioner yang diberikan. Respon
jawaban subyek tentang pendidikan inklusi (83.3%), belum menggam- barkan adanya pengetahuan
yang tepat dari orangtua serta guru tentang pendidikan inklusi. Pemahaman yang kurang tentang
pendidikan inklusi ternyata me- lahirkansikap menolak (tidak setuju) sebanyak 73.3% subyek dengan
menyatakan alasan bahwa kehadiran ABK dapat mengganggu proses pembelajaran. Selain karena
pemahaman yang kurang, tidak adanya penga- laman dengan ABK pada seluruh orangtua khususnya
sebagai bagian dari subyek penelitian membentuk persepsi negatif dan sikap menolak terhadap
penerap- an pendidikan inklusi. Temuan ini mendukung peneli- tian Stoiber dkk (1998) bahwa
orangtua yang memiliki ABK akan lebih bersikap positif dibandingkan de
Selain pemahaman yang kurang tentang inklusi, ketiadaan pengalaman dengan ABK,
kurangnya pemahaman orangtua anak non ABK dan guru ter- kait dengan karakteristik ABK turut
membentuk sikap penolakan dan kekhawatiran tersendiri bagi orangtua maupun guru. Kurangnya
pemahaman ten- tang ABK tampak dari contoh jawaban 63.33% subyek yang menyatakan
kekurangan jika ABK belajar di kelas normal bersama non-ABK misalnya meng- anggap perilaku
ABK adalah destruktif yang dapat mempengaruhi atau ditiru oleh siswa non ABK, sertanggapan
bahwa gangguan yang dialami ABK dapat menular pada non ABK. Kekuatiran dan sikap menolak
dengan beberapa alasan kekurangan jika ABK belajar di kelas customary (inklusi) yang disam paikan
oleh subyek dalam penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Guralnick dkk (1996), Favazza dan
Odom (1996) dan Hanline (1993) yang mene- mukan bahwa anak-anak non ABK dan ABK dapat
berinteraksi bersama ketika mereka terlibat dalam kelompok bermain. Anak-anak non ABK di taman
kanak-kanak akan memiliki pemahaman yang baik tentang konsep kecacatan dan lebih menerimaan
terhadap teman-teman ABK ketika ber- interaksi bersama. Berdasarkan survey penelitian yang
Tugiah, Ridwan Trisoni
KURANGNYA PERHATIAN ORANG TUA TERHADAP PENDIDIKAN ANAK-ANAK
INKLUSIF DI KAMANG BARU
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
dilakukan Ruijs dan Peetsma (2009) tampak lebih banyaknya efek positif dari pendidikan inklusi
terutama dalam kondisi sosial anak, misalnya: anak- anak di sekolah inklusi mendapatkan partiality
yang lebih sedikit dan lebih memiliki sikap yang positif terhadap orang lain.
Temuan penelitian berikutnya adalah mayori- tas orangtua dan guru (sebanyak 86.67%) lebih
mendukung apabila ABK berada di sekolah khusus di- bandingkan belajar bersama-sama dengan anak
non ABK. Temuan ini mendukung penelitian yang dila- kukan oleh Hosseinkhanzadeh dkk (2013)
tentang sikap orangtua dan guru terhadap pendidikan anak berkebutuhan khusus (misal: anak
berbakat) adalah menyetujui pemisahan antara anak berbakat dengan anak typical lainnya karena
dinilai dengan mema- sukkan anak berbakat di pusat pendidikan khusus akan memperoleh
penanganan yang lebih tepat. Pendidikan yang memisahkan antara ABK dan Non ABK dinilai lebih
efektif oleh guru yang termasuk dalam 86.67% subyek tersebut diatas karena tidak memberatkan guru
terlebih guru di sekolah umum yang tidak memiliki kemampuan pedagogi dan tata laksana pendidikan
inklusi.
Temuan tersebut juga mendukung penelitian yang dilakukan O'Donoghuedan Chalmers (2000)
bahwa guru yang mengajar di kelas inklusi membutuhkan pengetahuan, ability, dan kemampuan yang
memadai untuk menangani ABK. Kendala yang disampaikan guru tersebut bisa men- jadi faktor yang
menghambat penerapan inklusi di Indonesia sehingga perlu diteliti sebagai dasar pem- buatan
kebijakan (arrangement) dalam penerapan layanan pendidikan yang efektif bagi siswa ABK sebagai-
mana yang disampaikan oleh 70% dari subyek pene- litian. Menurut Anabel Morina (2016)
keberhasilan ABK, (incapacities) dalam belajar membutuhkan ke- bijakan, strategi, proses, dan aksi
pendidikan inklusif yang membantu semua peserta didik berhasil dalam belajar.
Menurut Sri Joeda Andajani (2014), pendidikan inklusi itu dapat dilaksanakan dengan baik
melalui (a) perencanaan yang sesuai dengan kemam- puan peserta didik, (b) sumber dan media
pembelajaran yang mampu menstimulasi semua peserta didik tanpa kecuali, (c) pengelolaan
pembelajaran kelom- pok yang mampu bekerjasama dalam belajar, dan (d) pemberian penilaian
langsung terhadap hasil belajar ABK. Atas dasar itu, para guru dan orangtua perlu meningkatkan
pamahaman dan keterampilannya dalam memberikan pendidikan inklusi. Kesulitan yang dihadapi
ABK dalam pembelajaran inklusi di sekolah adalah kesulitan mengikuti pembelajaran. Hal ini sesuai
dengan penelitian Endro Wahyuno, dkk (2014) yang menyatakan bahwa kesulitan ABK mengikuti
pembelajaran dalam kelas inklusi karena sulit berkonsentrasi. Kondisi ini dapat dipahami karena ABK
memiliki karakteristik khusus yang belajar di lingkungan yang umum sehingga kesulitan
berkomunikasi dan sulit berkonsentrasi.
