Mengantisipasi Tergerusnya Kepemimpinan Suami dalam SOSTECH, 2021
Keluarga
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam kehidupan sehari-hari, ada diantara suami yang tidak menjalankan
kewajibannya sebagai seorang suami misalnya dalam hal memberi nafkah, mengurusi
pendidikan anak anaknya, termasuk urusan-urusan yang berkaitan dengan hal hal yang
berada di luar domestik keluarga (Choirina, 2019), lalu dengan keadaan dan kondisi
seperti ini apakah akan menjadikan kepemimpinan seorang suami tergerus atau
berkurang?. Hal inilah yang akan coba dibahas dalam sebuah judul : “Mengantisipasi
tergerusnya kepempinan suami dalam ruamh tangga”.
Kata „qawwâm‟ adalah bentuk mubâlagah dari kata „qâim‟ yang mengandung
makna banyak (li al-taksîr). Sedang kata „qâim‟ berasal dari akar kata „qâma-yaqûmu-
qiyâman‟ lawan dari duduk yang berarti berdiri. Bila dilihat dari segi fungsi kata
„qawwâm‟ sebagai bentuk mubâlagah maka ungkapan „al-rijâl qawwâmûna‟ mengandung
makna bahwa mayoritas laki-laki lebih patut menjadi pemimpin namun tidak seluruhnya.
Menurut al-Asfahani, kata tersebut bila dikaitkan dengan seseorang memiliki dua makna
yaitu menundukkan (taskhîr) dan upaya (ikhtiyâr).
Kata „qawwâm‟ pada ayat di atas, menurutnya, bermakna upaya (ikhtiyâr). Dengan
makna ini dapat dipahami bahwa kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam wilayat
domestik tidaklah given tapi harus diusahakan. Ibn Manzûr mengartikan makna
„qawwâm‟ pada ayat di atas dengan makna al-muhâfazah (menjaga) dan al-islâh
(memperbaiki). Sedang Jalâlain menafsirkan dengan makna „musallitûn‟ (menguasai).
Dari berbagai pengertian tentang kata „qawwâm‟ yang dikemukakan di atas dapat
dipahami yaitu dari segi kaedah bahasa, fungsi mubâlagah pada kata „qawwâm‟
menunjukkan makna „banyak‟ namun tidak seluruhnya. Sehingga laki-laki memang
secara mayoritas lebih tepat untuk memimpin perempuan dalam wilayah domestik
dibanding perempuan memimpin laki-laki, kata „qawwâm‟ menunjukkan makna ikhtiyari,
sehingga kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga memang harus diusahakan
sehingga layak untuk menjadi pemimpin isteri dan tidak bersifat given atau otomatis,
laki-laki secara given lebih berhak menjadi pemimpin atas perempuan di ranah domestik.
Rekomendasi terhadap kepemimpinan laki-laki didasarkan atas dua pertimbangan
pokok (Ibrahim, 2013), sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, yaitu pertama, karena
laki-laki dan perempuan masing-masing mempunyai kelebihan, kedua, laki-laki bertugas
untuk memberikan nafkah kepada istrinya. Para mufassir menyadari bahwa frasa tersebut
menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan masing-masing mempunyai kelebihan,
namun dalam kontak keluarga sejumlah kelebihan yang dimiliki laki-laki dipandang lebih
menunjang terlaksananya tugas-tugas kepemimpinan, lalu apakah ketika kedua hal yang
disebtkan diatas tidak dilaksanakan lagi atau tidak dimiliki oleh suami, lalu status atau
posisi kepemimpinannya masih juga di pegang ataukah tidak berkurang sama sekali,hal
ini perlu menjadi perhatian karena, ditinjau dari aspek sosiologis, sebuah pertanyaaan dari
Nani Zulminarni, Koordinator Nasional Program Pemberdayaan Perempuan Kepala
Keluarga (PEKKA), memperkirakan ada sekitar 6 juta lebih keluarga di Indonesia yang
dikepalai oleh seorang perempuan. Dari jumlah itu, banyak diantaranya merupakan janda
dan ada juga yang karena suaminya pengangguran, atau. Sebagian lagi karena meninggal
secara alamiah dan atau suami pindah tanpa kabar. Pernyataan tersebut di dukung data
BPS yang tergambar sebagai berikut: