494
Sry sulastri br Ginting, Bengkel Ginting, Henry Sitorus, Badaruddin, Lina
Sudarwati
DINAMIKA PERUBAHAN SOSIAL DAN POLA ADAPTASI MASYARAKAT
SUKAMAKMUR PASCA PERALIHAN LAHAN PERTANIAN MENJADI
PENUNJANG KEPARIWISATAAN
Sry sulastri br Ginting, Bengkel Ginting, Henry Sitorus, Badaruddin, Lina Sudarwati
Universitas Sumatera Utara, Indonesia
Email : sryginting123@gmail.com, bengkel@usu.ac.id, sitorhen66@gmail.com,
badaruddin@usu.ac.id, linasudarwati7@gmail.com
Abstrak
Pembangunan infrastrukur dan berbagai sarana pendukung kepariwisataan telah membuat beralihnya
peruntukan lahan pertanian yang ada di Desa Sukamakmur. Padahal mayoritas penduduk desa ini
sebelumnya merupakan petani, baik sebagai pemilik lahan, penggarap, maupun pemilik sekaligus
penggarap. Pada saat ini, dari 525 ha keseluruhan luas desa Sukamakmur, hanya tersisa 10 ha yang
menjadi lahan pertanian. Oleh karena itu menarik untuk melihat dinamika perubahan sosial para petani
sekaligus bagaimana pola adaptasi yang mereka lakukan pasca peralihan tersebut. Tujuan penelitian ini
melihat peningkatan jumlah pendatang dan kepadatan jumlah penduduk Desa Sukamakmur yang
komposisinya saat ini terdiri dari beragam etnis, maka perubahan selanjutnya yang bisa ditemukan adalah
tentang heterogenitas atau kemajemukan sosial. Melalui metode observasi langsung dan wawancara
mendalam kepada para informan, maka terlihat telah terjadi perubahan sosial pada masyarakat
Sukamakmur. Perubahan sosial tersebut khususnya tentang prespektif mereka menyoal tanah leluhur yang
kemudian mempengaruhi norma-norma sosial serta interaksi antar penduduk. Kemudian terlihat pula pola
adaptasi yang mereka lakukan ketika wajah desa mereka sudah beralih, dari desa pertanian menjadi desa
pariwisata. Dampak positif dari perkembangan yang pesat di Sukamakmur berjalan beriringan dengan
dampak negatif yang ada serta kemudian menimbulkan beberapa gejolak sosial dalam masyarakat.
Selanjutnya, pendidikan dan pembinaan menyangkut keterampilan menjadi hal yang selanjutnya
dibutuhkan sehingga laju penjualan lahan berikut menghilangnya pertanian, dapat dibendung. Sekaligus
mampu mendidik masyarakat untuk mengkonversi hasil penjualan lahan ke dalam bidang yang lebih
produktif
Kata kunci: Perubahan Sosial; Pola Adaptasi; Masyarakat Pedesaan; Permberdayaan Sosial
Abstract
The development of infrastructure and various tourism supporting facilities has made the allocation of
agricultural land in Sukamakmur Village shift. Even though the majority of the residents of this village
were previously farmers, both as land owners, cultivators, and owners as well as cultivators. At present,
of the total 525 ha of Sukamakmur village, only 10 ha remains as agricultural land. Therefore, it is
interesting to see the dynamics of social change among farmers as well as how they adapt patterns after
the transition. The purpose of this study is to see the increase in the number of immigrants and the density
of the population of Sukamakmur Village whose composition currently consists of diverse ethnicities, so
the next change that can be found is about heterogeneity or social plurality. Through direct observation
methods and in-depth interviews with informants, it can be seen that there has been a social change in the
Sukamakmur community. These social changes, especially about their perspective on ancestral lands,
then affect social norms and interactions between residents. Then it can also be seen the pattern of
adaptation they did when the face of their village has switched, from an agricultural village to a tourism
village. The positive impact of rapid development in Sukamakmur goes hand in hand with the existing
negative impacts and then causes some social turmoil in the community. Furthermore, education and
coaching regarding skills are needed so that the pace of land sales and the disappearance of agriculture,
can be contained. As well as being able to educate the community to convert the proceeds of land sales
into more productive fields.
Keywords: Social Change, Adaptation Pattern, Rural Community, Empwerment
PENDAHULUAN
Perubahan adalah sebuah keniscayaan, namun tidak semua perubahan itu dapat
Jurnal Sosial dan Teknologi (SOSTECH)
Volume 3, Number 6, Juni 2023
p-ISSN 2774-5147 ; e-ISSN 2774-5155
495
Sry sulastri br Ginting, Bengkel Ginting, Henry Sitorus, Badaruddin, Lina
Sudarwati
Dinamika Perubahan Sosial Dan Pola Adaptasi Masyarakat
Sukamakmur Pasca Peralihan Lahan Pertanian Menjadi
Penunjang Kepariwisataan
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
dikategorikan sebagai perubahan sosial. Perubahan sosial memiliki dimensi sosial pembentuk
masyarakat, seperti perubahan pada unsur lain yang dapat menciptakan disorganisasi, serta
terjadi pada aspek materil dan immateril (Utomo & Sutopo, 2020). Tidak ada masyarakat yang
berhenti untuk berubah. Inilah yang menyebabkan berbagai studi atau kajian mengenai masalah
perubahan sosial selalu berkembang dan diperbaharui (Kusumadinata, 2015). Oleh karena itu,
hampir semua kajian dalam studi Sosiologi selalu terkait dengan masalah perubahan sosial.
Kemudian perubahan sosial ini sudah pasti meliputi masalah proses, bentuk-bentuk perubahan
sosial dan yang paling penting adalah dampak perubahan sosial itu sendiri terhadap masyarakat
(Martono, 2012).
Demikian halnya yang terjadi di Desa Sukamakmur, yang dahulunya merupakan sebuah
desa pertanian yang terletak di Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deliserdang Sumatera Utara.
Saat ini Desa Sukamakmur telah dan sedang mengalami perubahan sebagai akibat tekanan
perkembangan pembangunan, urbanisasi serta infrastruktur pariwisata dan kegunaan lainnya.
Indikasi terjadinya perubahan dapat diamati dari kepadatan penduduk dan berbagai bangunan
infrastruktur pariwisata, perdagangan dan transportasiyang dapatlah dikatakan- saat ini
semakin ramai dan semakin padat. Ketersediaan fasilitas dan sarana publik perkotaan atau
daerah yang sedang berkembang, kini telah hadir, di antaranya properti, perumahan,
minimarket dan restoran cepat saji (fast food). Sedangkan infrastruktur pariswisata yang
tersedia diantaranya hotel, resort, amusement (sarana hiburan) dan rekreasi, villa dan layanan
telekomunikasi digital (Utama, 2017).
Letak Desa Sukamakmur yang strategis yang berada di perlintasan jalan Provinsi yang
menghubungkan Kota Medan dengan Kota Berastagi, saat ini telah berdiri dan beroperasi pusat
taman permainan yaitu Hill Park and Waterboom, Retreat Center GBKP, Pusat Rehabilitasi
Penyandang Narkoba GAN serta Hotel dan resort The Hill. Keramaian kendaraan bermotor
yang melintasi desa tersebut menuju Berastagi, Sidikalang dan Provinsi Aceh pada siang
maupun malam hari, terutama pada saat weekend dan hari libur, menjadikan Desa Sukamakmur
sebagai wilayah penyangga karena telah tersedia SPBU dan warung-warung makan dan minum
untuk persinggahan.
Tabel 1.
Gambaran Sarana Prasarana Wisata dan Fasilitas Kegunaan Lainnya berdasarkan
Luas Lahannya, yang berada di Desa Suka Makmur Kecamatan Sibolangit Tahun
2022.
Sumber: Data Desa Suka Makmur, 2022
Eksisnya berbagai infrastruktur wisata di Desa Sukamakmur yang telah terjadi dalam
kurun waktu 15 tahun terkahir, memiliki dampak yang berbeda bagi masyarakat lokal.
Sebagian masyarakat mampu survive di tengah perkembangan yang terjadi, dengan melakukan
penyesuaian mata pencaharian dengan membuka warung rumah makan yang saat ini telah
Nama Perusahaan
Profil
Luas
Lahan
Green Hill (Hill Park)
Villa & Pusat taman bermain
180
Hektar
Taman Jubelium Gereja Batak Karo
Protestan (GBKP)
Wisata rohani yang dilengkapi
dengan penginapan
50 Hektar
The Hill
Resort & Hotel
10 Hektar
Pusat Rehabilitasi Pengguna
Narkoba GAN
Rehabilitasi Pengguna Narkoba
3 Hektar
The Green Land
Villa
0,5
Hektar
496
Sry sulastri br Ginting, Bengkel Ginting, Henry Sitorus, Badaruddin, Lina
Sudarwati
Dinamika Perubahan Sosial Dan Pola Adaptasi Masyarakat
Sukamakmur Pasca Peralihan Lahan Pertanian Menjadi
Penunjang Kepariwisataan
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
menjamur. Namun sebagian lainnya mengalami goncangan dan terseok-seok, terutama mereka
yang memiliki modal sosial terbatas. Singkatnya, sebagian masyarakat lokal yang adaptif
mampu memanfaatkan perkembangan yang terjadi, dengan berbagai peralihan moda kegiatan
ekonomi dari sektor pertanian ke sektor perdagangan dan penyangga usaha pariwisata.
Sedangkan bagi masyarakat lokal lainnya tersisih karena gagal mengikuti trend perkembangan
wilayah desa, dimana yang tidak mampu bertahan akan melakukan migrasi ke luar desa.
