PERAN IMIGRASI DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL TERHADAP PERMASALAHAN PENGUNGSI BERSAMA UNHCR

Prytha Yunir Omar Azhari Atiri Laode, Retno Wulandari dan Rozaq Al-Ghifary

Politeknik Imigrasi

E-mail: [email protected], [email protected] dan [email protected]

Diterima:

13 Februari 2021

Direvisi:

13 April 2021

Disetujui:

14 April 2021

Abstrak

Penelitian ini mendeskripsikan tentang kerja sama imigrasi dengan organisasi internasional dalam menangani masalah pengungsi. Peningkatan pengungsi dari negara-negara tetangga mengalami pelonjakan yang signifikan di Indonesia. Jadi, pemerintah Indonesia khususnya imigrasi harus mencari solusi terkait permasalahan tersebut dengan bekerja sama sebagai mitra bersama organisasi internasional. Tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui peran imigrasi terhadap permasalahan pengungsi. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan sosio-legal. Dengan mengkaji kebijakan yang mengatur permasalahan tentang pencari dan suaka bersama organisasi keimigrasian. Dengan ini penulis dapat mencari kebenaran serta solusi dengan berpacu pada sebuah masalah tetapi tidak lupa dengan penerapan kebijakan secara nyata dalam masalah tersebut. Seiring berjalannya waktu dan zaman peningkatan jumlah para pencari suaka dan pengungsi menjelma semakin melonjak yang dimana berdasarkan konvensi 1951 Indonesia merupakan bukan negara penerima suaka melainkan hanya menjadi negara transit pada negara ketiga

Kata kunci: Pengungsi, Pencari Suaka, Kebijakan Pemerintah

 

Abstract

This study describes immigration cooperation with international organizations in dealing with the refugee issue. The increase in refugees from neighboring countries has seen a significant surge in Indonesia. So, the Indonesian government, especially immigration, must find a solution to the problem by working together as a partner with international organizations. The purpose of the study was to determine the role of immigration to the refugee problem. The research method used is a socio-legal approach. By reviewing policies governing issues concerning asylum and asylum seekers with immigration organizations. With this the author can seek truth and solutions by racing against a problem but not forgetting the real application of policies in the problem. Over time and time the number of asylum seekers and refugees has soared which under the 1951 convention Indonesia is not a country of asylum seekers but merely a transit country in a third country Keyword: Refugees, Asylum Seekers, Government Policy

Keywords: Refugees, Asylum Seekers, Government Policy,

 

PENDAHULUAN

 

Penelitian yang dilakukan menjadi sebuah kajian dalam hal menganalisis peran imigrasi dengan organisasi yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yaitu UNCHR atau dapat disebut United Nations High Commissioner for Refugees. Perjalanan lalu lintas antar negara semakin terus berkembang dan semakin menuju era modern. Hal ini ditunjukkan dengan hewan sapi yang merupakan alat transportasi zaman dahulu bagi (Komalasari, 2020) orang-orang dalam berpergian, namun semakin berkembangnya zaman berbagai penemuan pun ditemukan (Samantho, 2011) hingga salah satunya yaitu pesawat terbang menjadi alat transportasi yang digerakkan oleh mesin (Hutajulu & Supriyanto, 2013). Tentunya dengan mudahnya alat transportasi pada zaman modern ini (Fatimah, 2019) memungkinkan manusia untuk bepergian ke suatu tempat baru atau bahkan bertempat tinggal di tempat tersebut serta bersifat menetap untuk kedepannya (Arizandy, 2015). Imigrasi sebagai garda terdepan negara dalam perlintasan antar negara (Widyanto & Ardyaningtyas, 2020) berperan penting dalam mengatur serta mengawasi lalu lintas orang-orang yang ingin melakukan perjalanan antar negara (Arjana, 2021). Berdasarkan Pasal 1 angka (1) UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian disebutkan bahwa keimigrasian adalah hal ikhwal lalu lintas orang yang masuk dan keluar wilayah Indonesia (Sanusi, 2016) serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara (Trisapto Agung Nugroho, 2018). Terkait pengertian ini institusi imigrasi memiliki dua peran yaitu pelayanan antar lintas negara (Trisapto Wahyudi Agung Nugroho, 2017) dan serta pengawasan terhadap orang asing (Muhlisa & Roisah, 2020). Dalam hal pengawasan, terlepas dari orang asing yang ingin berkunjung hal ini juga terkait meningkatnya jumlah pengungsi (Supriadi, 2017) yang datang ke Indonesia untuk alasan mencari suaka (Ariawan, 2006).

Berdasarkan data UNHCR terdapat kenaikan jumlah pengungsi di Indonesia tercatat hingga Juli 2015 terdapat 13.188 orang, kenaikan yang terjadi secara tiba-tiba serta signifikan dikarenakan Indonesia terlalu menjunjung nilai kemanusiaan. Pada tahun 2015 UNHCR melaporkan bahwa terdapat hampir 33.600 pengungsi yang berada di kawasan Asia Tenggara dan total 13.188 orang yang sudah masuk wilayah Indonesia. Sampai 2016 masalah pengungsi belum terselesaikan dengan baik oleh pemerintah Indonesia (Tan, 2015). Bahkan di penghujung akhir Desember tahun 2019, jumlah pengungsi tercatat sebesar 13.657 orang. Juli 2020 kemarin, 10.278 pengungsi telah terdaftar pada UNHCR wilayah Jakarta. Dengan meningkatnya jumlah yang signifikan ini, membuat pemerintah Indonesia khususnya Imigrasi yang dalam pengimplementasiannya harus menyaring serta pelaksanaan regulasi yang lebih ketat bagi para pengungsi yang bertujuan menurunkan jumlah tersebut.

Kerangka dasar pemikiran ini diperlukan untuk menunjang penelitian serta konsep yang tepat dalam pemebentukan hipotesa. Hal ini berguna untuk menentukan tujuan serta arah yang jelas bagi penelitian. Dalam melakukan penelitian ini, sangat dibutuhkan adanya kerangka pemikiran sebagai pedoman bagi peneliti dalam menggambarkan maupun menjelaskanapa yang menjadi suatu objekbagi penelitian ini.

Hubungan internasional sendiri memiliki banyak cakupan diantarnya sebagai interaksi beberapa faktor yang ikut berpartisipasi dalam politik internasional (Daris, 2019), meliputi negara-negara, organisasi internasioal, organisasi non pemerintah, kesatuan sub-nasional seperti halnya birokrasi. Studi ini senantiasa berhadapan dengan manifestasi baru dalam dimensi politik internasional itu sendiri, yakni pola interaksi hubungan antarnegara. Dalam pola ini, terlihat kecenderungan negara-negara besar memonopoli negara-negara kecil dan pada gilirannya, memberikan kesan telah terjadi hubungan yang kompetitif.. Tentunya hal ini dapat berwujud tentang perang, konflik, maupun kerjasama dalam organisasi internasional. Maka wujud dari hal ini, Indonesia turut bekerja sama dengan organisasi internasioanl salah satunya yaitu UNHCR, dalam menangani berbagai masalah terkait perlindungan hak serta pemberian kesempatan bagi pengungsi untuk hidup dengan damai. Tujuan penelitian yaitu tujuan dalam karya tulis ini untuk mengulas masalah yang terjadi dalam hubungan internasional anatar keimigrasian Indonesia terhadap permasalahan pengungsi bersama UNHCR.

 

METODE PENELITIAN

 

Penelitian ini memanfaatkan pendekatan sosio-legal yang menggabungkan pendekatan hukum dan pendekatan ilmiah sosial. Pendekatan ini digunakan untuk masalah pada norma atau doktrin hukum, tetapi juga melihat konteks lengkapnya norma dan penegakannya (penerapan) dengan melakukan pendekatan kombinatif Hal ini diharapkan dapat memperkuat upaya mencari kebenaran dengan lebih kreatif dan membebaskan.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

UNHCR selaku bagian Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam menaungi masalah pengungsi. United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) merupakan sebuah badan yang ditunjuk oleh PBB yang ditujukan untuk memberikan perlindungan dan bantuan kepada pengungsi berdasarkan permintaan dari pemerintah ataupun PBB, setelahnya juga ikut mendampingi pengungsi dalam pemindahan ketempat menetap yang lebih baik dari sebelumnya. UNHCR pertama kali didirikan di Jenewa, Swiss pada 14 Desember 1950. UNCHR sendiri bergerak di bidang kemanusiaan, bahkan telah menerima penghargaan Nobel perdamaian pada 1954 dan 1981. Hal ini pantas diberikan karena badan ini senantiasa memberikan hasil kinerja yang memuaskan serta kecakapan dalam memberikan perlindungan bagi pengungsi. UNHCR sendiri sudah beroperasi di Indonesia sejak tahun 1979, saat pemerintah Indonesia meminta bantuan terhadap UNCHR dalam rangka pembangunan kamp pengungsian di Pulau Galang, yang digunakan untuk menampung hampir lebih dari 170.000 pengungsi yang melarikan diri dari konflik Asia Tenggara. Upaya UNHCR untuk menemukan solusi permanen atas masalah yang dihadapi, berawal dari kebutuhan akan berbagai hak (asasi) utama setiap pengungsi sebagai makluk Tuhan (Moniz, 2013) dilakukan dengan: pertama, mendorong pemerintahan negara-negara di dunia untuk memberlakukan konvensi dan upaya regional dan internasional yang berkaitan dengan pengungsi dan orang-orang yang terusir serta menjamin bahwa standar yang diberlakukan dilaksanakan secara efektif.

Pengungsi menurut Konvensi 1951 adalah warga negara berada di luar kewarganegaraan mereka atau di mana dia tinggal setiap hari (Yunitasari, 2019), yang memiliki ketakutan beralasan akan mendapatkan penganiayaan karena, ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dalam kelompok sosial maupun pendapat politik tertentu di luar kebangsaan mereka tidak bisa, atau karena rasa takut tidak mau bertanya perlindungan dari negaranya. Sedangkan pencari suaka yakni seseorang yang telah melalui proses pengajuan aplikasi sebagai pengungsi, dan menunggu keputusan apakah disetujui atau tidak (Azmiyati, 2018).

Seseorang pencari suaka yang memang dinyatakan statusnya selaku pengungsi hendak menerima kewajiban-kewajiban yang diresmikan (Kadarudin, 2018) dan wajib dipatuhi oleh pengungsi, hak- hak serta perlindungan atas hak-haknya itu yang diakui oleh hukum internasional serta nasional (Simatupang & Edorita, 2015). Seseorang pengungsi adalah juga sebagai seseorang pencari suaka. Saat sebelum seorang diakui statusnya sebagi pengungsi, pertama-tama ia merupakan seseorang pencari suaka. Lalu selanjutnya penetapan status sebagai pengungsi, dalam proses apakah warga negara asing tersebut dapat tetap menetap di negara tersebut dengan status pengungsi atau dikembalikan pada negaranya karna ditolak permohonannya. Pencari suaka baru diakui setelah statusnya diakui oleh organisasi yang berwenang baik internasional serta nasional.

Perserikatan Bangsa-Bangsa telah membentuk badan UNHCR untuk memenuhi hak-hak pengungsi sebagaimana diatur dalam Deklarasi Universal HAM(Hak Asasi Manusia). Poin kedua dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup. Kebebasan dan keamanan pribadi tanpa syarat-syarat ini. Mereka bisa berada di negara mereka sendiri, dan pemerintah tidak mampu membiayai mereka. Bagi para pengungsi ini, fungsi utama UNHCR adalah memberikan perlindungan internasional, memberikan solusi jangka panjang untuk masalah pengungsi dan mempromosikan hukum pengungsi internasional.

UNHCR memiliki ketentuan tersendiri untuk memberikan bantuan terkait dengan mewujudkan hak asasi bagi setiap manusia dalam bentuk perlindungan internasional. di Konsep umum ini termasuk mencegah repatriasi, pendampingan kemajuan dalam menangani pencari suaka, bantuan dan nasihat hukum memberikan keamanan pribadi, promosi dan bantuan untuk pengungsi pemulangan sukarela dan bantuan untuk pengungsi penempatan.

Pada dasarnya para pengungsi itu sendiri adalah warganegara yang meninggalkan negaranya sendiri untuk alasan perlindungan dirinya, yang dimana negaranya sendiri dapat mengancam haknya untuk hidup. Dengan melihat kebijakan dalam instrumen internasional ini adalah pengungsi sertapencari suaka mencari bantuan dan perlindungan kelompok internasional, terutama pengungsi dan negara tuan rumah dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (Negara-negara yang berpartisipasi dalam konvensi). Permasalahan Pengungsi (Orang Asing) di Indonesia. Seperti yang kita ketahui sudah berabad abad dunia diselimuti oleh yang disebut �peperangan� dan berbagai konflik yang terjadi antara berbagai negara. Peperangan dan kejahatan di belahan dunia tak kunjung henti hingga sekarang. Hal ini mengakibatkankeresahan serta ketakutan terhadap masyarakat pada negara yang mengalami permasalahan tersebut. Rasa takut itu pun mengakitbakan mereka terpaksa mencari perlindungan (suaka) serta mengungsi ke negara-negara tertentu, agar bisa bertahan hidup sampai negara mereka yang sedang konflik selesai dan aman. Keadaan tersebut yangmembuat mereka layak disebut sebagai pengungsi maupun pencari suaka, danberada pada naungan UNHCR.

