27
Sukma Asmarandani Ramelan, Nur Mohammad Kasim, Sri Nanang Meiske
Kamba
PEMBUATAN AKTA KELAHIRAN ANAK TERHADAP PERNIKAHAN SIRI
Sukma Asmarandani Ramelan, Nur Mohammad Kasim, Sri Nanang Meiske Kamba
Fakultas Hukum, Universitas Negeri Gorontalo
ramelansukma@gmail.com, nurk[email protected], srinanangmeiskekam[email protected]
Abstrak
Kepemilikan akte kelahiran salah satu bukti terpenuhinya hak identitas anak dan kesadaran akan
pentingnya pencatatan kelahiran anak mulai tumbuh di Indonesia. Saat ini masih ditemui anak yang
identitasnya tidak tercatat dalam akta kelahiran, sehingga secara de jure keberadaannya dianggap tidak
ada oleh negara. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan mengkaji pembuatan akta kelahiran
anak dari pernikahan siri. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, serta
menggunakan bahan kepustakaan yang relevan dengan kajian mengenai pembuatan akta kelahiran anak
terhadap pernikahan siri. Hasil dalam penelitian ini yaitu pembuatan akta anak hasil nikah siri melalui
Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) adalah mengacu Permendagri No. 9/2016 tentang
Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran masih menimbulkan permasalahan
hukum, tidak terpenuhinya akta nikah/kutipan akta perkawinan dan status hubungan keluarga pada KK
yang tidak menunjukkan status hubungan perkawinan sebagai suami istri. Akta kelahiran bagi anak
yang dilahirkan tanpa pencatatan pernikahan yang tidak tercantum pada Kartu Keluarga maka hanya
dicatat sebagai anak seorang ibu.
Kata kunci: Anak, Nikah Siri, Pembuatan Akta.
Abstract
The ownership of birth certificates is one of the proofs of the fulfillment of children's identity rights and
awareness of the importance of child birth registration began to grow in Indonesia. Currently, there are
still children whose identities are not recorded on birth certificates, so de jure their existence is
considered non-existent by the state. The purpose of this study is to find out and examine the creation of
a child's birth certificate from a serial marriage. This research uses normative juridical research
methods, and uses literature materials that are relevant to the study of making child birth certificates
for serial marriages. The results in this study, namely the making of a child certificate from a series of
marriages through a Statement of Absolute Responsibility (SPTJM) refers to Permendagri No. 9/2016
concerning the Acceleration of Increasing the Scope of Ownership of Birth Certificates still causing
legal problems, non-fulfillment of marriage certificates / quotations of marriage certificates and family
relationship status in KK which does not show.
Keywords: Children, Siri Marriage, Deed Making.
PENDAHULUAN
Perkawinan bertujuan untuk melahirkan keturunan dimana kesejahteraan anak yang
dilahirkan nantinya merupakan tanggung jawab utama dari orang tua dalam lingkungan
keluarga. Hukum perkawinan menyangkut masalah yang berkaitan dengan hukum
persyaratan pernikahan, elemen pernikahan, perceraian, konsekuensi hukum pernikahan
seperti tentang kehidupan, anak-anak dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
pernikahan, termasuk hubungannya dengan warisan (Maharani & Nugraheni, 2021).
Suatu perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan sesuai hukum agama/kepercayaan
masing-masing para pihak. Hal tersebut berarti jika suatu perkawinan telah mencukupi syarat
dan rukun nikah serta dilakukan ijab kabul maka perkawinan tersebut sah menurut agama dan
kepercayaan masyarakat.
Pencatatan perkawinan adalah hal yang sangat penting, karena jika tidak dicatat akan
berakibat tidak baik pada pasangan perkawinan siri dan keturunannya. Salah satu dampak
negatif pasangan nikah siri yang paling banyak dialami oleh pihak wanita sebagai pasangan
Jurnal Sosial dan Teknologi (SOSTECH)
Volume 3 , Number 1 , Januari 2023
p-ISSN 2774-5147 ; e-ISSN 2774-5155
28
Sukma Asmarandani Ramelan, Nur Mohammad Kasim, Sri Nanang Meiske
Kamba
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
dari kawin siri serta anak yang lahir darinya (Bahri, 2019).