KESIMPULAN
Manusia di muka bumi memiliki dua fungsi utama: Abdu (Hamba) dan Khalifah (Pemimpin).
Pelaksanaan tugas khilafah harus dibarengi dengan pengembangan potensi manusia oleh seluruh
elemen, termasuk lembaga pendidikan. Sebuah lembaga pendidikan modern harus melayani semua
siswa dengan kebutuhan yang berbeda. Baik anak pada umumnya maupun anak berkebutuhan khusus.
Pendidikan inklusif harus mempertimbangkan kebutuhan berbagai segmen anak. Model inklusi adalah
model sekolah yang memungkinkan semua anak, termasuk anak berkebutuhan khusus dari berbagai
latar belakang dan disabilitas, untuk belajar bersama anak reguler dalam kurikulum yang memenuhi
kebutuhan anak.Proses pembelajaran dilakukan sesuai dengan kebutuhan siswa . Integrasi atau model
keterpaduan siswa berkebutuhan khusus dan reguler biasanya memberikan kesempatan yang sama
untuk belajar bersama di sekolah yang sama, dan siswa berkebutuhan khusus biasanya dapat
bergabung dengan anak reguler. Pendidikan inklusi menitikberatkan pada prioritas anak berkebutuhan
khusus di sekolah umum, dan anak beradaptasi dengan kurikulum dan pembelajaran yang dilakukan
di sekolah inklusi. Peran pendidik sangat penting dalam menjalankan tugasnya, terutama guru
pendamping. Pendidikan inklusif merupakan wadah bagi siswa yang beragam untuk mencapai
pendidikan untuk semua.
Pendidikan yang memisahkan antara ABK dan Non ABK dinilai lebih efektif oleh guru yang
termasuk dalam 86.67% subyek tersebut diatas karena tidak memberatkan guru terlebih guru di
sekolah umum yang tidak memiliki kemampuan pedagogi dan tata laksana pendidikan inklusi.
Tugiah, Ridwan Trisoni
KURANGNYA PERHATIAN ORANG TUA TERHADAP PENDIDIKAN ANAK-ANAK
INKLUSIF DI KAMANG BARU
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
DAFTAR PUSTAKA
Afendi, A. H. (2016). Al-Islam Studi Al-Qur’an (Kajian Tafsir Tarbawi). Deepublish.
Alhaddad, M. R. (2020). Konsep pendidikan multikultural dan pendidikan inklusif. Jurnal Raudhah,
5(1), 2130.
Amin, B. (2015). Peran Orang Tua dalam Pendidikan Inklusif (Peran Orang Tua Anak Berkebutuhan
Khusus dalam Konteks Sekolah Inklusi). Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogjakarta.
Anshory, I. (2012). Persepsi Mahasiswa PGSD Terhadap Program Unggulan Untuk Menjadi Lulusan
Yang Mampu Mengelola Pembelajaran di Sekolah Inklusi. Jurnal Humanity, 8(1).
Basri, B. (2022). THE ISLAMIC EDUCATION WITHOUT DISCRIMINATION IN THE QUR’AN
PERSPECTIVE. Jurnal At-Tibyan: Jurnal Ilmu Alquran Dan Tafsir, 7(1), 121135.
Dakir, D. (2014). Manajemen layanan pendidikan siswa berkebutuhan khsusus prespektif religious,
filosofis, yuridis dan historis. K-Media.
Darma, I. P., & Rusyidi, B. (2015). Pelaksanaan sekolah inklusi di Indonesia. Prosiding Penelitian
Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 2(2).
Ervita, A. (2011). Studi tingkat efektivitas pelayanan fasilitas pendidikan sebagai salah satu indikator
mewujudkan kota layak anak (Studi Kasus di Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta).
Freeman, S. F. N., & Alkin, M. C. (2000). Academic and social attainments of children with mental
retardation in general education and special education settings. Remedial and Special Education,
21(1), 326.
Hakim, L. (2016). Pemerataan akses pendidikan bagi rakyat sesuai dengan amanat Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. EduTech: Jurnal Ilmu Pendidikan
Dan Ilmu Sosial, 2(1).
Handayani, T., & Rahadian, A. S. (2013). Peraturan perundangan dan implementasi pendidikan
inklusif Mulyani. Masyarakat Indonesia, 39(1), 149701.
Marzuki, I., & Hakim, L. (2018). MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF PERSPEKTIF AL-
QUR’AN. Rausyan Fikr: Jurnal Pemikiran Dan Pencerahan, 14(02).
Mulyani, S. (2009). Upaya meningkatkan kemampuan membaca menulis permulaan siswa kelas I
melalui penerapan pendekatan pembelajaran terpadu (PTK di SDN 04 Punduhsari). UNS
(Sebelas Maret University).
Nasution, H. A. R. (n.d.). KEBIJAKAN PEMERINTAH PUSAT ATAS PENGHENTIAN KEGIATAN
ORMAS FPI MELALUI SKB 3 MENTERI NOMOR 220-4780 TAHUN 2020. Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif HIdayatullah Jakarta.
Nurfadillah, S. (2021). Pendidikan Inklusi Tingkat SD. CV Jejak (Jejak Publisher).
Saputra, A. (2016). Kebijakan Pemerintah Terhadap Pendidikan Inklusif. Jurnal Ilmiah Tumbuh
Kembang Anak Usia Dini, 1(3), 3.
Zuniar, F., & Chamdani, M. (2017). Pengelolaan Kelas yang Baik dalam Meningkatkan Kualitas
Pembelajaran di Kelas Inklusi. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Pendidikan.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International
License