Jurnal
Sosial dan Teknologi (SOSTECH) Volume 3,
Number 10, Oktober 2023
TINGKAT PENGETAHUAN DOKTER GIGI TERHADAP
PENGGUNAAN VAKSIN KARIES GIGI DI LAHAN BASAH Renie Kumala Dewi, Puty Ayu Azizah, Aulia
Azizah Universitas Lambung
Mangkurat, Banjarmasin, Indonesia Email : [email protected] |
Abstrak Karies adalah penyakit yang dapat menyebabkan
kerusakan pada jaringan keras gigi. Kalimantan Selatan sebagian besar
wilayahnya adalah area lahan basah. Kandungan air lahan basah menghasilkan
asam dengan pH 3,5-4,5. Keadaan tersebut dapat memicu larutnya kristal enamel
yang dapat menyebabkan karies. Tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh dokter
gigi sangat berpengaruh terhadap sikap dokter gigi dalam melakukan pencegahan
karies gigi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tingkat pengetahuan
dokter gigi wilayah lahan basah terhadap penggunaan vaksin karies gigi pada
anak. Metode penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross
sectional diperoleh melalui pembagian kuesioner yang diberikan kepada dokter
gigi mengenai vaksin karies gigi dan penggunaannya. Sampel pada penelitian
ini adalah dokter gigi yang terdaftar sebagai anggota PDGI Cabang Kalimantan
Selatan dengan jumlah total 249 dokter gigi. Teknik pengambilan sampel
menggunakan simple random sampling. Analisis statistik menggunakan Uji
Korelasi Rank Spearman. Dokter gigi Kalimantan selatan memiliki tingkat
pengetahuan terhadap penggunaan vaksin karies gigi rendah 45,37%, sedang
33.33%, tinggi 21.3%. Berdasarkan hasil analisis statistic didapatkan nilai
signifikansi p=0,000 (p<0,05). Sebagian besar dokter gigi di Kalimantan
Selatan belum memiliki pengetahuan tentang penggunaan vaksin karies gigi
sehingga dari hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan
dokter gigi dalam penggunaan vaksin karies gigi untuk pencegahan karies dini. Kata kunci: Vaksin karies; Preventif karies dini;
Lahan basah Abstract Caries
is a disease that can cause damage to the hard tissues of teeth. South
Kalimantan is mostly a wetland area. The water content of wetlands produces
acids with a pH of 3.5-4.5. This situation can trigger the dissolution of
enamel crystals that can cause caries. The level of knowledge possessed by
dentists is very influential on the attitude of dentists in preventing dental
caries. The purpose of this study was to determine the level of knowledge of
dentists in wetland areas on the use of dental caries vaccine in children.
Analytical observational research method with a cross sectional approach was
obtained through the distribution of questionnaires given to dentists
regarding dental caries vaccine and its use. The sample in this study was
dentists registered as members of PDGI South Kalimantan Branch with a total
of 249 dentists. The sampling technique uses simple random sampling.
Statistical analysis using the Spearman Rank Correlation Test. South
Kalimantan dentists have a low level of knowledge of the use of dental caries
vaccine 45.37%, medium 33.33%, high 21.3%. Based on the results of
statistical analysis, a significance value of p = 0.000 (p < 0.05) was
obtained. Most dentists in South Kalimantan do not have knowledge about the
use of dental caries vaccine so the results of this study are expected to
increase dentists' knowledge in the use of dental caries vaccine for the
prevention of early caries. Keywords:
Caries vaccine; Preventive early caries; Wetlands |
PENDAHULUAN
Karies adalah penyakit yang
menyerang jaringan keras pada gigi yaitu enamel, dentin dan sementum. Karies
merupakan salah satu penyakit yang multifaktoral. Terdapat empat faktor utama
yang menyebabkan terjadinya karies yaitu host, mikroorganisme, substrat dan
waktu. Karies disebabkan oleh bakteri yang dapat memfermentasikan karbohidrat
seperti glukosa dan sukrosa sehingga menciptakan suasana asam dalam rongga
mulut dengan pH < 5. Hal tersebut mengakibatkan
adanya proses demineralisasi pada permukaan gigi. Proses demineralisasi yang
terus terjadi akan mengakibatkan kerusakan struktur gigi (bahan organik), pada
keadaan yang lebih parah menyebabkan terbentuknya lubang (kavitas) gigi (Scheid & Weiss, 2019).
Daerah Kota Banjarmasin
didominasi oleh rawa-rawa yang merupakan salah satu bagian dari lahan basah.
Ciri dari air yang ada pada lahan basah yaitu memiliki intensitas warna yang
tinggi seperti kuning atau merah kecoklatan, pH rendah berkisar antar 3,5-4,5 dengan
kandungan zat organik yang tinggi, memiliki rasa yang asam dan kandungan
kationnya rendah. Air dari lahan basah tidak baik untuk dikonsumsi, karena
mengandung senyawa besi dan sulfur atau disebut juga dengan larutan fitrit yang
dapat mengakibatkan tingginya kadar asam pada air sehingga berpengaruh terhadap
kerusakan gigi (Adhani et al., 2018; Afdholy, 2017; Dewi et al., 2020)
Sifat asam yang dimiliki oleh
air dari lahan basah dapat mendukung pertumbuhan bakteri asidogenik dan
asidurik, seperti bakteri golongan Streptococcus yang merupakan bakteri anaerob
kariogenik. Bakteri ini mampu bertahan hidup dan menghasilkan asam secara terus
menerus pada pH 4,5 sehingga mendukung proses kerusakan gigi. Teori tersebut
telah dibuktikan pada penelitian Febriyanti et al., 2018 bahwa didapatkan
bakteri Streptococcus sp. dan Lactobacillus pada saliva anak yang berkumur
dengan air lahan basah (Febriyanti, 2018) (Dewi et al., 2020).
Pencegahan yang dilakukan
dalam menangani karies gigi terbagi menjadi tiga tahap yaitu pencegahan primer,
sekunder dan tersier. Pencegahan primer dapat dilakukan dengan modifikasi diet,
pemakaian fluor, pit dan fissure sealant dan pengendalian plak. Pencegahan
sekunder dapat dilakukan melalui tindakan pengobatan serta perawatan gigi dan
mulut, misalnya penambalan pada gigi yang berlubang. Pencegahan tersier
misalnya perawatan pulpa (akar gigi) (Ramayanti &
Purnakarya, 2013).
Vaksin adalah suatu bahan yang
berasal dari virus maupun bakteri penyebab suatu penyakit yang kemudian
dilemahkan atau dimatikan. Vaksin secara sengaja dimasukkan ke dalam tubuh, hal
ini guna merangsang timbulnya zat anti penyakit tertentu pada seseorang yang
diberikan vaksin tersebut. Pemberian vaksin dapat merangsang tubuh untuk memicu
timbulnya antibodi. Urutan dalam pembuatan vaksin sebagai obat pengembangan
baru dilakukan melalui sembilan tahapan, pertama melakukan studi literatur
termasuk analisis pasar terhadap obat yang akan di uji. Tahap kedua, melakukan
penyusunan rencana penelitian obat. Tahap ketiga, penemuan molekul obat baru
atau modifikasi molekul obat meliputi sintesis, pemurnian, dan karakterisasi awal.
Tahap keempat, melaksanakan uji in vivo dan in vitro dengan laboratorium
berstandar Good Laboratory Practice (GLP). Tahap kelima, melakukan uji
preklinis pada hewan coba untuk melihat efek farmakologi, toksikologi, dan
formulasi metode analisis. Tahap keenam, melakukan uji klinis fase I dan dalam
tahap ini obat telah diproduksi pada laboratorium berstandar Good Manufacturing
Practice (GMP). Tahap ketujuh, melakukan uji klinis fase II. Tahap kedelapan,
melakukan uji klinis fase III. Tahap terakhir yaitu produksi dan skala
komersial serta obat telah memiliki izin edar dan produksi pada laboratorium
berstandar Good Manufacturing Practice (GMP) (HANDAYANI et al., 2016).