Negara menegaskan mengenai kewajiban pencatatan perkawinan dalam peraturan
perundang-undangan untuk tujuan kemaslahatan warga negaranya (Yusman & Fahlani,
2022). Karena dengan perkawinan siri bagi laki-laki yang tidak bertanggungjawab, akan
dengan mudah tidak melakukan apa yang menjadi kewajibannya terhadap istri dan anak-
anaknya, dengan mudah melakukan kawin-cerai seenak hatinya.
Saat ini eksistensi nikah siri masih mendapat stigma negatif dari masyarakat.
Keberadaan stigma negatif tersebut, menyebabkan masih maraknya pemahaman bahwa
pelaku nikah siri akan mengalami hambatan serius saat mengurus Kartu Keluarga (KK) yang
baru. Hal ini karena dalam pembuatan KK yang mencantumkan nama pasangan nikah siri,
tidak ada bukti pernikahan resmi diantara mereka. Kartu Keluarga dimaksud menjadi penting
artinya di kemudian hari sebagai syarat pembuatan Akta Kelahiran bagi anaknya yang lahir
dari pernikahan siri (Manurung & Sulastri, 2021).
Nikah siri oleh negara belum dianggap sah dan anak yang lahir disebutkan sebagai anak
yang dilahirkan diluar perkawinan, hal ini berbeda pandangan kalau dilihat dari sudut
pandang agama (Adillah, 2016). Dampak hukum lain dari perkawinan siri yaitu dirasakan
oleh anak yang dilahirkan. Anak tidak mempunyai hubungan perdata dengan bapak
biologisnya dan hanya pada ibu dan keluarga ibunya, sebagaimana tercantum dalam Pasal 43
ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa
“Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya”. Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka penulis tertarik
untuk mengkaji lebih dalam mengenai pembuatan akta kelahiran anak terhadap pernikahan
siri.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dengan mengutamakan
data skunder berupa bahan hukum primer yang bersumber dari peraturan perundang-
undangan berkaitan dengan kajianyang dibahas, serta menggunakan bahan kepustakaan yang
relevan dengan kajian mengenai pembuatan akta kelahiran anak terhadap pernikahan siri
(Umar, 2020).
Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan
pendekatan konseptual (conceptual approach). Sedangkan jenis dan sumber bahan hukum
yang digunakan yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang diperoleh
melalui studi kepustakaan (Arianta et al., 2020). Teknik analisis bahan hukum menggunakan
penafsiran gramatikal, sistematis, dan restriktif.
Penafsiran gramatikal yaitu penafsiran dari segi tata bahasa dimana ketentuan yang
terdapat di peraturan perundangundangan ditafsirkan dengan berpedoman pada arti perkataan
menurut tata bahasa (Taqiuddin, 2019). Penafsiran sistematis adalah penafsiran yang
dilakukan dengan meninjau susunan yang berhubungan dengan pasal-pasal lainnya, baik
dalam undangundang yang sama maupun dengan undang-undang yang lain. Penafsiran
restriktif adalah penafsiran yang dilakukan dengan mempersempit arti kata-kata yang terdapat
dalam suatu peraturan perundang-undangan (Abdillah et al., 2021).
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengertian Nikah Siri
Suatu perkаwinаn dikatakan sаh аpаbilа dilаkukаn menurut hukum n kepercаyааn
29
Sukma Asmarandani Ramelan, Nur Mohammad Kasim, Sri Nanang Meiske
Kamba
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
mаsingmаsing yаng melаngsungkаn perkаwinаnnyа. Perkаwinаn rus dicаtаtkаn menurut
perаturаn perundаng-undаngаn yаng berlаku. Pencаtаtаn perkаwinаn bаgi yаng berаgаmа
Islаm dilаkukаn oleh kаntor urusаn agаmа (KUА) tempаt pelaksanaan suatu perkаwinаn,
sedаngkаn gi yаng berаgаlаin dicаtаtkаn di kantor tаtаn sipil setempаt (Abdillah et
al., 2021).
Nikah siri merupakan istilah yang berkembangdi masyarakat sama dengan istilah nikah
dibawah tangan; yaitu sebuah prosespernikahan sesuai dengan aturan dan ketentuan yang
berlaku dalam islam (seperti adanya wali, saksi dan ijab qabul) (Sobari dalam Syamdan,
2019). Nikah siri diartikan sebagai bentuk pernikahan yang dilakukan hanya berdasarkan
aturan agama atau adat istiadat. Nikah siri tidak diumumkan kepada khalayak umum dan
tidak tercatat resmi di Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil untuk mendapatkan
suatu kepastian hukum (Bahri, 2019).