Para pencari suaka dan pengungsi tersebut mencari perlindungan pada negara-negara yang sudah mengkonfirmasi konvensi pengungsi pada 1951 dan protokol1967 atau yang biasa sering disebut sebagai negara ketiga, tetapi hal tersebut ini tidaklah sangat mudah. Para pencari suaka serta pengungsi sebelum di tempatkan oleh UNHCR di negara ketiga, biasanya para pengungsi dan pencari suaka harus terlebih dahulu singgah di negara transit, salah satunya yaitu di Indonesia. Pengungsi adalah seseorang yang posisinya sudah diakui, maka akandiakui statusnya oleh UNHCR, sementara pencari suaka yaitu belum diakui statusnya oleh UNHCR. Kewenanganmemberikan pengakuan status dalamkriteria khusus yaitu UNHCR.

Text Box: 275Indonesia sejak tahun 1970an sudah menjadi incaran pencari suaka dan pengungsi di seluruh dunia karena letaknya yang strategis membuat Indonesia berada diposisi yang prima untuk alur migrasi. Ada beberapa kesulitan yang dialami oleh pengungsi serta pencari suaka yaitu bahwa mereka harus menunggu waktu yang lumayan lama untuk mereka bisa sampai di negara ketiga bahkan dipulangkan ke negaranya. Jadi selama pengungsi maupun pencari suaka tersebut sedang transit maka negara transit terebut yang harus melindungi mereka. Hal ini sebagaimana yang sudah diamanatkan oleh konvensi 1951 dan prtokol 1967, bahwa setiap negara wajib melindungi pengungsi serta pencari suaka, baik negara tujuan maupun negara transit. Jumlah permasalahan di Indonesia ini tiap tahunnya terus bertambah. Menurut UNHCR, sudah terhitung jumlah kedatangan pencari suaka ke Indonesia meningkat di tahun 2000 sampai dengan 2002. Jumlah kedatangan kemudian menurun saat tahun 2003 sampai dengan 2008,pada tahun 2009 kedatangan kembali meningkat. Sejak 2015 hingga 2019, jumlah pengungsi di Indonesia berasal dari 45 negara wilayah sebanyak 13.657. Pada akhir Juli 2020 kemarin tercatat sudah 10,278 pengungsi terdaftar di UNHCR Jakarta secara kumulatif. Jumlah tersebut tidak sebanding dengan jumlah pengungsi serta pencari suaka yang sudah ditempatkan di negara ketiga ditiap tahunnya. Sedangkan jumlah terbanyak para pengungsi dan pencari suaka yang sudah di tempatkan di negara ketiga hanya sebesar 898 orang dalamsatu tahun, yaitu pada tahun 2013.

Permasalahan makin rumit yang dimana negara-negara yang menyatakan siap dan sudah berkomitmen untuk menampung mereka. Hal tersebut sebagaimana yang dinyatakan oleh kepala Misi Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-bangsa (UNHCR) untuk Indonesia, yang artinya �peluang untuk pengungsi dan pencari suaka ke negara ketiga makin kecil.� Pemerintah Indonesia kesulitan dalam menangani permasalahan ini, hal ini dikarenakan rumah detensi di Indonesia masih sangat minim dan tidak cukup untuk menampung seluruh pengungsi. Pengungsi dan pencari suaka tidak hanya membutuhkan tempat penampungan namun tentu membutuhkan penanganan serius yaitu: Pendataan, Pengawasan, dan Pengamanan. Jumlah Rudenim yang ada di Indonesia ada 13 unit yang hanya dapat menampung sekitar 1.946 orang selebihnya sekitar 2000 orang di tampung comunity house, dan sisanya tinggal secara mandiri dan tetap diawasi oleh Direktur Jendral Imigrasi. Indonesia sebagai sebuah negara yang memegang teguh prinsip kemanusiaan akan lebih maksimal dalam penanganan hukum mulai dari penanganan, pendataan, pengawasan, penempatan. Indonesia pun memerangi tindakan kejahatan perdagangan manusia terhadappengungsi dan pencari suaka yang ada di Indonesia. Indonesia juga terus memperkuat koordinasi kepada UNHCR guna menyelesaikan permasalahan pengungsi, perlu sinergitas yang kuat untuk seluruh negara yang sudah berkomitmen dalam penanganan permasalahan ini.