Vaksin memiliki 4 generasi,
Vaksin generasi pertama disebut juga dengan vaksin konvensional. Vaksin ini
mengandung mikroorganisme hidup yang dilemahkan. Kekurangan dari vaksin ini
adalah berisiko untuk melakukan mutasi menjadi virulen dan dapat menimbulkan
efek yang tidak diinginkan. Vaksin ini tidak dianjurkan untuk diberikan pada
seseorang dengan keadaan immunocompromised (Deviyanti, 2017).
Kandungan vaksin generasi 2
adalah mikroorganisme yang telah dimatikan, Kekurangan dari vaksin ini adalah
pada penggunaannya sering mengalami kegagalan. Kegagalan tersebut yaitu tidak
menimbulkan respon imun pada tubuh (Deviyanti, 2017).
Vaksin generasi ketiga
biasanya disebut dengan vaksin rekombinan (sub unit). Vaksin ini mengandung
fragmen antigenik dari mikroorganisme yang berfungsi untuk merangsang respon
imun. Kelemahan dari vaksin ini adalah hanya dapat memicu dan menimbulkan
respon imun humoral, tidak dapat berpengaruh pada respon imun seluler (Deviyanti, 2017).
Vaksin generasi keempat
merupakan vaksin yang baru dikembangkan dengan transfer DNA (Deoxy Ribonucleic
Acid) plasmid atau biasanya disebut dengan vaksin DNA. Vaksin ini dibuat
melalui rekayasa molekul pada suatu mikroba tertentu dengan teknologi DNA.
Vaksin DNA terdiri atas plasmid suatu bakteri yang mengandung DNA dengan
protein antigen. Vaksin ini dapat memicu respon imun humoral maupun seluler.
Vaksin DNA dalam bidang kedokteran gigi saat ini juga telah dikembangkan,
berfungsi sebagai penghambat infeksi oleh bakteri Streptococcus mutans yang
merupakan bakteri utama penyebab karies gigi (Deviyanti, 2017).
Vaksinasi terhadap karies gigi
merupakan upaya yang berguna untuk membentuk kekebalan dan perlindungan pada
gigi dalam melawan faktor penyebab karies gigi terutama bakteri. Vaksinasi karies
gigi secara aktif terus dikembangkan melalui protein yang ada pada permukaan
bakteri rongga mulut seperti Streptococcus mutans (sebagai antigen) yang
berperan penting dalam proses terjadinya karies gigi. Vaksin ini akan
menginduksi tubuh manusia untuk memproduksi antibodi terhadap antigen alamiah
tersebut. Komponen antigen dari bakteri Streptococcus mutans yang ada dalam
vaksin karies gigi dan berfungsi sebagai aktivator respon imun antaralain
adhesin (Pac atau P1 atau AgI/II), GTF atau Glucocyltransferase (gtfB, gtfC,
gtfD, gtfl, gtfS), GBP atau Glucan Binding Protein (GbpA, GtfB, GbpC) dan
dextranases (Deviyanti, 2017; Marwah, 2018).
Dokter gigi sebagai tenaga
kesehatan memiliki peranan yang penting dalam melakukan pencegahan karies gigi
sedini mungkin, sehingga kenaikan angka permasalahan gigi dan mulut dapat
teratasi secara cepat dan tepat. Tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh dokter
gigi sangat berpengaruh terhadap tindakan dokter gigi dalam melakukan
pencegahan karies gigi. Pengetahuan adalah hasil dari tahu terhadap sesuatu,
hal tersebut terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan pada suatu objek
tertentu. Pengetahuan atau kognitif memiliki peranan penting dalam berbagai tindakan
yang dilakukan seseorang. Pengetahuan juga memiliki peran penting dalam
mempengaruhi petugas kesehatan seperti dokter gigi dalam menerapkan dan
melakukan tindakan kesehatan sesuai dengan situasi dan kondisi yang diperlukan (Makhmudah, 2018) (Hepiyansori &
Tamimi, 2019). Penelitian ini untuk mengetahui tingkat
pengetahuan dokter gigi wilayah lahan basah terhadap penggunaan vaksin karies
gigi pada anak.
Berdasarkan perhitungan besar rumus
sampel didapatkan sebanyak 189 dokter gigi yang ada di wilayah Kalimantan
Selatan. Tingkat pengetahuan dokter gigi diukur menggunakan kuesioner yang
terdiri atas 9 pertanyaan, setiap pertanyaan diberikan 3 pilihan jawaban.
Setiap pertanyaan dengan jawaban benar diberikan skor 1, sedangkan jawaban
salah diberikan skor 0. Kategori skor kuesioner pengetahuan adalah rendah,
sedang dan tinggi (Arikunto, 2013). Penelitian dilakukan dengan menyebarkan
link kuesioner berupa google form melalui media group WhatsApp. Dengan menggunakan metode
penelitian observasional analitik dan pendekatan cross sectional. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah simple random sampling. Penentuan
besar sampel dalam penelitian ini ditentukan menggunakan rumus proporsi binomunal
(binomunal proportions) dengan besaran populasi (N) yang telah diketahui
sebelumnya, yaitu sebanyak 249 orang dokter gigi. Sampel dalam penelitian ini
adalah dokter gigi yang terdaftar sebagai anggota PDGI Cabang Kalimantan
Selatan serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian.
Data yang telah didapatkan melalui
penelitian ini kemudian dilakukan tabulasi dan kode sesuai dengan data
penelitian. Data pada penelitian ini termasuk dalam kategori data non
parametrik. Analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Uji
Korelasi Rank Spearman.
Semua responden yang berjumlah 189 berprofesi sebagai dokter gigi di
Kalimantan selatan telah mengisi 9 pertanyaan terkait dengan pengetahuan vaksin
karies.
Tabel
1. Dstribusi responden berdasarkan tingkat Pendidikan terakhir
Data
Variabel |
Unit (Person) |
Percentage (%) |
Dokter Gigi
Umum |
169 |
89.42 |
Dokter Gigi
Spesialis |
12 |
6.35 |
Dokter Gigi
Magister |
8 |
4.23 |
Total |
189 |
100 |
Tabel
2. Dstribusi Responden Berdasarkan Usia
Data
Variabel |
Unit (Person) |
Percentage (%) |
Usia (tahun) |
|
|
18-40 |
126 |
66.67 |
41-60 |
63 |
33.33 |
Total |
189 |
100 |
Data hasil penelitian kemudian dilakukan uji statistik menggunakan
aplikasi SPSS. Analisis data dilakukan dengan menggunakan Uji Korelasi Rank Spearman, didapatkan nilai
signifikansi p=0,000 (p<0,05) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara tingkat pengetahuan dokter gigi terhadap penggunaan vaksin
karies gigi.
Tabel 3. Data Analisis Uji
Korelasi Rank Spearman
Pengetahuan |
Person (N) |
Persentase (%) |
P-Value (Spearman rank test) |
Rendah |
85 |
44.97 |
|
Sedang |
71 |
37.57 |
0.00* |
Tinggi |
33 |
17.46 |
|
Total |
189 |
100 |
149 |
Note: p
< 0.05 (significan)
Berdasarkan penelitian dari Poety & Wiyono, (2017) tingkat pengetahuan seseorang
dapat dipengaruhi oleh faktor usia. Seseorang yang mengalami penambahan usia
akan terjadi perubahan pada aspek fisik maupun psikologisnya. Perubahan keadaan
psikologis seseorang disebabkan seiring bertambahnya usia, maka akan menyebabkan
taraf berfikirnya menjadi lebih matang dan dewasa. Usia bukanlah faktor utama
yang dapat mempengaruhi pengetahuan, ada faktor lainnya yaitu Pendidikan.