Perkawinan siri berbeda dengan perkawinan tidak tercatat atau tidak dicatatkan yang
biasa diartikan sebagai nikah di bawah tangan. Perkawinan semacam ini sepanjang dilakukan
menurut syariat Islam, hukumnya sah menurut Hukum Islam, namum menurut hukum positif
secara formil tidak sah karena tidak terdaftar pada intitusi pemerintahan. Sebagian
masyarakat menganggap perkawinan siri merupakan solusi bagi pasangan yang hendak
menikah namun belum mampu secara finansial atau karena ada hal-hal tertentu yang menjadi
alasan sehingga mereka melakukan perkawinan siri (Awaliah et al., 2022).
Sifat kerahasiaan nikah siri banyak menimbulkan permasalahan, mulai dari isu
perselingkuhan, hingga sulitnya mendapatkan bukti administrasi kependudukan seperti KK,
akta kelahiran bahkan hingga akibat hukum berupa hubungan hukum asal usul keluarga
bahkan pewarisan. Padahal peristiwa kelahiran merupakan peristiwa hukum yang
memerlukan adanya suatu pengaturan yang tegas, jelas dan tertulis sehingga terciptanya
kepastian hukum dalam masyarakat. Perkawinan siri banyak menimbulkan kerugian,
dibanding dengan keuntungannya yaitu :
1. Keuntungannya yaitu jika nikah siri dilangsungkan sesuai tuntunan agama, maka
hubungan suami isteri sah artinya terhindar dari perbuatan zina dan menghemat biaya.
2. Kekurangannya/kelemahannya :
a. Suami dapat bertindak sewenang-wenang, misalnya dapat saja menceraikan isteri
siri tanpa melalui proses hukum.
b. Jika suami meninggalkan istri dalam waktu yang lama dan sebelum
meninggalkannya suami siri tidak menceraikannya, isteri tidak bisa menggugat cerai
pada pengadilan karena akta nikah dan jika isteri melangsungkan pernikahan maka
isteri tersebut melakukan poliandri atau bersuami lebih dari satu orang dan hal itu
dilarang oleh agama dan Undang-Undang Perkawinan.
c. Jika suami meninggal dunia, isteri dan anak-anak terlahir dari perkawinan siri tidak
bisa menuntut warisan, anak hanya dapat mewarisi harta ibu yang melahirkan.
d. Anak-anak terlahir dari nikah sirih oleh hukum negara dianggap sebagai anak luar
kawin.
e. Terhadap anak yang mengurus akta kelahiran, dalam akta tertulis hanya nama ibu
yang melahirkannya, sehingga sangat berpengaruh pada psikologis anak.
Pada kenyataannya, praktik perkawinan yang terjadi di lingkungan masyarakat tidak
sepenuhnya mengacu kepada undang-undang, disinilah kemudian kasus perkawinan sirri atau
perkawinan di bawah tangan merebak dan menjadi fenomena tersendiri, Perkawinan siri atau
perkawinan dibawah tangan adalah perkawinan yang tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat
Nikah (PPN). Perkawinan yang tidak berada dibawah pengawasan PPN, dianggap sah secara
agama, tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak memiliki bukti-bukti
30
Sukma Asmarandani Ramelan, Nur Mohammad Kasim, Sri Nanang Meiske
Kamba
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendapat lain
menyebutkan bahwa perkawinan siri atau perkawinan dibawah tangan adalah perkawinan
yang dilaksanakan dengan tidak memenuhi syarat dan prosedur peraturan perundangan.
B. Identitas Anak Dari Nikah Siri
Salah satu hak asasi yang dijamin dalam konstitusi tersebut adalah berkenaan dengan
hak mengenai status kewarganegaraan seseorang sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat
(4) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
Ketentuan tersebut berarti bahwa negara berdasarkan UUD 1945 pada hakikatnya
berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status
kewarganegaraan yang dialami oleh penduduk Indonesia yang berada di dalam dan/atau di
luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (Manurung & Sulastri, 2021). Hal ini juga
diperkuat berdasarkan Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum.
Pencatatan atau akta kelahiran merupakan bukti sah atau tidaknya status dan peristiwa
kelahiran seseorang yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Anak
yang dilaporkan kelahirannya akan terdaftar dalam Kartu Keluarga dan diberi Nomor Induk
Kependudukan (NIK) sebagai dasar untuk memperoleh pelayanan masyarakat lannya.
Kepemilikan akte kelahiran salah satu bukti terpenuhinya hak identitas anak dan kesadaran
akan pentingnya pencatatan kelahiran anak mulai tumbuh di Indonesia. Namun sayangnya
Indonesia saat ini masih ditemui anak yang identitasnya tidak tercatat dalam akta kelahiran,
sehingga secara de jure keberadaannya dianggap tidak ada oleh negara (Yulfarida, 2021).
Agar dapat lebih menjamin hak warga negara berkaitan dengan status kewarganegaraan
penduduk serta memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status
kewarganegaraan yang dialami oleh penduduk Indonesia, maka perlu dilakukan pengaturan
tentang administrasi kependudukan dalam bentuk undangundang. Hal ini sebagaimana juga
telah diamanatkan dalam Pasal 26 ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen yang menyatakan
bahwa hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang.
Masalah kependudukan yang sering dihadapi tidak terlepas kaitannya dengan kondisi
tertib administrasi kependudukan, baik dalam konteks pendaftaran maupun pencatatannya
dalam rangka memberikan status kepastian hukum keperdataan kepada setiap orang.
Administrasi kependudukan diarahkan untuk :
1. Memenuhi hak asasi setiap orang di bidang administrasi kependudukan tanpa
diskriminasi dengan pelayanan publik yang professional.
2. Meningkatkan kesadaran penduduk akan kewajibannya untuk berperan serta dalam
pelaksanaan administrasi kependudukan.
3. Memenuhi data statistik secara nasional mengenai peristiwa kependudukan dan
peristiwa penting.
4. Mendukung perumusan kebijakan dan perencanaan pembangunan secara nasional,
regional, serta local.
5. Mendukung pembangunan sistem administrasi kependudukan (Manurung & Sulastri,
2021).
Jika ditelaah secara mendalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Adinistrasi Kependudukan, maka terdapat berbagai faktor yang menghambat anak
memperoleh hak identitas atas akte kelahiran, yaitu:
1. Asas stelsel aktif bagi Penduduk”.
2. Syarat-syarat formal pencatatan kelahiran (surat nikah/akte perkawinan, KK, KTP).
3. Pembatasan waktu 60 (enam puluh) hari melaporkan kelahiran menjadi hambatan
31
Sukma Asmarandani Ramelan, Nur Mohammad Kasim, Sri Nanang Meiske
Kamba
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
dalam akses pencatatan kelahiran, jika melewatinya akan menjalani prosedur lebih
panjang.
4. Pengenaan sanksi denda atas keterlambatan.
5. Tidak adanya fasilitasi dan bantuan Pemerintah.
6. Tidak adanya tindakan affirmatif untuk anak dari kawasan terisolir, anak berkesulitan
khusus, anak tanda dokumen perjalanan (paspor) yang mengikuti orangtuanya bekerja
di luar negeri.
7. Belum bebas biaya akte kelahiran (Bahri, 2019).
Administrasi kependudukan merupakan sarana Memenuhi hak asasi setiap orang di
bidang administrasi kependudukan tanpa diskriminasi dengan pelayanan publik yang
profesional, namun kerap kali tersandra dengan skema hukum yang rumit, misalnya dualisme
hukum pencatatan pernikahan dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1/1974 bahwa, di
satu sisi sahnya perkawinan adalah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing, di
sisilain perkawinan itu harus dicatatkan. Dualisme ini pada prakteknya dapat menimbulkan
kerugian para pihak terutama pada pihak perempuan dan anak keturunan dari perkawinan
yang tidak dicatatkan tersebut (Islami, 2017).
C. Pembuatan Akta Kelahiran Anak Dari Perkawinan Siri
Akta kelahiran berkaitan dengan identitas dan status hukum seorang anak yang
berpengaruh terhadap akses peningkatan kesejahteraan anak. Terdapat beberapa faktor yang
menjadi penyebab tingginya jumlah anak yang tidak memiliki akta kelahiran diantaranya
karena faktor biaya yang dianggap mahal, persyaratannya banyak, dan membutuhkan waktu
yang lama. Selain itu, sebagian orang tua yang ternyata tidak tahu cara mengurus akta
kelahiran dan merasa tidak perlu mengurus akta kelahiran untuk anaknya.