Fakta sosial diatas dapatlah ditelaah mengikuti pemikiran perubahan sosial dalam ranah
teoritis historis, baik dari perspektif klasik, modern, postmodern atau juga postkolonial, yang
selalu memperlihatkan daya rusak terhadap mereka yang tidak sigap menghadapi perubahan
sosial itu sendiri (Riyanto, 2019). Pola adaptasi yang dilakukan oleh sebagian masyarakat lokal
dengan membuka unit usaha dan perubahan mata pencarian yang mendukung usaha wisata,
merupakan salah satu bentuk kreatifitas sosial. Namun bagi sebagian kelompok masyarakat
yang tidak sigap untuk beradaptasi maka mereka akan menjadi kelompok rentan, karena
ketidakmampuan mereka untuk menikmati akses inklusi sosial. Kelompok ini merupakan
kelompok dalam masyarakat yang mengalami eksklusi sosial, yaitu proses yang membuat
individu atau kelompok tertentu tidak dapat berpartisipasi dalam kehidupan sosial baik secara
menyeluruh maupun sebagian (Rawal, 2008).
Perubahan kegunaan lahan di desa ini, dari lahan pertanian menjadi sarana prasarana
wisata, perumahan, perdagangan dan fasilitas pendukung lainnya diawali dengan peralihan
kepemilikan tanah. Berdasarkan data Podes Inti Desa Suka Makmur tahun 2022, ternyata dari
525 ha luas tanah, sebanyak lebih dari 270 ha telah beralih kepemilikannya ke perusahaan-
perusahaan penunjang pariwisata tersebut. Setelah dikurangi dengan luas pemukiman yang
kian bertambah karena masuknya arus pendatang, maka sisa lahan pertanian tidak lebih dari 10
ha.
Desa Sukamakmur diserbu oleh para pendatang dengan mayoritas pendatang ini hadir
sebagai pekerja setelah masuknya perusahaan-perusahaan industri pariwisata tersebut.
Sebagian besar adalah karyawan yang berdiam secara menetap sehingga memerlukan lahan
sebagai tempat tinggal. Sebagian lagi ada yang berprofesi sebagai buruh harian yang ulang alik,
serta ada yang menetap sebagai pekerja upahan atas adanya usaha pengrajin keranjang bambu
sebagai pendukung usaha perdagangan sayur mayur dari Dataran Tinggi Tanah Karo, hal ini
didukung oleh ketersediaan bambu yang melimpah di sekitar desa Sukamakmur sebagai bahan
baku. Mayoritas pendatang yang bekerja di perusahaan indutri pariwisata beretnis Karo, Batak,
dan Jawa. Sedangkan pengrajin keranjang bambu -yang hampir keseluruhan berstastus buruh
harian atau borongan- beretnis Nias.
Berdasarkan fakta perubahan-perubahan diatas, peneliti menjadi tertarik untuk mengurai
secara mendalam dinamika perubahan sosial masyarakat dilihat dari dampak perubahan
infrastruktur Desa Sukamakmur serta pola adaptasi masyarakat lokal khususnya dari segi mata
pencaharian (Hatu, 2018). Temuan awal peneliti, terdapat fenomena menarik dimana
masyarakat Desa Sukamakmur yang berprofesi sebagai petani semakin hari mengalami
penyusutan jumlah.
Selain itu, tujuan penelitian ini melihat peningkatan jumlah pendatang dan kepadatan
jumlah penduduk Desa Sukamakmur yang komposisinya saat ini terdiri dari beragam etnis,
maka perubahan selanjutnya yang bisa ditemukan adalah tentang heterogenitas atau
kemajemukan sosial. Desa Sukamakmur yang kini dihuni dari beragam suku, dimana Suku
Karo tidak lagi menjadi satu-satunya suku yang mendiami desa ini, secara tidak langsung juga
menarik untuk melihat bagaimana keterbukaan masyarakat Desa Sukamakmur menerima
pendatang dan tidak memandang suku dan agama.
497
Sry sulastri br Ginting, Bengkel Ginting, Henry Sitorus, Badaruddin, Lina
Sudarwati
Dinamika Perubahan Sosial Dan Pola Adaptasi Masyarakat
Sukamakmur Pasca Peralihan Lahan Pertanian Menjadi
Penunjang Kepariwisataan
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan pendekatan kualitatif, yaitu dengan
observasi langsung ke lokasi yang menjadi subyek utama penelitian. Dalam usaha
mengembangkan teori berdasarkan data lapangan, metode observasi partisipasi juga dilakukan.
Studi lapangan ini terutama digunakan untuk mengidentifikasi situasi dan kondisi obyektif
dinamika masyarakat (Sari et al., 2022).
Disamping itu penelitian ini juga merupakan studi dokumentasi sehingga membimbing
penelitian ini pada pengumpulan data sekunder. Dengan kata lain, studi ini merupakan
perpaduan antara kerja lapangan (field work) dan kerja pustaka dengan penggalian data skunder
melalui pelacakan dari dokumen otentik. Kerja lapangan dimaksudkan untuk dapat
mengeksplorasi dan memperoleh data primer (first hand informations) dan kerja pustaka
dimaksudkan untuk mengkaji data sekunder (second hand informations). Penggunaan
perpaduan antara data primer dan sekunder diharapkan akan dapat menghasilkan akurasi
analisis dan kedalaman interpretasi atas masalah kerentanan dan pola adaptasi tersebut.
Penelitian kualitatis deskriptif observatif dipilih karena penelitian dengan metode ini dapat
menggambarkan fenomena yang terjadi secara nyata, realistik, aktual, nyata pada saat ini,
karena penelitian ini untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual
dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki
(Rukajat et al., 2021)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bagian ini berisi data dan latar belakang informan yang mewakili masyarakat
Sukamakmur untuk ‘hadir’ melalui hasil penelitian ini.
1. Informan Utama
a. Ranogi Bangun. Usia : 42 Tahun.
Ranogi adalah cucu dari Rasman Bangun yang merupakan penduduk asli
Sukamakmur dan memiliki tanah terluas, yang kini sudah beralih kepemilikan. Saat ini
Ranogi Bangun sudah menikah dan menjadi karyawan tetap di Komplek Taman
Jubelium 100 Tahun GBKP sebagai satpam. Selain itu Ranogi, yang merupakan lulusan
perguruan tinggi swasta di Kota Medan, juga beternak babi dan memiliki lahan pertanian
dengan luas kurang dari 1000 m².
b. Samuil Gurusinga. Usia 67 Tahun.
Samuil Gurusinga adalah bagian dari keluarga besar Gurusinga yang memiliki
lahan terluas, yang kini sudah beralih kepemilikan kepada Green Hill. Saat ini Samuil
Gurusinga bersama anaknya, yang tidak lagi memiliki lahan pertanian, memiliki usaha
jual beli tepas dan paski hutan.
2. Informan dari Pendatang Yang Sudah Menetap Di Sukamakmur
a. Nelson Tarigan. Usia 62 Tahun.
Nelson dengan beberapa saudara telah menetap di Sukamakmur lebih dari 40 tahun
lamanya. Kini mengisi masa pension dengan bertani di desa tetangga dan beternak
puluhan ekor ayam. Nelson Tarigan yang sudah menganggap Sukamakmur sebagai tanah
kelahirannya, juga seringkali terlibat dalam acara-acara adat. Beliau sudah dianggap
salah satu tokoh yang terpandang di Sukamakmur.
b. Ridho Tarigan. Usia 56 Tahun.
Bersama dengan abangnya Nelson Tarigan, Ridho merupakan penghuni panti
498
Sry sulastri br Ginting, Bengkel Ginting, Henry Sitorus, Badaruddin, Lina
Sudarwati
Dinamika Perubahan Sosial Dan Pola Adaptasi Masyarakat
Sukamakmur Pasca Peralihan Lahan Pertanian Menjadi
Penunjang Kepariwisataan
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
asuhan milik GBKP. Saat ini, sama seperti abangnya, Ridho bersama keluarga kecilnya
juga bermukim di Sukamakmur. Memiliki pekerjaan tetap di YAPIDI dan sedang giat
menjalankan program tanah untuk rakyat Sukamakmur.
c. Idoanta br Purba. Usia 44 Tahun.
Idoanta merupakan mantan karyawan di Komplek Taman Jubelium milik GBKP.
Namun karena melihat peluang di Sukamakmur, memtuskan tetap tinggal di desa ini
meski ia dan suaminya bukanlah penduduk asli Sukamakmur. Idoanta membuka warung
makan dan telah memiliki rumah hak miliknya di kawasan Dusun 3, yang menjadi
kawasan pemukiman khusus pendatang.
3. Informan dari Pendatang dan sebagai Karyawan di Perusahaan
a. Lesmawati br Perangin-angin. Usia 55 Tahun.
Berasal dari Desa Lau Baleng, Kabupaten Karo, Lesmawati merupakan karyawan
senior di Yayasan Ate Keleng (YAK). Bermukim di Sukamakmur sudah lebih dari 30
tahun. Lesmawati, yang hingga kini memilih untuk tidak menikah, telah memiliki rumah
pribadi dan bekerjasama dengan penduduk lokal beternak ayam dan bebek dengan sistem
bagi hasil.
b. Pdt. Yusuf Tarigan Sibero. Usia 41 Tahun.
Bekerja sebagai direktur di YAK dan sudah tinggal di Sukamakmur selama lebih
dari 10 tahun. Tentang Sukamakmur tidaklah begitu asing bagi beliau karena pendeta ini
telah menikah dengan penduduk desa tetangga lebih dari 15 tahun.
c. Pdt. Bumaman Teodeki Tarigan Sibero. Usia 48 Tahun.
Meskipun saat ini Pdt. Eki begitu ia biasa dipanggil- telah memasuki masa-masa
akhir jabatannya sebagai direktur Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Pijer Podi, dan dalam
tiga tahun terakhir memilih menetap di Kota Medan, namun tentang Desa Sukamakmur
tidaklah asing bagi beliau. Sebagai anak dari direktur sekaligus pendiri PARPEM GBKP,
yang kini beralih nama menjadi YAK GBKP, Pdt. Eki sejak masa kanak-kanak telah
terbiasa bermukim di desa ini.
4. Informan dari Pendatang Namun Tidak Memiliki Kaitan dengan Perusahaan
a. Jantoni Barus. Usia 58 Tahun.
Pemilik Panglong atau toko bangunan “BARUSTA”, sebagai toko bangunan paling
besar di kecamatan Sibolangit. Sebagai pendatang sekaligus pemilik usaha yang
berkembang pesat di Sukamakmur, Jantoni tetap merasa bahwa Sukamakmur bukanlah
kampung halamannya meski mengakui bahwa Sukamakmur merupakan hal yang tidak
terpisahkan dari hidupnya. Jantoni Barus memiliki rekam jejak yang baik di desa ini dan
dipandang sebagai orang yang suka membantu.
b. Pdt. Magdalena Boru Simanjuntak. Usia 51 Tahun.
Pendeta ini sudah menetap di Sukamakmur lebih dari 10 tahun dan memiliki lebih
dari 150 KK sebagai anggota jemaatnya. Sebagian kecil anggota jemaat pendeta ini
adalah pendatang dari etnis Nias. Pendeta dari Gereja Pentakos di Indonesia (GPDI) ini
bermukim di Sukamakmur bersama keluarganya dan telah memiliki lahan pertanian di
Desa Durin Serugun.
5. Informan Tambahan
499
Sry sulastri br Ginting, Bengkel Ginting, Henry Sitorus, Badaruddin, Lina
Sudarwati
Dinamika Perubahan Sosial Dan Pola Adaptasi Masyarakat
Sukamakmur Pasca Peralihan Lahan Pertanian Menjadi
Penunjang Kepariwisataan
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
1) Bedi Gurusinga. Usia 57 Tahun. Bermukim di Kota Palangkaraya setelah menjual
seluruh tanah warisan dari orangtuanya. Bedi Gurusinga saat ini memilih mengadu
nasib di perantauan bersama keluarga besarnya, setelah tidak lagi memiliki lahan
sebagai tempatnya bertani. Kemudian memilih Kota Palangkaraya karena memiliki
daya saing yang masih rendah.
2) Misna br Ginting. Usia 58 Tahun.
3) Lela br Sembiring. Usia 37 Tahun.
4) Pdt. Insan Sinurat. Usia 29 Tahun.
5) Ajek Ginting. Usia 48 Tahun.
6) Sukirman Ginting Jawak.
Strategi Adaptasi Komunitas Petani Dari Ekonomi Pertanian ke Ekonomi Usaha Wisata
Walaupun pada tataran konsep, pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia sering
dinyatakan sebagai pembangunan yang berorientasi ke daerah. Namun harus diakui bahwa
pada tataran operasional efektivitas pelaksanaan program-program sangat diragukan hasilnya.
Dalam banyak kasus, pembangunan daerah lebih banyak ditentukan oleh pemerintah pusat
dengan sistem "top-down planning "dan bukan "bottom-up planning". Kelemahan sistem ini
terletak pada ketidakmampuannya untuk menyerap asprasi masyarakat daerah, dan pada
gilirannya menyebabkan kurangnya partisipasi dan dukungan masyarakat (Sugihardjo et al.,
2012). Disamping itu, di tingkat pelaksanaan banyak kasus juga menunjukkan bahwa sistem
manajement pelaksanaan program juga sulit dilaksanakan karena tidak sesuai dengan nilai-nilai
masyarakat. Hal ini telah menyebabkan pelaksanaan program-program pembangunan lebih
berorientasi formal (asal memenuhi target).
Belakangan disadari bahwa model pembangunan daerah seharusnya menyesuikan diri
dengan karakteristik sosial budaya setempat. Dengan model yng disesuaikan dengan
karakteristik lokal ini diharapkan program-program pembangunan akan lebih lancar
pelaksanaannya karena mendapat dukungan dari masyarakat. Lebih dari itu, diharapkan pula
bahwa program pembangunan akan melembaga (institutionalied) dalam kehidupan
masyarakat. Dalam arti kata lain, masyarakat penjadi penikmat utama dari terjadinya
pembangungan ekonomi. Namun harus disadari bahwa untuk mencapai situasi tersebut perlu
dikenali secara lebih mendalam karakteristik lokal masing-masing daerah di Indonesia. Salah
satu pengenalan utama yang diperlukan adalah menyangkut karakteristik sosial budaya yang
berkembang pada masyarakat lokal.
Pariwisata merupakan salah satu fenomena sosial, ekonomi, politik, budaya, dan
teknologi, sehingga keadaan ini menjadi perhatian besar dari para ahli dan perencana
pembangunan. Pembangunan sektor kepariwisataan diharapkan akan dapat meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta sejalan dengan itu memperbaiki kesejahteraan hidup
masyarakat setempat. Masyarakat Sukamakmur haruslah menjadi orang pertama yang
mendapat nikmat perkembangan pesat di desa mereka.
Pembangunan kepariwisataan daerah merupakan bagian integrasi dari pembangunan
daerah secara keseluruhan mengingat berwisata sudah menjadi kebutuhan masyarakat.
Ditambah dengan Sumatera Utara yang merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang
500
Sry sulastri br Ginting, Bengkel Ginting, Henry Sitorus, Badaruddin, Lina
Sudarwati
Dinamika Perubahan Sosial Dan Pola Adaptasi Masyarakat
Sukamakmur Pasca Peralihan Lahan Pertanian Menjadi
Penunjang Kepariwisataan
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
memiliki potensi pariwisata yang besar, maka Provinsi Sumatera Utara memiliki banyak sekali
daya tarik wisata alam (nature), budaya (culture), kerajinan, kuliner, dan rekreasi. Selain itu,
dilihat dari tujuan kedatangan wisatawan, Sumatera Utara sangat potensial untuk menjadi daya
tarik wisata religi, bisnis, kesehatan, dan pendidikan. Sebagai suatu Daerah Tujuan Wisata
(DTW), potensi kepariwisataan di daerah Sumatera Utara memiliki daya Tarik wisata yang
cukup kuat bagi kunjungan wisatawan, baik wisatawan domestik maupun wisatawan
mancanegara.
Pemahaman mengenai kehadiran wisatawan yang datang ke Provinsi Sumatera Utara
haruslah tepat didekati, agar upaya pembangunan kepariwisataan di daerah ini mengalami
perkembangan dan pertumbuhan. Faktor pendukung kepariwisataan Provinsi Sumatera Utara
yang sudah dimiliki berupa potensi kekayaan alam, budaya, kondisi sosial politik dan
keamanan yang stabil, fasilitas dan sarana prasarana tranportasi, kesehatan yang ada, sikap dan
keterbukaan masyarakat, potensi dan kinerja sumber daya manusia, kebijakan pemerintah yang
adaptif, sumber informasi dan promosi yang intens, kemudahan yang diberikan dalam urusan
administrasi dan keimigrasian, serta kondisi perekonomian yang membaik secara global
merupakan variabel penentu yang harus diperhatikan secara serius oleh semua pihak terutama
pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara.
Selaras dengan itu, maka pelibatan partisipasi masyarakat menjadi sangat penting yang
dapat dilakukan secara integratif diantaranya pengenalan budaya wisata sejak dini pada siswa
sekolah, pembuatan paket wisata edukasi, kemudahan aksessibilitas melalui adanya tata sistem
dan moda transportasi, dan penciptaan kegiatan-kegiatan pendukung seperti event kegiatan
wisata tahunan berkelanjutan, ajang perlombaan, tahun kunjungan wisata, dan sebagainya.
Muhamad, (2015) mengatakan kesiapan merupakan sikap untuk
berinteraksi terhadap
sesuatu obyek dengan
cara-cara tertentu atau kecenderungan
potensial untuk berinteraksi apabila
individu dihadapkan pada suatu stimulus
yang menghendaki respon.
Kesiapan memiliki
peranan yang sangat penting dalam memulai suatu kegiatan, karena dengan adanya kesiapan
maka akan mendapatkan hasil yang lebih baik, begitu pula dengan kegiatan pariwisata. Dengan
memiliki kesiapan, masyarakat telah siap untuk menghadapi apapun yang akan terjadi untuk
menunjang keberhasilan pariwisata. Jadi dengan demikian suatu kesiapan merupakan suatu
pondasi dasar bagi suatu masyarakat atau pemerintah dalam menindaklanjuti terkait dengan
kegiatan yang akan dilakukan kedepannya. Dalam kegiatan penggelolaan pariwisata, tidak
hanya peran pemerintah yang harus ikut ambil bagian, melainkan peran dari masyarakat sangat
penting dalam pengelolaan dan pengembangan daerah wisata tersebut. Kesiapan masyarakat
dari berbagai aspek memiliki peran penting dalam kepariwisataan, karena di dalam kegiatan
pariwisata yang menjadi tolak ukur wisatawan yang datang berkunjung adalah masyarakat dari
daerah objek wisata tersebut.
Partisipasi memberikan ruang dan kapasitas masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
dan hak-hak mereka, mengembangkan potensi dan prakarsa lokal, mengaktifkan peran
masyarakat serta membangun kemandirian masyarakat. Dalam hal ini warga masyarakat
diharapkan terlibat dalam urusan publik dan memberikan kontribusi terhadap isu-isu dalam
urusan public (Raco, 2000). Artinya partisipasi masyarakat bukan hanya proses atau cara untuk
mencapai tujuan, akan tetapi partisipasi dilihat sebagai kekuatan besar untuk transformasi relasi
501
Sry sulastri br Ginting, Bengkel Ginting, Henry Sitorus, Badaruddin, Lina
Sudarwati
Dinamika Perubahan Sosial Dan Pola Adaptasi Masyarakat
Sukamakmur Pasca Peralihan Lahan Pertanian Menjadi
Penunjang Kepariwisataan
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
sosial, ekonomi dan politik untuk pengentasan kemiskinan dengan meningkatnya kesejahteraan
ekonomi dari sektor kepariwisataan. Menurut Lestari, (2013) dalam hal ini komunitas sosial
diharapkan sebagai agen perubahan yang mempercepat transformasi sosial yaitu merubah tata
nilai lama supaya masyarakat marjinal pada umumnya tidak terus berada pada kubangan nilai-
nilai agraris-foedal, yang selalu tidak menguntungkan pada posisi mereka sebagai sub-ordinat
dalam menentukan kepentingan bersama di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Artinya
masyarakat lokal akan mengalami pencerahan untuk gilirannya sadar akan hak-hak dan berani
menyuarakan sendiri kepentingan mereka dalam posisi kesederajatan seperti warga bangsa
lainnya. Selanjutnya kegiatan ini mendorong kesadaran kritis warga masyarakat agar mau
berpartisipasi dalam program pembangunan daerah yang memerlukan back-up berupa regulasi
yang jelas-jelas berpihak pada kepentingan seluruh rakyat.
Dalam mempengaruhi masyarakat agar berpartisipasi dalam pembangunan, maka
pemerintah dapat menggunakan metoda dan cara-cara komunikasi publik atau komunikasi
khalayak dalam strategi yang dipilih untuk mensosialisasikan berbagai program pembangunan
yang dipandang memerlukan keterlibatan publik dalam hal ini masyarakat sebagai pihak terkait
yang dapat menentukan tercapainya sasaran yang telah digariskan pemerintah sebagai tujuan
pembangunan. Dalam hal ini pemerintah dapat memperlakukan pendekatan partisipastif untuk
kesuksesan sasarannya, manakala ia berisikan konsep agendadan entitlement”, misalnya
untuk memasarkan barang atau jasa tertentu dalam pariwisata sehingga arah marketplace
issuesyang seharusnya bergantung pada persepsi publik direfleksikanlah dalam kedudukan
yang lebih bermakna agenda publik melalui advokasi yang dilakukan kelompok pendukung
terhadap ”entitlement” pandangan kelompok penentang.
Dalam menghabiskan waktunya di daerah tujuan wisata, maka wisatawan pasti
berinteraksi dengan masyarakat lokal, bukan saja dengan mereka yang langsung melayani
berbagai kebutuhan yang diperlukan oleh wisatawan (hotel, pemandu wisata, restoran, fasilitas
hiburan, dan lainnya) , namun akan berinteraksi pula dengan masyarakat secara luas. Interaksi
antara wisatawan dengan masyarakat akan semakin intensif manakala jenis atraksi wisata yang
menjadi pusat perhatian adalah pariwisata budaya, dimana sifat interaksi dengan masyarakat
lokal bersifat transitory, non-repetitive, dan asymmetrical (Pitana & Gayatri, 2005).
Dampak sosial ekonomi yang dirasakan masyarakat (lokal) secara langsung dan tidak
langsung dapat menjadi basis utama tingkat partisipasinya dalam mengembangkan usaha
wisata. Menurut Aryunda, (2011) terdapat 8 bentuk kontribusi pariwisata terhadap ekonomi
masyarakat, yaitu: (1). Penerimaan devisa, (2). Pendapatan masyarakat, (3). Kesempatan kerja,
(4). Harga-harga barang di pasar, (5). Distribusi manfaat dan keuntungan, (6). Dampak
terhadap kepemilikan dan kontrol, (7). Dampak pada infrastruktur pembangunan, dan (8).
Dampak terhadap pendapatan pemerintah.
Masyarakat lokal, terutama penduduk asli yang bermukim di kawasan wisata menjadi
salah satu pemain kunci dalam konteks kegiatan pariwisata yang berlangsung. Masyarakat
lokal merupakan pemilik langsung ”atraksi wisata” (kebudayaan dan ekowisata) yang
dikunjungi dan dikonsumsi oleh wisatawan. Oleh sebab itu, peran masyarakat lokal terutama
dalam penyediaan akomodasi, jasa pemandu, dan fasilitas wisata lainnya serta kelembagaan
sosial budayanya menyebabkan faktor determinan yang memerlukan perhatian pemerintah dan
502
Sry sulastri br Ginting, Bengkel Ginting, Henry Sitorus, Badaruddin, Lina
Sudarwati
Dinamika Perubahan Sosial Dan Pola Adaptasi Masyarakat
Sukamakmur Pasca Peralihan Lahan Pertanian Menjadi
Penunjang Kepariwisataan
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
stakeholder pariwisata lainnya untuk dikembangkan dalam ikhtiar mitra dan kemandirian.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapatlah disimpulkan bahwa perkembangan
kepariwistaan memerlukan lahan untuk penyediaan berbagai fasilitas dan pendukungnya. Desa
Sukamakmur yang merupakan daerah strategis yang didukung oleh keadaan sumber daya alam
dan iklim yang cocok sebagai daerah penyangga tujuan wisata atau bahkan destinasi wisata
itu sendiri, hingga akhirnya meningkatkan tingginya minat banyak perusahaan dan pengembang
terhadap sumber daya alam Sukamakmur. Masyarakat Desa Sukamakmur yang pada awalnya
bermata pencaharian sebagai petani yang memiliki lahan pertanian, saat ini telah banyak
menjual lahannya karena harga tanah yang tinggi sehingga kemudian berdampak pada peralihan
peruntukan lahan tersebut. Dampak perubahan peralihan lahan pertanian dan perkembangan
Desa Sukamakmur sebagai daerah penyangga kepawisataan, maka sebagian besar komunitas
petani yang telah menjual lahan pertaniannnya melakukan adaptasi mata pencaharian dari
ekonomi pertanian menjadi ekonomi pendukung usaha wisata diantaranya berdagang makanan
dan minuman. Selain itu mata pencaharian non-pertanian diantaranya karyawan perusahaan
usaha wisata, pertukangan, kerajinan serta jasa/agen jual beli tanah. Keberadaan perusahaan ini
kemudian mengundang banyak pendatang untuk bermukim dan menetap di Sukamakmur.
Sehingga kepadatan penduduk dan heterogenitas naik berkali-kali lipat dalam 15 tahun terakhir.
Para pendatang ini pun pada akhirnya mengambil alih sebagian lahan pertanian untuk kemudian
dijadikan pemukiman.
Perubahan sosial budaya yang berlangsung pada masyarakat Desa Sukamakmur
diantaranya pergeseran makna tanah dalam kehidupan. Tanah sebagai simbol harga diri tidak
lagi dianggap sesakral itu, melihat tingginya peminat dan juga akibat tuntutan kebutuhan hidup.
Orientasi sistem mata pencaharian serta gaya hidup yang komersil, sistem gotong royong dari
kolektifitas menjadi sistem upah dan tata cara adat yang kini lebih disederhanakan untuk
efisiensi waktu dan mengurangi pemborosan. Tidak seluruh lapisan masyarakat menerima
dampak positif pembangunan yang sedemikian pesat. Sebagian besar masyarakat mengalami
struggle dalam mengikuti perubahan sosial yang menjadi buah pembangunan. Munculnya
kelas-kelas sosial secara tidak langsung, terlihat dari keberhasilan proses adaptasi maupun
kegagalan proses adaptasi. Konflik yang tercipta di antara masyarakat lokal tidak terhindarkan,
sama seperti konflik antar pendatang dan penduduk lokal, yang juga disertai dengan konflik
antar sesama pengusaha. Namun nilai-nilai tradisional yang masih melekat pada masyarakat
baik pendatang maupun lokal, membuat konflik tidak membesar.
DAFTAR PUSTAKA
Aryunda, H. (2011). Dampak ekonomi pengembangan kawasan ekowisata Kepulauan Seribu.
Jurnal Perencanaan Wilayah Dan Kota, 22(1), 116.
Hatu, R. A. (2018). Problematika Tanah: Alih Fungsi Lahan dan Perubahan Sosial Masyarakat
Petani. Absolute Media.
Kusumadinata, A. A. (2015). Pengantar Komunikasi Perubahan Sosial. Deepublish.
Lestari, I. P. (2013). Interaksi sosial komunitas Samin dengan masyarakat sekitar. Komunitas,
5(1).
503
Sry sulastri br Ginting, Bengkel Ginting, Henry Sitorus, Badaruddin, Lina
Sudarwati
Dinamika Perubahan Sosial Dan Pola Adaptasi Masyarakat
Sukamakmur Pasca Peralihan Lahan Pertanian Menjadi
Penunjang Kepariwisataan
e-ISSN 2774-5155
p-ISSN
2774-5147
Martono, N. (2012). Sosiologi perubahan sosial: Perspektif klasik, modern, posmodern, dan
poskolonial (sampel halaman). RajaGrafindo Persada Jakarta.
Muhamad, M. (2015). Tingkat Kesiapan Masyarakat Pengelolaan Lingkungan Dan
Kepariwisataan Alam Pasca-Erupsi 2010. Jurnal Kawistara, 5(2).
Pitana, Ig., & Gayatri, P. G. (2005). Sosiologi pariwisata.
Raco, M. (2000). Assessing community participation in local economic developmentlessons
for the new urban policy. Political Geography, 19(5), 573599.
Rawal, N. (2008). Social inclusion and exclusion: A review. Dhaulagiri Journal of Sociology
and Anthropology, 2, 161180.
Riyanto, A. (2019). Berteologi Baru untuk Indonesia. PT Kanisius.
Rukajat, A., Ghony, M. D., & Almansur, F. (2021). 3.1 Desain Penelitian. GAYA Komunikasi
Selebgram Anggarita Dalam Product Endorsement, 35.
Sari, I. N., Lestari, L. P., Kusuma, D. W., Mafulah, S., Brata, D. P. N., Iffah, J. D. N., Widiatsih,
A., Utomo, E. S., Maghfur, I., & Sofiyana, M. S. (2022). Metode penelitian kualitatif.
UNISMA PRESS.
Sugihardjo, S., Lestari, E. N. Y., & Wibowo, A. (2012). Strategi Bertahan dan Strategi Adaptasi
Petani Samin terhadap Dunia Luar (Petani Samin di Kaki Pegunungan Kendeng di
Sukolilo Kabupaten Pati). SEPA: Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian Dan Agribisnis, 8(2).
Utama, I. G. B. R. (2017). Pemasaran pariwisata. Penerbit Andi.
Utomo, A., & Sutopo, O. R. (2020). Pemuda, perkawinan, dan perubahan sosial di Indonesia.
Jurnal Studi Pemuda, 9(2), 7787.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International
License