Volume 1, Nomor 5, Mei 2021
p-ISSN 2774-5147 ; e-ISSN 2774-5155
http://sostech.greenvest.co.id
c. Untuk membuat penjahat tertentu tidak mampu melakukan kejahatan lainnya
(Kusuma, 2016).
Pembinaan narapidana di Indonesia diterapkan dengan sistem lembaga
pemasyarakatan dan rumah tahanan (Alina & RB Sularto, 2012). Sistem penjara telah
diaktifkan dan diterapkan sejak tahun 1964, tetapi baru pada tahun 1995 sistem tersebut
diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 (tentang koreksi) dan sistem
tersebut diatur secara sistematis dalam bentuk undang-undang dan peraturan tambahan.
Undang-undang Nomor 6 tahun 2013 diperbarui tentang “Aturan Lembaga
Pemasyarakatan dan Pusat Penahanan”.
Mengenai tujuan dari sistem disipliner ditegaskan dalam Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 bahwa penerapan sistem disiplin adalah menjadikan narapidana
sebagai pribadi yang utuh, yang harus sadar akan kesalahan dan memperbaiki diri, bukan
melakukan tindak pidana lagi, mereka dapat diterima kembali oleh masyarakat, dapat
berperan aktif dalam pembangunan dan dapat hidup secara alami sebagai warga negara
yang baik dan bertanggung jawab.
Mengenai model yang digunakan dalam pembangunan narapidana di Indonesia, hal
ini diatur dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Model pedoman
narapidana/narapidana No. M. 02-PK.04.10 tahun 1990 ada di pasal pertama ketetapan
tersebut Pada Bab 2, arah yang harus dicapai “Pembina Narapidana di Lapas” dijelaskan
karena secara umum dapat dikatakan bahwa pembinaan dan pembinaan pola asuh harus
ditingkatkan melalui metode pengembangan spiritual (agama, Pancasila), termasuk
pemulihan individu dan harga diri warga, orang-orang ini dan warga negara percaya
bahwa mereka masih memiliki potensi produktif untuk pembangunan negara.
Oleh karena itu, mereka juga dididik (dilatih) untuk memperoleh keterampilan
tertentu agar mampu hidup mandiri dan berguna untuk pembangunan. Artinya bimbingan
dan bimbingan yang diberikan meliputi bidang spiritual dan keterampilan. Dengan
pemikiran dan keterampilan mereka. Bela negara dilandasi oleh kecintaan warga negara
pada negara, kesadaran berbangsa dan bernegara, keyakinan Pancasila sebagai negara dan
ideologi negara, sikap dan sikap warga negara yang rela berkorban dalam menghadapi
berbagai ancaman, tantangan dan aksi rintangan. Gangguan internal dan eksternal
(ATHG) membahayakan kelangsungan hidup negara dan negara, keutuhan wilayah,
yurisdiksi nasional dan nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945. Definisi tersebut
memberikan kesempatan terbesar bagi setiap warga negara untuk melaksanakan kegiatan
pertahanan negara (Widodo, 2011).
Dalam rangka bela negara harus memiliki pengetahuan, sikap dan keterampilan
bela negara, kemampuan tersebut dapat dibentuk melalui pendidikan bela negara melalui
jalur pendidikan formal, nonformal dan nonformal (Minto Rahayu, Farida, & Apriana,
2019). Jalur pendidikan formal di sekolah diberi pendidikan kewarganegaraan mulai dari
jenjang pendidikan dasar, menengah sampai dengan perguruan tinggi. Untuk jalur
pendidikan non formal di masyarakat, instansi, orsospol dan ormas. Sedangkan untuk
jalur pendidikan informal dilaksanakan di tingkat keluarga melalui keteladanan orang tua
dalam kehidupan rumah tangga.
Kesadaran bela negara menjadi bagian dari spektrum bela negara. Spektrum bela
Negara teridiri dari dua, yaitu lunak (soft) dan keras (hard) Ditjen Pothan Kemhan RI
(Soepandji, 2018). Spektrum lunak berupa aspek psikologi dan fisik. Aspek Psikologi
terdiri dari pemahaman ideologi Pancasila dan UUD 1945, nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia, wawasan kebansangsaan, rasa persatuan dan kesatuan bangsa dalam kehidupan
sehari-hari dan kesadaran bela negara. Aspek fisik berupa pelaksanaan tugas sehari-hari
dalam rangka mengisi kemerdekaan, pengabdian sesuai profesi, menjunjung tinggi nama