Faktor penghambat ini tentunya menjadi tantangan bagi pemerintah untuk segera
mengatasinya, karena kepemilikan akta kelahiran merupakan pelaksana amanat UUD NRI
1945 dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berkaitan dengan hak keperdataan
seseorang terutama yang berkaitan dengan hak identitas dan kewarganegaraan (Saraswati
dalam (Abdillah et al., 2021). Akta kelahiran merupakan identitas status anak yang sangat
penting.
Apabila anak yang dilahirkan dalam pernikahan secara agama maka hanya dapat
dicatatkan sebagai anak seorang ibu tanpa diperlukan atau memasukkan nama dari ayah yang
bersangkutan (Saraswati, 2015). Kemudian cara yang kedua ialah dengan menerapkan
SPTJM atau Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak yang dibuat oleh yang bersangkutan
atau wali atau pemohon sebagai kebenaran dengan tanggungjawab penuh yang diketahui 2
(dua) orang saksi dan disertai pembubuhan materai dengan syarat anak tersebut telah
tercantum di dalam Kartu Keluarga yang bersangkutan (Maharani & Nugraheni, 2021).
Pada umumnya dalam perkara permohonan asal usul anak yang mengajukan adalah
seorang laki-laki sebagai Pemohon I yang mengaku dirinya memiliki hubungan nasab dengan
anak yang diakuinya, dan seorang perempuan sebagai Pemohon II yang mengaku ibu
kandungnya. Pada pokoknya di dalam permohonan memuat alasan-alasan yang di antaranya
mengenai :
1. Hubungan hukum antara Pemohon I dan Pemohon II (biasanya hubungan antara P.I dan
P.II sebagai suami isteri tetapi perkawinan mereka tidak tercatat atau tidak sesuai
dengan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan).
2. Adanya pengakuan Pemohon I dan Pemohon II terhadap anak yang diakuinya.
3. Pemohon I menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak dari hasil hubungan
perzinaan.
32
Sukma Asmarandani Ramelan, Nur Mohammad Kasim, Sri Nanang Meiske
Kamba
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
4. Anak yang diakui tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah.
5. Tidak adanya sangkalan atau pengakuan dari pihak lain.
Berdasarkan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, Pengadilan dapat
mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang
teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat. Artinya meskipun ketentuan hukum
yang mengatur asal usul anak ini tidak banyak, tetapi dalam pemeriksaan hakim wajib
memeriksa dengan teliti, khusunya pada tahap pembuktian. Frase ‘Pemeriksaan yang teliti’
dimaksudkan agar tidak ada penyelundupan hukum, seperti anak hasil perzinahan atau anak
hasil poligami liar dimohonkan untuk disahkan (Amaliya, 2022).
Permohonan pelaksanaan akta kelahiran bagi anak yang dilahirkan tanpa pencatatan
pernikahan yang tidak tercantum pada Kartu Keluarga maka hanya dicatat sebagai anak
seorang ibu, hal ini belum dapat sesuai dengan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 yang telah diubah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010
bahwa anak tetap memiliki hubungan perdata dengan si ayah tidak dapat langsung
diimplementasikan ke dalam akta kelahiran anak, dalam hal ini syarat yang harus dimiliki
oleh anak yang lahir tanpa pencatatan pernikahan kedua orang tuanya ialah harus memiliki
Kartu Keluarga terlebih dahulu baru status dan nama ayah dapat diikutsertakan dalam
pembuatan akta anak (Muchsin et al., 2019).
Permohonan akta kelahiran bagi anak perkawinan siri apabila memiliki SPTJM yang
dilengkapi dengan kartu keluarga maka memiliki pengakuan atas nasab dan biologis si ayah
namun guna mendapatkan hubungan keperdataan yang lebih maka permohonan dapat
diajukan ke pengadilan dengan syarat telah dilakukan tes DNA terlebih dahulu antara ayah
dan anak yang bersangkutan, kemudian bagi anak yang tidak memiliki SPTJM dan kartu
keluarga sebagaimana akta kelahiran hanya berdasarkan garis keturunan ibu dan
pengakuannya hanya dilakukan oleh sang ibu maka anak tersebut tetap tidak memiliki
hubungan keperdataan dengan si ayah.