Text Box: 276Menurut data dari Direktorat Jenderal Imigrasi (Ditjenim) Kementerian Hukum dan HAM sejak Maret 2019 Kebijakan Penanganan Pencari Suaka dan Pengungsi di Indonesia terdapat Sekitar 14.027 orang yakni 10.729 pengungsi, 3.298 pencari suaka di Indonesia yang datang dari 17 negara/wilayah dan secara kumulatif pada akhir Juli 2020 kemarin, 10.278 pengungsi terdaftar di UNHCR wilayah Jakarta. Pada 2019 terdapat 9.563 laki-laki dan 4.464 wanita. Di antaranya 5.552 dari mereka adalah pengungsi Mandiri, sedangkan 8.475 lainnya menjadi pengungsi atau pencari suaka tinggal di tempat penampungan sementara. Arus masuk dan keluarnya warga negara di wilayah Indonesia dan pengawasan sangat erat kaitannya dengan fungsi keimigrasian. Menurut Undang-Undang Tentang Keimigrasian No.6 Tahun 2011, Setiap orang asing yang akan masuk Wilayah Indonesia harus memiliki visa. Mereka akan diperiksa oleh petugas imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) baik masuk atau keluar wilayah Indonesia oleh Pejabat imigrasi untuk dapat memperoleh ijin tinggal di Indonesia. Warga Negara Asing (WNA) yang mendapat izin tinggal di daerah tersebut Indonesia, keberadaannya harus sesuai untuk maksud dan tujuan, dapat memberikan manfaat tidak merugikan keamanan serta mentaati peraturan yang berlaku(selective policy). Jika ditemukan warga negara asing yang tidak terpenuhi persyatannya maka WNA tersebut dapat ditolak untuk masuk wilayah Indonesia. Apabila ditemukan WNA saat pemeriksaan di TPI untuk meminta perlindungan (asylum), maka berdasarkan pasal 14 ayat 1 dan ayat 2 pada Universal Declaration of Human Rights 1948 dalam artian meminta perlindungan bukan kejahatan politik dan termasuk kategori kejahatan yang tertera dalam kebijakan yang disetujui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) maka WNA tersebut dapat diberikan perlindungan internasional. Perihal seperti ini banyak di temukan pada TPI, karena hal tersebut termasuk hal yang lazim dan terdapat hukum yang memperbolehkannya sehingga menjadi hukum kebiasaan dalam praktik internasional.

Beroperasinya UNHCR di Indonesia yakni atas perizinan dari Pemerintah Republik Indonesia. Direktur Jenderal Imigrasi mengeluarkan kebijakan pada tahun 2010 (No: IMI-1489.UM.08.05) yang menyampaikan bahwa bagi warga negara yang mengaku bahwa dia adalah pencari suaka atau pengungsi diharuskan mengikuti ketentuan yang di keluarkan oleh UNHCR untuk melakukan proses penentuan status selaku pengungsi. Status dan keberadaan warga negara asing bagi yang mempunyai Attestation Letters atau kartu identitas yang diresmikan oleh UNHCR sebagai Pencari Suaka dan Pengungsi atau orang-orang yang dibantu oleh UNHCR, patut dihormati�. Orang-orang yang tidak memiliki dokumen akan diancam untuk ditempakan pada Rumah Detensi Imigrasi dan selanjutnya akan dilakukan pendeportasian.

NHCR telah beroperasi di Indonesia atas perizinan oleh Pemerintah Indonesia, sumber daya yang sangat terbatas, belum dapat memadai karena dengan seiring berjalannya waktu menimbulkan peningkatan total pencari suaka yang mencari perlindungan di Indonesia. Pencari suaka yang terdaftar dapat melakukan pengajuan permohonan Pengakuan status identifikasi sebagai Pengungsi oleh UNHCR dengan proses penentuan program Status pengungsi penentuan (Refugee Status Determination/RSD). Dalam proses permohonan status para pencari suaka mendapat batuan penerjemah agar memudahkan para pengungsi untuk kelancaran permohonan mereka. Apabila permohonannya ditolak maka mereka diberikan satu kesempatan lagi untuk mengajukan banding atas keputusan tersebut. Secara umum, bantuan dan saran hukum tidak disediakan, sehingga memunculkan prespektif negatif bahwasannya pencari suaka tidak memahami prosesnya dan apa yang mereka harus patuhi, dan masalah ini ditimbulkan karena kendala bahasa, takut untuk diajak bicara, dan dikarenakan mereka tidak tahu hak dan kewajiban mereka sebagai pengungsi. UNHCR dan pemerintah belum sepenuhnya mengakui nasihat hukum bagi pencari suaka dan pengungsi Indonesia. Hal ini dapat menimbulkan kerawanan kredibilitas

Proses RSD karena pencari suaka tidak mengetahui sepenuhnya hak dan tugas mereka, begitu juga mekanisme yang melibatkan mereka. Apabila ditemukan WNA yang nyatakan diri sebagai pencari suaka atau pengungsi saat memasuki daerah Indonesia, dalam pasal 2 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IMI0352.GR.02.07 maka hal yang dilakukan yang pertama dengan pengamanan dan melakukan pengumpulan data, menginformasikan kepada perwakilan negara dari WNA tersebut, hubungi IOM untuk fasilitas hunian sementara, dan hubungi UNHCR untuk menginformasikan keputusan status dari WNA tersebut. Penanganan oleh Petugas Imigrasi di TPI adalah upaya kemanusiaan dalam memberikan perlindungan (suaka), karena mereka adalah kelompok yang rentan melawan perlakuan tidak manusiawi, pada negara mereka berasal maupun di negaranya mereka melarikan diri. Upaya ini berdasarkan kampanye Amnesty Internasional untuk hak asasi manusia pengungsi sejak bulan Maret 1997, yakni negara tempat pengungsi diizinkan untuk menempatkan pencari suaka dan pengunsi ke tempat yang aman, diberi perlindungan dan hak asasi mereka dihormati.