Penelitian Wardani and Setiyowati,
2018, menyebutkan terkait pengaruh pendidikan terhadap pengetahuan seseorang,
dalam penelitian tersebut menyatakan seseorang dengan tingkat pendidikan yang
tinggi cenderung lebih mudah dalam mendapatkan informasi baik dari orang lain
maupun media massa. Semakin banyak informasi yang didapatkan, semakin tinggi pula
tingkat pengetahuan seseorang. Responden pada penelitian ini didominasi oleh
dokter gigi dengan pendidikan terakhir adalah Profesi Dokter Gigi kemudian
Dokter Gigi Spesialis lalu pendidikan lainnya seperti Magister (S2). Hal
tersebut mempengaruhi tingkat pengetahuan dokter gigi yang menjadi responden
penelitian (Soesilawati, 2020; Wardani & Setiyowati, 2018)
Tingkat pengetahuan dokter
gigi tentang vaksin karies gigi pada penelitian ini menggunakan tiga kriteria
yang terdiri dari pengetahuan tinggi, sedang, dan rendah. Dari seluruh
responden penelitian, jumlah terbanyak ada pada pengetahuan yang rendah
sebanyak 85 orang (44.97%) dari 189 responden. Data menunjukkan jawaban dengan
nilai terendah ada pada pertanyaan mengenai generasi vaksin karies gigi,
definisi dari vaksinasi dan bakteri yang terlibat dalam vaksin karies gigi.
Penelitian yang dilakukan oleh (Madhumita et al., 2019) menyatakan seiring dengan
metode pencegahan karies yang telah mapan, vaksin karies gigi berpotensi
memberikan kontribusi yang sangat berharga untuk pengendalian dan pencegahan
penyakit karies gigi. Dokter gigi sebagai tenaga kesehatan berperan penting
dalam pencegahan kasus karies gigi terutama menggunakan cara terbaru dengan
menambah dan mengembangkan pengetahuan tentang vaksin karies gigi agar tujuan
pencegahan dapat terlaksana secara maksimal (Madhumita et al., 2019).
Menurut Notoatmodjo, (2007) menyatakan bahwa pengetahuan
merupakan suatu komponen yang sangat penting dalam mempengaruhi atau membentuk
tindakan seorang individu. Seseorang dengan pengetahuan yang rendah akan
menentukan kualitas tindakan yang dilakukannya menjadi buruk. Sesuai dengan
hasil penelitian yang telah dilakukan, pada tingkat pengetahuan dokter gigi
mayoritas termasuk dalam pengetahuan yang rendah, sehingga hal tersebut
berpengaruh terhadap tindakan yang dilakukan Notoatmodjo, (2007).
Dokter gigi merupakan salah
satu tenaga kesehatan. Hasil penelitian dari Arbianti & Hanirizqy, (2019) yang meneliti mengenai
pengetahuan dan tindakan tenaga kesehatan juga menyatakan bahwa pengetahuan
berpengaruh terhadap berbagai faktor predisposisi yang dapat membentuk
perilaku manusia, seperti pendidikan dan usia. Semakin tinggi tingkat
pengetahuan yang dimiliki oleh tenaga kesehatan, maka akan semakin memicu
tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan yang baik dan sesuai dengan aturan
kesehatan yang berlaku. Pengetahuan tenaga kesehatan selain diperoleh dari
pendidikan formal juga bisa diperoleh dari pendidikan informal seperti
pelatihan, penyuluhan, pengalaman atau informasi lainnya. Penambahan
pengetahuan terhadap tenaga kesehatan dengan berbagai cara tesebut dapat
meningkatkan kualitas tindakan yang akan dilakukan (Arbianti & Hanirizqy, 2019).
Penelitian dari Luo et al., (2017) menyatakan bahwa vaksin karies gigi adalah strategi imunisasi baru untuk melawan penyakit infeksi gigi dan memiliki banyak keunggulan seperti pemberian yang mudah, serta respons imun seluler dan humoral yang tahan lama. Vaksin karies gigi yang ideal harus mencakup beberapa sifat yaitu biaya rendah, kemanjuran, keamanan, cakupan luas dan mudah, bekerja untuk populasi berisiko rendah dan tinggi serta pemberian mudah melalui berbagai rute. Sifat cakupan yang mudah tidak terpenuhi di Kota Banjarmasin, karena berdasarkan invensi yang berjudul Vaksin Pencegah Karies Gigi menyatakan bahwa vaksin karies gigi telah dipatenkan pada tahun 2009 dan hanya ada di Universitas Indonesia, selain itu vaksin karies gigi ini belum dijadikan sebagai vaksinasi wajib oleh pemerintah. Hal tersebut dapat menjadi penyebab kurangnya tindakan penggunaan vaksin karies gigi di Banjarmasin (Luo et al., 2017).