KESIMPULAN
Akta kelahiran bagi anak yang dilahirkan tanpa pencatatan pernikahan yang tidak
tercantum pada Kartu Keluarga maka hanya dicatat sebagai anak seorang ibu, hal ini belum
dapat sesuai dengan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang telah
diubah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010 bahwa anak tetap
memiliki hubungan perdata dengan si ayah tidak dapat langsung diimplementasikan ke dalam
akta kelahiran anak.
Pembuatan akta anak hasil nikah siri melalui Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak
(SPTJM) adalah mengacu Permendagri No. 9/2016 tentang Percepatan Peningkatan Cakupan
Kepemilikan Akta Kelahiran masih menimbulkan permasalahan hukum, tidak terpenuhinya
akta nikah/kutipan akta perkawinan dan status hubungan keluarga pada KK yang tidak
menunjukkan status hubungan perkawinan sebagai suami istri, maka data yang dicatat dalam
kutipan akta kelahiran sang anak hanya nama ibu kandungnya saja.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, A. A., Hamidah, S., & Kawuryan, E. S. (2021). Prosedur Ideal Pengakuan bagi
Anak Luar Hasil Perkawinan Siri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-
VIII/2010. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan, 6(1), 110.
33
Sukma Asmarandani Ramelan, Nur Mohammad Kasim, Sri Nanang Meiske
Kamba
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
Adillah, S. U. (2016). ImplIkasI Hukum DarI perkawInan sIrI TerHaDap perempuan Dan
anak. PALASTREN Jurnal Studi Gender, 7(1), 193222.
Amaliya, L. (2022). PENETAPAN ASAL USUL ANAK SEBAGAI UPAYA
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK HASIL DARI PERKAWINAN SIRI
(STUDI KASUS DI PENGADILAN AGAMA KARAWANG). PROSIDING
KONFERENSI NASIONAL PENELITIAN DAN PENGABDIAN UNIVERSITAS BUANA
PERJUANGAN KARAWANG, 2(1), 375390.
Arianta, K., Mangku, D. G. S., & Yuliartini, N. P. R. (2020). Perlindungan Hukum Bagi
Kaum Etnis Rohingya Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Internasional. Jurnal
Komunitas Yustisia, 3(2), 166176.
Awaliah, A., Qalbi, V. N., Achmad, A. N. I. A. I., & Allang, A. (2022). AKIBAT HUKUM
PERNIKAHAN SIRI. Maleo Law Journal, 6(1), 3040.
Bahri, S. (2019). NIKAH SIRI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL
ANAK DI ACEH TAMIANG. Lentera: Indonesian Journal of Multidisciplinary Islamic
Studies, 1(2), 113128.
Islami, I. (2017). Perkawinan di Bawah Tangan (Kawin Sirri) dan Akibat Hukumnya. ADIL:
Jurnal Hukum, 8(1), 6990.
Maharani, M. P., & Nugraheni, A. S. C. (2021). Legalitas dan Akibat Hukum Kedudukan
Anak yang Lahir Dari Perkawinan Siri pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kabupaten Sukoharjo. Jurnal Inovasi Penelitian, 2(3), 849854.
Manurung, A., & Sulastri, L. (2021). Polemik Pencatatan Anak Dari Nikah Siri. Jurnal
Hukum Sasana, 7(2), 321332.
Muchsin, A., Rukiah, R., & Sabir, M. (2019). Legalitas Perkawinan yang Tidak Tercatat pada
Masyarakat Pinrang: Analisis Perma No. 1 Tahun 2015 tentang Pelayanan Terpadu
Pencatatan Nikah. DIKTUM: Jurnal Syariah Dan Hukum, 17(1), 3148.
Saraswati, R. (2015). Hukum perlindungan anak di Indonesia (Issue 2). PT. Citra Aditya
Bakti.
Taqiuddin, H. U. (2019). Penalaran Hukum (Legal Reasoning) Dalam Putusan Hakim. JISIP
(Jurnal Ilmu Sosial Dan Pendidikan), 1(2).
Umar, O. (2020). Eksistensi Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi Menurut
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002.
Yulfarida, B. (2021). Analisis Yuridis Terhadap Kedudukan Anak Hasil Perkawinan Siri.
Journal of Law, Society, and Islamic Civilization, 9(2), 104112.
Yusman, M., & Fahlani, S. A. (2022). Problematika Pencatatan Perkawinan Di Indonesia:
Telaah Perbandingan Pencatatan Perkawinan di beberapa Negara Asia Tenggara. Banua
Law Review, 4(2), 184195.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International
License