Text Box: 277Dalam surat Edaran Perdana Menteri No:11/RI/1959 tentang Perlindungan Pelarian Politik pada pasal 1 yang berisikan bahwa �Kepada pelarian politik, yang masuk dan yang ada di wilayah Indonesia akan diberi perlindungan berdasarkan hak dan kebebasan asasi manusia, sesuai dengan hukum kebiasaan internasional.� Dalam edaran tersebut menyatakan bahwasannya apabila pencari suaka masuk ke teritori Indonesia atau bertempatan di teritori Indonesia melakukan tindakan pidana dikarenakan suatu alasan atau tujuan politik, termasuk percobaan yang patut dilakukan dan membantu melawan kejahatan politik maka akan memberi perlindungan.

Tinjauan Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM menurut pasal 24 berisikan yakni, �Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain.� Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri, dalam pasal 27 UU 37 Tahun 1999 itu disebutkan yang ditetapkan oleh presiden kebijakan tentang masalah pengungsi dari luar negeri dengan memperhatikan pertimbangan menteri dan garis besar yang diutamakan dari kebijakan tersebut diatur dalam Keputusan Presiden. Selanjutnya, Penjelasan pasal 27 ayat (1) mengungkapkan bahwa pada dasarnya masalah yang dihadapi pengungsi adalah masalah kemanusiaan, dengan penyelesaian yang tidak menimbulkan dampak buruk untuk kerjasama atau menghindari tergangganggunya hubungan kerjasama yang sudah beroperasi dengan baik seperti Indonesia dengan negara asal pengungsi tersebut.

Dalam penjelasan tersebut juga dikatakan bahwa Indonesia bekerja sama dengan badan yang berkewenang dalam upaya untuk peemecahan masalah pengungsi. Menurut Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM, yang pada tahun 1999 telah dikeluarkan oleh pemerintah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pengakuan terhadap hak untuk pencari suaka telah ada dalam pasal 28 ayat (1) yang menyatakan bahwa �Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain, kecuali bagi mereka yang melakukan kejahatan nonpolitik atau perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip PBB.� Maksud dari pasal ini bahwa dalam menentukan suatu tindakan termasuk kejahatan politik atau non politik adalah negara penerima suaka.Dapat diketahui harapan dari Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yaitu untuk melindungi hak asasi manusia individu atau komunitas dan menjadi penegakan lahirnya dasar hukum dan juga kepastian untuk memberikan rasa aman dan keadilan dari tindakan pelanggaran HAM berat. Selanjutnya, bagaimana dengan para pencari suaka. Para pencari suaka adalah bukti nyata dari kepekaan terhadap pelanggaran hak asasi manusia manusia. Warga negara yang dirampas rumahnya, komunitas, dan mata pencaharian mereka, memaksa mereka untuk melarikan diri ke perbatasan negaranya dan cari perlindungan atau keamanan di luar negara, tetapi dengan konsekuensi hak atas kelangsungan hidup para pencari suaka seperti akses ke pendidikan dan pekerjaan tidak bisa dinikmati oleh mereka.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 125 tahun 2016 tentang PenangananPengungsi dari Luar Negeri dinilai masih belum dapat menyelesaikan persalahan pemenuhan hak asasi pencari suaka dan pengungsi pada Indonesia. Hak pencari suaka seperti memperoleh pengajaran bagi anak-anak dan pekerjaan yang layak, belum diatur dan seharusnya pemerintah membuat kebijakan yang mengatur hal tersebut secara khusus. Para pencari suaka dan pengungsi harus menjalani kehidupannya dalam ketidakpastian tentang masa depannya, tanpa pekerjaan dan rutinitas yang jelas, hal ini dapat menimbukan pengaruh minus bagi psikologi mereka. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 125 tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri banyak diapresiasi karna sebagai bentuk kepekaan atas kemanusiaan Indonesia terhadap pengungsi, namun dengan seiringnnya waktu dan berkembangnya zaman kebijakan tersebut dirasa belum mampu mengatasi atas pemenuhan hak asasi manusia yang sepenuhnya.