KESIMPULAN
Adhani,
R., Rachmadi, P., & Nurdiyana, T. (2018). Widodo. Karies Gigi Di Masyarakat
Lahan Basah. Banjarmasin: Lambung Mangkurat University Press.
Afdholy, A. R. (2017).
Tipomorfologi Permukiman Tepian Sungai Martapura Kota Banjarmasin. Local
Wisdom, 9(1), 33–50.
Arbianti, K., & Hanirizqy, M.
(2019). Hubungan Pengetahuan Dokter Gigi Terhadap Penggunaan Alat Perlindungan
Diri (APD) Di Rumah Sakit Islam Gigi Dan Mulut Sultan Agung Semarang. ODONTO:
Dental Journal, 6(1), 1–7.
Deviyanti, S. (2017). Potensi
Penggunaan Protein Rekombinan Flic (Flagellin) Untuk Meningkatkan Imunogenitas
Vaksin Dna Anti Karies Gigi (Kajian Pustaka). Jurnal Ilmiah Dan Teknologi
Kedokteran Gigi, 13(1), 17–21.
Dewi, R. K., Hakim, A. Q., Oktiani,
B. W., & Nabila, N. (2020). The Effectiveness Of Video Dental Health
Education Special Needs Children On The Oral Hygiene Status. Dentino: Jurnal
Kedokteran Gigi, 7(2), 198–203.
Febriyanti, E. (2018). Perbandingan
Jumlah Koloni Bakteri Anaerob Pada Saliva Anak Yang Berkumur Dengan Air Lahan
Gambut Dan Air Pdam (Tinjauan Patogenesis Karies Anak Usia 8-10 Tahun).
HANDAYANI, R. P., Dwiana
Estiwidani, S. S. T., & Yuliasti Eka, P. (2016). Asuhan Kebidanan
Berkesinambungan Pada Ny T Umur 28 Tahun Dengan Partus Lama Di Puskesmas
Wilayah Kota Yogyakarta. Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.
Hepiyansori, H., & Tamimi, I.
(2019). Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Petugas Laboratorium Kesehatan Terhadap
Penggunaan Alat Pelindung Diri. Jurnal Ilmiah Pharmacy, 6(1), 86–93.
Luo, W., Wen, S., Yang, L., &
Zheng, G. (2017). Mucosal Anti-Caries DNA Vaccine: A New Approach To Induce
Protective Immunity Against Streptococcus Mutans. Int. J. Exp. Pathol, 10,
853–857.
Madhumita, M., Guha, P., & Nag,
A. (2019). Extraction Of Betel Leaves (Piper Betle L.) Essential Oil And Its
Bio-Actives Identification: Process Optimization, GC-MS Analysis And
Anti-Microbial Activity. Industrial Crops And Products, 138, 111578.
Makhmudah, S. (2018). Hakikat Ilmu
Pengetahuan Dalam Perspektif Modern Dan Islam. Al-Murabbi: Jurnal Studi
Kependidikan Dan Keislaman, 4(2), 202–217.
Marwah, N. (2018). Textbook Of
Pediatric Dentistry. JP Medical Ltd.
Notoatmodjo, S. (2007). Promosi
Kesehatan Dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta, 20.
Poety, M., & Wiyono, J. (2017).
Hubungan Tingkat Pengetahuan Dengan Perilaku Membuang Sampah Pada Siswa Smp
Sriwedari Malang. Nursing News: Jurnal Ilmiah Keperawatan, 2(1).
Ramayanti, S., & Purnakarya, I.
(2013). Peran Makanan Terhadap Kejadian Karies Gigi. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Andalas, 7(2), 89–93.
Scheid, R. C., & Weiss, G.
(2019). Woelfel: Anatomi Gigi.
Soesilawati, P. (2020).
Imunogenetik Karies Gigi. Airlangga University Press.
Wardani, E. M., & Setiyowati,
E. (2018). Hubungan Pendidikan Dengan Pengetahuan Wanita Usia Subur Tentang Pap
Smear Di Pondok Pesantren Al Hidayah Kendal Ngawi. Journal Of Health Sciences,
11(1), 92–96.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International
License