Text Box: 278Jika melihat sisi subjek yang diatur dan menjadi fokus pada UU Keimigrasian dan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri keduanya memiliki kesamaan. Keduanya menggunakan istilah people� �orang asing, baik orang asing itu sendiri dan �pengungsi sebagai orang asing yang memiliki arti sebagai "seseorang bukan termaksud warga negara Indonesia (WNI) �. Perbedaannya ada pada cara penanganan. Dalam ketentuan UU Keimigrasian kewenangan rudenim adalah melakukan fungsi imigrasi dengan memberikan tempat tinggal sementara bagi Warga Negara Asing yang mendapatkan Tindak Administrasi Keimigrasian, yang meliputi: penahanan, isolasi, deportasi, repatriasi, transfer, dan fasilitasi bagi warga negara asing yang akan diberangkatkan ke negara ketiga yang tidak mematuhiketentuan undang-undang. Sementara dalam ketentuan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri Rudenim melakukan pengawasan imigrasi kepada pengungsi dan pencari suaka yang meliputi: pada saat dijumpai, pada penampungan dan baik di luar tempat penampungan (di lingkungan masyarakat), ditempatkan di negara ketiga, repatriasi sukarela, dan deportasi. Karena itu, dapat disebutkan bahwa Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri adalah peraturan khusus (lex specialis) dari Undang-Undang Keimigrasian yang mengurus khusus penanganan pengungsi dari luar negeri dalam hal ini posisinya sama sebagai orang asing. Dalam kondisi seperti ini UU Imigrasi tidak mengatur pengurusan pengungsi dari negara lain.

Dalam kondisi sebelum adanya Aturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri, pelaksanaan Rudenim selain sebagai tempat penampungan bagi orang asing yang terkena itu tindakan administratif imigrasi (TAK) juga sekaligus sebagai penampungan orang asing yang menjadi pengungsi dan pencari suaka, meskipun mereka sebagian berada di lokasi penampungan lain yang ada dikelola oleh IOM. Kebijakan Rudenim sebagai tempat penampungan bagi para pengungsi dan pencari suaka akan menjadi beban tugas tambahan untuk Rudenim, yang menimbulkan permasalahan baru bagi organisasinya ataupun tatalaksananya.

Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri ini diterbitkan hanya berisi aturan yang terkait dengan otoritas pemerintah Indonesia dalam urusan penempatan, dan pemprosesan dokumen dari negara transit ke negara tujuan, dan daftar hak dan keharusan para pengungsi saat mereka berada wilayah Indonesia. Sehingga Perpres ini lahir memiliki kelemahan dalam hal penanganan pengungsi di Indonesia, khususnya terkait aturan jika ada pengungsi yang tetap berada di Indonesia dan melakukan bertindak melawan hukum nasional. Lebih jelasnya jika dicermati dalam Perpres tidak ada tiga komponen khusus mengatur terkait pengungsi di Indonesia yaitu pertama, Perpres tidak dijabarkan terkait dengan jumlah pengungsi yang diterima Indonesia, jadi terbukti perkara ini terbentuk dari kapasitas berlebih karena tempatnya asalkan tidak dapat menampung banyaknya pengungsi yang masuk pada wilayah Indonesia. Kedua adalah ketidakhadiran penjabaran aturan mengenai batas waktu untuk para pengungsi bertempatan di wilayah Indonesia, ini adalah ketidakseimbangan jika para pengungsi tidak diterima atau ditolak oleh negara yang mereka tujuan. Adapun kata lain, pengungsi yang ditolak oleh negara tujuan akan menetetap pada kawasan Indonesia sampai ada negara kubu menerima kehadirannya. Ketiga adalah tidak adanya status hukum jelas juga sering membatasi kemampuan mereka agar memperoleh layanan sosial seperti fasilitas pendidikan.

 

KESIMPULAN

Text Box: 279Berdasarkan penjelasan pada sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa dengan seiring berjalannya waktu dan zaman peningkatan jumlah para pencari suaka dan pengungsi menjelma semakin melonjak yang dimana berdasarkan konvensi 1951 Indonesia merupakan bukan negara penerima suaka melainkan hanya menjadi negara transit pada negara ketiga. Hal ini mengharuskan pemerintah membuat kebijakan yang mengatur tentang para pencari suaka dan pengungsi namun tidak sepenuhnya mengatur tentang prinsip hak asasi manusia yang ada perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia itu seperti Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya, serta konvensi internasional lainnya untuk bertemu dan menanggung hak pencari suaka dan/atau pengungsi di Indonesia. Sementara itu Rumah detensi juga tidak di desain untuk menampung ribuan orang. Tidak ada ketentuan yang jelas tentang sikap Indonesia pada era ini, ketika pengungsi tidak mampu ditampung di negara ketiga atau negara tujuan pencari suaka karena negara destinasi menolak atau kuota yang tersedia lebih sedikit dari pelamar, dan tidak dapat dikembalikan ke negara asalnya. Sedangkan Republik Indonesia harus mengakui kewenangan setiap orang untuk memperoleh suaka. Dalam kondisi ini yang terjadi kekosongan hukum dalam penanganannya pengungsi yang akan berdampak masalah sosial dan ketahanan negara.

 

BIBLIOGRAPHY

 

Ariawan. (2006). Perlindungan pencari suaka politik asal Papua oleh Australia pada tahun 2006 berdasarkan hukum internasional/oleh Ariawan. Universitas Tarumanagara.

Arizandy, Ferry Ridho. (2015). Pengaruh Place Attachment dan Novelty Seeking terhadap Kepuasan Wisatawan yang Berkunjung ke Kota Bandung. Universitas Widyatama.

Arjana, I. Gusti Bagus. (2021). Geografi pariwisata dan ekonomi kreatif. PT. RajaGrafindo Persada.

Azmiyati, Arsy Ulul. (2018). Ketidakpatuhan Israel Terhadap Pasal 31 1951 Convention On The Status Of Refugees (Konvensi Status Pengungsi 1951) Dalam Kasus Penahanan Pencari Suaka Afrika Pada Tahun 2012-2013. Universitas Brawijaya.

Daris, Muhammad. (2019). Kerjasama Indonesia-China Dalam Pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung 2014-2018. Universitas Komputer Indonesia.

Fatimah, Siti. (2019). Pengantar Transportasi. Myria Publisher.

Hutajulu, Shinta M., & Supriyanto, Supriyanto. (2013). Tinjauan Pelaksanaan Pelatihan Dan Pengembangan Karyawan Pada Pt. Inalum Kabupaten Batubara. Jurnal Bis-A: Jurnal Bisnis Administrasi, 2(2), 30�39.

Kadarudin. (2018). Kewajiban Negara Terhadap Pengungsi Internasional Sebagai Wujud Pelaksanaan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Makassar: Universitas Hasanuddin.

Komalasari, Mehilda Dea. (2020). Klasifikasi Hewan Berdasarkan Jenis Makanan. Universitas PGRI Yogyakarta.

Muhlisa, Aisyah Nurannisa, & Roisah, Kholis. (2020). Penegakan Hukum Keimigrasian Terhadap Penyalahgunaan Visa Izin Tinggal Kunjungan Lewat Batas Waktu (Overstay) Pada Warga Negara Asing. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 2(2), 145�157.

Nugroho, Trisapto Agung. (2018). Peran Intelijen Keimigrasian Dalam Rangka Antisipasi Terhadap Potensi Kerawanan Yang Ditimbulkan Oleh Orang Asing Di Wilayah Indonesia. Public Policy Scientific Journal, 12(3), 275�293.

Nugroho, Trisapto Wahyudi Agung. (2017). Optimalisasi Peran Timpora Pasca Berlakunya Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2016 Tentang Bebas Visa Kunjungan. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, 11(3), 263�285.

Samantho, Ahmad Yanuana. (2011). Peradaban Atlantis Nusantara: berbagai penemuan spektakuler yang makin meyakinkan keberadaannya. Phoenix.

Text Box: 280Sanusi, Albert. (2016). Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Penyalahgunaan Izin Tinggal Keimigrasian (Studi Kantor Imigrasi Kelas I Bandar Lampung). Fiat Justisia: Jurnal Ilmu Hukum, 10(2).

Simatupang, Princen, & Edorita, Widia. (2015). Peran United Nations High Commissioner For Refugee (UNHCR) dalam Perlindungan Warga Negara Asing (Pengungsi) di Indonesia (Kajian Warga Negara Asing di Rumah Detensi Imigrasi Kota Pekanbaru). Riau University.

Supriadi, Ade. (2017). Urgensi Kebijakan Nasional Dalam Menanggulangi Imigran Ilegal Melalui Domain Maritim Tahun 2011-2016. Keamanan Maritim, 3(2).

Widyanto, Guntur, & Ardyaningtyas, Riri. (2020). Selective Policy in Immigration to Facing Global Pandemic COVID-19. Jurnal Ilmiah Kajian Keimigrasian, 3(2), 51�60.

Yunitasari, Desi. (2019). Analisis Kemampuan Indonesia dalam Membuat Perjanjian Internasional Menurut Hukum Internasional (Studi Kasus Tidak Diratifikasinya Konvensi 1951 dan Protokol 1967). Jurnal Media Komunikasi Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan, 1(2), 30�45.

 

Text Box: 281